You are on page 1of 3

Ambruknya Jembatan Demokrasi

Oleh Thomas Koten

Fareed Zakaria dalam The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad
mengatakan bahwa sebuah negara tidak bisa begitu saja dijuluki sebagai negara yang
demokratis manakala hanya memiliki prestasi dalam penyelenggaraan pemilu secara
terbuka, bebas dan bersih, tetapi setelah itu malah kerap mengabaikan aspirasi rakyat,
melanggar hak-hak sipil dan politik warganya.
Dengan demikian, kualitas demokrasi lebih diukur melalui keberhasilan negara
dalam memenuhi hak-hak sipil dan politik warganya, seperti peningkatan kesejahteraan
rakyat. Semakin sebuah negara sanggup memenuhi hak-hak warganya, akan semakin
tinggi pula kualitas demokrasi yang diraihnya. Sebaliknya, semakin negara mengabaikan
hak-hak warganya, akan semakin rendah pula kualitas demokrasi negara tersebut.
Namun, persoalan Indonesia pasca reformasi adalah bukan saja belum sanggup
memenuhi hak-hak sipil dan politik warganya, tetapi juga belum memiliki prestasi yang
cemerlang dalam menyelenggarakan pemilu yang bebas dan bersih serta memiliki
kredibilitas tinggi. Pemilu legislatif 9 April yang baru usai oleh banyak kalangan,
khususnya para pemerhati politik dikatakan sebagai pemilu yang paling buruk dalam
sejarah politik pemilu di negeri ini.

Kematangan demokrasi, mungkinkah?


Oleh karena mencuatnya persoalan fundamental demokratik tersebut, maka posisi
kualitas demokrasi Indonesia kini bukan saja rendah, tetapi juga dipertanyakan, apakah ia
akan terus berkembang menuju kematangannya atau akan meredup ditelan
otoritarianisme kekuasaan yang bisa saja menyusulnya? Untuk tahap ini kualitas
demokrasi memang cukup tergantung pada arah bandul demokrasi yang sedang bergerak
mengayun mengikuti dinamika pertentangan dan konsensus akibat berbagai cacat serius
dalam pemilu legislatif.
Persoalan yang bertalian dengan berbagai ketidakberesan pemilu ini bukanlah
persoalan mudah dan sepele. Karena, di samping persoalan golput, dan kekacauan dalam
penyelenggaraan dan penghitungan suara, juga ada persoalan yang sangat serius, yakni
dalam kasus daftar pemilih tetap (DPT). Karena kasus DPT merupakan sebuah
pengabaian, bahkan sebuah kekejaman serius yang dilakukan negara terhadap hak asasi
rakyat dalam berdemokrasi.
Hal itu mengingat demokrasi, sebagaimana didefinisikan Yoseph Schumpeter
sebagai tatanan institusional untuk mencapai keputusan-keputusan politik di mana
individu-individu dapat memperoleh kekuasaan untuk menentukan keputusan itu melalui
kompetisi menyalurkan dan memperebutkan suara rakyat. Jadi, sangat berbahaya jika
rakyat yang memiliki hak dalam berdemokrasi dikekang, dibatasi atau dikebiri secara
politik, entah disengaja atau tidak. Bukankah penyeleggaraan pemilu merupakan suatu
proyek politik yang sudah direncanakan secara matang?
Okelah, demokrasi dalam proses pematangannya memang membutuhkan waktu
dan melalui jalan yang panjang, terjal dan berliku. Dan dalam proses ini tentu dibaluti
dan/atau diwarnai aneka konflik atau disharmoni ketimbang harmoni. Hal ini lantaran
demokrasi sebagaimana menurut Gutman, seperti yang disitir Zainul Ma’arif (2009), di
satu sisi menempatkan individu-individu di hadapan pilihan-pilihan politik tanpa jaminan
revolusi yang tuntas. Di sisi lain, demokrasi memungkinkan individu-individu tersebut
saling berkonfrontasi dalam menentukan suatu persoalan politik.
Di situlah demokrasi memberi ruang bagi terlaksananya kompetisi yang kerap
memuncratkan persaingan yang tidak sehat yang terbalut politik menghalalkan cara ala
filsafat politik Machiavelli.. Dan gelagat berpolitik seperti ini, secara terselubung ataupun
terang-terangan tumbuh cukup subur di negeri ini, dan seolah sudah menjadi suatu
kemestian. Bahkan, pertarungan politik di Indonesia sudah berkembang dalam proses
kompetisi ala filsuf Thomas Hobbes, homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi
sesamanya.
Secara alami, pertarungan politik perspektif Hobbesian ini, senantiasa
memperlakukan lawan politik sebagai “aku” yang lain dengan landasan saling
menghormati sangatlah sulit. Naluri kebinatangan mendesak orang untuk memangsa
orang lain. Dalam posisi ini, yang kuat selalu memangsa dan melumat yang lemah. Yang
kuat dengan segala fasilitas yang dimiliki merekayasa proses demokrasi demi memenangi
pertarungan, sedangkan yang lemah dan kalah berusaha dan terus berjuang dengan
caranya termasuk merekayasa pemilih ulang dan mengarahkan aksi demonstrasi massa.
Tetapi, sayang, yang kuat akan selalu menang, dan yang kalah akhirnya hanya terhempas
dalam rasa keputusasaannya.
Memang, dalam pertarungan perebutan kekuasaan, baik lewat sistem dan proses
yang demokratis maupun yang nondemokratis, selalu berjalan dalam arus ketegangan
antara insting kebinatangan yang penuh nafsu dan keserakahan dengan memosisikan
orang lain sebagai musuh, dan insting kemanusiaan yang mengutamakan lawan politik
sebagai “aku” yang lain dengan saling menghormati.
Dalam aras koalisi memperebutan kursi presiden dan wakil presiden menjadi
indah, jika semuanya memiliki insting kemanusiaan yang dimaksud. Tetapi, apakah hal
itu mungkin? Inilah pertanyaan yang sulit dijawab mengingat parpol, yang dapat
dikatakan merupakan salah satu pilar demokrasi, selalu dianggap sebagai arena yang
paling menjanjikan untuk investasi di mana; status, kekuasaan dan kekayaan bisa diraup
secara bersama-sama. Apalagi, parpol selama ini senantiasa menjadi tempat kerumunan
para pekerja politik yang sepenuhnya mencita-citakan kekuasaan sebagai final
perjuangan politik.

Ambruknya demokrasi
Apabila parpol dan segenap politisinya hanya memiliki insting kebinatangan
dalam meraih kekuasaan dengan menempatkan kekuasaan sebagai satu-satunya cita-cita
perjuangan politik, maka proses demokrasi akan terus meniti di jalan terjal. Demokrasi
bukan hanya jauh dari substansinya, tetapi secara formalistik pun jauh dari kehendak-
kehendak demokrasi itu sendiri. Bagaimana cita-cita demokrasi susbtansial dapat
terjamah jika demokrasi formalistik pun mengalami babak belur?
Maka, demi terjelmanya demokrasi yang formalistik dan substansif, diperlukan
sikap saling menghormati di antara para politisi. Bahwa perbedaan merupakan wujud
pluralitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan sikap saling menghormati ini
dapat tumbuh dalam diri para politisi jika adanya kesadaran politik dan sanggup
bertindak rasional humanistik seperti bersikap bijaksana (ethical awarness) yang
dilandasi oleh kematangan sikap politik.
Jika parpol dan politisi kita tidak memiliki kebijaksanaan sikap dan keagungan
nurani sebagai ekspresi kematangan dalam berpolitik, maka berbagai jembatan menuju
kesejahteraan demokrasi pun bukan sekadar berkutat pada formalistik belaka, jauh dari
substansi yang dicita-citakan demokrasi, melainkan akan ambruk dan terjungkal ke dalam
jurang nista yang berbalutkan sinisme publik karena hanya menyembulkan konflik yang
tidak berkesudahan.
Ujungnya, penyelenggaraan pemilu baik pemilu legislatif maupun pemilu
presiden yang mahal dan mewah menjadi tidak bermakna dan cita-cita negara
kesejahteraan yang dihembuskan demokrasi menguap tak berbekas.

Penulis, Direktur Social Development Center

You might also like