You are on page 1of 4

A.

Awal Berdirinya Mataram Setelah berhasil ditaklukannya Arya Penangsang dari Jipan, Sultan Hadiwijaya memberikan hadiah pada dua orang yang dianggap berperan besar dalam penaklukan Arya Penangsang. Dua orang itu adalah Ki Pamanahan dan Ki Penjawi. Ki Pamanahan dijanjikan Tanah Hutan Mataram, sedangkan Ki Penjawi mendapatkan tanah di Pati. Setelah Sultan Hadiwijaya memberikan tanah di Pati pada Ki Penjawi, tidak begitu dengan tanah di Hutan Mataram yang dijanjikan pada Ki Pamanahan. Tanah itu tak juga sampai di tangan Ki Pamanahan secara legal. Hingga akhirnya ia melakukan tapa sebagai wujud kekecewaannya pada Sultan Hadiwijaya. Hal tersebut diketahui oleh Sunan Kalijaga yang pada akhirnya menjadi penengah bagi perkara antara Ki Pamanahan dengan Sultan Hadiwijaya. Dari pembicaraan mereka bertiga, akhirnya terungkap bahwa Sultan Hadiwijaya ternyata takut dengan adanya ramalan Sunan Giri bahwa di Mataram kelak akan muncul seorang penguasa besar seperti halnya Sultan Hadiwijaya. Karena itu, Sunan Kalijaga meminta janji kesetiaan Ki Pamanahan kepada Sultan. Dan akhirnya Ki Pamanahan berjanji untuk setia pada Sultan, namun tidak demikian halnya dengan keturunannya kelak. Semenjak itulah tanah Mataram yang tadinya hanyalah sebuah hutan nan lebat kini dirubah oleh Ki Pamanahan menjadi sebuah perkampungan bagi keturunan Sela. Kemajuan Mataram yang pesat membuat banyak orang dari luar masuk ke Mataram. Tanahnya yang subur, sungai-sungai yang terdapat banyak ikan serta hewan yang mudah didapatkan membuat Mataram menjadi lumbung makanan bagi siapa saja (Komandoko, 2009:952). Kerajaan Mataram berdiri pada tahun 1582, kerajaan ini terletak di sebelah tenggara Yogyakarta yakni Kota Gede.

1. Panembahan Senapati Setelah Ki Pamanahan wafat, putra tertua Ki Pamanahan yaitu Danang Sutawijaya diangkat menjadi pemimpin baru Mataram dengan

nama Senapati ing Alaga. Senapati merupakan seseorang yang gagah berani dan mahir benar di dalam peperangan. Berdirinya Mataram diperkirakan pada tahun 1582. Pada masa pemerintahan Senapati di mulailah pembangkangan-pembangkangan yang mengisyaratkan inginnya Mataram pisah dengan Keraton Pajang yang dipimpin oleh Sultan Hadiwijaya. Hal itu ditandai dengan bersatunya dua wilayah Pajang yaitu, Kedu dan Pagelen, pembangunan pagar-pagar pelindung Mataram, penanaman beringin kurung di depan kademangan Mataram, perombakan kademangan Mataram, perebutan Temenggung Mayang yang akan diasingkan ke Asem Arang (Komandoko, 2009:169). Lebih-lebih lagi ia menunjukkan politik expansinya. Bentrokan pertama terjadi pada tahun 1586, yaitu dengan Surabaya. Namun peperangan urung terjadi karena dicegah oleh Sunan Giri. Surabaya tidak ditundukkan, tapi bersedia mengakui kekuasaan Senapati. Selanjutnya Senapati mulai menaklukkan daerah-daerah lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam tahun 1595 ia berhasil memaksa Cirebon dan Galuh mengakui kekuasaannya. Senapati wafat di tahun 1601, dan dimakamkan di Kota Gede (Soekmono,1973:5556). 2. Panembahan Seda ing Krapyak Mas Jolang atau Panembahan Seda ing Krapyak merupakan pengganti Senapati ing Alaga yang berkuasa selama 12 tahun. Pada masa pemerintahan Mas Jolang banyak terjadi pemberontakan, mula-mula Demak bangkit, diikuti oleh Ponorogo, hingga Surabaya melakukan hal yang sama. Tidak mau mengakui kedaulatan Mataram lagi. Mas Jolang menduduki Mojokerto, merusak Gresik, dan membakar banyak desa di sekitar Surabaya. Namun Surabaya tetap bertahan, tidak lama setelah itu Mas Jolang wafat pada tahun 1613 di Krapyak dan dimakamkan di Kota Gede (Soekmono, 1973:56) 3. Sultan Agung Mas Jolang wafat digantikan oleh Adipati Martapura, karena didesak terus dan sering sakit-sakitan akhirnya Adipati Martapura menyerahkan tahtanya pada Raden Rangsang, saudaranya. Di bawah pemerintahannya (1613-1645) Mataram mengalami kejayaan sebagai kerajaan yang terhormat dan disegani tidak hanya di Jawa tapi juga pulau lainnya. Raden Rangsang lebih popular dengan julukan Sultan Agung (Soekmono, 1973:56). Gelar sultan yang disandang oleh Sultan Agung menunjukkan bahwa ia mempunyai kelebihan dari raja-raja sebelumnya, yaitu

panembahan Senopati dan Panembahan Seda Ing Krapyak. Ia dinobatkan sebagai raja pada tahun 1613 pada umur sekitar 20 tahun, dengan gelar Panembahan. Pada tahun 1624, gelar Panembahan diganti menjadi Susuhunan atau Sunan. Pada tahun 1641, Agung Hanyakrakusuma menerima pengakuan dari Mekah sebagai sultan, kemudian mengambil gelar selengkapnya Sultan Agung Hanyakrakusuma Senopati Ing Alaga Ngabdurrahman. Karena cita-cita Sultan Agung untuk memerintah seluruh pulau jawa, kerajaan Mataram pun terlibat dalam perang yang berkepanjangan baik dengan penguasa-penguasa daerah, maupun dengan kompeni VOC yang mengincar pulau Jawa. Dengan penaklukanpenaklukan tersebut, Mataram menjadi kerajaan yang sangat kuat secara militer. Pada tahun, 1627, seluruh pulau jawa kecuali kesultanan Banten dan wilayah kekuasaan kompeni VOC di Batavia ttelah berhasil dipersatukan di bawah mataram. Di samping dalam bidang politik dan militer, Sultan Agung juga mencurahkan perhatiannya pada bidang ekonomi dan kebudayaan. Upayanya antara lain memindahkan penduduk Jawa Tengah ke Kerawang, Jawa Barat, di mana terdapat sawah dan ladang yang luas serta subur. Sultan Agung juga berusaha menyesuaikan unsur-unsur kebudayaan Indonesia asli dengan Hindu dan Islam. Misalnya Garebeg disesuaikan dengan hari raya Idul Fitri dan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sejak itu dikenal Garebeg Puasa dan Garebeg Mulud. Pembuatan tahun Saka dan kitab filsafat Sastra Gendhing merupakan karya Sultan Agung yang lainnya. Menjelang akhir hayatnya. Sultan Agung menerapkan peraturan yang bertujuan mencegah perebutan tahta, antara keluarga raja dan putra mahkota. Di bawah kepemimpinan Sultan Agung, Mataram tidak hanya menjadi pusat kekuasaan, tapi juga menjadi pusat penyebaran ,Yogyakarta. 4. Amangkurat I Setelah Sultan Agung wafat, pemerintahan jatuh di tangan anaknya yang bergelar Amangkurat I. Amangkurat I tidak mewarisi sifat-sifat ayahnya. Pemerintahannya yang berlangsung tahun 1645-1676 diwarnai dengan banyak pembunuhan/kekejaman. Pada masa pemerintahannya ibukota kerajaan Mataram dipindahkan ke Kerta. islam. Sultan agung meninggal pada Februari 1646. ia dimakamkan di puncak Bukit Imogiri, Bantul

Pada tahun 1674 pecahlah Perang Trunajaya yang didukung para ulama dan bangsawan, bahkan termasuk putra mahkota sendiri. Ibukota Kerta jatuh dan Amangkurat I (bersama putra mahkota yang akhirnya berbalik memihak ayahnya) melarikan diri untuk mencari bantuan VOC. Sunan Amangkurat I menyingkir hingga meninggal karena sakit dalam pelariannya di Wanayasa, Banyumas utara. Bagaimanapun buruknya Amangkurat I, beliau tetap mempunyai karya besar. Dalam bidang arsitektur, sunan membuat istana baru di Plered (selatan Kuta Gede) dengan konsep pulau ditengah laut. Pembangunan istana Mataram tersebut dilandasi oleh sifatnya yang tidak mau kalah dengan keberhasilan sang ayah.

You might also like