You are on page 1of 4

AMBRUKNYA ATAP TERMINAL MANGKANG

Peristiwa ambruknya atap terminal mangkang yang terjadi pada bulan November tahun 2007 merupakan sebuah kejadian yang tidak dapat diduga bisa terjadi. Pasalnya pembangunan terminal mangkang yang melibatkan PT. Aditya Group telah sesuai dengan prosedur yang ada. Melewati proses pelelangan yang semestinya dilakukan dan sesuai dengan undang undang jasa konstrusi yang berlaku. Apakah kejaian tersebut merupakan sebuah kegagalan konstruksi atau merupakan sebuah kegagalan non-konstruksi? Kita belum tahu bagaimana kiranya. Menurut kabar beritanya, poryek terminal mangkang merupakan sebuah proyek yang berada dalam tanda tanya besar. Dari proses lelang hingga pengerjaannya patut dipertanyakan. Dilihat dari proses lelang yang menuai banyak kontroversi, dapat menjadi sebab dari kegagalan suatu proyek. Nilai dari lelang yang dinilai rendah menunjukkan bahwa kualitas atau mutu yang akan diperoleh juga rendah. Ini dapat dilihat dari Keputusan Presiden (Kepres) No.80 tahun 2003 tentang pelaksanaan lelang konstruksi, yang menjadikan penawar terendah menjadi pemenang lelang. Hal ini menjadi salah satu faktor mutu

bangunan yang akan dikerjakan itu rendah. Dengan demikian tidak serta merta peristiwa ambruknya atap terminal mangkang menjadi sebuah kegagalan konstruksi. Dari ssegi perencaanaannya dapat dipertanyakan juga. Mengapa dapat terjadi kegagalan dalam pelaksanaannya. Disini kita tahu, jika kita mendesain sesuatu perlu dipikirkan matang matang dalam perhitungannya. Harus memikirkan setiap detail perhitungan sebelum detail itu dikerjakan menjadi sebuah gambar. Ketelitian dalam mendesain perlu diperhatikan. Jangan sampai terjadi sebuah kegagalan dalam konstruksinya. Namun apa daya, jika seorang perencana terbatas terhadap biaya. Kembali lagi dari proses lelang sebelumnya. Penetapan pagu anggaran yang terendah membuat para perencana hanya dapat mendesain apa adanya. Dengan mutu yang lebih rendah dari semestinya. Bukan hanya itu, kontraktor juga ikut andil dalam tersebut. Kegagalan juga dapat terjadi ketika proses pelaksanaannya tidak memenuhi syarat yang ditentukan. Yang seharusnya dilakukan sebaik mungkin malah dilakukan dengan tidak wajar. Sebagai kontraktor harusnya dapat melakuan pekerjaan dengan baik. Karena sudah terikat kontrak saat pelelangan sebelumnya. Dengan adanya kontrak ini kontraktor tidak dapat bilang bahwa harga yang ditawarkan tidak masuk akal. Karena kontraktor telah menyanggupinya. Dalam hal ini, dapat ditarik kesimpulan jika dari awal penyelenggaraan pelelangan telah terjadi kesalah. Namun tidak serta merta menyalahkan pengguna jasa, akan tetapi pihak lain juga ikut bertanggung jawab di dalamnya. Sesuai UU No.18 tahun 1999 BAB VI tentang Kegagalan Bangunan yang dapat dinyatakan terlibat dalam ambruknya atap terminal mangkang dan bertanggung jawab atasnya, antara lain: pengguna jasa (pemerintah), penyedia jasa (konsultan dan kontraktor) tercantum dalam pasal 25 ayat 1 Pengguna jasa dan penyedia jasa wajib bertanggung jawab atas kegagalan bangunan. Dan seharusnya dalam proses pelelangan harus dilakukan dalam posisi terbuka. Sehingga timbul kewajaran di dalam prosesnya. Seperti dengan penetapan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang wajar sesuai dengan keahlian dan dapat dipertanggung jawabkan. Baik itu oleh pengguna jasa maupun penyedia jasa. Hal tersebut juga telah diatur dalam kepres No.80 tahun 2003 pada bagian keempat tentang Penyusunan Harga Perkiraan Sendiri yang isinya:

1. Pengguna barang/jasa wajib memiliki harga perkiraan sendiri (HPS) yang dikalkulasikan secara keahlian dan berdasarkan data yang dapat

dipertangungjawabkan. 2. HPS disusun oleh panitia/pejabat pengadaan dan ditetapkan oleh pengguna barang/jasa. 3. HPS digunakan sebagai alat untuk menilai kewajaran harga penawaran termasuk rinciannya dan untuk menetapkan besaran tambahan nilai jaminan pelaksanaan bagi penawaran yang dinilai terlalu rendah, tetapi tidak dapat dijadikan dasar untuk menggugurkan penawaran. 4. Nilai total HPS terbuka dan tidak bersifat rahasia. 5. HPS merupakan salah satu acuan dalam menentukan tambahan nilai jaminan. Dengan demikian antara pengguna jasa dan penyedia jasa dapat menemukan titik temu dengan harga yang wajar. Dan tidak memberatkan bagi kedua belah pihak. Selain itu, mutu dari sebuah pekerjaan konstruksi dapat sesuai dengan apa yang diinginkan. Tanpa mengalami sebuah kegagalan konstruksi.

TUGAS ASPEK HUKUM PEMBANGUNAN

FAKULTAS TEKNIK JURUSAN SIPIL UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2010

You might also like