You are on page 1of 4

ACFTA, Hanya Indonesia yang Alami Defisit VIVAnews - Indonesia dan sejumlah negara Asia Tenggara memang sudah

terikat pada Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA). Seiring perjalanan waktu, ternyata Indonesia menjadi satu-satunya negara besar di Asia Tenggara yang mengalami defisit perdagangan dengan China. "Satu-satunya 5 besar negara di ASEAN yang negatif dengan Cina adalah Indonesia, negara lainnya neraca perdagangannya positif," kata Pengamat Ekonomi dari Universitas Gajah Mada, Anggito Abimanyu dalam paparannya di Kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Jalan Wahidin, Jakarta, Senin, 2 Mei 2011. Menurut Anggito, negara besar di Asia Tenggara seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina sampai saat ini tidak pernah mempermasalahkan perdagangan bebas melalui skema ACFTA. Hal itu dikarenakan, negara-negara tersebut menikmati keuntungan dari perdagangan tersebut. Di sisi lain, Indonesia selama ini malah mengalami pertumbuhan impor produk China yang terus meningkat. Data yang dihimpun Anggito menunjukan, kegiatan impor produk china pada tahun 2005 tercatat hanya 12 persen dan terus meningkat menjadi 20 persen pada tahun 2010. Sementara impor produk dari negara anggota ASEAN mengalami penurunan signifikan dari 28 persen pada tahun 2005 menjadi 20 persen pada 2010. Penurunan impor produk ASEAN ini dikarenakan barang-barang dari negara tersebut bersifat komplementer atau pelengkap. Dengan fenomena tersebut, Anggito menilai Indonesia sebaiknya tidak hanya melihat persoalan defisit perdagangan dengan China hanya dari sisi bilateral. Pemerintah seharusnya melihat persoalan ini dari sisi multilateral. "Defisit neraca perdagangan semakin besar dengan Cina tetapi surplus dengan negara lain," katanya. Lebih lanjut Anggito menjelaskan terdapat tiga permasalaham dalam pelaksanaan ACFTA. Persoalan pertama menyangkut kemampuan negara-negara ASEAN untuk bersaing. Kedua, umumnya negara ASEAN, khususnya Indonesia mau tidak mau terkena dampak dari banjirnya produk Cina. Kondisi perdagangan seperti ini mengindikasikan terjadinya perdagangan tidak adil (unfair trade) karena adanya subsidi dari negara asal, dumping, dan penyelundupan. Persoalan ketiga adalah renegoisasi perjanjian ACFTA melalui notifikasi hanya bisa dilakukan dengan syarat mendapat persetujuan dari negara ASEAN lain. "Jika negara lain tidak mau melakukan renegoisasi maka sulit dilakukan," katanya. Anggito mengimbau, sebaiknya pemerintah melakukan pendekatan bilateral khusus dengan mengedepankan kesepakatan perdagangan RI-Cina yang terbentuk pada pertemuan di Yogyakarta beberapa waktu lalu. Dalam kesepakatan itu disetujui bahwa RI-Cina sepakat untuk melaksanakan ACFTA. Kedua, Apabila terjadi ketidakseimbangan neraca perdagangan maka pihak yang surplus wajib melaksanakan langkah-langkah untuk meningkatkan impornya. "Cara lain yaitu Cina harus menambah impornya. Jika ada unfair trade maka gunakan Bea Masuk Anti Dumping, Bea Masuk Anti Dumping Sementara, bea masuk imbalam bea masuk perlindungan dan lain-lain," kata Anggito. (eh)

Indonesia Belum Optimal Manfaatkan Peluang ACFTA JAKARTA - Indonesia dinilai masih belum optimal dalam memanfaatkan peluang yang sebenarnya dapat diperoleh dari perjanjian perdagangan bebas antara negara-negara Asean dan China. "Negara-negara Asean lain lebih bisa memanfaatkan ACFTA (perjanjian perdagangan bebas antara Asean dan China)," kata Ina Primiana, peneliti Lembaga Pengkajian Peneliti dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kamar Dagang dan Industri Indonesia di Jakarta, Jumat. Ina memaparkan, pertumbuhan ekspor Indonesia pada 2011 dibanding sebelumnya hanya mencapai sekitar 25 persen, atau di bawah angka negara-negara lainnnya seperti Filipina (265,8 persen), Malaysia (137,6 persen), Brunei (103,4 persen), Singapura (37,4 persen), dan Thailand (28,6 persen). Terkait dengan neraca perdagangan Indonesia-China pada periode 2007 - 2011, ujar dia, meski pertumbuhan nilai impor dari China mencapai lebih dari 300 persen dan nilai ekspor Indonesia juga mencapai sekitar 300 persen, tetapi setiap tahun Indonesia selalu mengalami defisit perdagangan. Neraca perdagangan Indonesia pasca penandatanganan FTA, lanjutnya, defisit neraca perdagangan terus memburuk. Hal itu antara lain karena dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan impor selalu 2 - 3 kali lebih tinggi dari pertumbuhan ekspor. Ia juga berpendapat bahwa beragam jenis produk Indonesia yang terkena dampak negatif ACFTA antara lain furnitur, barang-barang peralatan rumah tangga, tekstil, garmen, dan sepatu. Sementara itu, para menteri ekonomi dari 10 negara Asean dan enam mitra kawasannya bertemu di Siem Reap, Kamboja, Kamis. Mereka sepakat memulai perundingan perjanjian perdagangan bebas yang diperluas. Hasil pertemuan itu menyatakan, perundingan terkait perjanjian perdagangan bebas yang diperluas itu akan dimulai pada awal tahun depan, diselesaikan pada akhir 2015, sesuai dengan prinsip kesepakatan pada pertemuan tingkat menteri. Pakta perdagangan bebas yang melibatkan 16 negara - 10 anggota Asean plus China, Jepang, Korea Selatan, India, Australia dan Selandia Baru - itu dirancang untuk meliberalisasi perdagangan barang, jasa dan investasi di kawasan ini. (tk/ant) Sumber: investor.co.id

Lalai Dampak Buruk ACFTA, Indonesia Kebanjiran Produk China Jakarta - Kementerian Perindustrian meyakini perjanjian dagang Asean-China atau Asean China Free Trade Agreement (ACFTA) pada akhirnya menjadi biang keladi banjirnya produk impor khususnya asal China karena kurangnya pemahaman terhadap kesepakatan perdagangan bebas tersebut. "Banyaknya produk impor yang membanjiri pasar dalam negeri, karena banyak pihak tidak

mempelajari dampak buruk implementasi dari kerjasama perdagangan ACFTA," kata Wakil Menteri Perindustrian Alex S.W Retraubun di Jakarta, Selasa (17/7). Menurut Alex, untuk meningkatkan daya saing industri dalam negeri, pemerintah diharapkan mempelajari kerja sama perdagangan dengan negara lain karena dampak kerjasama ACFTA. Pasalnya, hal itu sangat merugikan Indonesia. Dia menjelaskan, minimnya pasokan energi dan tingkat suku bunga bank yang masih tinggi merupakan dua faktor utama yang menghambat daya saing industri dalam negeri. "Kemenperin hanya menentukan 30% kebijakan untuk mengembangkan industri dan 70% di instansi lain. Namun, minimnya suplay gas masih menjadi kendala dan suku bunga perbankan merupakan salah satu kendala pembiayaan di sektor industri," paparnya. Saat ini, ada 450 perjanjian perdagangan yang telah disepakati di seluruh dunia dan pemerintah sedang mempelajari perjanjian perdagangan dengan Korea Selatan. "Jangan sampai produk Korea Selatan menggempur pasar dalam negeri. Yang harus dilakukan adalah membuat produk yang memiliki nilai tambah agar bisa diekspor ke Korea Selatan," tuturnya. Risiko Deindustrialisasi Di tempat berbeda, ekonom Universitas Atmajaya, A Prasetyantoko, mengungkapkan, lemahnya daya saing Indonesia dalam menghadapi perjanjian perdagangan bebas ACFTA, bakal memperbesar risiko menuju deindustrialisasi. Hal ini diperparah dengan tidak adanya desain industri yang komprehensif dan upaya maksimal untuk menekan produksi. "Daya saing negara kita masih rendah, sementara biaya produksi belum bisa diturunkan. Negara kita juga dihadapkan sejumlah paradoks yang bisa menghambat pertumbuhan dari negara berpendapatan menengah menjadi negara yang lebih maju," terang Prasetyantoko. Prasetyantoko mengatakan, sebagai negara kaya, industri di tanah air masih tidak efisien. Jumlah penduduk yang besar, tidak diimbangi produktivitas yang masih rendah. Likuiditas berlebih di pasar keuangan juga tidak disertai dengan intermediasi yang cukup. "Paradoks lainnya adalah ukuran ekonomi yang besar tapi kompetisi rendah," katanya. Sementara ekonom Senior Indef Didik J. Rachbini, mengatakan, rendahnya daya saing industri Indonesia bermula dari maraknya ekspor bahan mentah. Tni membuat industri dalam negeri kekurangan bahan baku," ujarnya. Dia menambahkan, industri domestik juga selalu menderita kekurangan pasokan energi, terutama gas. Didik mengatakan, sebelum era reformasi, di saat ekonomi tumbuh sekitar 7%, industri pengolahan bisa tumbuh hingga 14%. Saat ini, dengan pertumbuhan 6,5%, industri pengolahan hanya tumbuh kurang dan 2%. "Jadi gejala deindustrialisasi itu bukan sebuah halusinasi," kata Didik. Untuk meningkatkan daya saing di tengah ACFTA, pemerintah diminta menyediakna infrastruktur pendukung industri. Selain itu, kata Didik, masterplan industri unggulan harus bisa lebih implementatif. "Juga dibutuhkan daya dukung sektor keuangan," katanya. Selain itu, pemerintah

juga diminta melarang mengekspor bahan mentah. "Produksi energi juga harus diprioritaskan untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri," kata Didik. Di pihak lain, Direktur Eksekutif Indef, Ahmad Erani Yustika, mengatakan, hingga kini belum ada perubahan signifikan pada struktur pertumbuhan ekonomi Indonesia. "Masih ditopang konsumsi. Agak sulit mengubah ini dalam beberapa waktu mendatang. Pertumbuhan juga masih didominasi sektor nontradeable," katanya. sumber : Harian Ekonomi Neraca

Indonesia terlihat kalah dalam menghadapi ACFTA. Hal ini ditunjukkan oleh fakta bahwa Indonesia defisit perdagangan dari china. Selain itu, Indonesia menjadi satu- satunya Negara yang deficit dalam perjanjian ini. Padahal Indonesia merupakan Negara terbesar di ASEAN. Hal itu menunjukkan bahwa Indonesia sangat rugi dengan deficit ini. Itu disebabkan karena Indonesia belum mampu memanfaatkan ACFTA dengan baik seperti Negara ASEAN lainnya.

Indonesia harus dapat mendorong dunia perdagangan di domestik untuk lebih meningkatkan kualitas barang. Selain itu, berusaha untuk menurunkan harga barang dan jasa yang dijual di dalam negeri maupun yang dijual ke china, dan juga meningkatkan poduktifitas. Kita juga harus bisa lebih meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya membeli barang dalam negeri dan barang yang berkualitas. Indonesia juga harus mendorong dunia bisnis untuk mengeluarkan inovasi- inovasi baru yang mampu mendorong minat konsumen untuk membeli barangnya. Lebih memudahkan penguasaha untuk mengekspor barangnya keluar negeri agar barang dan jasa tidak naik terlalu mahal.

You might also like