You are on page 1of 14

BAB 1: PENDAHULUAN

Avian influenza atau lebih sering dikenal sebagai flu burung merupakan penyakit infeksius yang disebabkan oleh virus. Kebanyakan virus avian influenza tidak menyerang manusia tetapi menyerang hewan terutamanya unggas. Walaubagaimanapun virus dengan serotype H5N1 dapat menyebabkan infeksi yang serius kepada manusia dan pertama kali dilaporkan di Hong Kong pada tahun 1997. Sejauh ini penularan virus dari manusia ke manusia sangat jarang, terbatas dan mekanismenya tidak jelas.

Penyakit flu burung yang disebabkan oleh virus Avian influenza jenis H5N1 pada unggas dikonfirmasikan telah terjadi di beberapa negara antara lain : Republik Korea, Vietnam, Jepang, Thailand, Kamboja, Taiwan, Laos, Cina, Indonesia dan Pakistan. Sumber virus diduga berasal dari migrasi burung dan transportasi unggas yang terinfeksi. Terjadinya outbreak dari virus H5N1 menimbulkan kebimbangan pada peringkat global karena efeknya terhadap populasi yang berkait erat dengan penternakan unggas, kemampuan virus ini untuk menyebabkan penyakit yang serius pada manusia dan potensi untuk terjadinya pandemik. Penyakit ini dapat memberikan impak yang besar terhadap ekonomi lokal dan global jika terjadinya pandemic. Majoriti dari kasus manusia yang terinfeksi dengan H5N1 merupakan manusia yang mempunyai riwayat kontak langsung atau tidak langsung dengan unggas terinfeksi yang masih hidup atau telah mati. Walaubagaimanapun tidak ada bukti virus ini dapat tersebar ke manusia melalui makanan yang dimasak dengan benar.

Melihat kenyataan ini, maka sebaiknya kita harus mewaspadai adanya penyakit flu burung dengan cara mengetahui dengan benar informasi tentang penyakit ini, sehingga penyakit ini dapat diidentifikasikan dan penanganan pun dapat diambil secara dini. Dengan adanya hal ini kita dapat mencegah penyebaran flu burung secara luas.

BAB 2: ISI
2.1 DEFINISI Flu burung atau Avian influenza adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus influenza A subtype H5N1 yang menyerang burung (unggas), ayam yang dapat menyerang manusia dengan gejala demam tinggi lebih dari 38.0C, batuk, pilek, nyeri otot, nyeri tenggorokan dan mempunyai riwayat kontak dengan binatang tersebut dalam masa 7 hari terakhir. 2.2 EPIDEMIOLOGI Laporan dari WHO bertanggal 18 Februari 2004 menyebutkan bahwa Influenza A (H5N1) telah menyebabkan wabah Avian influenza di Thailand, Vietnam, China, Jepang, Korea, Kamboja, Laos dan Indonesia. Wabah flu burung ini bukan hanya menyebabkan kematian pada hewan tetapi juga pada manusia. Pada Januari 2004, di beberapa provinsi di Indonesia, terutama di Bali, Lombok, Jabotabek, Jawa Timur, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, dan Jawa Barat, dilaporkan adanya kasus-kasus kematian ayam ternak yang luar biasa. Sepanjang tempoh dari tahun 2003 hingga 2012, WHO mencatatkan adanya 610 kasus H5N1 dengan 360 kematian di seluruh dunia. Sepanjang tempoh itu, sebanyak 192 kasus H5N1 di Indonesia dengan 160 kematian. Kasus terbanyak dicatatkan pada tahun 2006 yaitu sebanyak 55 kasus dengan 45 kematian. Data terbaru menunjukkan pada tahun 2012 terdapat 9 kasus dengan 9 kematian. Gambar 1: Penyebaran Avian Influenza (H5N1) di seluruh dunia

2.3 ETIOLOGI Virus penyebab flu burung adalah virus influenza A subtype H5N1. Virus ini merupakan virus RNA berulir negatif, termasuk genus virus influenza A dengan anggota family

orthomyxoviridae. Virus influenza terdiri dari tipe A, B dan C. Lima belas subtipe dari virus influenza diketahui dapat menginfeksi unggas-unggas, hingga saat ini, seluruh wabah dari bentuk influenza yang sangat patogenik berasal dari virus-virus influenza tipe A dengan subtipe (Hemaglutinin) H5 dan H7. Jenis subtipe influenza A juga dilihat dari Neuraminidase, saat ini ada 9 Jenis subtipe berdasarkan Neuramanidase. Virus Avian influenza yang saat yang saat ini bersirkulasi di Asia dan menyebabkan banyak kematian pada unggas adalah H5N1. Unggas yang menderita influenza H5N1 dapat mengeluarkan virus dengan jumlah yang besar dalam kotorannya. Virus tersebut dapat bertahan hidup di air sampai 4 hari pada suhu 22 C dan lebih dari 30 hari dalam suhu 30C. Di dalam tinja unggas dan dalam tubuh unggas yang sakit dapat bertahan lebih lama, tetapi akan mati pada pemanasan 60C selama 30 menit.

Gambar 1: virus Influenza A subtype H5N1

2.4 PATOGENESIS Mutasi genetik virus avian influenza seringkali terjadi sesuai dengan kondisi dan lingkungan replikasinya. Mutasi gen ini tidak saja untuk mempertahankan diri akan tetapi juga dapat meningkatkan sifat patogenisitasnya. Penelitian terhadap virus H5N1 yang diisolasi dari
3

pasien yang terinfeksi pada tahun 1997, menunjukkan bahwa mutasi genetik pada posisi 627 dari gen PB2 yang mengkode ekspresi polymesase basic protein (Glu627Lys) telah menghasilkan highly cleavable hemagglutinin glycoprotein yang merupakan faktor virulensi yang dapat meningkatkan aktivitas replikasi virus H5N1 dalam sel hospesnya. Disamping itu adanya substitusi pada nonstructural protein (Asp92Glu), menyebabkan H5N1 resisten terhadap interferon dan tumor necrosis factor (TNF-) secara in vitro. Infeksi virus H5N1 dimulai ketika virus memasuki sel hospes setelah terjadi penempelan spikes virion dengan reseptor spesifik yang ada di permukaan sel hospesnya. Virion akan menyusup ke sitoplasma sel dan akan mengintegrasikan materi genetiknya di dalam inti sel hospesnya, dan dengan menggunakan mesin genetik dari sel hospesnya, virus dapat bereplikasi membentuk virion-virion baru, dan virion-virion ini dapat menginfeksi kembali sel-sel disekitarnya. Dari beberapa hasil pemeriksaan terhadap spesimen klinik yang diambil dari penderita ternyata avian influenza H5N1 dapat bereplikasi di dalam sel nasofaring dan di dalam sel gastrointestin. Virus H5N1 juga dapat dideteksi di dalam darah, cairan serebrospinal, dan tinja pasien. Fase penempelan (attachment) adalah fase yang paling menentukan apakah virus bisa masuk atau tidak ke dalam sel hospesnya untuk melanjutkan replikasinya. Virus influenza A melalui spikes hemaglutinin (HA) akan berikatan dengan reseptor yang mengandung sialic acid (SA) yang ada pada permukaan sel hospesnya. Ada perbedaan penting antara molekul reseptor yang ada pada manusia dengan reseptor yang ada pada unggas atau binatang. Pada virus flu burung, mereka dapat mengenali dan terikat pada reseptor yang hanya terdapat pada jenis unggas yang terdiri dari oligosakharida yang mengandung N-acethylneuraminic acid -2,3-galactose (SA -2,3-Gal), dimana molekul ini berbeda dengan reseptor yang ada pada manusia. Reseptor yang ada pada permukaan sel manusia adalah SA -2,6-galactose (SA -2,6-Gal), sehingga secara teoritis virus flu burung tidak bisa menginfeksi manusia karena perbedaan reseptor spesifiknya. Namun demikian, dengan perubahan hanya 1 asam amino saja konfigurasi reseptor tersebut dapat dirubah sehingga reseptor pada manusia dikenali oleh HPAI-H5N1. Potensi virus H5N1 untuk melakukan mutasi inilah yang dikhawatirkan sehingga virus dapat membuat varianvarian baru dari HPAI-H5N1 yang dapat menular antar manusia ke manusia.

Gambar 3: Patogenesis infeksi avian influenza H5N1

2.5 PENULARAN Manusia terinfeksi virus melalui kontak langsung membrane mukosa dengan secret atau ekskreta infeksius dari unggas yang terinfeksi. Jalur masuk utama adalah saluran respiratorik dan konjungtiva. Infeksi melalui saluran pencernaan masih belum diketahui dengan jelas

2.6 MANIFESTASI KLINIS Pada kebanyakan pasien dengan infeksi H5N1, perjalanan klinis penyakit lazimnya agresif dengan kerusakan yang berlaku dengan cepat serta dengan angka kematian yang tinggi.
5

Walaubagaimanapun, penyakit ini pada manusia masih tidak dapat dimengerti sepenuhnya. Masa inkubasi bagi H5N1 Avian Influenza lebih lama daripada masa inkubasi influenza musiman yaitu sekitar 2 hingga 3 hari. Menurut data yang terkumpul, masa inkubasi bagi H5N1 adalah sekitar 2 hingga 8 hari dan dapat juga sehingga 18 hari. WHO saat ini merekomendasikan bahwa masa inkubasi tujuh hari digunakan untuk investigasi lapangan dan pemantauan kontak pasien.

Manifestasi klinis tergantung kepada subtype virus yang menyebabkan penyakit. Rentang gejala mulai dari tanpa gejala hingga pneumonia berat disertai gagal napas bahkan gagal organ multiple. Gejala awal berupa demam tinggi, biasanya dengan suhu yang lebih tinggi dari 38C, dan gejala menyerupai influenza. Diare, muntah, sakit perut, nyeri dada, dan perdarahan dari hidung dan gusi juga telah dilaporkan sebagai gejala awal pada beberapa pasien. Salah satu fitur yang terlihat pada kebanyakan pasien adalah terjadinya gangguan pada saluran pernapasan bagian bawah. Gejala gangguan pada saluran pernapasan yaitu berupa kesukaran untuk bernapas lazimnya timbul dalam masa 5 hari setelah timbul gejala pertama. Distres pernapasan, suara serak, dan suara berderak saat bernapas juga sering terjadi. Produksi sputum adalah variabel dan kadang-kadang berdarah.

Manifestasi klinis awal: Influenza like illness (ILI) atau Penyakit Serupa Influenza (PSI) dengan gejala demam, sakit tenggorokan, batuk, pilek, nyeri otot, sakit kepala, dan lesu. Beberapa laporan kasus menyatakan adanya konjungtivitis, diare dan ada satu kasus dengan meningitis. Pemeriksaan Laboratorium: Limfopeni dan trombositopeni pada hamper semua kasus. Peningkatan enzim hati (SGOT dan SGPT) Peningkatan urea-N dan kreatinin

Foto Toraks: Gambaran radiologi abnormal ditemukan pada 3 hingga 17 hari setelah timbul demam (median 7 hari):
6

Infiltrate difus multifocal atau berbercak Infiltrate interstitial Konsolidasi segmental atau lobar Progresivitas menjadi gagal napas terlihat infiltrate ground glass, difus, bilateral dan manifestasi ARDS (rentang 4 hingga 13 hari).

Pemeriksaan Post Mortem: Ditemukan kerusakan multiorgan koagulasi intravascular diseminata, nekrosis dan atrofi jaringan limfoid.

2.7 DIAGNOSIS Seseorang dicurigai mengalami infeksi Avian Influenza jika menunjukkan gejala penyakit serupa influenza (PSI) disertai adanya riwayat kontak dengan unggas atau berada di daerah endemis Avian Influenza. Penderita yang terinfeksi H5N1 pada umumnya dilakukan pemeriksaan spesimen klinik berupa swab tenggorokan dan cairan nasal. Untuk uji konfirmasi terhadap infeksi virus H5N1, harus dilakukan pemeriksaan dengan beberapa cara. Untuk diagnosis pasti, salah satu atau beberapa dari uji konfirmasi tersebut diatas harus dinyatakan positif.

Mengisolasi virus Deteksi genom H5N1 dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) Tes imunoflouresensi terhadap antigen menggunakan monoklonal antibodi terhadap H5 Pemeriksaan adanya peningkatan titer antibodi terhadap H5N1 (Peningkatan titer
antibodi H5 sebesar 4 kali)

Pemeriksaan dengan metode western blotting terhadap H5-spesifik.

2.8 DIAGNOSIS BANDING A. Pneumonia Komuniti Didapat Gejala dan tanda perbandingan: Tidak ada

Tes perbandingan Studi diagnostik harus dipertimbangkan sesuai dengan keadaan lokal dan bakteri yang sering pada masyarakat yang setempat. Isolasi organism seperti Streptococcus pneumoniae dan Grup A Streptococcus dari sputum dan kultur darah Adanya gambaran konsolidasi pada foto toraks Pada tes spesifik H5N1 yang positif berkemungkinan adanya ko-infeksi atau superinfeksi bakteri. Walaubagaimanapun jarang terjadi ko-infeksi bakteri pada kasus H5N1 kecuali pada pasien yang diintubasi. Koinfeksi lebih sering pada seasonal influenza. B. Pneumonia Atipikal Gejala dan tanda perbandingan Tidak ada

Tes perbandingan Konfirmasi adanya infeksi pathogen atipikal seperti Mycoplasma pneumonia dan Legionella pneumophila dengan melakukan kultur sputum, kultur darah C. Infeksi Seasonal Virus Influenza A atau Influenza B Gejala dan tanda perbandingan Merupakan penyebab penyakit berat yang lebih sering pada anak kecil, orang dewasa dan pada individu dengan penyakit kronik. Merupakan penyakit yang bersifat self- limited dengan gejala yang ringan pada individu yang sebelumnya sihat.

Tes perbandingan Uji diagnostik adanya infeksi virus pernapasan yang lain yang positif walaubagaimanapun tidak menolak kemungkinan adanya H5N1 D. Infeksi Virus H1N1 Gejala dan tanda perbandingan Tidak ada gejala dan anda yang berbeda tetapi gangguan saluran napas bawah yang berat dapat berlaku pada anak yang sehat sebelumnya, wanita mengandung, dan individu yang obesitas. Onset demam, batuk dan pneumonia yang cepat.

Tes perbandingan Uji diagnostik adanya infeksi virus pernapasan yang lain yang positif walaubagaimanapun tidak menolak kemungkinan adanya H5N1

E. Respiratory Syncytial Virus Infection Gejala dan tanda perbandingan Merupakan penyebab tersering infeksi saluran pernapasan bawah pada anak berumur kurang dari 1 tahun. Penyebab tersering infeksi saluran napas bawah pada individu yang sudah tua atau pada pasien imunosuppresan. Timbulnya gejala saluran pernapasan atas dan bawah dalam masa 3 hingga 5 hari dan membaik dalam 7 hingga 10 hari. Tes perbandingan Tes cepat menggunakan teknologi menangkap antigen adalah tes utama dalam algoritma diagnostic Kultur dapat mengambil masa 4 hari sampai 2 minggu.

Uji diagnostik adanya infeksi virus pernapasan yang lain yang positif walaubagaimanapun tidak menolak kemungkinan adanya H5N1

F. Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) Gejala dan tanda perbandingan Tidak ada gejala yang berbeda dengan H5N1 Onset demam, batuk dan pneumonia yang cepat

Tes perbandingan Tes untuk virus influenza negative RT-PCR positif untuk SARS-associated coronavirus (SARS-CoV)

2.9 KOMPLIKASI Pneumonia Acute respiratory distress syndrome (ARDS) Eksaserbasi serangan asma

2.10 PENATALAKSANAAN Umum Isolasi pasien dalam ruang tersendiri. Bila tidak tersedia ruang untuk satu pasien, dapat menempatkan beberapa termpat tidur yang masing-masing berjarak 1 meter dan dibatasi sekat pemisah. Pemakaian alat Standar Kewaspadaan Univesal. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APP) yang sesuai (masker, gaun proteksi, google/pelindung muka,sarung tangan) Pembatasan jumlah tenaga kebersihan, perawat dan laboratorium yang menangani pasien. Perawat tidak tisak boleh menangani pasien lainnya. Tenaga kesehatan harus sudah mendapat pelatihan kewaspadaan pengendalian infeksi. Pembatasan pengunjung dan harus menggunakan APP
10

Pemantauan saturasi oksigen dilakukan bila emmungkinkan secara rutin dan berilan suplimentasi oksigen untuk memperbaiki keadaan hipoksemia. Specimen darah dan usap tenggorok diambil serial. Foto dada dilakukan serial.

Khusus Antiviral oseltamivir dan zanamivir aktif melawan virus influenza termasuk virus Avian Influenza. Oseltamivir (tamiflu) merupakan obat pilihan utama Cara kerja : inhibitor neuraminidase Diberikan dalam 36 hingga 48 jam setelah awitan gejala Dosis 2mg/kg (dosis maksimum 75 mg) diberi 2 kali sehari selama 5 hari Dosis alternative WHO: 15kg atau kurang (30 mg 2 x sehari) : 15kg hingga 23kg (45 mg 2 x sehari) : 23kg hingga 40kg (60 mg 2x sehari) : 40 kg (75 mg 2 x sehari) : lebih 13 tahun dan dewasa ( 75 mg 2 x sehari) Modifikasi regimen antiviral termasuk dosis ganda harus dipertimbangkan kasus demi kasus, terutama pada kasus yang progresif dan disertai dengan pneumonia. Kortikosteroiod tidak digunakan secara rutin, namun dipertimbang pada keadaan seperti syok septic atau keadaan defisiensis adrenal yang membutuhkan vasopressor. Kortikosteroid jangka panjang dan dosis tinggi dapat menimbulkan efek samiping yang serius termasuk adanya resiko infeksi opportunistik. Walaubagaimanapun, bukti terkini belum mendukung penggunaan kortikosteroid dan immunomodulator lainnya dalam penanganan infeksi H5N1 yang berat. Antibiotika kemoprofilaksis tidak harus dipergunakan. Pertimbangkan pemberian antibiotika bila diperlukan yaitu jenis antibiotic untuk community acquired pneumonia yang sesuai sambl menunggu hasil biakan darah. Hindarkan pemberian salisilat (aspirin) pada anak kurang 18 tahun karena berisiko terjadinya Sindron Reye. Untuk penurunan panas berikan parasetamol oral atau suppositoria.
11

Kriteria Pemulangan Anak Pasien anaka dirawat selama 21 hari dihitung dari awitan gejala penyakit karena anak dibawah 12 tahun masih dapat mengeluarkan virus sehingga 21 hari setelah awitan penyakit. Apabila tidak memungkinkan, dilatih tentang kebersihan peribadi secara infeksi (cuci tangan, anak tetap memakai masker muka) dan tidak boleh masuk sekolah dalam masa tersebut.

2.11 PENCEGAHAN Pada unggas Pemusnahan unggas/burung yang terinfeksi flu burung. Vaksinasi pada unggas yang sehat Kandang dan tinja tidak boleh dikeluarkan dari kawasan penternakan

Pada manusia Menghindari kontaminasi dengan tinja, secret unggas, binatang, bahan dana alat yang dicurigai tercemar oleh virus. Mencuci tangan dengan desinfektan dan mandi Hindari kontak langsung dengan ayam atau unggas yang terinferksi flu burung Menggunakan alat pelindung seperti masker Membersihkan kotoran unggas setiap hari Vaksinasi Oseltamivir dosis tunggal selama 1 minggu. Zanamivir dipetimbangkan pada pekerja kesehatan yang kontak dengan pasien terinfeksi Avian Influenza yang sedang dalam pengobatan oseltamivir. Menjaga daya tahan tubuh dengan memakan makanan bergizi dan istirahat cukup Pengolahan unggas dengan cara yang benar yaitu : 1) Pilih unggas yang sehat 2) Memasak daging ayam sampai dengan suhu 80C selama 1 menit dan telur sampai dengan suhu 64C selama 4,5 menit

12

2.12 PROGNOSIS Prognosis tergantung kepada seberapa beratnya infeksi serta tipe virus influenza yang menyebabkan infeksi. Walaubagaimanapun dapat terjadi kematian pada kasus-kasus yang berat.

BAB 3: PENUTUP
Avian influenza A (H5N1), atau highly pathogenic avian influenza (HPAI), telah menyebabkan wabah yang serius di beberapa negara terutama di Asia. Walaupun saat ini transmisi penyakit ini antara manusia ke manusia masih sangat jarang, akan tetapi pengawasan dan monitoring perlu terus menerus ditingkatkan guna mangantisipasi semakin meningkatnya adaptasi virus HPAI ini terhadap manusia. Cara diagnosis cepat dan akurat sangat dibutuhkan untuk menurunkan angka kematian yang sangat tinggi. Pengembangan obat antiviral yang lebih potensial sangat diperlukan untuk mengantisipasi virus HPAI yang resisten terhadap obat yang ada saat ini. Koordinasi antar instansi yang terkait dalam penanggulangan wabah virus HPAI ini sangat penting, demikian juga kolaborasi dengan berbagai institusi dalam bidang kesehatan dunia dan negara lain perlu dilakukan dalam rangka menghindari semakin merebaknya wabah ini.

13

DAFTAR PUSTAKA
1. The Writing Committee of the World Health Organization (WHO), Avian Influenza. World Health Organization. Last update April 2011

www.who.int/mediacentre/factsheets/avian_influenza/en/index.html

2. Avian Influenza A (H5N1) Infection in Humans, The Writing Committee of the World Health Organization (WHO) Consultation on Human Influenza A/H5 N Engl J Med 2005; 353:1374-1385 September 29, 2005

www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMra052211 7/ 3. Maksum Radji, avian influenza a (h5n1) :Patogenesis, Pencegahan dan Penyebaran pada Manusia Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. III, No.2, Agustus 2006, 55 65

4. Flu Burung. World Health Organization. Country Office for I ndonesia. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten. Alihbahasa Tim Adaptasi Indonesia Jakarta 2008

14

You might also like