You are on page 1of 12

LAPORAN KASUS

Difficult Intubation : Awake Intubation in Frontonasal Meningoencephalocele


Agus Suharsedana*, Wibawa*, Kurniyanta*, Sinardja** Abstract
An anesthesia had been done to a 23 days infant, body weight 2,8 kgs with diagnosis frontonasal meningoencephalocele, which resection and closing the defect was done. Patient was categorized to ASA II physical status due to difficulty in intubating the patient (infant with meningoencephalocele), therefore intubation was done while the patient was awake because the mass of the meningoencephalocele was big and covered the whole nose also the left eye which caused difficulties in ventilation and laringoscopy-intubation. First the patient was given 0,3 mg of Atropine and 3 mcg of fentanyl, then awake intubation was done, maintenance was given with N2O, O2, Sevoflurane and Vecuronium. The surgery was 1 hour and 40 minutes long, there was no blood transfusion required, and patient was extubated. Post operative patient was treated under the care of NICU. Keywords: meningoencephalocele, awake intubation.

Abstrak Telah dilakukan anestesi pada bayi perempuan, 23 hari, berat badan 2,8 kg dengan diagnosis meningoencephalocele frontonasal, yang telah dilakukan reseksi. Pasien dimasukkan dalam status fisik ASA II karena kesulitan intubasi (bayi dengan meningoencephalocele), maka intubasi dilakukan dengan awake intubasi karena massa Meningoensefalokel yang besar yang menutupi seluruh hidung, mata kiri dengan kesulitan ventilasi dan laryngoscopy-intubasi. Pasien sebelumnya diberikan Sulfas Atropin 0,3 mg dan fentanyl 3 mcg, dilakukan awake intubasi kemudian dilanjutkan dengan N20, 02, Sevofluran dan vecuronium. Operasi berlangsung 1 jam 40 menit, tidak dilakukan transfusi dan pasien diekstubasi. Paska operasi pasien dirawat di NICU. Kata kunci: meningoencephlocele, awake intubasi.

*) Residen Anestesi *)Staf Pengajar Lab/SMF Anestesiologi & Reanimasi FK UNUD/RS Sanglah, Denpasar

Pendahuluan Meningoensefalokel merupakan kasus kelainan kongenital yang jarang terjadi. Terjadi defek pada tulang sehingga terjadi herniasi isi otak melalui defek tersebut. Jika isinya hanya lapisan meningen dan cairan CSF disebut Meningocele . Jika terdapat jaringan saraf yang keluar disebut Meningoencephalocele. Kejadian kasus ini yaitu 1 dalam 5000 kelahiran. Bayi atau anak
dengan Meningoencephalocele dapat terjadi gangguan sensorik dan motorik. Kelainan kongenital yang sering berhubungan dengan kasus Meningoencephalocele yaitu : club foot, hydrocephalus, extrophy of bladder, prolapsed uterus, Klippel-Feil syndrome dan kelainan jantung. Penguasaan jalan nafas pada

pasien-pasien yang akan dilakukan pembedahan dengan anestesi umum memerlukan penilaian awal yang seksama untuk memperkirakan penyulit yang akan dihadapi. Perlindungan jalan nafas secara definitif yaitu dengan ETT sering kali menghadapi kesulitan saat pemasangannya. Kelainan/anomali jalan nafas, pada pasien trauma facial, perdarahan saluran cerna bagian atas, cervical spine abnormality, dan obesitas menjadi tantangan bagi anestesiologis.1,2 Sebelum melakukan tindakan laryngoscopy-intubasi pada neonatus (pediatri), evaluasi praanestesia menjadi kewajiban kita untuk menilai penyulit dan antisipasi dari penyulit yang akan dihadapi. Pilihan teknik intubasi sulit sesuai dengan algoritme, menjadi dasar dalam pengelolaan anestesi.

Algoritme Intubasi Sulit 3

Anatomi Secara anantomi neonatus mempunyai ukuran kepala, lidah yang relatif lebih besar, jalan nafas relatif sempit, leher pendek, trakea pendek dan posisi laryng yang lebih anterior dan cephalad dibandingkan dengan orang dewasa. Oleh karena itulah dikatakan neonatus dengan obligat nasal breather sampai umur 5 bulan. Kartilago krikoid merupakan celah yang tersempit. Satu millimeter saja dari ukuran edema akan mengurangi ukuran diameter trakea4

Gambar 1. Perbedaan anatomi jalan nafas antara dewasa (A) dan neonatus (B)4

Evaluasi penyulit dapat dinilai dari kriteria mallampati.

Gambar 2. Kriteria Mallampati4

Setelah evaluasi penyulit yang akan dihadapi tentunya kita mempersiapkan langkahlangkah antisipasinya. Antisipasi baik persiapan diri, alat, obat dll. Peralatan intubasi yang disiapkan antara lain:

Tabel 1. Peralatan yang disiapkan saat intubasi4

Intubasi Endotrakeal Intubasi endotrakeal pertama kali dikenalkan oleh William MacEwan tahun 1878 dengan memasukan pipa endotrakeal lewat mulut ke trakea dengan tangan pada pasien yang masih sadar. Intubasi endotrakeal dapat dilakukan baik secara oral maupun nasal, tergantung lokasi pembedahan. Intubasi dapat dilakukan dengan anestesi maupun tanpa anestesia (awake intubasi). Tindakan laryngoscopy intubasi merupakan tindakan yang memberikan goncangan kardiopulmoner. Berbagai teknik dan secara farmakologi dapat dilakukan untuk meredam efek yang ditimbulkan saat laryngoscopy intubasi. Secara farmakologi dapat diberikan opioid, -2 agonis, -blocker, anestesi lokal (lidocaine), dll1,2,3,4 Pada orang dewasa, awake intubasi menimbulkan respon sistemik antara lain peningkatan tekanan intrakranial, peningkatan tekanan darah, laju nadi oleh karena rangsangan nyeri yang ditimbulkannya. Peningkatan intrakranial pada neonatus dapat dinilai dari fontanella anterior (yang masih belum tertutup sampai bayi berumur 18 bulan). Intubasi endotrakeal pada neonatus dapat dilakukan pada pasien masih sadar (awake intubasi) atau dengan anestesi5,6,7,8

Laporan Kasus Seorang anak perempuan umur 23 hari dengan diagnosa Meningoencefalokel frontonasal dilakukan operasi reseksi dan penutupan defek. Pada heteroanamnesa didapatkan benjolan diantara kedua mata sampai pangkal hidung sejak lahir yang semakin lama makin membesar sesuai dengan bertambahnya usia. Penderita saat pemeriksaan tidak ada keluhan batuk, sesak, pilek dan panas badan. Riwayat persalinan spontan normal dengan BBL 2500 gram. Penderita masuk rumah sakit tanggal 1-5-2008 dan telah dilakukan operasi tgl 3/5/2008. Dari pemeriksaan fisik didapatkan pasien dengan kesadaran kompos mentis dengan meningoencephalokel yang besar, sistem sirkulasi dengan irama jantung 130 x/menit, suara jantung normal, sistem respirasi dengan respirasi 32 kali/menit, tidak ada rhonki dan whezzing. Sistem hepatobilier normal, sistem urogenital normal, sistem muskuloskeletal normal. Pasien dengan berat badan 2,8 kg (BBI 4,8 kg)

Gambar 3.1

Gambar 3.2

Gambar 3.3

Dari pemeriksaan penunjang sistim respirasi

thoraks foto: dalam batas normal, sistem

sirkulasi thoraks foto besar jantung dalam batas normal (CTR 52%), sistim hepatobilier AST 54 IU/L, ALT 30 IU/L, Sistem urogenital : BUN 6,0 mg/dL, Creatinin 0,4 mg/dL, elektrolit : Na 136,9 mEq/L , K 4,96 mEq/L, hematologi 25/4/2008) : Leukosit: 17,92 103/L , Hgb 15.2 g/dL , Hct 43,4 % , Plt : 616.000, BT 2`30, CT 7`00. Hasl Ct Scan : meningoencephalokel
7

Pada kasus ini, pasien dikelola dengan awake intubasi yang disambung dengan induksi sevofluran. Pasien sebelumnya diberikan premedikasi Sulfas Atropin 0,03 mg dan fentanyl 3 mcg, kemudian preoksigenasi dengan O2 100% 4 liter selama 3 menit kemudian dilakukan awake intubasi. Intubasi dengan pipa endotracheal kingking no.3,5 tanpa cuff dimasukkan sampai kedalaman 10 pada skala pipa endotracheal. Setelah evaluasi pengembangan paru kanan dan kiri dan simetris kemudian difiksasi dan diberi packing dengan Gaas untuk mencegah kebocoran pipa endotrakea . Pemeliharaan anestesi dengan N20 2 ltr: O2 2 ltr dan sevofluran 2 vol%. Post operasi diperiksa darah lengkap didapatkan wbc: 11,3, Hgb: 10,5, Hct 31,2, Plt:648.000

Gambar 3.3

Gambar 3.4

Gambar 3.5

Pembahasan Penderita dimasukkan dalam status fisik ASA II karena permasalahan kesulitan ventilasi dan intubasi (bayi dengan meningoencefalokel frontonasal). Pada kasus diatas dilakukan operasi reseksi dan penutupan defek yang dikelola dengan anestesia umum inhalasi ETT nafas kendali. Permasalahan yang timbul sehubungan dengan pengelolaan anestesi yaitu penderita dengan pediatri dengan kesulitan ventilasi, kesulitan laryngoscopy-intubasi oleh karena massa meningoencefalokel yang besar dan permasalahan imaturitas organ serta risiko perdarahan Sebelum merencanakan tata laksana anestesi, evaluasi penyulit tindakan anestesi perlu kita perhatikan seperti misalnya mudah atau tidaknya pemasangan infus pada penderita dan penyulit saat laryngoscopy intubasi. Selain itu persiapan tata laksana anestesi pediatri perlu memikirkan pengaturan jadwal puasa yang disesuaikan dengan jadwal acara operasi agar penderita tidak terlalu lama puasa. Pada pasien ini cairan pengganti puasa dan pemeliharaan dipilih dektrosa saline untuk mencegah hipoglikemia dan karena pasien pediatri sangat mudah terjadi hipoglikemia bila terpuasakan. Pengaturan suhu kamar operasi dengan persiapan selimut penghangat, cairan infus yang dihangatkan juga menjadi perhatian. Karena kesulitan dalam ventilasi maupun saat laryngoscopy- intubasi maka diputuskan untuk melakukan awake intubasi dengan diberikan sebelumnya sulfas atropin 0,3 mg dan fentanyl 3 mcg sebelum intubasi untuk mencegah bahaya bradikardi dan mengurangi respon simpatis saat laryngoscopy-intubasi. Setelah ETT masuk dan telah diyakini masuk, ETT disambung dengan sirkuit pediatri dan anestesia diperdalam dengan Sevofluran, N20 dan 02 serta vekuronium 0,1 mg/kg. Respon simpatis yang meningkat saat dilakukan awake intubasi menjadi perhatian kita. Berbagai cara dapat dilakukan untuk mengurangi respon simpatis tersebut. Pilihan teknik intubasi juga dapat mengurangi efek yang terjadi terutama peningkatan tekanan intrakranial pada pasien bedah saraf. Rapid Sequence Intubation dengan Pentotal dan suksinilkolin dapat dipertimbangan pada kasus-kasus kesulitan jalan nafas. Pada kasus ini tidak dipertimbangkan RSI, karena tidak memungkinkan untuk ventilasi. Peningkatan tekanan intra kranial pada awake intubasi terjadi saat 1 menit pertama laryngoscopy-intubasi yang dapat dinilai dari Transcranial Doppler (TCD) pada fontanella anterior tetapi dilaporkan tanpa terjadi peningkatan aliran darah otak6.

10

Berdasarkan perhitungan hematokrit, jumlah perdarahan yang terjadi yaitu + 27 cc sehingga tidak memerlukan transfusi. Nyeri yang ditimbulkan juga menjadi masalah yang perlu dipahami, oleh karena bayi juga memberikan keluhan nyeri. Perkembangan stimulus nyeri, telah ada sejak bayi dalam kandungan.. Pemantauan denyut jantung dan tekanan darah dapat menjadi acauan kita dalam menilai kecukupan analgesia selama operasi.8

Simpulan 1. Awake intubasi saat ini masih menjadi pertimbangan dalam penanganan kasus-kasus dengan kesulitan menagement airway terutama pada pasien-pasien pediatri. 2. Respon simpatis yang ditimbulkan saat awake intubasi dapat dikurangi dengan pemberian sedasi dan analgetika

Daftar Pustaka
11

1. Stoelting RK, Dierdof SF. Diseases Presenting in Pediatric. In: Anesthesia and CoExisting Diseases. Philadelpia:Churchil-Livingstone;2002,687-738. 2. Zuckerberg A., Nichols DG. Airway Management in Pediatric Critical Care. In: Textbook of Pediatric Intensive Care. Ed 3rd. New York: William&William;1996, 51-76. 3. Norris RL. The Awake Airway. Washington:ACEP Scientic-Assembly;2007. 4. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ.Pediatric Anesthesia. In:Clinical Anesthesiology. New York: McGraw Hill;2006, 922-50. 5. Batra YK, Mathew P. Airway Management With Endotracheal Intubation (Including Awake Intubation and Blind Intubation. Indian J.Anaesth.2005;49(4):263-68. 6. Millar C. Bissonnette B. Awake Intubation Increases Intracranial Pressure Without Affecting Cerebral Blood Flow Velocity in Infants. Can J Anaesth 1994;41(4):281-7. 7. Barash PG. Cullen BF. Stoelting RK. Airway Management. In: Clinical Anesthesia. Philadelpia:Lippincort;2006,595-642. 8. Singh KVS, et all. Giant Occipital Meningoencephalocele. Journal of Anesthesiology.2007;13(2).

12

You might also like