You are on page 1of 26

Andragogia - Jurnal PNFI / Volume 1 / No 1 - Nopember 2009

Mengembangkan Pendidikan Kewirausahaan di Masyarakat


Oleh: Sony Heru Priyanto1

Abstrak
Menurut Shumpeter (1934), Enterprenuership is driving force behind economic growth. Kewirausahaan merupakan komponen vital dalam pembangunan ekonomi. Jika Indonesia ingin maju seperti negara lain, maka pembangunan kewirausahaan harus dimulai dari sekarang. Untuk mengembangkan kewirausahaan, perlu disusun kurikulum yang memadai, mulai dari pendidikan usia dini sampai Perguruan Tinggi. Prinsipnya adalah mereka harus dibuat tertarik dan termotivasi, kedua mereka harus bisa dibuat melihat adanya kesempatan untuk bisnis yang menguntungkan (opportunity factors), ketiga, mereka harus memiliki beberapa keahlian seperti social skill, indutrial skill, organizasional skill dan strategic skill. Nama program yang bisa dikembangkan seperti Entrepreneurship Orientation and Awareness Programs, New Enterprise Creation Programs dan Survival and Growth Programs for Existing Entrepreneurs. Kata kunci:

Pentingnya Kewirausahaan Pada awal abad 20, entrepreneurship atau kewirausahaan menjadi satu kajian hangat karena perannya yang penting dalam pembangunan ekonomi. Adalah Schumpeter (1934) yang mengatakan bahwa jika suatu negara memiliki banyak entrepreneur, negara tersebut pertumbuhan ekonominya tinggi, yang akan melahirkan pembangunan ekonomi yang tinggi. Jika suatu negara ingin maju, jumlah entrepreneurnya harus banyak. Enterprenuership is driving force behind economic growth. Kirzner mengatakan bahwa kewirausahaan merupakan bagian penting dalam pembangunan. Rasionalisasinya adalah jika seseorang memiliki kewirausahaan, dia akan memiliki karakteristik motivasi/mimpi yang tinggi (need of achievement), berani mencoba (risk taker), innovative dan independence. Dengan sifatnya ini, dengan sedikit saja peluang dan kesempatan, dia mampu merubah, menghasilkan sesuatu yang baru, relasi baru, akumulasi modal, baik berupa perbaikan usaha yang sudah ada (upgrading) maupun menghasilkan usaha baru. Dengan usaha ini, akan menggerakan material/bahan baku untuk berubah bentuk yang lebih bernilai sehingga akhirnya konsumen mau membelinya. Pada proses ini akan terjadi pertukaran barang dan jasa, baik berupa sumber daya alam, uang, sumber daya sosial, kesempatan maupun sumber daya manusia. Dalam ilmu ekonomi, jika terjadi hal demikian, itu berarti ada pertumbuhan ekonomi, dan jika ada pertumbuhan ekonomi berarti ada pembangunan.

57

Andragogia - Jurnal PNFI / Volume 1 / No 1 - Nopember 2009

Dalam kasus negara, kita bisa belajar dari Jepang, dimana saat PD II, mereka hancur-hancuran. Namun karena accident tersebut, Bangsa Jepang justru lebih hebat dari sebelumnya karena setelah itu, pemerintah Jepang melakukan reformasi di segala bidang dengan dua pilar, yakni pembubaran konglomerasi dan UU anti monopoli. Di sektor pertanian, yang paling awal digarap adalah reformasi lahan pertanian. Sistem tuan tanah yang merupakan salah satu bentuk konglomerasi di bidang pertanian dihapus, dan para tuan tanah tersebut dilarang memiliki luas lahan yang terlalu besar. Tanah tersebut dipetak-petak, dan masing-masing lahan digarap oleh petani pemiliknya sendiri. Kalau sebelumnya seorang tuan tanah memiliki lahan sampai seluas 8000 ha, sekarang petani di Jepang memiliki luas lahan rata-rata 1,5 ha (kecuali petani di pulau Hokkaido). Kebijakan ini telah membawa dampak besar terhadap pembangunan ekonomi di Jepang. Sudah menjadi rahasia umum bahwa bangsa Jepang adalah pekerja keras. Rata-rata jam kerja pegawai di Jepang adalah 2450 jam/tahun, sangat tinggi dibandingkan dengan Amerika (1957 jam/tahun), Inggris (1911 jam/tahun), Jerman (1870 jam/tahun), dan Perancis (1680 jam/tahun). Seorang pegawai di Jepang bisa menghasilkan sebuah mobil dalam 9 hari, sedangkan pegawai di negara lain memerlukan 47 hari untuk membuat mobil yang bernilai sama. Seorang pekerja Jepang boleh dikatakan bisa melakukan pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh 5-6 orang. Pulang cepat adalah sesuatu yang boleh dikatakan agak memalukan di Jepang dan menandakan bahwa pegawai tersebut termasuk yang tidak dibutuhkanoleh perusahaan. Di kampus, professor juga biasa pulang malam (tepatnya pagi), membuat mahasiswa nggak enak pulang duluan. Fenomena Karoshi (mati karena kerja keras) mungkin hanya ada di Jepang. Sebagian besar literatur menyebutkan bahwa dengan kerja keras inilah sebenarnya kebangkitan dan kemakmuran Jepang bisa tercapai Salah satu penyebab kegagalan dalam pencapaian pertumbuhan ekonomi dan pembangunan ekonomi suatu negara karena tidak adanya entrepreneurship baik dalam level individu, organisasi dan masyarakat. Peneliti sebelumnya telah mengatakan, kewirausahaan sangat berperan dalam pembangunan ekonomi (Kirzner, 1973), merupakan a vital component of productivity and growth (Baumol, 1993), berperan dalam peningkatan investasi, new business creation (Gartner, 1985), memunculkan job training (Brown et al, 1976) dan home-base business (Spencer Hull, 1986), meningkatkan employment growth (Birch, 1981; 1987), penciptaan nasional identity & leadership (Bolton, 1971) dan bersama dengan kapasitas manajemen sangat menentukan kesuksesan usaha (farm performance) (Priyanto, SH, 2005). Schumpeter (1934) bahkan menyatakan bahwa enterprenuership is driving force behind economic growth, formulating new economic combination by (1) developing new products; (2) developing new sources of materials; (3) accumalating capital resources; (4) introducing new products

58

Andragogia - Jurnal PNFI / Volume 1 / No 1 - Nopember 2009

and new production functions; and (5) reorganizing or developing a new industry. Kewirausahaan ternyata juga sangat berperan dalam perkembangan UKM. Penelitian terdahulu menunjukkan, kinerja industri kecil yang rendah disebabkan beberapa faktor antara lain rendahnya karakteristik kewirausahaan (poor entrepreneurial). Kewirausahaan menjadi motor penggerak yang berperan dalam pembangunan industri. Dalam proses industrialisasi diperlukan sikap kewirausahaan dalam pembangunan ekonomi (Anderson, 2002; Amstrong dan Taylor, 2000). Kewirausahaan juga bisa berpengaruh langsung terhadap kinerja usaha. Baum et al. (2001) mengatakan bahwa sifat seseorang (yang bisa diukur dari ketegaran dalam menghadapi masalah, sikap proaktif dan kegemaran dalam bekerja), kompetensi umum (yang bisa diukur dari keahlian berorganisasi dan kemampuan melihat peluang), kompetensi khusus yang dimilikinya seperti keahlian industri dan keahlian teknik, serta motivasi (yang bisa diukur dari visi, tujuan pertumbuhan dan self efficacy), berpengaruh secara positif terhadap pertumbuhan usaha. Hampir senada dengan Baum et al. (2001), Lee dan Tsang (2001) menyimpulkan bahwa elemen kewirausahaan seperti internal locus of control, need for achievement, extroversion, education experience dan self reliance mempengaruhi pertumbuhan usaha. Menurut ahli perilaku (behaviorits), entrepreneurship sangat berperan dalam kesuksesan seseorang (Kets de Vries, 1977). Seseorang yang memiliki kewirausahaan tinggi dan digabung dengan kemampuan manajerial yang memadai akan menyebabkan dia sukses dalam usahanya (Priyanto, 2006). Entrepreneurship juga berperan dalam mengembangkan seseorang sehingga memiliki keinginginan untuk memaksimalkan economic achievement (Mc Clelland, 1976) dan menyebabkan seseorang bisa tahan uji, bisa fleksibel, bisa dipercaya, bisa mengatasi masalah yang dihadapinya. Sementara itu Barkham, 1989; Pollock, 1989 dalam Ghosh (1999) mengatakan bahwa skill, attitude dan pencarian informasi pasar merupakan faktor yang memberikan kontribusi pada kesuksesan perusahaan. Ahli-ahli sosiologi mengatakan bahwa entrepreneurship berperan dalam mengintegrasikan, mengarbitrase dan mengatur subsistem dalam masyarakat dan ekonomi (Parsons and Smelser,1956). Mereka para entrepreneur merupakan agen perubahan dalam masyarakat dimana dia tinggal (Barth, 1967). Storey (1982) berpendapat bahwa entrepreneur memegang peranan sebagai kreator dalam persaingan dan penciptaan lapangan kerja, sebagai benih dimasa depan dan sebagai alternatif dalam hal menghubungkan the bureaucratic employeremployee. Sementara itu Hagen (1960) percaya bahwa entrepreneur mampu memotivasi masyarakat karena dia dipandang menjadi kaum elit karena kesuksesannya di dunia usaha. Entrepreneur bisa memberikan inspirasi bagi masyarakat.

59

Andragogia - Jurnal PNFI / Volume 1 / No 1 - Nopember 2009

Kemiskinan sangat erat kaitannya dengan ketiadaan kewirausahaan. Oleh karena itu, keberadaan kewirausahaan mulai dari level individu, organisasi sampai masyarakat sangat terkait erat dengan miskin atau tidaknya masyarakat. Jika kewirausahaan tinggi, maka kemiskinan akan rendah. Memaknai Kewirausahaan Sejarah panjang pemaknaan entrepreneurship telah dilakukan, mulai dari abad 11. Pada waktu itu, pemaknaan entrepreneurship baru sebatas to do something dan belum memiliki dimensi ekonomi. Pada waktu itu, entrepreneurship lebih dikenal sebagai entreprendre. Pada abad 13, pemaknaan kewirausahaan berarti adventurer atau undertaker, yang berarti petualang dan pemberani. Pemaknaan kewirausahaan terus berkembang sehingga pada abad 17 sampailah pada pemaknaan entrepreneurship sebagai improving economics yang dikembangkan oleh Say dan Cantillon. Pada abad 18, Say melanjutkan eksplorasi pemaknaan kewirausahaan dengan mengartikan bahwa kewirausahaan adalah aktivitas untuk membawa dan menyatukan faktor produksi untuk diproses menjadi produksi yang memiliki nilai. Tabel 1. Perkembangan Pemaknaan Entrepreneurship

(Paula, 1996:83) Tabel 2. Perkembangan definisi dari Kewirausahaan

60

Andragogia - Jurnal PNFI / Volume 1 / No 1 - Nopember 2009

Dari sisi psikologis, kewirausahaan adalah suatu jiwa yang yang memiliki semangat, mimpi, berani mencoba, keinginan besar, kreatif, memiliki need for achievement, visi hidup dan independen. Jiwa yang demikian ini bisa dimiliki oleh siapapun, apakah itu pedagang, pengusaha, karyawan maupun masyarakat pada umumnya, yang mampu mengelola diri dan lingkungannya sehingga akan dihasilkan ide, inovasi, penemuan baru, kreatifitas, semangat baru dan pasar yang baru. Yang sering kita dengar dan artikan bahwa kewirausahaan sama dengan atau selalu identik dengan pemahaman usaha manufaktur dan dagang. Saat ini pemaknaan kewirausahaan telah berkembang tidak hanya pemaknaan seseorang sebagai pengusaha namun orang yang mampu mengelola diri dan lingkungannya sehingga akan dihasilkan ide, inovasi, penemuan baru, kreatifitas, semangat baru dan pasar yang baru. Kewirausahaan merupakan sesuatu yang ada didalam jiwa seseorang, masyarakat dan organisasi yang karenanya akan dihasilkan berbagai macam aktivitas (sosial, politik, pendidikan), usaha dan bisnis. Kewirausahaan merupakan bidang yang sangat luas aktivitasnya, mulai

61

Andragogia - Jurnal PNFI / Volume 1 / No 1 - Nopember 2009

dari individual entrepreneurship, industrial entrepreneurship sampai yang terakhir berkembang adalah social entrepreneurship. The Social Construction Of Entrepreneurship Secara umum ada tiga model konstruksi sosial masyarakat. Model yang pertama adalah masyarakat sebagai realitas obyektif. Pada model ini seorang anak yang baru lahir, telah ditunggu oleh masyarakatnya berupa nilai, norma, kepercayaan dan ekspektasi yang akan mempengaruhi anak tersebut. Jadi anak yang baru lahir tersebut akhirnya akan mengikuti budaya masyarakat dimana dia tinggal dan hidup. Model kedua adalah model realitas subyektif yang menggambarkan terbentuknya masyarakat dimulai dari nilai-nilai, norma dan ekspektasi yang telah ada dan dibawa sejak lahir kemudian nilai-nilai ini bergabung dengan nilai-nilai dari individu lain, dan jadilah masyarakat itu. Model yang ketiga adalah model gabungan dari model sebelumnya, dimana individu dan masyarakat saling berelasi dan berinteraksi sehingga membentuk masyarakat yang terus menerus berubah yang juga dipengaruhi oleh historisnya masyarakat sebelumnya. Bagaimanapun, masyarakat masa lalu tetap mempengaruhi perjalanan masyarakat masa kini dan mendatang. Manusia selalu dan akan selalu berinteraksi dengan lingkungannya. Ketika bayi baru lahir, dia kemudian akan berinteraksi dengan lingkungan sosialnya dengan perantaraan orang-orang penting (significant others). Hubungan antara manusia dan lingkungannya dicirikan oleh dunia terbuka (world openness). Tidak ada manusia yang menghasilkan masyarakat yang terjadi secara soliter. Berbekal pada pemaknaan demikian, kewirausahaan yang ada pada seseorang pada awalnya muncul dari realitas obyektif yang ada dimasyakarat berupa simbol, pekerjaan, nilai, kepercayaan dan ekspektasi. Pribadi ini terus berkembang dengan berbagai macam relasi, interaksi, integrasi dan akulturasi sehingga akan memunculkan identitas bagi yang bersangkutan. Pengalamanpengalaman yang diperolehnya selama berinteraksi dengan lingkungannya, akan menghasilkan pemaknaan diri dan identitas dirinya. Pada awal pembentukannya, dia akan berinteraksi dengan orang-orang penting seperti keluarga. Keluarga yang menganut sistem pola asuh pola asuh demokratis2 akan menghasilkan karakteristik anak anak yang mandiri, dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman, mampu menghadapi stress, mempunyai minat terhadap halhal baru, dan kooperatif terhadap orang-orang lain. Pola asuh otoriter3 akan menghasilkan karakteristik anak yang penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma, berkepribadian lemah, cemas dan menarik diri. Pola asuh permisif4 akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang impulsive, agresif, tidak patuh, manja, kurang mandiri, mau menang sendiri, kurang percaya diri, dan kurang matang secara sosial. Pola asuh penelantar5 akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang moody, impulsive, agresif, kurang bertanggung jawab, tidak mau mengalah, self esteem

62

Andragogia - Jurnal PNFI / Volume 1 / No 1 - Nopember 2009

(harga diri) yang rendah, sering bolos, dan bermasalah dengan teman.(Baumrind1997) Jadi jika kita ingin menghasilkan anak yang memiliki kewirausahaan tinggi, maka sistem pola asuh yang cocok untuk itu adalah sistem pola asuh demokratis. Sosialisasi primer kewirausahaan ini akan sangat dipengaruhi oleh stock of knowledge dari inidividu tersebut dan tuntunan dari pranata institusionalnya. Pada masa kanak-kanak, menginternalisasilkan kewirausahaan bisa dimulai dari simbolisasi mengajak ketempat baru, pengalaman baru, makanan baru, teman baru dan lainnya. Aktivitas ini merupakan simbol dari membangun jiwa risk taking. Menanyakan kepada anak pada saat memandikan atau bersenda-gurau mengenai cita-citanya merupakan simbolisasi dari membangun need for achievement. Percaya diri juga bisa dibentuk dengan mengkonstruksikan kata-kata positif kepada anak. Kata pujian yang wajar ketika dia bisa melakukan sesuatu dan memberi hadiah yang relevan jika dia bisa melakukan sesuatu yang baik, akan membangun kepercayaan diri pada anak. Sebaliknya kalimat negatif bisa mematahkan keyakinan anak bahwa dirinya mampu memakai pakaian dengan benar. Hati-hati dengan kalimat negatif seperti ini: Kamu bandel, kamu nakal, atau kamu bodoh adalah kalimat-kalimat negatif yang bisa mendistorsi kepercayaan diri pada anak. Mengutip penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat, setiap hari anak mendapat perkataan negatif sebanyak 750 kata. Sebaliknya mereka hanya memperoleh kata positif sebanyak 65 kata per hari! Konstruksi sosial kewirausahaan dimulai dari orang tua yang memiliki peranan penting bagi pembentukan pengalaman si anak. Beranjak dewasa, dia mulai mengenal significant other yang lain. Teman, tetangga, guru, teknologi audio video, dan lainnya akan mempengaruhi realitas subyektifnya. Pada sosialisasi primer, akan terjadi proses imitasi, role playing dan role game dari si anak tersebut. Sosialisasi primer tercipta didalam kesadaran awal pada masa kanakkanak dan berkembang secara progresif berdasarkan norma dan sikap yang spesifik untuk menjadi norma dan sikap secara umum. Abstraksi dari norma dan sikap secara konkrit berpengaruh nyata kepada hal-hal lain. Pada masa inilah terjadi generalisasi sifat kewirausahaan dan akan berpengaruh di masyarakat dan pada akhirnya akan menghasilkan jiwa kewirausahaan atau tidak pada seseorang. Namun demikian, kejadian yang terjadi banyak dipengaruhi juga oleh faktor eksternal seperti lingkungan ekonomi, organisasi dan lingkungan fisik dimana dia berada. Perkembangan yang pesat dari teknologi komunikasi, produksi dan jasa juga sangat berperanan pada seseorang sehingga akan memotivasi atau tidak seseorang dalam hidupnya. Variabel eksternal ini terus berubah dan menyebabkan kewirausahaan seseorang juga terus berubah dengan intensitas dan kompleksitas yang tidak konstan.

63

Andragogia - Jurnal PNFI / Volume 1 / No 1 - Nopember 2009

Gambar 1. Siklus Konstruksi Sosial Kewirausahaan

Setelah terjadi sosialisasi primer, akan terjadi sosialisasi sekunder dimana seorang anak mulai mengenal juga lingkungan diluar ayah-ibunya. Dia mulai mengenal ada guru, ada pendeta, dan pada akhirnya dia akan mengenal kelembagaan yang ada di masyarakat dengan seperangkat job discriptionnya. Dia akan mengenal petani, pegawai negeri, pedagang dan pengusaha, kaum kaya-kaum miskin. Disinilah mulai terjadi internalisasi the vision of lifenya, akan membentuk desire for independence dan drive. Kalau yang dia lihat bahwa petani hidupnya makmur, maka dia akan bermimpi akan jadi petani. Jika dia melihat pegawai negeri statusnya baik, maka dialam bawah sadarnya tidak akan menampik juga menjadi pegawai negeri dikelak-kemudian hari. Tesis yang bisa dibangun kemudian adalah anak yang memiliki stock of knowledge terbatas maka realitas obyektif akan berperan dalam pembentukan kewirausahaannya. Sebaliknya jika seseorang memiliki stock of knowledge dan ability yang bagus, realitas subyektifnya akan sangat mempengaruhi terbentuknya kewirausahaannya. Di level organisasi, proses konstruksi sosial kewirausahaan dimulai dari interaksi antara pengusaha dan stakeholdernya dalam menghasilkan model bisnis. Saat ini, proses coproduce ini belum jelas benar, dan kedepan menjadi domain penelitian kewirausahaan yang penting. Secara samar-samar dapat dijelaskan bahwa terjadi interaksi antara nilai, self-belief individu dengan strategi dan hubungan dengan stakeholder yang menghasilkan perubahan atau keberlanjutan dalam model bisnis (Downing, 2005). Para strukturalis

64

Andragogia - Jurnal PNFI / Volume 1 / No 1 - Nopember 2009

mendiskripsikan bahwa nilai-nilai individu akan berinteraksi dengan nilai-nilai individu lain dalam organisasi dan kemudian berinteraksi dengan nilai-nilai yang telah ditanamkan sebelumnya dalam organisasi oleh para pendiri dan penerus, menjadi social order of the firm (Frank and Lueger, 1997). Interaksi ini akan terjadi secara terus menerus sesuai dengan dinamika lingkungan ekonomi, politik, sosial dan budaya, teknologi, yanga akan menghasilkan perubahan tatanan sosial perusahaan yang baru. Pada awal pendiriannya, biasanya nilai dan ekspektasi dari pendiri akan sangat berpengaruh dalam organisasi/perusahaan. Ketika, mulai ada rekrutmen, ada interaksi dengan nilai-nilai pekerja, yang tentu saja dipengaruhi oleh lingkungan eksternalnya (stakeholder). Secara terus menerus, hasil adaptasi, interaksi dan inersia dari semua pihak, akan menghasilkan sistem atau social order of the firm dan akan menjadi budaya. Kondisi ini akan terus berlangsung selama organisasi/perusahaan itu ada. Proses Pembelajaran kewirausahaan (Entrepreneurial Learning) Dalam teori siklus pembelajaran, Munford (1995) menyatakan bahwa pembelajaran didapat dari proses pembelajaran atas pengalaman yang didapat dalam aktivitas sehari-hari yang kemudian disimpulkan dan menjadi konsep maupun sistim nilai yang dipergunakan untuk keberhasilan dimasa yang akan datang. Hall (1996) menyatakan bahwa dalam jangka pendek pembelajaran akan merubah sikap dan kinerja seseorang, sedangkan dalam jangka panjang mampu menumbuhkan identitas dan daya adaptabilitas seseorang yang sangat penting bagi keberhasilannya. Cope dan Watt (2000) menyatakan bahwa kejadian kritis (critical-incident) yang dialami wirausaha dalam kegiatan usahanya sehari-hari mengandung muatan emosional yang sangat tinggi dan pembelajaran tingkat tinggi. Cope dan Watt menekankan pentingnya pembimbingan (mentoring) untuk mengintepretasikan kejadian kritis yang dihadapi sebagai pembelajaran, sehingga hasil pembelajarannya menjadi efektif. Sulivan (2000) menekankan pentingnya client-mentor matching dalam keberhasilan pembimbingan. Ia mengatakan bahwa pengetahuan, keterampilan, dan pembelajaran dapat difasilitasi ketika dibutuhkan wirausaha. Dengan memperhatikan tingkat siklus hidup wirausaha. Lebih jauh, Rae (2000) menggambarkan bahwa pengembangan kemampuan wirausaha dipengaruhi oleh motivasi, nilai-nilai individu, kemampuan, pembelajaran, hubungan-hubungan, dan sasaran yang diinginkannya. Sementara itu Minniti dan Bygrave (2001) membuktikan dalam model dinamis pembelajaran wirausaha, bahwa kegagalan dan keberhasilan wirausaha akan memperkaya dan memperbaharui stock of knowledge serta sikap wirausaha sehingga ia menjadi lebih mampu dalam berwirausaha. Dalam kaitannya dengan upaya untuk mempertahankan usaha, seorang

65

Andragogia - Jurnal PNFI / Volume 1 / No 1 - Nopember 2009

wirausahawan memerlukan suatu strategi positioning yang kuat serta konsisten dalam suatu lingkungan persaingan yang dinamis. Hal ini memerlukan suatu perbaikan yang berkelanjutan untuk mengelola perubahan tersebut agar efektif sehingga diperlukan suatu proses pembelajaran baik single-loop learning untuk memperkuat posisi saat ini maupun double-loop learning untuk menemukan landasan kokoh guna membangun keunggulan bersaing. Wright (1997) menyebutkan bahwa akumulasi pembelajaran merupakan salah satu harta tak berwujud yang menjadikan suatu kapabilitas individu atau perusahaan yang tidak dapat ditiru (inimitable), terutama pengetahuan teknis yang tidak kentara (tacit knowledge). Pendidikan dan latihan, mentoring dan belajar dari pengalaman merupakan faktor pembentuk pembelajaran kewirausahaan yang signifikan. Hal ini sesuai dengan pendapat beberapa ahli tentang pembelajaran wirausaha (Rae, 2000; Minniti dan Bygrave, 2001), proses pendidikan dan pelatihan (Ulrich dan Cole, 1987; Robinson dan Sexton, 1994; Gibb, 1997; Leitch dan Horrison, 1999) maupun pembelajaran wirausaha dari pengalaman (Henderson, 1993; Rae, 2000; Cope dan Watts, 2003). Pembelajaran dapat dipandang sebagai proses perubahan dan pembentukan pengetahuan, keterampilan, sikap dan kemampuan seorang wirausahawan, baik melalui pendidikan, pelatihan, mentoring, ataupun pengalaman. Model Kewirausahaan Dari pengujian yang dilakukan di Jawa Tengah dengan responden petani tembakau dan di Nusa Tenggara Timur dengan responden Nelayan, diperoleh hasil model yang konsisten. Ini berarti model kewirausahaan diawali atau dipengaruhi oleh lingkungan eksternal seperti lingkungan fisik, lingkungan ekonomi, lingkungan sosial dan lingkungan ekonomi. Kemudian kewirausahaan tidak langsung menyebabkan kinerja usaha, namun harus dimediasi oleh kapasitas manajemen (gambar 2). Jadi untuk sukses dalam berusaha dan berkarir, seseorang atau masyarakat harus memiliki kewirausahaan dan kapasitas manajemen yang memadai. Pengembangan kewirausahaan saja tidak cukup, harus disertai juga dengan pengembangan kapasitas manajemen. Pengembangan kewirausahaan harus juga mengingat dan memperhatikan lingkungan eksternal yang mempengaruhinya juga. Pendekatan fungsi produksi yang selama ini digunakan untuk menggambarkan fenomena yang terjadi terhadap kinerja usaha tani, telah diperbaharui dan diperbaiki dengan model multilevel ini. Dalam pendekatan fungsi produksi frontier, variabel manajemen, diletakkan sejajar dan mempunyai efek langsung dengan variabel lahan, tenaga kerja, modal dan teknologi. Model ini memang mampu menjelaskan pengaruh variabel manajemen terhadap kinerja usaha, namun model ini tidak mampu menjelaskan fenomena pengaruh berjenjang

66

Andragogia - Jurnal PNFI / Volume 1 / No 1 - Nopember 2009

antar variabel. Dengan mempelajari perkalian domain terhadap 3 level analisis, yaitu lingkungan eksternal, kewirausahaan dan kapasitas manajemen, dan memasukkan masing-masing dampak langsung dan tak langsung, kita mampu mendapat pemahaman yang lebih komplit dari proses kinerja usaha tani daripada yang telah didapat dalam model kinerja usaha sebelumnya. Lebih jauh lagi, dari model tak langsung kita mempelajari bahwa penjelasan faktor individu (aspek internal) yang meliputi latar belakang dirinya, aspek kewirausahaan dan kapasitas manajemennya lebih relevan untuk menjelaskan pertumbuhan usaha tani dalam studi ini daripada lingkungan atau penjelasan eksternal, seperti lingkungan fisik, lingkungan ekonomi, paradigma struktur kelembagaan, teori ekologi populasi atau teori ketergantungan sumber daya. Penjelasan aspek internal untuk kinerja usaha yang dihasilkan dari model ini yaitu pentingnya peranan pengusaha atau petani dalam strategi formulasi dan implementasi usahanya. Cerita ini dimulai dengan pengusaha yang mempunyai sifat pekerja keras, proaktif dengan serangkaian teknis kemampuan organisasi dan industri yang tinggi. Kemampuan yang tinggi ini diperoleh karena wawasan dan sikap yang terbuka, mempunyai banyak relasi, berpendidikan memadai untuk menjalankan bisnisnya, dan didukung oleh budaya kerja orangtuanya. Petani tersebut termotivasi secara tinggi yang ditunjukkan dalam pengamatan organisasi yang jelas, pertumbuhan tujuan yang tinggi dan kepercayaan dalam mencapai tujuan ini. Mungkin karena kebesaran hati dan proaktif, kemampuan organisasi atau motivasi tinggi, pengusaha ini cakap dalam membuat rencana strategi diferensiasi yang efektif, meningkatkan kualitas produknya, membangun relasi yang kuat dengan menciptakan kepercayaan pelanggan, yang bekerja untuk menghasilkan pertumbuhan yang tinggi. Kita dapat berkata bahwa latar belakang pribadi yang mendukung, motivasi yang tinggi, berani mengambil resiko, mandiri, kreatif, berkemampuan teknis yang memadai akan mempengaruhi pertumbuhan usaha tani melalui pendirian proses organisasi yang berorientasi pada pertumbuhan dan struktur yang melengkapi pelaksanaan strategi ini. Kita juga membayangkan bahwa dalam organisasi pertumbuhan tinggi ini, budaya organisasi menjadi cerminan dari pengusaha yang berhasil. Kita juga menyelidiki hasil yang lebih spesifik dengan tujuan elaborasi yang lebih jauh mengenai pengaruhi aspek internal pada pertumbuhan usahatani.

67

Andragogia - Jurnal PNFI / Volume 1 / No 1 - Nopember 2009

Gambar 2. Hasil Konstruksi Model Kewirausahaan

Lingkungan Eksternal. Entrepreneurial process akan terjadi dan diperkuat oleh keberadaan kondisi atau faktor lingkungan. Domain pembahasan kewirausahaan akan diawali dengan pembahasan faktor yang akan mempengaruhi dinamika kewirausahaan. Faktor ini terdiri dari lingkungan fisik, lingkungan ekonomi, lingkungan organisasi dan kelembagaan serta lingkungan individu. Lingkungan fisik yang subur dan kaya akan sumber air, terbukanya akses modal dan informasi ekonomi akan menyebabkan seseorang yang tinggal disekitarnya akan termotivasi untuk terus belajar memanfaatkan sumber daya tersebut sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi kecakapan dan kapabilitasnya. Lingkungan yang tidak subur juga bisa memotivasi orang untuk keluar dari problem utamanya. Kejadian yang luar biasa bisa menjadi critical point munculnya kewirausahaan pada seseorang atau masyarakat. Kita bisa melihat kasus Jepang. Bom atom yang melanda Kota Hirosima dan Nagasaki menjadi titik balik bangsa Jepang dalam pembangunannya. Seperti Proshansky et al. (1970) mengatakan bahwa lingkungan fisik sangat mempengaruhi perilaku seseorang. Lebih lanjut dikatakan bahwa perubahan perilaku bisa terjadi atau didorong oleh perubahan dalam lingkungan fisik, sosial dan struktur administrasinya.

68

Andragogia - Jurnal PNFI / Volume 1 / No 1 - Nopember 2009

Lingkungan yang subur memungkinkan petani untuk berkreasi menciptakan dan meraih beberapa peluang bisnis dibanding daerah yang tandus. Petani yang hidup dan menguasai daerah yang subur memiliki banyak pilihan usaha sehingga dia akan terus melakukan inovasi dalam rangka meningkatkan kinerja usahanya. Mereka melihat masa depan yang penuh penggharapan. Lingkungan fisik yang subur menjadikan mereka seorang yang foresight. Sementara itu, kegagalan-kegagalan yang sering melanda petani di daerah tandus, menyebabkan petani mengalami situasi fatalistik, situasi dimana petani tidak memiliki motivasi, tidak percaya diri terhadap lingkungan sekitarnya, enggan mengadopsi teknologi baru karena takut gagal lagi, sangat tergantung pada kondisi lingkungan (pasif) dan sangat sulit berkembang karena tidak mau berkreasi mengembangkan dirinya. Beets (1990) mengatakan bahwa fatalisme an attitude of laisser faire percaya bahwa apapun yang terjadi tidak dapat dielakkan. Ini terjadi karena banyaknya kendala dalam melaksanakan pembangunan atau kegiatan usaha. Mereka enggan melakukan konservasi sumber dayanya karena mereka tidak percaya bahwa hal itu akan membawa manfaat bagi diri dan keluarganya. Jadi munculnya sikap foresight atau fatalisme dipengaruhi oleh lingkungan fisik dimana dia tinggal dan atau berusaha. Menurut Watson dan Scott (1998) faktor sumber daya dan manajemen, kondisi tenaga kerja dan teknologi yang dikuasai akan mempengaruhi perilaku kewirausahaan seseorang. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Priyanto (2002) menyatakan bahwa ada perbedaan motivasi dan banyaknya bidang usaha antara daerah yang miskin dan daerah yang kaya sumber airnya. Menurut Beets (1990), lingkungan fisik (seperti luas areal, iklim, kondisi tanah, irigasi) sangat berpengaruh terhadap produktivitas usaha. Musim kemarau, kondisi lahan yang kritis dan degradasi lingkungan sangat mempengaruhi produktivitas. Faktor teknologi (seperti kemampuan know-how, input) juga akan mempengaruhi produktivitas. Jika teknologi yang digunakan cocok dengan budaya masyarakatnya, penggunaan teknologi akan mampu meningkatkan produktivitas dan kualitas produk. Demikian halnya dengan pengaruh lingkungan organisasi dan kelembagaan terhadap kewirausahaan seseorang. Seseorang yang hidup dan dibesarkan dalam lingkungan organisasi yang kondusif dan menantang, terbuka dan fleksibel akan menjadi seorang wirausaha yang berhasil yang memiliki motivasi yang besar, mandiri dan responsif terhadap resiko. Strategi dan rencana yang diterapkan, sumber keuangan yang ada, sektor industri dan format bisnis akan mempengaruhi perilaku kewirausahaan seseorang (Watson dan Scott, 1998). Lambing dan Kuehl (2000) mengatakan bahwa tingkat kewirausahaan seseorang sangat bervariasi sesuai dengan budaya yang dimilikinya. Dampak dari budaya dan adat istiadat bisa ditemukan dalam beberapa studi yang menunjukkan bahwa budaya yang berbeda mempunyai nilai dan keyakinan yang

69

Andragogia - Jurnal PNFI / Volume 1 / No 1 - Nopember 2009

berbeda pula. Misalnya orang Jepang memiliki achievement-oriented culture yang menolong seorang wirausaha dalam menjalankan usahanya sehingga sukses. Budaya juga mempengaruhi image dan status dari wirausaha. Satu studi dari wirausaha imigran di Canada menemukan bahwa orang India memandang bahwa kewirausahaan merupakan sesuatu yang positif namun sebaliknya responden Haiti cenderung melihat bahwa kewirausahaan merupakan pekerjaan yang rendah. Di Indonesia juga demikian, pekerjaan pegawai negeri, pekerja kantoran dipandang mempunyai nilai status yang lebih tinggi dibanding dengan pedagang atau pengusaha. Faktor budaya dimana manusia tinggal juga sangat mempengaruhi tingkat produktivitas. Attitude dan cara pandang seseorang sebagai hasil interaksi budaya masyarakat merupakan faktor utama yang menghambat pengembangan. Di lingkungan masyarakat tropis, sikap terhadap pekerjaan pertanian adalah negatif dan bekerja diluar adalah jenis pekerjaan dengan status rendah. Banyak budaya yang sangat statis dan ada sedikit keinginan untuk melakukan self improvement, perubahan dan bekerja. Seringkali insentif bagi orang yang bekerja keras dan mau berubah sangat minim karena struktur masyarakatnya, khususnya dalam setting budaya feodalistik dimana kebanyakan sumberdaya berada ditangan tuan tanah (Beets, 1990). Menurut Mazzarol et al. (1999), faktor sosial seperti network dan dukungan dari elit sosial politik, faktor ekonomi seperti ketersediaan modal, indikator agregat, resesi dan pengangguran, kondisi politik seperti dukungan dari lembaga lain, regulasi dan faktor infrastruktur seperti sistem pendidikan, pasar tenaga kerja, akses informasi dan tersedianya aset akan sangat mempengaruhi intensionalitas dan pengambilan keputusan seseorang dalam melakukan kegiatan bisnis. Ghosh et al., (1998) mengatakan bahwa dukungan pemerintah melalui regionalisasi perdagangan, penerapan kebijakan strategis pada kegiatan bisnis potensial akan mempengaruhi performansi bisnis dalam menghadapi pasar global. Menurut Ward et al. (1995), lingkungan bisnis yang kompleks dan berubah terus akan menyebabkan manajer dan pengelola perusahaan berusaha terus menyesuaikan diri sehingga pada akhirnya akan memiliki keahlian dalam menyusun strategi bisnisnya dalam bentuk perencanaan yang akurat, implementasi yang efisien dan control yang efektif. Lingkungan bisnis yang dinamis, ketersediaan tenaga kerja, biaya bisnis yang tinggi, kompetisi yang tinggi akan direspon oleh pengelola perusahaan dengan strategi low cost, quality, flexibility dan delivery performance. Sementara itu menurut Okoroafo dan Russow (1993) perubahan lingkungan bisnis dari industri yang dilindungi ke industri dengan persaingan akan meningkatkan keahlian para manajer dalam melakukan riset, modifikasi produk, customer service, promosi, penetapan harga yang bersaing, diversifikasi pasar, transfer pricing, increased capital dan increased reinvestment.

70

Andragogia - Jurnal PNFI / Volume 1 / No 1 - Nopember 2009

Naiknya Rasio harga input dan output akan direspon negatif oleh produsen. Jika harga input meningkat, sementara harga output tetap atau bahkan menurun akan direspon oleh produsen dengan menurunkan penggunaan outputnya. Ini berarti produsen tidak berharap banyak dari hasil usahanya. Motivasinya menurun, pengambilan resikonya juga menurun. Beets (1990); Sadoulet dan Janvry (1995) mengatakan bahwa mudahnya akses modal usaha atau kredit akan direspon oleh produsen dengan meningkatkan penggunaan input-nya sehingga produktivitas bisa meningkat. Produsen yang berada pada struktur pasar persaingan sempurna pasti memiliki respon produksi yang berbeda dengan produsen yang berada pada pasar oligopsoni ketika harga input meningkat. Dukungan pihak luar (misalnya pemerintah) dalam hal pemberian bantuan teknis produksi, bantuan kredit dan bantuan pemasaran akan meningkatkan motivasi mereka dalam berusaha, meningkatkan pengetahuan mereka dan akan memampukan mereka dalam mengelola usahanya. Rasionalisasi efisiensi untuk intervensi pemerintah adalah berdasarkan pada persepsi penentu kebijakan yang beranggapan bahwa dalam mekanisme pasar terdapat sinyal terjadinya ketidakstabilan harga yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan harga secara drastis. Maka akan dibutuhkan campur tangan pemerintah untuk mengatasinya dengan menetapkan harga ataupun membatasi jumlah produksi. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti kompetisi yang tidak sehat, rendahnya daya beli masyarakat, penyelundupan, dan jika menyangkut hajat hidup orang banyak atau kepentingan umum. Pada prinsipnya segala sesuatu yang menyangkut hajat hidup orang banyak tidak dapat dibatasi pemakaiannya dan masa pemakaiannya. Hal ini memiliki konsekuensi bahwa tidak mungkin seorang wirausaha dapat menyediakan kebutuhan ini dan negaralah yang bertanggungjawab dan berkemampuan untuk menyediakannya. Dalam beberapa situasi, negara memiliki kewenangan untuk menentukan pajak dan cukai, menetapkan pajak regional, dan menerbitkan mata uang sendiri. Sesuatu yang menyangkut hajat hidup orang banyak meliputi pembangunan infrastruktur seperti jalanraya dan proyek bendungan, serta penemuan teknologi baru yang tidak dapat dipatenkan. Banyak peneliti sebelumnya yang mengatakan bahwa aspek personal juga merupakan faktor penting pembentuk kewirausahaan petani. Menurut Hisrich dan Peters (1992), aspek personal ini terdiri dari childhood family environment, education, personal value, age, dan work history yang secara bersama-sama menjadi faktor pembentuk kewirausahaan seseorang. Childhood family environment terdiri dari birth order (urutan kelahiran), parents occupation (pekerjaan orang tua) dan social status (status sosial), parental relationship (hubungan dengan orang tua). Urutan kelahiran ini disimpulkan berpengaruh terhadap kesuksesan seorang entrepreneur. Hasil penelitian dari Hisrich dan Brush menemukan bahwa 50 persen dari 408 entrepreneur wanita

71

Andragogia - Jurnal PNFI / Volume 1 / No 1 - Nopember 2009

merupakan anak sulung. Argumentasi yang diajukan adalah anak sulung atau anak tunggal akan mendapat perhatian yang lebih dari orangtua dalam pengembangan kepercayaan diri dan modal sosialnya sehingga mempermudah tumbuhnya kewirausahaan. Dalam hal latar belakang pekerjaan orang tua, banyak peneliti yang mengatakan bahwa pekerjaan orang tua yang entrepreneur, 50 persen lebih akan menghasilkan pula seorang anak yang entrepreneur. Kemudian hubungan dengan orang tua secara umum, apakah pengusaha atau bukan, sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan kewirausahaan seseorang karena orang tua akan mendorong anaknya untuk menjadi independen, maju dan bertanggungjawab (Hisrich dan Candida, 1986). Orang tua yang bekerja secara mandiri atau wiraswasta akan berpengaruh terhadap keputusan anaknya apakah bekerja wiraswasta atau bekerja sebagai pegawai yang diupah. Pengalaman masa kanak-kanak yang didapat dari orangtuanya akan sangat menentukan sikap dia dalam bekerja. Jika orangtuanya berwiraswasta, pilihan pertama anaknya ketika harus bekerja akan jatuh pada pekerjaan berwiraswasta (self employment). Hasil penelitian yang dilakukan penulis di Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Timur menunjukkan bahwa lingkungan individu yang mempengaruhi kewirausahaan adalah sifat keterbukaan, pola asuh orang tua dan pendidikan. Dalam konteks pembangunan kewirausahaan, ketiga aspek ini penting untuk diperhatikan, apalagi jika masyarakatnya berada di pedesaan dengan mata pencaharian utamanya di sektor pertanian. Kapasitas Manajemen. Belum banyak pendapat yang mengatakan bahwa ada hubungan yang erat antara kapasitas manajemen yang dimiliki oleh seseorang dengan kewirausahaannya. Dua hal tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda dalam menjalankan suatu perusahaan. Hasil kajian empiris yang dilakukan oleh penulis menunjukkan bahwa kewirausahaan dan kapasitas manajemen seperti dua sisi dari sekeping mata uang. Bersatu tapi tak sama (Priyanto, 2004). Sementara itu Hoselits mengatakan bahwa ada perbedaan besar antara kegiatan manajerial dan kewirausahaan. Kedua kegiatan tersebut tidak memiliki peranan yang berbeda akan tetapi memiliki motivasi yang berbeda bahkan mereka mungkin mempunyai jenis kepribadian yang berbeda. Kapasitas manajemen berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam menjalankan fungsi-fungsi manajemen seperti perencanaan, pembuatan anggaran, pelaksanaan dan pengendalian kegiatan-kegiatan perusahaan. Kegiatan manajemen lebih bersifat formal, ilmiah dan karenanya bersifat lebih umum. Manajemen lebih berupa alat dan teknik berdasarkan pada pertimbangan dan uji coba rasional yang ditujukan untuk cara-cara penyelesaian masalah yang benar-benar serupa pada berbagai situasi bisnis. Sementara itu kewirausahaan merupakan kegiatan seseorang yang lebih fleksibel, lebih bersifat informal, lebih menekankan intuisi daripada kajian ilimiah dalam mengambil keputusan.

72

Andragogia - Jurnal PNFI / Volume 1 / No 1 - Nopember 2009

Wirausaha yang berhasil biasanya bersifat mandiri, cerdik dan kompetitif. Dalam membuat agenda bisnis seringkali tidak mempertimbangkan pelaku-pelaku lain sehingga ketika perusahaan menjadi besar dan kompleks, seorang wirausaha sulit mengendalikan kegiatan bisnisnya tanpa bersentuhan dengan aspek manajemen. Schumpeter (1934); Kirzner (1973) membuat perbedaan yang jelas bahwa wirausaha membuat keputusan-keputusan strategis, sementara manajer mengerjakan dan menghasilkan tugas-tugas yang lebih rutin. Wirausaha yang memiliki kemampuan mengambil keputusan yang superior akan dapat meningkatkan performansi usaha seperti peningkatan profit dan pertumbuhan usaha (Glancey, et al. 1998). Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah ada hubungan antara kapasitas manajemen yang dimiliki seseorang dengan kewirausahaannya? Kalau merujuk pada beberapa tokoh sukses dalam bisnis, seringkali dapat dilihat bahwa tokoh atau pimpinan tersebut tidak hanya menguasai aspek-aspek manajemen bisnis, namun juga pemimpin perusahaan tersebut biasanya memiliki aspek personal yang sangat kuat seperti dorongan dan motivasi, kapabilitas dan kredibilitas dan biografi yang baik (Rougoor et al. 1998). Ini menunjukkan bahwa sangat sulit memisahkan antara kapasitas manajemen seseorang dan kewirausahaannya dalam menilai kesuksesannya. Kapasitas manajemen yang penuh sangat didukung oleh aspek personal yang kuat dan memadai. Proses pengambilan keputusan seseorang yang menyangkut aspek perencanaan, implementasi dan pengendalian akan sangat ditentukan oleh latar belakang biografi seseorang, kemampuan dan kecakapannya dalam berbisnis dan keinginan dan motivasi yang kuat. Faktor-faktor tersebut sangat banyak ditentukan oleh lingkungan fisik dan lingkungan kelembagaan dimana seseorang tersebut tinggal dan dibesarkan. Faktor-faktor inilah yang membentuk kewirausahaan seseorang. Dengan kata lain, kewirausahaan yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan bisnisnya. Simon dalam Rougoor et al. (1998) mengatakan bahwa proses pengambilan keputusan dibedakan dalam empat fase yaitu intellegence, design, choice dan review. Proses pengambilan keputusan yang lain adalah planning, implementation dan control. Ohlmer et al. (1998) menyatakan bahwa proses pengambilan keputusan terdiri dari 8 fungsi atau elemen yaitu nilai dan tujuan, mendeteksi masalah, mendefinisikan masalah, observasi, analisis, membangun intensi, implementasi dan pembawaan pertanggungjawaban. Mereka membagi delapan elemen tersebut dalam 4 fase dan 4 subproses. Fase tersebut adalah mendeteksi masalah, mendefinisikan masalah, analisis dan memilih, dan implementasi. Kemudian 4 subproses berikutnya adalah pencarian dan peletakan perhatian, planning, evaluating dan choosing, dan checking the choice. Pembuatan keputusan melibatkan pengambilan informasi, evaluasi data, penyusunan masalah, pengembangan hipotesis, evaluasi hipotesis, pemilihan spesifikasi, seleksi kegiatan (Nuthall, 2001). Sementara itu Robbins dan Coulter

73

Andragogia - Jurnal PNFI / Volume 1 / No 1 - Nopember 2009

(1999) menyimpulkan bahwa proses pengambilan keputusan terdiri dari mengindentifikasi masalah, mengidentifikasi kriteria keputusan, memberi bobot pada kriteria, mengembangkan alternatif-alternatif, menganalisis alternatif, memilih satu alternatif dan melaksanakan alternatif tersebut. Dari definisi-definisi tersebut terlihat bahwa pengambilan keputusan merupakan proses rasional yang dilakukan seseorang untuk mengatasi masalah yang ada dengan informasi relevan yang dimilikinya. Untuk membuat perencanaan yang efektif sangat ditentukan oleh pengetahuan, sikap dan kompetensi dari orang yang membuat perencanaan. Dalam melakukan implementasi dan pengendalian manajerial juga sangat ditentukan oleh kompetensi dari orang tersebut. Ini berarti bahwa dalam pengambilan keputusan, kapabilitas dan kecakapannya atau stock of knowledge-nya akan sangat menentukan keberhasilan seseorang dalam pengambilan keputusan. Variasi dalam pengambilan keputusan sangat dipengaruhi oleh kualitas dari orang yang mengambil keputusan. Maier dalam Stoner, 1985 mengatakan bahwa efektifitas pemecahan masalah manajerial sangat ditentukan oleh 2 faktor utama yaitu objective quality of decision dan the acceptance by those who must execute it. Pada kasus pengambilan keputusan yang salah, biasanya pembuat keputusan dipengaruhi oleh emosi dan stres dan tidak peduli dengan kemauan yang kuat. Emosi dapat mempunyai dampak yang penting pada banyak keputusan. Dari sudut pandang Matthew dan Deary (1998), mereka mendiskusikan kecemasan dan keputusan serta menjelaskan dampak neurotisme pada keputusan. Eysenck dan Keane (1990) dengan sama menjelaskan bahwa orang yang putus asa beroperasi dengan berbeda dalam keadaan ini. Lebih jauh lagi McGregor et al, 1995 menemukan bahwa petani Inggris mempunyai pengalaman stres yang luar biasa. Dengan demikian kepribadian, emosi, tingkatan kecemasan mempengaruhi rasionalitas keputusan dan prosesnya (Nuthall, 2001). Glancey et al, 1998, memformulasikan bahwa karakteristik wirausaha akan mempengaruhi praktek-praktek manajerial yang pada akhirnya akan mempengaruhi performansi bisnis. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki kewirausahaan tinggi yang ditandai oleh pengetahuan yang luas, kepribadiannya yang kuat dan memiliki kompetensi teknis, keuangan dan pemasaran, pastilah dia cakap dan mampu dalam mengambil keputusan strategis. Konsep Perbaikan Lingkungan Eksternal Jika memang kewirausahaan penting, lalu apa yang harus kita lakukan? Tahap yang pertama yang harus dilakukan adalah perbaikan terhadap lingkungan eksternal. Lingkungan eksternal merupakan faktor penting dalam pembentukan kewirausahaan. Lingkungan fisik yang subur, aksesabel bagi kegiatan sosial dan ekonomi dimana tersedia jalan, jembatan, listrik, telepon, pasar yang memadai harus diciptakan untuk mendukung pengembangan kewirausahaan.

74

Andragogia - Jurnal PNFI / Volume 1 / No 1 - Nopember 2009

Pasar harus berjalan efisien, sehingga monopoli dalam berbagai bentuk harus dihilangkan. Penciptaan pasar yang efisien, adil dan partisipatif akan memotivasi masyarakat untuk mengalokasikan dan mengintegrasikan sumberdaya yang ada untuk kegiatan sosial, ekonomi dan politik. Perlu diciptakan suku bunga kredit yang kompetitif dan menarik sehingga akan memotivasi masyarakat menciptakan entrepreneurial activities untuk meningkatkan kesejahteraannya. Penerapan pajak barang mewah untuk mobil harus pula dievaluasi. Jika pajak diturunkan, harga mobil akan turun, daya beli naik, permintaan naik, dealer bertambah, tenaga kerja terserap, dan akhirnya terjadi pertukaran barang dan jasa yang lebih cepat dari sebelumnya. Untuk menggerakkan kewirausahaan di sektor pertanian, beri kepastian harga dan kepastian untuk dibeli. Ini akan menginisiasi warga untuk masuk ke sektor pertanian dari hulu sampai hilir. Ini yang dilakukan oleh Raja dan Pemerintah Thailand dan Jepang sehingga pertaniannya maju padahal lahan mereka kalah subur dari Indonesia. Kemudian, memperbaiki persepsi masyarakat akan pembagian kerja yang berstatus, akan sangat penting bagi pembangunan kewirausahaan. Pemahaman kewirausahaan hanya sama dengan pedagang dan pengusaha harus diubah. Kewirausahaan merupakan kegiatan diberbagai bidang yang mengedepankan kepemilikan terhadap visi hidup, dorongan yang kuat, keinginan untuk independen dan selalu ingin maju, kreatif-inovatif, berpengetahuan luas, memiliki keahlian dan memiliki kemampuan memadai menjadi tema besar untuk dikembangkan sehingga kewirausahaan akan tercipta. Mencetak pengusaha saja tidak akan mengatasi persoalan pembangunan. Pengembangan Konsep Pendidikan Kewirausahaan Kedua, perlu segera mendisain Pendidikan Kewirausahaan. Entrepreneurship merupakan hasil interaksi, integrasi dan refleksi ide, ekspektasi, dan aktivitas satu orang dengan lainnya. Aspek-aspek tersebut merupakan dimensi inti dari entrepreneurial competence. Pembelajaran dengan tujuan untuk meningkatkan interaksi, integrasi dan refleksi dapat meningkatan pertumbuhan individu. Jika pendidikan dan latihan kewirausahaan didasarkan pada aspek tujuan pembelajaran pertumbuhan individu, kita sedang melakukan pengembangan entrepreneurship pedagogy dan dapat mendukung entrepreneurial activities. Metode Pendidikan dan pelatihan kewirausahaan harus diarahkan untuk mendukung inisiatif dan kreatifitas, mengakuisisi struktur pengalaman dalam pembelajaran yang dialami dan menyediakan laboratorium untuk belajar dan berkreasi. Pendekatan yang digunakan harus berbeda dengan pendekatan tradisional (lecturer style teaching) dan harus diganti dengan metode action learning approach.

75

Andragogia - Jurnal PNFI / Volume 1 / No 1 - Nopember 2009

Pendidikan kewirausahaan perlu diarahkan pada pengembangan kompetensi yang dapat digunakan dalam bekerja dan hidup. Oleh karena itu pengembangan kurikulum pendidikan kewirausahaan jangan hanya terbatas pada studi bisnis saja, namun harus menyediakan juga kesempatan mengembangkan berbagai proyek dan kegiatan, kondisi persaingan dan makro ekonomi yang mempengaruhi berbagai hal. Interaksi sosial dan budaya perlu juga dimasukkan dalam kurikulum, mulai dari SD sampai PT. Pengembangan pendidikan kewirausahaan merupakan persoalan yang kompleks. Oleh karena itu model triple helix harus digunakan untuk mengatasi kompleksitas pendidikan kewirausahaan. Ketiga pihak seperti perguruan tinggi, pengusaha dan pemerintah bisa bekerjasama untuk menghasilkan sistem pendidikan kewirausahaan yang handal. Ada empat tujuan dalam pendidikan kewirausahaan yaitu pendidikan motivasional, pendidikan pengetahuan, pendidikan keahlian (skill) dan pengembangan kemampuan (ability). Oleh karena itu sistem pendidikan, kurikulum dan metode harus diarahkan untuk mencapai 4 tujuan tersebut. Pendidikan kewirausahaan paling awal akan terjadi pada lingkungan keluarga. Pada level ini, sistem pola asuh menjadi sangat penting. Pola asuh dan upaya untuk membangun sikap motivasional dan meningkatkan faktor kognisi bisa dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari penanaman visi hidup, belajar berusaha, ikut kursus sesuai dengan bidang minat dan kemampuannya dan pendampingan terus-menerus untuk mencoba pengalaman-pengalaman baru secara naratif maupun dramatik. Sejak awal, orang tua harus menanamkan pendidikan kewirausahaan pada anak-anak mereka, dengan mengembangkan sikap terbuka. Jangan ini, jangan itu, awas, hati-hati, adalah cara mendidik yang harus diubah dengan pembimbingan dan pendampingan, bukan pelarangan dan ancaman. Kurikulum ini harus didukung dengan sistem pengajaran yang membangun inspirasi, kreasi dan pemaknaan hidup, bukan sistem pengajaran hafalan. Sistem evaluasi belajar juga harus diubah dari hanya sistem tes pengetahuan saja ditambah dengan sistem yang menguji perubahan motivasional yang terjadi pada peserta didik. Materi Ujian nasional seperti yang telah diterapkan selama ini, tidak akan mampu meningkatkan jiwa kewirausahaan peserta didik. Pendidikan bisa dimulai dari Pendidikan Usia Dini, kemudian dilanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi seperti SD, SMP, SMA dan PT. Masing-masing tingkatan pendidikan harus memiliki kurikulum pendidikan kewirausahaan. Perlu disusun pendidikan kewirausahaan bagi masyarakat sehingga sikap motivasioanalnya dan aspek kognisinya meningkat. Upaya ini bisa dilakukan oleh para social entrepreneur seperti LSM. Perguruan Tinggi, Perusahaan, Pemerintah dan pihak-pihak lain yang memiliki hati untuk mengembangkan social entrepreneurship. Pemberian bantuan baik dari pemerintah dan swasta harus membangun jiwa kewirausahaan masyarakat, bukan malah sebaliknya,

76

Andragogia - Jurnal PNFI / Volume 1 / No 1 - Nopember 2009

menciptakan ketergantungan dan jiwa meminta-minta yang akut di masyarakat. Pendirian Sekolah Negeri yang dengan tujuan memberi akses pendidikan, namun justru menyebabkannya Sekolah Swasta tutup, harus dievaluasi keberadaannya. Kedepan, program pemerintah harus diarahkan agar supaya peran swasta dan masyarakat semakin tinggi. Peran pemerintah perlu dikembalikan pada corenya seperti regulator, fasilitator, dinamisator dan motivator bagi masyarakat. Peran swasta lambat laun ditingkatkan sehingga pada akhirnya akan tercipta efisiensi dan produktivitas. Efisiensi ekonomi harus diciptakan secara riil bukan semu sehingga akan menyebabkan welfare gain bagi masyarakat. Pemerintah yang mandiri bukan diukur dari banyaknya BUMD dan PAD yang didapat, tapi seberapa besar pajak yang diperoleh dari aktivitas ekonomi masyarakat. Jika demikian adanya, masyarakat akan memiliki sikap motivasional yang tinggi, yang merupakan salah satu the backbone ot entrepreneurship masyarakat. Pada level organisasi/perusahaan, sistem rekrutmen harus diarahkan tidak hanya memenuhi formasi, namun harus juga digunakan untuk mengetahui potensi pekerja tersebut. Dengan mengetahui potensi, perusahaan bisa mengembangkan pekerja tersebut sesuai dengan potensinya. Sejak awal, juga perlu dijelaskan tentang mimpi karir yang bisa dicapai oleh pekerja jika dia bisa berprestasi tinggi, termasuk juga dengan sistem renumerasinya. Peluang untuk pendidikan dan pelatihan serta pengembangan pekerja perlu juga diberikan kepada pekerja untuk membangun sikap motivasional dan aspek kognisinya. Peranan dan arahan dari pemimpin, menjadi faktor penting dalam pembentukan kewirausahaan dari pekerja. Pemberian target merupakan tantangan yang bisa memunculkan kewirausahaan pada pekerja. Pemberian penghargaan yang fair, tepat waktu dan terbuka akan menghasilkan motivasi bagi pekerja. Sementara itu, tiadanya sistem hukuman yang fair, terbuka dan konsisten justru akan mendemotivasi pekerja. Oleh karena itu, perlu juga dibuat aturan dan hukuman yang jelas dan dilaksanakan secara adil, konsisten dan konsekuen. Tabel 3. Konsep Pendidikan Kewirausahaan

77

Andragogia - Jurnal PNFI / Volume 1 / No 1 - Nopember 2009

Penutup Prinsip dasar dalam pendidikan kewirausahaan adalah mereka harus dibuat tertarik dan termotivasi, kedua mereka harus bisa dibuat melihat adanya kesempatan untuk bisnis yang menguntungkan (opportunity factors), ketiga, mereka harus memiliki beberapa keahlian seperti social skill, indutrial skill, organizasional skill dan strategic skill. Nama program yang bisa dikembangkan seperti Entrepreneurship Orientation and Awareness Programs, New Enterprise Creation Programs dan Survival and Growth Programs for Existing Entrepreneurs. Pihak-pihak yang bisa dilibatkan dalam hal ini adalah media masa, lembaga pendidikan, pemerintah, perusahaan, lembaga swadaya masyarakat dan pihak-pihak lain yang memiliki minat besar dalam pengembangan kewirausahaan. Targetnya mulai dari anak-anak, para wanita dan ibu-ibu, orang muda, para karyawan, dan pengangguran. Para partner ini bersama-sama dengan masyarakat harus membangun entrepreneurial culture sehingga pembangunan kewirausahaan bisa terjadi. Kita harus bersama membangun nilai, norma dan ekspektasi baru mengenai kewirausahaan. Bangsa kita harus diarahkan menjadi bangsa yang independen, kreatif, memiliki mimpi, terbuka dan berani mencoba dan memiliki stocks of knowledge yang memadai sehingga akan dihasilkan invensi, inovasi, kreasi dan ide-ide baru guna mengembangkan sumberdaya yang ada disekitar kita. Jika ini terjadi, kita boleh berharap bangsa kita menjadi bangsa yang mampu dan maju. Pustaka Anderson, Dennis, 2002. Small Scale Industry in Developing Countries: A Discussion of the Issue. World Development 10 (11). Amstrong, Harvey dan Jim Taylor, 2000. Regional Economics and Policy (Third Edition), New York. Barth, F. (1967). On the Study of Social Change. American Anthropologist, pp. 661-668. Baron, R. A. and Markman, G. D. 2003. Beyond Social Capital: The Role Of Entrepreneurs Social Competence in Their Financial Success. Journal of Business Venturing. Vol.18 (1), pp. 41-60. Baumol, W.J. (1993). The Entrepreneur in Economic Theory, Entrepreneurship Management and the Structure of Pay-offs. Boston: MIT Press, Chapter 1, pp. 1-24. Baum, J. Robert, Edwin A. Locke dan Ken G. Smith, 2001. A Multidimensional Model Of Venture Growth. Academic Management Journal. Vol. 44. No.2, 292-303. Beets, Willem C., 1990. Raising and Sustaining Productivity of Smallholder Farming Systems in the Tropics. AgBe Publishing, Holland Brown, Rosemary, Joe Hayton, Christopher Sandy, and Peter Brown. (1976). Small

78

Andragogia - Jurnal PNFI / Volume 1 / No 1 - Nopember 2009

Businesses: Strategy for Survival. London: Wilton House Publications. Cantillon, R. (1755). Premire partie, Essai sur la nature du commerce en gnral. London: MacMillan, 1931, Chapters 1-15, pp. 2-66. Collins, C., Locke, E. and Hanges, P. 2000. The Relationship of Need for Achievement to Entrepreneurial Behavior: a Meta-analysis. Working paper, University of Maryland, College,MD. Downing, Stephen (2005). The social construction of entrepreneurship: narrative and dramatic processes in the coproduction of organizations. Entrepreneurship: Theory and Practice, March, 2005. Durkheim, Emile. (1966). Suicide: A Study in Sociology. Translation. Glencoe, Ill: Free Press. Entrepreneurship and Small Business Office, Industry Canada. (1997). Small Business Quarterly. Ottawa. Eysenck, M. E. and Keane, M. T. (1990). Cognitive Psychology A Students Handbook. Erlbanm Associates, London. Filion, L. J. (1997). From Entrepreneurship to Entreprenology. Paper presented at 42nd ICSB World Conference, June, San Francisco, 1997. Gartner, William B. (1985). A Conceptual Framework for Describing the Phenomena of New Venture Creation. Academy of Management Review 10: 696-706. Hagen, E. (1960). The Entrepreneurs as Rebel Against Traditional Society. Human Organization 19(4): 185-187. Kets de Vries, M. (1977). The Entrepreneurial Personality: A Person at the Crossroads. Journal of Management Studies 14(1): 34-47. Knight, F.H. (1921). Enterprise and Profit, Risk, Uncertainty, and Profit. Chicago: University of Chicago Press, Chapter 9, pp. 264-290. Gibb, A.A. 1997. Small firms training and competitiveness. Building on the small business. International Small Business Journal, Vol. 15 (3), pp. 13-29. Henderson, N. 1993. Action Learning : A Missing Link in Management Development. Personnel Review, Vol.22 (6), pp. 14-24. Lambing, Peggy dan Charles R. Kuehl, 2000. Enterpreneurship. Second Edition. Prentice Hall, Inc. New Jersey, USA. Lee, D.Y., and Tsang, E.W.K. 2001. The Effects of Entrepreneurial Personality Background and Network Activities on Venture Growth. Journal of Management Studies. Vol. 38 (4). pp. 583-602. Leitch, C.M., and Harrison, R.T. 1999. A process Model for Entrepreneurship Education and Development. International Journal of Entrepreneurial Behavior & Research. Vol. 5 (3), pp. 83-109. Locke, E. A. (2000a). Motivation, cognition and action: an analysis of studies of task goals and knowledge. Applied Psychology: An International Review, 49, 408429. Liebenstein, H. (1968). Entrepreneurship and Development. American Economic

79

Andragogia - Jurnal PNFI / Volume 1 / No 1 - Nopember 2009

Review 58: Gartner, William B. (1985). A Conceptual Framework for Describing the Phenomena of New Venture Creation. Academy of Management Review 10: 696-706. Glancey, Keith, Malcolm Greig dan Malcolm Pettigrew, 1998. Entrepreneurial Dynamics in Small Business Service Firms. International Journal Of Enterpreneurial Behaviour & Research Vol. 4 No. 3, 249-268. Ghosh, B.C., Tan Wee Liang, Tan Teck Meng, Ben Chan,1998. The Key Success Factors, Distinctive Capabilities, and Strategis Thrusts of Top SMEs in Singapore. Journal of Business Research 51, 209-221. Hagen, E. (1960). The Entrepreneurs as Rebel Against Traditional Society. Human Organization 19(4): 185-187. Hisrich, RD. and Michael P. Peters. 1992. Entrepreneurship, Starting, Developing, and Managing a New Enterprise 2nd edition. Irwin. USA. Kirzner, I. (1973). The Entrepreneur, Competition and Entrepreneurship. Chicago: University of Chicago Press, Chapter 2, pp. 30-87. Matthew, G. and Deary, I. J. (1998). Personality Trait. Cambridge University Press, Cambridge. Mazzarol, Tim, Thierry Volery, Noelle Doss dan Vicki Thein, 1999. Factors Influencing Small Business Start-Ups. International Journal Of Enterpreneurial Behaviour & Research Vol. 5 No. 2, 48-63. McClelland, David C. (1961). Entrepreneur Behavior and Characteristics of Entrepreneurs. The Achieving Society. McGregor, J., Willock, J. and Deary, I. (1995). Farmer Stress. Farm Manage, 9 (2) 57-65. Minniti, M., and Bygrave, W. 2001. A Dynamic Model of Entrepreneurial Learning. Entrepreneurship Theory and Practice. Spring. Munford, A. 1995. Learning Style and Mentoring. Industrial and Commercial Training. Vol. 27 (8), pp. 4-7. Nuthall, P.L, 2001. Managerial Ability A Review of Its Basis and Potential Improvement Using Psychological Concepts. Agricultural Economic 24 247262 Ohlmer, Bo, Kent Olson dan Berndt Brehmer, 1998. Understanding Farmersdecision Processes and Improving Managerial Assistance. Agriculture Economis, 18, 273-290. Okoroafo, Sam dan Lloyd C. Russow, 1993. Impact of Marketing Strategy on Performance: Empirical Evidence from a Liberalized Developing Country. International Marketing review Vol. 10 No. 1, 4 12. Parsons, T. and N.J. Smelser (1956). Economy and Society. Glencoe, Ill: Free Press. Priyanto, Sony Heru, 2002. Pengembangan Kewirausahaan dan Kapasitas Manajemen pada UKM Pertanian. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Dian

80

Andragogia - Jurnal PNFI / Volume 1 / No 1 - Nopember 2009

Ekonomi. Vol. III No. 3, 401-427. Priyanto, Sony Heru dan Iman Sandjojo (2005). Relationship between entrepreneurial learning, entrepreneurial competencies and venture success: empirical study on SMEs. Int. J. Entrepreneurship and Innovation Management, Vol. 5, Nos. 5/6, 2005 Proshansky, Harold M., William H. Ittelson, Leanne G. Rivlin, 1970. Environmental Psychology: Man and His Physical Setting. Holt, Rinehart and Winstone, Inc. Rae, D. 2000. Understanding entrepreneurial learning : A Question of How? International Journal of Entrepreneurial Behavior and Research, Vol. 6 (3), pp. 145-159. Sadoulet, Elisabeth, Alain de Janvry. 1995. Quantitative Development Policy Analysis. The Johns Hopkins University Press, Baltimore and London. Schumpeter, Josept A. (1934). In theory of Economic Development: an Inquiry into Profits, Capital, Credit, Interest, and The Business Cycle., Oxford University Press, New York. Schumpeter, J.A. (1965). Economic Theory and Entrepreneruial History in H.C. Aitken, Explorations in Enterprise. Cambridge, Harvard University Press, pp 45-64. Schumpeter, J.A. (1961). Entrepreneurial Profit, The Theory of Economic Development. Cambridge: Harvard University Press, Chapter 4, pp. 128156. Scott Shane, Edwin A. Locke Christopher J. Collins (2003). Entrepreneurial Motivation. Human Resource Management Review 13 (2003) 257279 Storey, David. (1982). Entrepreneurship and the New Firm. New York: Praeger. Sulivan, R. 2000. Entrepreneurial Learning and Mentoring. International Journal of Entrepreneurial Behavior & Research. Vol. 6 (3), pp. 160-175. Ulrich, T.A. and Cole, G. S. 1987. Toward More Effective Training of Future Entrepreneurs. Journal of Small Business Management. Vol. 25 (4). Pp. 32.39. Ward, Peter T., Rebecca Duray, G. Keong Leong dan Chee Chuong Sum, 1995. Business Environment, Operations Strategy and Performance: An Empirical Study of Singapore Manufacturers. Journal of Operation management 13, 99-115. Watts, G. , Cope, J. and Hulme, M. 1998. Ansoffs matrix, pain and gain : growth strategies and adaptive learning among small food producers, International Journal of Entrepreneurial Behavior and Research, Vol.4 (2), pp. 101-11.
1 2

Penulis adalah Guru Besar Fakultas Pertanian & Bisnis UKSW Salatiga. Pola asuh Demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau

81

Andragogia - Jurnal PNFI / Volume 1 / No 1 - Nopember 2009

pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak. Orang tua tipe ini juga memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan, dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat. Pola asuh otoriter sebaliknya cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman. Misalnya, kalau tidak mau makan, maka tidak akan diajak bicara. Orang tua tipe ini juga cenderung memaksa, memerintah, menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan oleh orang tua, maka orang tua tipe ini tidak segan menghukum anak. Orang tua tipe ini juga tidak mengenal kompromi, dan dalam komunikasi biasanya bersifat satu arah. Orang tua tipe ini tidak memerlukan umpan balik dari anaknya untuk mengerti mengenai anaknya. Pola asuh Permisif atau pemanja biasanya meberikan pengawasan yang sangat longgar. Memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya. Mereka cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka. Namun orang tua tipe ini biasanya bersifat hangat, sehingga seringkali disukai oleh anak. Pola asuh tipe yang terakhir adalah tipe Penelantar. Orang tua tipe ini pada umumnya memberikan waktu dan biaya yang sangat minim pada anak-anaknya. Waktu mereka banyak digunakan untuk keperluan pribadi mereka, seperti bekerja, dan juga kadangkala biayapun dihemat-hemat untuk anak mereka. Termasuk dalam tipe ini adalah perilaku penelantar secara fisik dan psikis pada ibu yang depresi. Ibu yang depresi pada umumnya tidak mampu memberikan perhatian fisik maupun psikis pada anak-anaknya

82

You might also like