You are on page 1of 16

ACARA II KERUSAKAN BAHAN PANGAN OLEH MIKROBIA A.

Tujuan Dalam praktikum acara II ini bertujuan untuk mempelajari tipe-tipe kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas mikrobia. B. Tinjauan Pustaka Pembuatan larutan suspensi spora mikrobia dilakukan dengan cara membiakkanmikrobia tersebut dalam medium pda suhu 35oC-37oC sehingga terbentuk spora. Biakan mikrobia yang telah membentuk spora ini dipanen dengan cara mengerok permukaan medium dengan ose/sengkelit steril dan melarutkannya dalam air suling steril. Pusingngkan larutan spora tersebut. Pertumbuhan koloni mikrobia yang terjadi pada setiap cawan dihitung jumalahnya setelah diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam. Di dalam perhitungan ini, kerapatan pertumbuhan koloni harus dipertimbangkan (Haryati, 2000). Pertumbuhan jasad renik dapat ditentukan secara kuantitatif dengan metode langsung maupun tidak langsung. Pengukuran pertumbuhan secara lansung dapat dilakukan dengan bermacam-macam cara, misalnya dengan menghitung jumlah sel menggunakan Petroff Hausser Bacteria Counter atau Hemasitometer, atau dengan mengukur kepekatan selnya menggunakan spetrofotometer. Jumlah sel dapat dihitung secara langsung jika jasad renik tersebut ditumbuhkan dalam medium cair. Dalam perhitungan secara langsung semacam ini, yang terhitung adalah jumlah total jasad renik yang masih hidup maupun yang sudah mati (Retan, 2004). Jika pertumbuhan jasad renik diikuti secara teratur dengan selang waktu tertentu, dan hasil perhitungannya kemudan diplot sebagai grafik, maka umumnya akan diperoleh pola pertumbuhan yang spesifik. Pada awal pertumbuhan, sel akan beradaptasi terlebih dahulu dengan medium pertumbuhannya sehingga grafiknya relatif datar. Fase pertumbuhan ini

disebut fase lag (fase adaptasi). Panjang fase lag tergantung pada macam jasad renik dan kondisi pertumbuhannya, misalnya komposisimedium, faktor lingkungan, dan sebagainya (Bloom, 2000). Tergantung pada jenis bahan pangan, suhu yang terlalu rendah atau terlalu tinggi dapat mempercepat kerusakan bahan pangan. Oleh karena itu, jika proses pendinginan atau proses pemanasan tidak dikendalikan dengan benar, maka dapat menyebabkan kerusakan bahan pangan. Beberapa jenis buah-buahan dan sayuran akan mengalami kerusakan yang disebut chilling injury atau kerusakan karena suhu rendah yang mengakibatkan perubahan warna atau tekstur cepat menjadi lunak (Widodo, 2005). Bakteri, ragi dan kapang merupakan penyebab kerusakan bahan makanan yang cukup serius di Indonesia ini. Hal ini didukung oleh cuaca di Indonesia yang panas, tetapi lembab. Cuaca semacam ini justru mendukung kehidupan bakteri, ragi dan kapang. Bakteri termofilik dapat hidup pada suhu 45oC hingga 55oC, kemudian bakteri mesofilik dapat hidup dalam kisaran suhu yang sering dialami di Indonesia ini, yaitu antara 20oC hingga 45oC. Bakteri-bakteri ini dapat membentuk spora untuk mempertahankan hidupnya (Rizky, 1999). Kerusakan bahan pangan dapat disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut : pertumbuhan dan aktivitas mikroba terutama bakteri, kapang, khamir, aktivitas enzim-enzim di dalam bahan pangan, serangga, parasit dan tikus, suhu termasuk oksigen, sinar dan waktu. Mikroba terutama bakteri, kapang dan khamir penyebab kerusakan pangan yang dapat ditemukan dimana saja baik di tanah, air, udara, di atas bulu ternak dan di dalam usus. Salah satu upaya untuk mencegah kerusakan bahan pangan dilakukan proses pengawetan misalkan penggaraman, pengeringan, pengasapan, pembekuan. Pada umumnya proses penggaraman menggunakan larutan garam tetapi dalam hal lain juga menggunakan tawas (Al2(SO4) H2O), karena pada prinsipnya sifat yang dimiliki oleh garam juga dimiliki oleh tawas. Ini terbukti bahwa garam dapat

menghambat pertumbuhan bakteri dengan membentuk larutan isotonik (Helmiyati, 2010). Penggunaan bahan kimia sebagai bahan tambahan pada makanan saat inisering ditemui pada makanan dan minuman. Salah satu bahan tambahan pada makanan adalah pengawet bahan kimia yang berfungsi untuk memperlambat kerusakan makanan baik yang disebabkan mikroba pembusuk, bakteri, ragi maupun jamur dengan cara menghambat, mencegah, menghentikan proses pembusuan dan fermentasi dari bahan makanan. Garam nitrit dan nitrat mekanismenya belum diketahui, tetapi didua bahwa nitrit bereaksi dengan gugus sulfihidril dan membentuk garam yang tidak dapat dimetabolisme oleh mikroba dalam keadaan anaerob. Pembentukan ntroksida akan banyak bila hanya menggunakan garam nitrir, karena biasanya digunakan campuran garam nitrat dan garam nitrit (Husni, 2007). Bakteri gram negatif mempunyai ketahanan yang lebih baik terhadap senyawa antimikroba dibandingkan bakteri gram positif. Bakteri gram memiliki sistem seleksi terhadap zat-zat asing yaitu pada lapisan lipopolisakarida. Dinding sel bakteri gram positif relatif lebih sederhana sehingga mmudahkan senyawa antimikroba untuk masuk ke dalam sel dan menemukan sasaran untuk bekerja. Sedangkan struktur dinding sel bakteri gram negatif relatif lebih kompleks, berlapis tiga yaitu lapisan luar yang berupa lipoprotein, lapisan tengah yang berupa lipopolisakarida dan lapisan dalam peptidoglikan (Rahayu, 2001). Perhitungan jumlah suatu bakteri dapat melalui berbagai macam uji seperti uji kualitatif koliform yang secara lengkap terdiri dari tiga tahap yaitu uji penduga (uji kuantitatif, bisa dengan metode MPN), uji penguat dan uji pelengkap. Waktu, mutu sampel, biaya, tujuan analisis merupakan beberapa faktor penentu dalam uji kualitatif koliform. Bakteri koliform dapat dihitung dengan menggunakan metode cawan petri (metode perhitungan secara tidak langsung yang didasarkan pada anggapan bahwa setiap sel yang dapat hidup akan berkembang menjadi satu koloni yang

merupakan suatu indeks bagi jumlah organisme yang dapat hidup yang terdapat pada sampel) (Kussaga, 2009). Pertumbuhan suatu mikroorganisme pada suatu bahan pangan membentuk suatu kurva hiperbola menghadap ke bawah (berbentuk lonceng). Mikroorganisme mengalami 5 tahap. Tahap pertama adalah tahap adaptasi dimana mikroorganisme melakaukan suatu perubahan untuk tidak melakukan dormansi. Tahap kedua adalah fase pertumbuhan. Fase ini adalah fase ketika mikroorganisme mengalami penambahan jumlah secara eksponensial. Tahap selanjutnya adalah tahap statis. Jumlah mikroorganisme yang bertambah sama dengan jumlah bakteri yang mati karena karena jumlah stok bahan pangan yang menjadi sumber energi untuk melakukan reproduksi berkurang. Kemudian, bakteri memasuki fase mengarah kepada kematian karena stok makanan berkurang. Pada akhirnya, mikroorganisme mengalami fase kematian ketika jumlah bakteri berkurang secara negatif eksponensial (Mazumber, 2011). C. Metodologi 1. Alat a. Pengoles / cotton bud b. Cawan petridish steril c. Erlemeyer d. Drigalski e. Bunsen f. Pipet volume 2. Bahan a. Aquades steril b. Ikan segar (pagi dan 1 hari) c. Jus buah (pagi dan 1 hari) d. Susu segar (pagi dan 1 hari) e. Larutan fisiologis steril

3. Cara Kerja Diambil masing-masing 1 ml bahan (jus, susu), dimasukkan ke dalam 9 ml larutan fisiologis steril. Untuk pengambilan sampel ikan dengan metode oles 2 cm x 2 cm, dimasukkan ke dalam 10 ml larutan fisiologis steril.

Digojog supaya tersuspensi homogen.

Diamkan sebentar supaya partikel-partikel padatannya mengendap

Dibuat 1 seri pengenceran untuk sampel segar/pagi: 1:100, 1:1000, 1: 10.000 Dibuat 1 seri pengenceran untuk sampel 1 hari : 1:100, 1:1000, 1: 10.000, 1:100.000, 1:1.000.000

Diinokulasi secara antiseptik 1 ml suspensi dari tiga pengenceran terakhir ke dalam petrisdish dan dibuat ulangannya (2 ulangan ) Dituangkan ke dalam petridish cairan medium potato dextrose agar.

Diinkubasi pada suhu kamar selama 2 hari.

Dihitung koloni yang pada masing-masing petridish, dimasukkan dalam tabel pengamatan

D. Hasil dan Pembahasan Tabel 2.1


Kel. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Tabulasi Data Kerusakan Bahan Mentah oleh Mikrobia


Bau Amis Amis Busuk Bau buah jambu segar Jambu busuk Susu sapi Asam, basi Amis, tidak sedap Menyengat, tidak sedap segar Menyengat Amis Kecut Warna Hitam Putih pucat Merah muda Merah kecoklatan Putih susu Atas = putih keruh Bawah = putih kental pucat pucat Merah muda Merah muda Putih kekuningan Busa + +++ + +++ + ++ Kekentalan + ++ +++ + ++ +++ + ++ ++

Bahan Ikan Lele (pagi) Ikan Lele (1 hari) Jus Jambu Segar (pagi) Jus Jambu (1 hari) Susu Segar (pagi) Susu Segar (1 hari) Ikan Lele Segar (pagi) Ikan Lele (1 hari) Jus Segar (pagi) Jus (1 hari) Susu Segar (pagi) Susu (1 hari)

Sumber : Laporan Sementara Keterangan: (-) tidak ada; (+) sedikit; (++) agak banyak; (+++) banyak Pembahasan : Praktikum acara II, kerusakan bahan pangan oleh mikrobia bertujuan mempelajari tipe-tipe keruskan yang disebabkan oleh aktivitas mikrobia. Pada acara ini, untuk mengamati kerusakan bahan pangan oleh mikrobia yang disebabkan oleh aktivitas mikrobia dilakukan dengan menggunakan bahan ikan segar, jus buah, dan susu segar dimana masing-masing sampel terdiri dari kategori ikan pagi dan satu hari. Sampel jus san susu kemudian masing-masing diambil 1 ml bahan, dimasukkan ke dalam 9 ml larutan fisiologis steril. Sedangkan untuk sampel ikan diambil dengan metode oles 2 cm x 2 cm, dimasukkan ke dalam 10 ml larutan fisiologis steril. Bahan makanan selain merupakan sumber gizi bagi manusia, juga merupakan sumber makanan bagi mikroorganisme. Pertumbuhan mikroorganisme dalam bahan pangan dapat menguntungkan maupun merugikan seperti menyebabkan perubahan yang menguntungkan, perbaikan bahan pangan secara gizi, daya cerna ataupun daya simpannya. Selain itu pertumbuhan mikroorganisme dalam bahan pangan juga dapat mengakibatkan perubahan fisik atau kimia yang tidak diinginkan, sehingga bahan pangan

tersebut tidak layak dikomsumsi. Hal ini biasanya terjadi pada pembusukan dan kerusakan bahan pangan. Kerusakan bahan pangan merupakan perubahan karakteristik fisik dan kimiawi suatu bahan makanan yang tidak diinginkan atau penyimpangan dari karakteristik normal. Karakteristik fisik meliputi sifat organoleptik seperti warna, bau, tekstur, bentuk. Karakteristik kimiawi meliputi komponen penyusunnya seperti kadar air, karbohidrat, protein, lemak, mineral, vitamin, pigmen dsb. Pada praktikum acara ini pengamatan untuk mengetahui terjadinya kerusakan bahan pangan dilakukan secara visual, yaitu mengamati bentuk fisik dari sampel yang melliputi bau, warna, busa dan kekentalan. Dari pengamatan visual masing-masing sampel menghasilkan beberapa karakteristik, diantaranya sampel ikan lele pagi yang diamati kelompok 1 dan 7 memiliki bau amis dan tidak sedap, berwarna hitam dan pucat, tidak berbusa, dan sedikit kental serta tidak kental. Ikan lele satu hari dari kelompok 2 dan 8 memiliki bau amis busuk, menyengat dan tidak sedap, berwarna hitam dan pucat, tidak berbusa, serta agak kental dan tidak kental. Sampel Jus buah berupa jus jambu segar satu hari dari kelompok 3 dan 9 memiki bau buah jambu segar, berwarna merah muda, tidak berbusa dan berbusa banyak, serta tidak kental dan sangat kental. Sampel Jus jambu satu hari dari kelompok 4 dan 10 berbau jambu busuk dan menyengat, berwarna merah kecoklatan dan merah muda, banyak busa dan sedikit busa, serta sangat kental dan sedikit kental. Sampel susu segar pagi dari kelompok 5 dan 11 berbau susu sapi dan menyengat, berwarna putih susu dan putih, tidak berbusa, serta sedikit kental dan agak kental. Serta sampel susu satu hari dari kelompok 6 dan 12 memiliki bau asam, basi, dan kecut, warna cairan bagian atasa putih keruh, bagian bawah putih kental dan kekuningan, memiliki sedikit busa dan agak berbusa, serta agak kental. Perubahan terjadi antara sampel ikan lele pagi dan satu hari. Sampel ikan pagi memiliki bau amis dan tidak sedap, berwarna hitam dan pucat, tidak berbusa, dan sedikit kental serta tidak kental. Ikan lele satu hari memiliki bau amis busuk, menyengat dan tidak sedap, berwarna hitam dan pucat, tidak

berbusa, serta agak kental dan tidak kental. Perubahan lele segar dengan lele satu hari ini dikarenakan terjadinya autolisis, oksidasi dan juga aktivitas mikroba terutama bakteri. Rekasi autolisis pada ikan dan seafood lebih cepat daripada daging atau bersifat perishable. Faktor-faktor yang mempengaruhi kerusakan tersebut penyimpanan. Susu yang merupakan pangan sumber gizi, gizi yang terkandung sangatlah banyak. Pada susu segar (susu sapi) per 100 gram, terdapat kalori 61 Kkal, protein 3,2 gram, lemak 3,5 gram, karbohidrat 4,3 gram, kalium 1.200 mg, kalsium 143 mg, fosfor 694 mg, besi 1,7 mg, vitamin B1 0,03 mg, dan vitamin C sebanyak 1 mg (Sediaoetama, 1988). Salah satu faktor kerusakan pangan pada susu adalah banyaknya kandungan gizi pada susu tersebut, semakin banyak gizi terkandung maka semakin besar resiko pangan tersebut terserang mikroba. Susu 1 hari mengalami perubahan karena adanya aktivitas mikroba pada saat inkubasi. Kandungan laktosa yang tinggi membuat banyaknya bakteri asam laktat yang menyerang. Contohnya Aerococcus, Bifidobacterium, Carnobacterium, Enterococcus, Lactobacillus, Lactococcus, Leuconostoc, Oenococcus, Pediococcus, Streptococcus, Tetragenococcus, Vagococcus, dan Weissella. Protein adalah suatu kelompok serbaguna yang sangat kompleks biopolimernya dalam fisika dan biologi. Protein dapat berfungsi sebagai enzim biokatalis enzim dan hormon, sebagai agen transportasi oksigen dan kode genetik (Desrosier, 1988). Protein yang terdapat dalam susu adalah kasein. Kasein merupakan protein amfoterik yang mempunyai sifat asam maupun basa, tetapi biasanya menpunyai sifat asam. Bakteri memecah protein dengan menghasilkan energi dalam jumlah kecil, tetapi nitrogen dari hasil pemecahan tersebut digunakan untuk membangun protoplasma didalam sel, sedangkan energi yang dibutuhkan untuk sintesis tersebut terutama diperoleh dari hasil pemecahan karbohidrat. Kandungan protein mempengaruhi nilai kekentalan dan viskositas susu. Proses homogenisasi akan meningkatkan viskositas sehubungan dengan perubahan daya ikat air. Semakin tinggi kadar protein adalah jenis ikan, kontaminan pada ikan dan suhu

dalam susu maka kekentalan semakin tinggi. Kandungan padatan yang tinggi akan menghasilkan susu yang lebih kental. Viskositas mungkin dipengaruhi oleh kandungan protein yang terekstrak/terkoagulasi dari susu. Bakteri yang ada dalam susu akan berkembang biak. Semakin banyak protein susu yang terkoagulasi sehingga semakin tinggi viskositas. Meningkatnya kadar asam laktat menyebabkan turunnya pH + 4,6 sehingga kasein sebagai protein utama susu menjadi tidak stabil dan terkoagulasi membentuk gel. Terkoagulasinya kasein menyebabkan meningkatnya viskositas susu (Triyono, 2010). Pertumbuhan bakteri Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus menghasilkan asam laktat dan dapat meningkatkan kekentalan serta keasaman. Asam laktat merupakan asam utama yang terbentuk dalam berbagai produk fermentasi makanan oleh bakteri asam laktat. Jumlah asam yang terbentuk mungkin sedemikian tingginya sehingga menghambat pertumbuhan bakteri yang tahan asam. Laktosa yang terdapat dalam susu akan digunakan oleh bakteri sebagai sumber energi dan sumber karbon selama pertumbuhan pada saat fermentasi. Semakin banyak yang dapat memproduksi asam laktat, semakin tinggi asam laktat yang terbentuk. Proses tersebut bermula laktosa dihidrolisis oleh biakan glukosa dan galaktose atau galaktose6-fosfat. Selanjutnya melalui rantai glikolisis dan piruvat glukosa dirubah menjadi asam laktat. Asam laktat yang dihasilkan akan mempengaruhi terhadap karakteristik yoghurt yang dihasilkan. Semakin tinggi laktosa maka jumlah asam laktat yang dihasilkan akan semakin tinggi juga. Penguraian laktosa menjadi asam laktat dipengaruhi oleh banyaknya laktosa dan jumlah bakteri asam laktat yang ditambahkan (Triyono, 2010). Pada jus jambu biji, juga terjadi perubahan. Jus segar mempunyai bau khas jambu biji dan warna merah muda, tidak berbusa, serta tidak kental dan sangat kental. Busa ini ada disebabkan proses pembuatannya. Perubahan pada sampel 1 hari yaitu berbau jambu busuk dan menyengat, berwarna merah kecoklatan dan merah muda, banyak busa dan sedikit busa, serta sangat kental dan sedikit kental. Perubahan yang terjadi ini dikarenakan adanya aktivitas mikroba, kandungan gizi yang terkandung dalam jus jambu biji sangatlah

tinggi maka dari itu mikroba akan menyerang, selain itu sanitasi dari alat pembuat (juicer), kemasan juga air pada proses pembuatan juga dapat menjadi sumber mikroba. Jenis mikroba penyebab kerusakan pada buah - buahan yang dibuat jus di antaranya ada tiga jenis mikroba penting, yaitu bakteri, jamur, dan khamir. Bakteri dapat menimbulkan lendir, bau, gas, busa, asam, dan perubahan warna. Dari hasil pengamatan pada jus buah, masih ditemukan E. coli dan Klebsiella. Bakteri pathogen seperti E. coli tersebut tidak boleh mencemari jus buah. Begitu pula jamur AspergiIlus sp pada jus jambu. Khamir mudah tumbuh pada semua jenis jus buah yang mengandung gula. Khamir akan menghasilkan alkohol dan gas CO2 yang terdeteksi pada jus buah basi. Mikroorganisme tersebut dapat menimbulkan penyakit atau keracunan jika berasal dari kelompok patogen atau penyebab penyakit. Jus buah sebaiknya segera diminum karena apabila basi akan menghasilkan aroma yang disenangi oleh lalat seperti lalat Musca domestica dan Chrysomya megacephala (Aminah, 2004). Adanya busa menunjukkan adanya aktivitas mikroba pada jus sampel 1 hari, busa tersebut merupakan gas-gas hasil metabolisme mikroba. Selain itu, dikarenakan kandungan karbohidrat yang tinggi tidak menutup kemungkinan adanya bakteri asam laktat yang menyerang jus sampel 1 hari. Aktivitas mikroba ini dapat memperkental jus tersebut. Tabel 2.2
Kel. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Tabulasi Data Pengamatan Jumlah Koloni


Bahan 10-2 Spreader Spreader 427 308 270 10-3 295 Spreader 329 TBUD 221 10-4 220 TBUD 75 TBUD 263 TBUD 219 TBUD 299 142 131 TBUD 10-5 Spreader 145 TBUD TBUD 164 TBUD 10-6 Spreader Spreader 213 92 207 TBUD Jumlah Koloni 2,95x106 1,45x109 2,63x108 2,13x1010 2,19x108 9,2 x109 2,99x108 1,42x108 2,7 x106 -

Ikan Lele (pagi) Ikan Lele (1 hari) Jus (pagi) Jus (1 hari) Susu Segar (pagi) Susu Segar (1hari) Ikan Segar (pagi) Ikan Segar (1hari) Jus Buah (pagi) Jus Buah(1hari) Susu Segar (pagi) Susu Segar (1hari)

Sumber : Laporan Sementara Pembahasan : Dalam praktikum ini digunakan sample ikan, jus buah, dan susu yang masing-masing terdiri dari sampel pagi dan satu hari untuk mengetahui kerusakan yang disebabkan oleh mikroba. Kerusakan bahan pangan oleh mikrobia ini dapat diidentifikasikan dengan menghitung jumlah mikrobia dalam bahan pangan tersebut. Jumlah mikroba yang ditunjukkan dengan jumlah koloni yang terbentuk. Pada metodologi percobaan, bahan dibuat seri pengenceran yaitu 1:100, 1:1.000, 1:10.000, 1:100.000, dan 1:1.000.000 dimana masing-masing pengenceran di plating ke dalam petridish yang berisi agar sebanyak 0,1 ml dan diratakan dengan sampel yang steril dengan dipanasi terlebih dahulu diatas bunsen. Untuk mengetahui perhitungan jumlah koloni pada sampel-sampel tersebut digunakan tiga pengenceran terakhir, yaitu pengenceran 10-2, 10-3, dan 10-4 untuk sampel pagi serta 10-4, 10-5, dan 10-6 untuk sampel satu hari. Dalam menentukan jumlah koloni mikrobia, sangat diperlukan pemahaman mengenai syarat pengenceran. Syarat suatu pengenceran adalah jumlah bakteri di dalam petridish mempunyai jumlah koloni 30 sampai 300, tidak membentuk spreader/ bertumpuk-tumpuk, serta perbandingan pengenceran sesudah dan sebelumnya kalau lebih besar dari 2 maka dipakai dengan pengenceran yang sebelumnya, kalau kurang dari atau sama dengan dua maka diambil rata-ratanya. Dari hasil perhitungan secara manual, diperoleh jumlah koloni mikrobia pada ikan lele pagi pada pengenceran 10-2 dinyatakan spreader , 10-3 sebanyak 295, dan 10-4 sebanyak 220. Karena dari pengenceran 10-3 dan 10-4 diperoleh jumlah mikroba >30 dan <300 serta tidak spreader, maka kedua seri pengenceran tersebut digunakan dalam perbandingan penentuan jumlah mikroba/gram bahan, dan setelah dilakukan analisis perhitungan maka diperoleh perbandingan pada pengenceran 10-3 dan 10-4 sebesar 7,46 dimana nilainya lebih dari 2 sehingga ditentukan bahwa jumlah koloni pada sampel ikan lele pagi adalah 2,95x107 Cfu/gr bahan. Untuk sampel ikan lele satu hari

jumlah koloni tidak dapat dihitung karena pada ketiga pengenceran terakhir dinyatakan TBUD dan spreader. Sampel jus pagi diperoleh pada pengenceran 10-4 secara manual jumlah mikrobanya sebesar 75, sehingga jumlah koloninya sebesar 0,75 x108 Cfu/gr bahan. Sampel jus satu hari pada pengenceran 10-4 dinyatakan TBUD, pada pengenceran 10-5 sebesar 145 serta pada pengenceran 10-6 dinyatakan spreader. Sehingga, jumlah koloni jus satu hari sebesar 1,45x109 Cfu/gr bahan. Untuk sampel susu segar pagi pada pengenceran 10-2 dan 10-3 dinyatakan spreader dan pada pengenceran 10-4 sebesar 263, sehingga jumlah koloninya sebesar 2,63 x108 Cfu/gr bahan. Sampel susu segar satu hari pengenceran 10-4 dan 10-5 dinyatakan TBUD dan pada pengenceran 10-6 sebesar 213, sehingga jumlah koloni pada sampel tersebut sebesar 2,13x1010 Cfu/gr bahan. Sampel ikan segar pagi pada pengenceran 10 -2 perhitungan secara manual diperoleh sebesar 427, pengenceran 10-3 sebanyak 329, dan pengenceran 10-4 sebanyak 219. Karena pada pengenceran 10-2 dan 10-3 terhitung lebih dari 300, maka jumlah koloni sampel ikan segar pagi sebesar 2,19x108 Cfu/gr bahan. Sampel ikan segar satu hari pada pengenceran 10 -4 dan 10-5 dinyatakan TBUD dan pada pengenceran 10-6 sebesar92, sehingga jumlah koloni pada sampel tersebut 9,2x109 Cfu/gr bahan. Untuk sampel jus buah pagi, pada pengenceran 10-2 perhitungan secara manual diperoleh sebesar 308, pengenceran 10-3 dinyatakan TBUD, dan pengenceran 10-4 sebanyak 299, sehingga jumlah koloni pada sampel jus buah pagi 2,99x10 8 Cfu/gr bahan. Sampel jus buah satu hari, pada pengenceran 10-4 sebesar 142, pengenceran 10-5 sebesar 164, dan pada pengenceran 10-6 sebesar 207. Karena pada ketiga pengenceran yang terakhir jumlah koloni yang terhitung secara manual >30 dan <300 maka jumlah koloni dari ketiganya digunakan dalam perbandingan penentuan jumlah koloni/gram bahan, dan setelah dilakukan analisis perhitungan diperoleh perbandingan pada pengenceran 10 -4 dan 10-5 sebesar 11,55 dan perbandingan pengenceran 10-5 dengan pengenceran 10-6 adalah 12,62. Oleh karena hasil perbandingan keduanya bernilai lebih dari 2, maka yang dipakai untuk jumlah koloni adalah pengenceran yang awal, yaitu jumlah koloninya sebesar 1,42x108 Cfu/gr bahan. Sampel susu segar pagi pada

pengenceran 10-2 sebesar 270, pengenceran 10-3 sebesar 221, dan pada pengenceran 10-4 sebesar 131. Ketiga pengenceran tersebut digunakan dalam menentukan jumlah koloni karena jumlah mikroba >30 dan <300 serta tidak spreader. Dari analisis perhitungan diperoleh perbandingan pada pengenceran 10-2 dan 10-3 sebesar 8,18 dan perbandingan pengenceran 10-3 dengan pengenceran 10-4 adalah 5,93. Karena kedua perbandingan tersebut bernilai lebih dari 2, maka jumlah koloni pada sampel susu segar pagi yaitu 2,7x106 Cfu/gr bahan. Serta untuk sampel susu segar satu hari jumlah koloni tidak dapat dihitung karena pada pengenceran tiga yang terakhir dinyatakan TBUD. Mikroba termasuk dalam jasad renik dimana sangat peka terhadap perubahan lingkungannya. Menurut Nurwanto faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba yaitu nutrisi, waktu, suhu, nilai pH, aktivitas air, dan ketersediaan oksigen. Nutrisi akan menjadi sumber energi dan menyediakan unsur-unsur kimia untuk pertumbuhan sel. Setiap mikroorganisme memerlukan waktu yang berbeda-beda ketika dipaparkan terhadap suatu senyawa antimikroba untuk dapat menghambat atau mematikan. Konsentrasi ion hydrogen mempengaruhi peranan bakterisida dengan cara mempengaruhi organisme dan bahan kimia dalam bakterisida tersebut. Untuk komponen suhu, pembunuhan bakteri oleh bahan kimia akan meningkat dengan suatu peningkatan temperature. pH merupakan konsentrasi ion hydrogen mempengaruhi peranan bakterisida dengan cara mempengaruhi organisme dan bahan kimia dalam bakterisida tersebut. Kebutuhan oksigen, oksigen tidak mutlak diperlukan mikroorganisme karena ada juga kelompok yang tidak memerlukan oksigen bahkan oksigen merupakan racun bagi pertumbuhan (Hamdiyati, 2010). Air berperan dalam proses metabolisme sel dalam bentuk cair, apabila air tersebut mengalami kristalisasi dan es atau terikat dalam larutan gula atau garam, maka air tidak dapat digunakan oleh sel mikroba. Jumlah air dalam bahan pangan disebut sebagai aktivitas air (water activity = aw). Air murni mempunyai nilai aw = 1,0. Jenis mikroba berbeda membutuhkan air berbeda pula (Hendritomo, 2010).

Perlakuan pengenceran menunjukkan jumlah kerapatan koloni bakteri semakin menurun apabila kerapatan pengenceran direndahkan. Tingkat pengenceran bakteri berpengaruh terhadap perbedaan jumlah koloni bakteri. Perbedaan laju pertumbuhan dipengaruhi oleh sifat dan jenis masingmasing bakteri dan faktor lainnya seperti kemampuan dalam menggunakan media metabolisme. Menurut Lay dan Hastowo dalam Tarigan, Rasiska dan Kuswandi (1992), ketersediaan nutrisi pertumbuhan sel bakteri dipengaruhi jenis mikroba, keadaan dan jumlah sel awal ketika diinokulasi ke media. Dari masing-masing sampel yang diuji dengan pengenceran secara bertingkat, maka pengenceran yang tertinggi atau pengenceran terakhir merupakan kondisi dimana bahan pangan mudah rusak (perishable food). Kadar air yang tinggi serta kandungan zat-zat gizi yang cukup bervariasi di dalam bahan pangan bisa mempermudah kerusakan bahan pangan. Akibatnya warna bahan cepat sekali berubah oleh pengaruh fisika misalnya sinar matahari dan pemotongan, serta pengaruh biologis (jamur) sehingga mudah menjadi busuk. Oleh karena itu perlu pengolahan bahan pangan untuk memperpanjang masa simpannya. Jika dibandingkan dengan bahan pangan aslinya, bahan pangan yang telah mengalami pengenceran memiliki kadar air yang lebih tinggi. Total asam juga dipengaruhi oleh pengenceran. Semakin banyak penambahan air pada bahan maka total asamnya akan semakin menurun (Anonim, 2011). TBUD ( Tidak Bisa Untuk Dihitung) menunjukkan pertumbuhan koloni mikroba yang masih subur pada media perbenihan sehingga sulit untuk dihitung. Berdasarkan hasil ini, maka nilai yang diperoleh tidak dimasukkan dalam perhitungan jumlah koloni mikroba. Sedangkan spreader merupakan koloni yang tumbuh di dalam lapisan-lapisan air pada permukaan agar atau di antara permukaan agar dan bagian bawah petridish. Spreader ini bentuknya besar dan seringkali menutupi koloni-koloni lainnya sehingga petri menjadi susah dihitung (uncountable). Penyebab spreader ini seringkali adalah kontaminasi dan lapisan air yang tersisa pada petri. Apabila spreader yang muncul ukurannya kecil dan terpisah dari koloni lainnya maka dihitung

sebagai satu koloni. Faktor utama yang menyebabkan adalah kesalahan dalam prosedur pengenceran misalnya mengambil terlalu banyak atau terlalu sedikit bakteri dari larutan suspensi awal. Kesalahan lain yang mungkin terjadi adalah akibat larutan suspensi yang kurang homogen sehingga jumlah bakteri yang terambil tidak mewakili populasi bakteri yang ada. Selain dua faktor tersebut, faktor penyebab kegagalan secara umum dapat disebabkan oleh persyaratan tumbuh yang kurang cocok maupun akibat kontaminasi. Kontaminasi menyebabkan bakteri kultur tidak tumbuh secara optimum pada media. E. Kesimpulan Dari praktikum acara Kerusakan Bahan Pangan oleh Mikroba ini dapat diambil kesimpulan antara lain sebagai berikut: 1. Kerusakan bahan pangan merupakan perubahan karakteristik fisik dan kimiawi suatu bahan makanan yang tidak diinginkan atau penyimpangan dari karakteristik normal. 2. Pada sampel ikan, jus, dan susu terlihat jelas mengalami kerusakan bahan pangan dengan adanya busa, aroma yang kurang sedap dan adanya perubahan warna pada setiap bahan pangan tersebut. 3. Syarat perhitungan koloni bakteri slangsung adalah tidak boleh ada spreader, tidak boleh lebih dari 300 atau kurang dari 30 serta perbandingan pengenceran jika 2 maka dipakai rata-ratanya, jika > 2 maka dipaki data pengenceran awal. 4. 5. Faktor-faktor yang mempengaruhi kerusakan bahan pangan adalah jenis bahan pangan, kontaminan pada bahan pangan dan suhu penyimpanan. Kandungan laktosa yang tinggi banyaknya bakteri asam yang terdapat pada susu membuat (Aerococcus, Bifidobacterium, laktat

Carnobacterium, Enterococcus, Lactobacillus, Lactococcus, Leuconostoc, Oenococcus, Pediococcus, Streptococcus, Tetragenococcus, Vagococcus, dan Weissella) yang menyerang. 6. TBUD ( Tidak Bisa Untuk Dihitung) menunjukkan pertumbuhan koloni mikroba yang masih subur pada media perbenihan sehingga sulit untuk dihitung.

DAFTAR PUSTAKA

Bloom, dkk. 2000. Histologi. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta. Haryati, dkk. 2000. Analisis Hayati. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta. Helmiyati, Nurrahman. 2010. Pengaruh Konsentrasi Tawa Terhadap Pertumbuhan Bakteri Gram Positif Dan Negatif. Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 01 No. 01 Universitas Muhamadiyah Semarang. Semarang. Husni, Ariati. 2007. Analisa Zat Pengawet dan Protein dalam Makanan Siap Saji Sosis. Jurnal Teknologi Farmasi Vol. 12 No. 2 Universitas Andalas. Padang. Kussaga, dkk. 2009. A Microbial Assement Scheme to Measure Microbial Performance of Food Safety Management Systems. International Journal of Food Microbiology 134. USA. Mazumder, dkk. 2011. Modeling Microbial Respomses in Food. Institute of Food Science and Technology Dhaka. Bangladesh. Rahayu, dkk. 2001. Aktivitas Antimikroba Ektrak Kedawung Terhadap Bakteri Patogen. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan Vol. XII No. 1. Bandung. Retan, J. 2004. Biologi Molekular. Erlangga. Jakarta. Rizky, 1999. Seputar Ayang Kampung. Kanisius. Jakarta. Widodo. 2005. Analisis Pangan. Kanisius. Jakarta.

You might also like