You are on page 1of 12

Aditya S.A., dan Denny A.

, Identifikasi Kadar Debu di Lingkungan Kerja

IDENTIFIKASI KADAR DEBU DI LINGKUNGAN KERJA DAN KELUHAN SUBYEKTIF PERNAFASAN TENAGA KERJA BAGIAN FINISH MILL Identification of Dust Concentration at Working Environment and Workers Respiratory Disorders in Finish Mill
1 1 Aditya Surya Atmaja dan Denny Ardyanto 1)

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Surabaya (denny_ard@unair.ac.id)

Abstract : The objectives of this research were to measure total dust concentration in Finish Mill PT. Semen Gresik (Persero) Tbk., Gresik and to identify respiratory disorders at worker. This was a descriptive study with cross sectional approach. Data collection by measured total dust concentration at Top Silo and under Mill using Low Dust Volume Sampler and High Dust Volume Sampler and also interview the workers by questioners. The result showed that the total dust concentration still under TLV. Workers respiratory disorders were cough and sneezing, happened to worker who were 5059 years old, 26 30 years of work period, had smoking habit and sometime used masker. It was recommended that the company have to measure dust concentration using Personal Dust Sampler, implement job rotation in Finish Mill, and campaign about stop smoking and always using masker while their working to the workers. Keywords : dust concentration, finish mill, respiratory disorders PENDAHULUAN Kemajuan sektor industri di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun, peningkatan ini sejalan dengan peningkatan taraf ekonomi negara. Dengan pesatnya perkembangan dan kemajuan pembangunan di bidang industri memberikan dampak positif dan negatif. Dampak negatif pada tenaga kerja salah satunya adalah timbulnya gangguan pada saluran pernafasan karena terpapar oleh bahan yang dihasilkan selama proses produksi seperti debu. Debu adalah partikel padat yang dapat dihasilkan oleh manusia atau alam dan merupakan hasil dari proses pemecahan suatu bahan (Mukono, 1997). Sedangkan menurut Hidayat (2000), debu adalah partikel padat yang terbentuk dari proses penghancuran, penanganan, grinding, impaksi cepat, peledakan dan pemecahan dari material organik atau anorganik seperti batu, bijih metal, batubara, kayu dan

161

162

JURNAL KESEHATAN LINGKUNGAN, VOL.3, NO.2, JANUARI 2007 : 161 - 172

biji-bijian. Istilah debu yang digunakan di industri adalah menunjuk pada partikel yang berukuran antara 0,1 sampai 25 mikron. Timbulnya debu sebagai hasil samping dari proses produksi ini harus sedapat mungkin dicegah dan dikendalikan. Hal ini sesuai dengan Undang Undang No. 1 Tahun 1970 Pasal 3 Ayat 1 Huruf G, tentang Syarat Syarat Keselamatan Kerja, berbunyi : Mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebarluasnya suhu, kelembaban, debu, kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara dan getaran. Pada lingkungan kerja debu berpotensi menimbulkan: (a) gangguan kesehatan, antara lain gangguan hidung dan tenggorokan yang dapat mengakibatkan selesma dan infeksi lain atau kanker hidung, gangguan paru akibat bronchitis, emphysema, pneumoconiosis, asma atau kanker; (b) peledakan, jenis debu yang termasuk antara lain debu tepung, karet batubara dan debu metal, misalnya aluminium, bisa meledak jika berada dalam ruang terbatas; (c) pengaruh terhadap produktivitas kerja dan menyebabkan kerusakan produk. Tempat kerja yang berdebu menyebabkan pelaksanaan kerja menjadi lebih sulit dan bisa merusak produk atau mesin. Berbagai debu industri seperti debu yang berasal dari pembakaran arang batu, semen, keramik, besi, penghancuran logam dan batu, asbes dan silika dengan ukuran 3-10 mikron akan ditimbun di paru. Efek yang lama dari paparan ini menyebabkan paralysis cilia, hipersekresi dan hipertrofi kelenjar mucus. Keadaan ini meyebabkan saluran napas rentan terhadap infeksi dan timbul gejala batuk menahun yang produktif (Yunus, 1991). Penyakit paru kerja adalah penyakit atau kerusakan pada paru yang disebabkan oleh debu, asap, gas berbahaya yang terhisap oleh para pekerja di tempat kerja mereka. Berbagai penyakit paru kerja dapat terjadi akibat paparan zat, seperti debu serta gas yang timbul pada proses industrialisasi. Pekerja yang berhubungan dengan zat tersebut dapat menderita kanker paru setelah paparan yang lama, yaitu antara 15 sampai 25 tahun (Yunus, 1991). Debu termasuk penyebab penyakit akibat kerja (PAK) dari faktor kimia, terutama disebabkan oleh masuknya debu melalui jalan pernafasan. Menurut Siswanto (1991c) faktor yang menentukan besarnya gangguan kesehatan akibat debu, antara lain: (a) Kadar debu di udara. Makin tinggi kadar debu, makin cepat menimbulkan gangguan kesehatan dan kenikmatan dalam bekerja; (b) Ukuran atau diameter debu. Debu yang berdiameter kecil akan dapat masuk jauh ke dalam alveoli, sementara yang besar akan tertahan pada cilia di saluran pernafasan atas; (c) Sifat debu. Debu mempunyai sifat inert, fibrogenik dan karsinogenik; (d) Reaktifitas debu. Debu organik kurang reaktif namun dapat menyebabkan reaksi iritasi; (d) Cuaca kerja. Lingkungan yang panas dan kering, mendorong timbulnya debu

Aditya S.A., dan Denny A., Identifikasi Kadar Debu di Lingkungan Kerja

163

dan debu yang terbentuk dalam keadaan panas akan menjadi lebih reaktif; (e) Lama waktu papar. Debu dapat menimbulkan kelainan paru dalam jangka waktu cukup lama; (f) Kepekaan individu. Bentuk kepekaan seseorang sangat berbeda antara satu dengan yang lain. Kepekaan disini tidak hanya dalam bidang morfologis, namun juga dalam bidang fisiologis dan iritasi. Pemaparan akibat debu sangat berbahaya, antara lain mempunyai 3 respon yang berbeda, yaitu respon allergic atau atopi (hay fever pada saluran pernafasan) dan pemaparan yang menahun dapat menyebabkan Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD), respon perubahan immunologic pada jaringan paru dan pada perubahan tersebut dapat terjadi secara permanen. Penyakit yang disebabkan oleh ketiga respon tersebut dikenal sebagai allergic alveolitis atau hypersensitivitas pneumonitis (Siswanto, 1991b). Berdasarkan penelitian yang terdahulu, bahwa jenis keluhan subyektif pada saluran pernafasan tenaga kerja antara lain adalah batuk, hidung tersumbat, nyeri tenggorokan, dan sesak napas dengan keterangan bahwa responden memilih lebih dari satu keluhan. PT. Semen Gresik (Persero) Tbk. di Gresik, merupakan perusahaan yang bergerak pada industri semen dan bahaya potensial yang terdapat adalah debu. Bagian penggilingan (Finish Mill) merupakan daerah yang paling banyak menghasilkan debu dan memiliki jumlah tenaga kerja yang banyak, sehingga risiko gangguan kenyamanan dalam bekerja serta gangguan terhadap saluran pernafasan dari bagian ini juga cukup banyak. Perumusan masalah dalam penelitian ini, adalah berapakah kadar debu total (total dust) dan apa sajakah keluhan subyektif pernafasan tenaga kerja di Bagian Finish Mill PT. Semen Gresik (Persero) Tbk. di Gresik ? Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur kadar debu total dan mengidentifikasi keluhan subyektif pernafasan tenaga kerja bagian Finish Mill PT. Semen Gresik (Persero) Tbk. di Pabrik Gresik. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan dilakukan secara cross sectional. Pengambilan data dilakukan di PT. Semen Gresik (Persero) Tbk. yang berlokasi di Gresik. Sasaran penelitian adalah kadar debu dan tenaga kerja di bagian Finish Mill PT. Semen Gresik (Persero) Tbk. Populasi penelitian sebesar 47 orang. Sampel dipilih berdasarkan status tenaga kerja, yaitu tenaga kerja tetap, sehingga besar sampel penelitian adalah sebesar 24 orang. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kadar debu adalah besar secara kuantitas serpihan benda akibat adanya tekanan yang melayang di udara. Pengukuran kadar debu menggunakan selulosa filter paper diameter 55 mm dua

164

JURNAL KESEHATAN LINGKUNGAN, VOL.3, NO.2, JANUARI 2007 : 161 - 172

buah untuk alat Low Volume Dust Sampler (LVDS) dan selulosa filter paper diameter 110 mm dua buah untuk alat High Volume Dust Sampler (HVDS), untuk satu lokasi pengukuran. Debu yang tertangkap pada filter paper ditimbang dan kadar debu total dihitung dengan rumus :
( X2 X1 ) ( Y2 Y1 ) C = Fxt Keterangan : 3 C = kadar debu total (mg/m ) X2 - X1 = berat filter paper sampel sesudah sebelum perlakuan (mg) Y2 - Y1 = berat filter paper kontrol sesudah sebelum perlakuan (mg) t = waktu (menit) F = flowrate (liter per menit) X 1000

Keluhan subyektif pernafaan adalah perasaan tidak nyaman yang terkait dengan kesehatan dalam hal menghirup udara yang dirasakan individu tenaga kerja. Data ini diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner. HASIL DAN PEMBAHASAN PT. Semen Gresik (Persero) Tbk. mulai membangun pabrik semen di Gresik pada tahun 1955 dengan kontraktor dari Amerika Serikat. Pabrik ini berdiri di atas lahan seluas 412 Ha, berada di Desa Sidomoro, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik. Semen yang dihasilkan terdiri dari 3 jenis yaitu; Ordinary Portland Cement (OPC) atau Semen Portland Type 1, Portland Pozzoland Cement (PPC) dan Semen jenis SBC. 1. Kadar Debu di Bagian Finish Mill Pabrik semen merupakan pabrik yang menggunakan tanah liat dan batu kapur dalam jumlah yang cukup banyak, maka kontaminan atau polutan yang paling banyak adalah dalam bentuk debu. Debu yang dihasilkan dapat mencemari lingkungan kerja tetapi juga di luar lingkungan kerja (Mulyono, 1996). Pengukuran kadar debu dilakukan pada pukul 09.30 WIB dan pukul 10.00 WIB. Pengukuran dilakukan pada 2 titik di bagian Finish Mill, yaitu di unit Top Silo dan di bawah Mill. Data lengkap mengenai hasil pengukuran kadar debu, dapat dilihat pada Tabel 1.

Aditya S.A., dan Denny A., Identifikasi Kadar Debu di Lingkungan Kerja

165

Tabel 1. Hasil Pengukuran Kadar Debu di Bagian Finish Mill PT. Semen Gresik (Persero) Tbk., Gresik, Maret 2006. Lokasi Top Silo Bawah Mill Metode LVDS HVDS LVDS HVDS Kadar Debu Total di Udara 3 (mg/m ) 1,18 1,67 0,00 2,73

Berdasar Tabel 1 dapat diketahui bahwa kadar debu total (total dust) di Finish Mill PT. Semen Gresik (Persero) Tbk., Gresik, unit Top 3 Silo, dengan menggunakan alat LVDS adalah 1,18 mg/m dan alat 3 HVDS adalah 1,67 mg/m , sedangkan di bawah Mill, dengan 3 menggunakan alat LVDS adalah 0 mg/m dan alat HVDS adalah 2,73 3 mg/m . Hasil pengukuran kadar debu dengan menggunakan alat LVDS dan HVDS belum dapat disebut sebagai kadar debu yang terhirup oleh tenaga kerja (respirable dust) karena debu yang terukur adalah debu yang tidak lolos paper filter ukuran 55 mm untuk LVDS dan debu yang tidak lolos paper filter ukuran 110 mm untuk LVDS dimana hasil pengukuran tersebut merupakan kadar debu total yang ada di lingkungan kerja. Ukuran debu yang dapat menimbulkan gangguan pernafasan memiliki ukuran lebih kecil dari 10 mikron. Semakin kecil ukuran debu, letak penimbunannya pada saluran pernafasan juga semakin dalam. Sebagai gambaran, hal yang perlu diperhatikan mengenai ukuran debu dan letak penimbunannya dalam saluran pernafasan, yaitu (Yunus, 1991) : 1. Partikel dengan ukuran 5 10 mikron, akan tertahan dan tertimbun oleh saluran pernafasan atas. 2. Partikel dengan ukuran 3 5 mikron, akan tertahan dan tertimbun oleh saluran pernafasan bagian tengah. 3. Partikel dengan ukuran 1 3 mikron, akan tertahan dan tertimbun oleh alveoli paru. 4. Partikel dengan ukuran 0,1 0,5 mikron, berdifusi dengan gerak brown keluar masuk alveoli, bila membentur alveoli, maka akan tertimbun di alveoli. 5. Partikel dengan ukuran kurang dari 0,1 mikron, tidak mudah mengendap di alveoli. Namun, berdasarkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. 01 tahun 1997 tentang Nilai Ambang Batas (NAB) Faktor Kimia di Udara Lingkungan Kerja, NAB kadar debu yang mengganggu 3 kenikmatan kerja adalah 10 mg/m dimana debu tersebut tidak mengandung asbes dan kandungan silika bebas < 1 %. Maka dari hasil pengukuran kadar debu tersebut, diperoleh bahwa secara

166

JURNAL KESEHATAN LINGKUNGAN, VOL.3, NO.2, JANUARI 2007 : 161 - 172

keseluruhan kadar debu total yang terukur di bagian Finish Mill masih dibawah NAB kadar debu total yang diperkenankan. 2. Keluhan Subyektif Pernafasan Tenaga Kerja di Bagian Finish Mill Berdasar wawancara terhadap tenaga kerja mengenai gangguan paparan debu di tempat kerja, 12 (50 %) tenaga kerja berpendapat bahwa paparan debu di tempat kerjanya agak mengganggu. Distribusi pendapat tenaga kerja mengenai gangguan paparan debu di tempat kerjanya ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2. Distribusi Frekuensi Pendapat Tenaga Kerja Mengenai Gangguan Paparan Debu di Bagian Finish Mill PT. Semen Gresik (Persero) Tbk., Gresik, Maret 2006. Pendapat Tenaga Kerja Sangat Mengganggu Agak Mengganggu Tidak Mengganggu Jumlah Frekuensi 9 12 3 24 Persentase (%) 37,5 50,0 12,5 100,0

Selain pendapat mengenai rasa terganggu dengan adanya paparan debu di lingkungan kerjanya, tenaga kerja juga ditanya mengenai keluhan subyektif akibat paparan debu di lingkungan kerjanya terhadap saluran pernafasannya. Hasil mengenai keluhan subyektif tersebut disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Distribusi Frekuensi Tenaga Kerja Menurut Keluhan Subyektif Saluran Pernafasan di Bagian Finish Mill PT. Semen Gresik (Persero) Tbk., Gresik, Maret 2006. Keluhan Subyektif Pernafasan Ada Keluhan Tidak ada Keluhan Jumlah Frekuensi 21 3 24 Persentase (%) 87,5 12,5 100,0

Debu semen, jika ditinjau dari segi bahayanya terhadap kesehatan manusia, termasuk golongan nuisance dust, yakni debu yang hanya mengganggu kenikmatan kerja dan tidak menyebabkan terjadinya fibrosis tetapi hanya menyebabkan endapan pada hidung (Siswanto, 1991b). Debu yang tidak menyebabkan fibrosis dinamakan debu inert. Namun belakangan diketahui bahwa tidak ada debu yang benar-benar inert. Dalam dosis besar, semua debu bersifat merangsang dan dapat menimbulkan reaksi pada tubuh walaupun

Aditya S.A., dan Denny A., Identifikasi Kadar Debu di Lingkungan Kerja

167

reaksi tersebut ringan (Yunus, 1991). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang tersaji pada Tabel 3, dimana 87,5% tenaga kerja mengalami keluhan subyektif pada saluran pernafasannya akibat paparan debu di tempat kerjanya. Macam keluhan akibat paparan debu terhadap saluran pernafasan yang diderita oleh tenaga kerja adalah batuk, hidung tersumbat, nyeri tenggorokan, sesak nafas, bersin dan nyeri dada. Distribusi macam gangguan saluran pernafasan disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Distribusi Frekuensi Tenaga Kerja Mengenai Macam Keluhan Subyektif Saluran Pernafasan di Bagian Finish Mill PT. Semen Gresik (Persero) Tbk., Gresik, Maret 2006. Macam Keluhan Subyektif Saluran Pernafasan Batuk Hidung Tersumbat Nyeri Tenggorokan Sesak Nafas Bersin Nyeri Dada Frekuensi 13 9 9 5 15 6 Persentase (%) 54,2 37,5 37,5 20,8 62,5 25,0

Berdasar Tabel 4, diketahui bahwa keluhan subyektif saluran pernafasan yang paling banyak diderita oleh tenaga kerja adalah bersin, yaitu sebanyak 15 (62,5%) orang, sedangkan keluhan subyektif saluran pernafasan yang paling sedikit diderita adalah sesak nafas yaitu, sebanyak 5 (20,8%) orang. Keluhan tersebut merupakan manifestasi suatu mekanisme pertahanan tubuh yang penting dari saluran pernafasan dan paru. Bersin merupakan suatu reflek perlindungan yang disebabkan oleh masuknya partikel asing ke dalam tubuh melalui saluran pernafasan, sehingga tubuh secara alamiah akan berusaha mengeluarkannya. Mekanisme ini sangat penting untuk membersihkan saluran pernafasan bagian atas. Penyebab bersin adalah inhalasi debu dan benda asing. Batuk merupakan suatu refleksi perlindungan yang disebabkan karena iritasi, akibat masuknya partikel asing ke dalam saluran pernafasan, dimana reaksi ini merupakan reaksi yang lebih dalam daripada mekanisme terjadinya bersin. Mekanisme batuk ini penting untuk untuk membersihkan saluran pernafasan bagian bawah. Berdasar wawancara, diketahui bahwa waktu timbulnya keluhan subyektif saluran pernafasan dirasakan tenaga kerja paling banyak adalah pada saat bekerja, yaitu 14 (66,7%) orang, dan yang merasakannya saat di rumah, hanya sebanyak 3 (14,3%) orang. Selengkapnya tersaji pada Tabel 5.

168

JURNAL KESEHATAN LINGKUNGAN, VOL.3, NO.2, JANUARI 2007 : 161 - 172

Tabel 5. Distribusi Frekuensi Waktu Timbulnya Keluhan Subyektif Saluran Pernafasan yang Dirasakan Tenaga Kerja di Bagian Finish Mill PT. Semen Gresik (Persero) Tbk., Gresik, Maret 2006. Waktu Timbulnya Keluhan Subyektif Pernafasan Saat Bekerja Saat Istirahat Saat di Rumah Jumlah Frekuensi 14 4 3 21 Persentase (%) 66,7 19,0 14,3 100,0

3. Distribusi Silang antara Karakteristik Tenaga Kerja dengan Keluhan Subyektif Saluran Pernafasan Pada bagian ini, dikupas lebih lanjut mengenai keluhan subyektif saluran pernafasan dengan karakteristik tenaga kerja yang meliputi umur, masa kerja, kebiasaan merokok dan kebiasaan menggunakan alat pelindung diri (APD) berupa masker yang disediakan oleh PT. Semen Gresik (Persero) Tbk., Gresik. Tabel 6. Distribusi Silang Keluhan Subyektif Saluran Pernafasan menurut Umur Tenaga Kerja di Bagian Finish Mill PT. Semen Gresik (Persero) Tbk., Gresik, Maret 2006.
Keluhan Subyektif pada Saluran Pernafasan Umur (tahun) 30 39 40 49 50 59 Total Ada Persentase Jumlah (%) 3 12,5 7 29,2 11 45,8 21 87,5 Tidak Ada Persentase Jumlah (%) 1 4,2 0 0,0 2 8,3 3 12,5 Total Jumlah 4 7 13 24 Persentase (%) 16,7 29,2 54,1 100,0

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tenaga kerja sebagian besar berumur 50-59 tahun sebanyak 13 (54,1%) orang, dari 13 orang tersebut sebanyak 11 (45,8%) orang mengalami keluhan subyektif saluran pernafasan yaitu. Hasil selengkapnya tersaji pada Tabel 6. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, tenaga kerja sebagian besar memiliki masa kerja 2630 tahun, yaitu sebanyak 12 (50,0%) orang, dari 12 orang tersebut sebanyak 10 (41,7%) orang mengalami keluhan subyektif saluran pernafasan. Hasil selengkapnya tersaji pada Tabel 7.

Aditya S.A., dan Denny A., Identifikasi Kadar Debu di Lingkungan Kerja

169

Tabel 7. Distribusi Silang Keluhan Subyektif Saluran Pernafasan menurut Masa Kerja Tenaga Kerja di Bagian Finish Mill PT. Semen Gresik (Persero)Tbk., Gresik, Maret 2006.
Masa Kerja (tahun) 11 15 16 20 21 25 26 30 31 35 Total Keluhan Subyektif pada Saluran Pernafasan Ada Tidak Ada Persentase Persentase Jumlah Jumlah (%) (%) 2 8,3 1 4,2 1 4,2 0 0 3 12,5 0 0 10 41,7 2 8,3 5 20,8 0 0 21 87,5 3 12,5 Total Jumlah 3 1 3 12 5 24 Persentase (%) 12,5 4,2 12,5 50,0 20,8 100,0

Menurut Siswanto (1991a), bahwa pertambahan usia seseorang akan mempengaruhi jaringan pada tubuh. Fungsi elastisitas jaringan paru berkurang, sehingga kekuatan bernafas menjadi lemah, akibatnya volume udara pada saat pernafasan akan menjadi lebih sedikit. Sifat elastisitas paru tidak berubah pada usia 7-39 tahun, tetapi ada kecenderungan menurun setelah usia 25 tahun dan penurunan ini terlihat nyata setelah usia 30 tahun. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang tersaji pada Tabel 6 yang menunjukkan bahwa pada kisaran usia yang paling tua yang paling banyak mengalami keluhan subyektif saluran pernafasan. Demikian pula, bagi tenaga kerja yang bekerja dengan paparan debu selama bertahuntahun akan mengalami kelainan paru (Siswanto,1991b). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 7, bahwa semakin lama masa kerja semakin banyak presentase tenaga kerja yang mengalami keluhan subyektif saluran pernafasan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, tenaga kerja yang memiliki kebiasaan merokok dan mengalami keluhan subyektif pernafasan adalah sebanyak 12 (50,0%) orang. Tenaga kerja yang tidak memiliki kebiasaan merokok dan mengalami keluhan subyektif pernafasan sebanyak 9 (37,5%) orang. Hasil selengkapnya tersaji pada Tabel 8. Tabel 8. Distribusi Silang Keluhan Subyektif Saluran Pernafasan menurut Kebiasaan Merokok Tenaga Kerja di Bagian Finish Mill PT. Semen Gresik (Persero) Tbk., Gresik, Maret 2006.
Kebiasaan Merokok Merokok Tidak Merokok Total Keluhan Subyektif pada Saluran Pernafasan Ada Tidak Ada Persentase Persentase Jumlah Jumlah (%) (%) 12 50,0 1 4,2 9 21 37,5 87,5 2 3 8,3 12,5 Total Jumlah 13 11 24 Persentase (%) 54,2 45,8 100,0

170

JURNAL KESEHATAN LINGKUNGAN, VOL.3, NO.2, JANUARI 2007 : 161 - 172

Menurut Amstrong (1992), bahwa asap rokok dapat memperlambat gerakan cilia dan setelah jangka waktu tertentu akan menyebabkan gerak cilia menjadi lumpuh. Seseorang yang mempunyai kebiasaan merokok akan lebih mudah menderita radang paru. Tenaga kerja hendaklah berhenti merokok terutama bila bekerja pada tempat yang mempunyai risiko kanker paru, karena asap rokok dapat mempertinggi risiko timbulnya penyakit (Yunus, 1991). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian bahwa presentase tenaga kerja yang merokok dan mengalami keluhan subyektif saluran pernafasan cukup besar (Tabel 8). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tenaga kerja yang memiliki kebiasaan selalu memakai masker dan tidak mengalami keluhan subyektif pernafasan sebanyak 2 (8,3%) orang. Namun ditemui bahwa besar tenaga kerja memiliki kebiasaan hanya kadang kadang memakai masker, yaitu 21 (87,5%) orang dan yang mengalami keluhan subyektif pernafasan sebanyak 20 (83,3%) orang. Hasil selengkapnya tersaji pada Tabel 9. Menurut Siswanto (1991a), kebiasaan menggunakan masker akan mengurangi pemaparan debu dalam paru, alat tersebut berfungsi sebagai penyaring udara pernafasan, sehingga kelainan paru dapat dihambat. Pada Tabel 9 menunjukkan bahwa, tenaga kerja yang selalu menggunakan masker, lebih dari 50% tidak mengalami keluhan pernafasan. Tabel 9. Distribusi Silang Keluhan Subyektif Saluran Pernafasan menurut Kebiasaan Memakai Masker Tenaga Kerja di Bagian Finish Mill PT. Semen Gresik (Persero) Tbk., Gresik, Maret 2006.
Kebiasaan Memakai Masker Selalu Kadang kadang Total Keluhan Subyektif pada Saluran Pernafasan Ada Persentase Jumlah (%) 1 4,2 20 21 83,3 87,5 Tidak Ada Persentase Jumlah (%) 2 8,3 1 3 4,2 12,5 Total Jumlah 3 21 24 Persentase (%) 12,5 87,5 100,0

KESIMPULAN DAN SARAN Disimpulkan bahwa kadar debu di Bagian Finish Mill PT. Semen Gresik (Persero) Tbk., Gresik masih di bawah NAB yang ditetapkan. Namun terdapat 50% tenaga kerja merasa bahwa paparan debu agak mengganggu, 87,5% tenaga kerja menderita

Aditya S.A., dan Denny A., Identifikasi Kadar Debu di Lingkungan Kerja

171

keluhan subyektif saluran pernafasan. Macam keluhan subyektif saluran pernafasan yang diderita adalah bersin (62,5%) dan batuk (54,2%). Berdasarkan karakteristik umur tenaga kerja, umur 50 59 tahun paling banyak menderita keluhan subyektif saluran pernafasan (45,8%), tenaga kerja dengan masa kerja 26 30 tahun paling banyak menderita keluhan subyektif saluran pernafasan, 50% tenaga kerja yang memiliki kebiasaan merokok menderita keluhan subyektif saluran pernafasan dan 83,3% tenaga kerja yang tidak disiplin mengenakan masker menderita keluhan subyektif saluran pernafasan. Disarankan bahwa perusahaan melakukan rotasi tenaga kerja yang memiliki umur di atas 50 tahun dan masa kerja di atas 25 tahun ke bagian lain yang tidak terpapar debu. Tenaga kerja dihimbau untuk mengurangi kebiasaan merokok dan perusahaan mengadakan penyuluhan tentang bahaya merokok terhadap kesehatan. Perusahaan hendaknya melakukan kontrol yang tegas bagi tenaga kerja yang tidak memakai masker. DAFTAR PUSTAKA Departemen Tenaga Kerja R.I. 1970. Undang-Undang No. 01 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja. Jakarta : Depnaker. Departemen Tenaga Kerja R.I. 1997. Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. 01. Tahun 1997 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Kimia di Lingkungan Kerja. Jakarta : Depnaker. Hidayat, S. 2000. Dasar Dasar Toksikologi Industri. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Surabaya : Universitas Airlangga. Mukono, H.J. 1997. Pencemaran Udara dan Pengaruhnya Terhadap Gangguan Saluran Pernafasan. Surabaya: Airlangga University Press. Mulyono. 1996. Pengendalian Lingkungan Kerja. Disampaikan pada Kegiatan Pelatihan K3 Bagi Karyawan PT. Semen Gresik (Persero) Tbk. Surabaya, Bagian K3 FKM Unair. Surabaya. Siswanto, A. 1991a. Kesehatan Kerja. Surabaya : Balai Hiperkes dan Keselamatan Kerja Depnaker. Siswanto, A. 1991b. Penyakit Paru Kerja. Surabaya : Balai Hiperkes dan Keselamatan Kerja Depnaker.

172

JURNAL KESEHATAN LINGKUNGAN, VOL.3, NO.2, JANUARI 2007 : 161 - 172

Siswanto, A. 1996c. Penyakit Akibat Debu Silika. Surabaya : Balai Hiperkes dan Keselamatan Kerja Depnaker. Amstrong, S. 1992. Pengaruh Rokok Terhadap Kesehatan. Diterjemahkan oleh M.Tjandrasa. Jakarta : Penerbit Arcan. Yunus, F. 1991. Diagnosa Penyakit Paru Kerja. Cermin Dunia Kedokteran No. 70 : 18 23.

You might also like