Professional Documents
Culture Documents
Fareed Zakaria dalam The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad
mengatakan bahwa sebuah negara tidak bisa begitu saja dijuluki sebagai negara yang
demokratis manakala hanya memiliki prestasi dalam penyelenggaraan pemilu secara
terbuka, bebas dan bersih, tetapi setelah itu malah kerap mengabaikan aspirasi rakyat,
melanggar hak-hak sipil dan politik warganya.
Dengan demikian, kualitas demokrasi lebih diukur melalui keberhasilan negara
dalam memenuhi hak-hak sipil dan politik warganya, seperti peningkatan kesejahteraan
rakyat. Semakin sebuah negara sanggup memenuhi hak-hak warganya, akan semakin
tinggi pula kualitas demokrasi yang diraihnya. Sebaliknya, semakin negara mengabaikan
hak-hak warganya, akan semakin rendah pula kualitas demokrasi negara tersebut.
Namun, persoalan Indonesia pasca reformasi adalah bukan saja belum sanggup
memenuhi hak-hak sipil dan politik warganya, tetapi juga belum memiliki prestasi yang
cemerlang dalam menyelenggarakan pemilu yang bebas dan bersih serta memiliki
kredibilitas tinggi. Pemilu legislatif 9 April yang baru usai oleh banyak kalangan,
khususnya para pemerhati politik dikatakan sebagai pemilu yang paling buruk dalam
sejarah politik pemilu di negeri ini.
Ambruknya demokrasi
Apabila parpol dan segenap politisinya hanya memiliki insting kebinatangan
dalam meraih kekuasaan dengan menempatkan kekuasaan sebagai satu-satunya cita-cita
perjuangan politik, maka proses demokrasi akan terus meniti di jalan terjal. Demokrasi
bukan hanya jauh dari substansinya, tetapi secara formalistik pun jauh dari kehendak-
kehendak demokrasi itu sendiri. Bagaimana cita-cita demokrasi susbtansial dapat
terjamah jika demokrasi formalistik pun mengalami babak belur?
Maka, demi terjelmanya demokrasi yang formalistik dan substansif, diperlukan
sikap saling menghormati di antara para politisi. Bahwa perbedaan merupakan wujud
pluralitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan sikap saling menghormati ini
dapat tumbuh dalam diri para politisi jika adanya kesadaran politik dan sanggup
bertindak rasional humanistik seperti bersikap bijaksana (ethical awarness) yang
dilandasi oleh kematangan sikap politik.
Jika parpol dan politisi kita tidak memiliki kebijaksanaan sikap dan keagungan
nurani sebagai ekspresi kematangan dalam berpolitik, maka berbagai jembatan menuju
kesejahteraan demokrasi pun bukan sekadar berkutat pada formalistik belaka, jauh dari
substansi yang dicita-citakan demokrasi, melainkan akan ambruk dan terjungkal ke dalam
jurang nista yang berbalutkan sinisme publik karena hanya menyembulkan konflik yang
tidak berkesudahan.
Ujungnya, penyelenggaraan pemilu baik pemilu legislatif maupun pemilu
presiden yang mahal dan mewah menjadi tidak bermakna dan cita-cita negara
kesejahteraan yang dihembuskan demokrasi menguap tak berbekas.