You are on page 1of 26

BAB I PENDAHULUAN

Trauma adalah keadaan yang disebabkan oleh luka atau cidera. Trauma abdomenadalah keadaan pada abdomen baik bagian dalam ataupun luar yang disebabkan oleh lukaatau cidera. Trauma tumpul abdomen yaitu trauma abdomen tanpa penetrasi ke dalamrongga peritoneum, dapat diakibatkan oleh pukulan, benturan, ledakan,

deselarasi,kompresi, atau sabuk pengaman. Trauma tumpul abdomen sering kali ditemui pada unitgawat darurat. Sebanyak 75% kasus trauma tumpul abdomen adalah sebagai akibat darikecelakaan lalu lintas, baik itu kendaraan dengan kendaraan maupun kendaraan dengan pejalan kaki. Sedangkan trauma abdomen akibat pukulan sebanyak 15% dan jatuhsebanyak 9%. Selebihnya adalah sebagai akibat dari child abuse dan domestic violence. Pasien dengan trauma tumpul abdomen memerlukan penatalaksanaan yangcepat dan efisien. Pada trauma ganda, abdomen merupakan bagian yang terseringmengalami cedera. Seorang pasien yang terlibat kecelakaan serius harus dianggap cederaabdominal sampai terbukti lain.Sampai saat ini cedera abdomen yang luput dari diagnosis masih merupakan penyebab kematian yang dapat dicegah (preventable death) pada penderita dengandengan trauma batang tubuh (trunk). Kurangnya data mengenai riwayat kesehatan pasien,kronologis kejadian, luka atau trauma lain yang dapat mengalihkan perhatian, dan perubahan status mental sebagai akibat dari cedera kepala atau intoksikasi, membuattrauma tumpul abdomen sulit untuk didiagnosis dan ditatalaksana. Pasien dengan traumatumpul abdomen biasanya datang dengan cedera abdominal dan extraabdominal yangmemerlukan perawatan lanjut yang rumit.

BAB II ANASTESI

A. IDENTITAS PASIEN

Tanggal Nama

: 10-10-2013 : Tn. J

Jenis Kelamin : laki-laki Umur BB Ruang No MR Diagnosis Tindakan : 24 tahun : 52 kg : bedah : 741659 : Susp Peritonitis ec Trauma Tumpul Abdomen : Laparotomi

B. ANAMNESIS Autoanamnesis

Keluhan Utama

: nyeri pada seluruh lapangan perut

Riwayat Perjalanan Penyakit : os rujukan dari klinik HTI PT.WKS dengan keluhan nyeri pada seluruh lapangan perut setelah terjadi kecelakaan lalu lintas beberapa jam sebelum nya. Pada saat kejadian os mengendarai motor

dan tidak menggunakan helm, os jatuh kearah jalan tubuh os membentur aspal. Terdapat jejas di daerah perut os. Mual (-), muntah (-), demam (-), BAB (+), BAK (+). Nyeri dirasakan semakin berat. Riwayat Operasi Riwayat Penyakit Penyerta Riwayat Alergi :: Hipertensi (-), DM (-), Jantung (-),dan asma (-) : os mengaku tidak alaergi terhadap makanan

apapun maupun obat-obatan tertentu

C. KETERANGAN PRA BEDAH

1. Tanda Vital a. Keadaan Umum b. Kesadaran c. TD d. Pernafasan e. Nadi f. Suhu 2. Pemerikasaan Penunjang o Hb o Ht o Leukosit o Trombosit : 13.0 gr/dl (11-16,5) : 39.2 L % (35-50) : 30.1 x 103/mm3 (3,5-10) : 234 x 103/mm3 (150-390) : Tampak sakit berat : GCS : E4 M6 V5 : 110/60 mmHg : 23x/mnt : 80x/mnt C compos mentis

o Bleeding Time : 2,5 menit (1-3) o Clotting Time : 3,5 menit (2-6) Kimia darah lengkap a. Faal Hati Bilirubin Total Bilirubin Direct Bilirubin Indirect Protein Total Albumin Globulin : 0,9 mg/dl : 0.7 mg/dl : 5,8 mg/dl : 3,8 g/dl : 2,0 g/dl : 2,0 g/dl

SGOT SGPT

: 28 U/L : 26 U/L

b. Faal Ginjal Ureum Kreatinin : 38,4 mg/dl : 1,2 mg/dl

c. Gula Darah Sewaktu

: 120 mg/dl

d. Rontgen Thoraks : kesan pulmo kanan dan kiri normal, bentuk dan ukuran cor normal 1. Penyakit Penyerta :-

2. Pengobatan Pra Bedah: -

D. RENCANA TINDAKAN ANESTESI 1. DIAGNOSIS PRA BEDAH Susp Peritonitis ec Trauma tumpul abdomen 2. STATUS FISIK ASA ASA III E 3. RENCANA TINDAKAN BEDAH Laparaskopi 4. JENIS/TINDAKAN ANESTESI General Anestesi

E. PERSIAPAN ANASTESI 1. Persiapan Pasien Pemasangan infus dengan cairan Ringer Laktat 2. Persiapan Alat o Stetoskop o Tensimeter o ETT 7,0 o Abocath no.18

o Infus set o Spuit o Kassa steril o Plester o Suction set 3. Obat-obat yang dipakai Premedikasi :

Ranitidine 50 mg Ondansetron 4 mg As.Traneksamat 1 gr

Pasien dipasang monitor : Tensi : 117/63 mmHg HR : 113 x/mnt SpO2 : 99 % dengan udara bebas Anestesi Umum Setelah preoksigenisasi dgn O2 100%. Pasien diberikan obat anestesi dengan urutan sebagai berikut : Sulfas Atropine Propofol Roculax : 0.50 mg : 100 mg : 30 mg

Intubasi

: telah dilakukan secara oral menggunakan tube no 7,0 dengan balon dan tidak

terdapat kesulitan saat intubasi

1. Induksi Saat dan pasca intubasi : Tensi : 110/72 mmHg HR : 110x/mnt SpO2 : 99-100%

: Sempurna

2. Medikasi 1) Recofol 100 mg 2) Recoronium 30 mg 3) petidine 50 ug

4) dexametason 10 mg 5) Ketorolac 30 mg 6) Ondansetron 4 mg 7) As.Traneksamat 1 gr 8) Tramadol 100 mg 9) Neostigmin 0,5 mg

Pemeliharaan Tidal volume L/menit

: : 50 x 8 = 400 mL : 400 x 14 = 5,6 L

N2O ( 2,5 liter / menit ) + O2 ( 3,5 liter / menit ) + isofluran 2 vol % Respirasi : pada awalnya pasien belum bernapas spontan , sehingga menggunakan

ventilator dengan tidal volume 400 ml , RR 16 x / menit

3. monitoring Jam 21.00 21.15 21.30 21.45 22.00 22.15 22.30 22.45 TD (mmHg) 110/67 115/80 130/80 117/78 122/70 130/60 125/78 135/68 Nadi (x/i) 85 75 80 85 78 70 78 75 RR (x/i) 20 21 22 22 19 22 20 19

4. Keadaan Penderita Selama Operasi Posisi Penyulit Anestesi Jumlah Cairan Input : RL 4 Kolf 2000 ml : Terlentang : Tidak Ada

HES 1 kolf 500 ml Total Output Perdarahan 2500 ml

: urine 1000 cc : 500 cc

Transfusi Darah 1 Kolf +NaCl

Persiapan Cairan Maintenance (M) Stress Operasi (O) Cairan I Jam Pertama : 2 x 50 (KgBB) : 4 x 50 (KgBB) :M+O : 100 + 200 : 300 cc ( 1 Kolf) Cairan II Jam Pertama :M+O : 100 + 200 : 300 cc ( 1 cc) Perdarahan Total Kebutuhan : 500 cc : 300 cc + 300 cc + 500 cc : 1100 cc ( 3 Kolf) = 100 cc = 200 cc

5. Ruang Pemulihan a. b. Masuk pada pukul : 12.15 WIB Keadaan umum : GCS Kesadaran TD Nadi RR c. d. Pernafasan Skoring Alderete 1. Aktifitas (0-2) 2. Pernafasan 3. Warna Kulit 4. Sirkulasi 5. Kesadaran :1 :2 :2 :2 :1 : Baik : 15 : composmentis : 125/60 mmHg : 74 x/menit : 18 x/menit

Jumlah

:8

e.

Instruksi Anestesi Observasi dan awasi keadaan umum dan vital sign tiap 15 menit selama 24 jam pertama post operasi Tidur terlentang tanpa bantal selama 1 x 24 jam pertama post operasi Tidak makan sampai sadar penuh Terapi sesuai dengan dr. Dennison Sp.B

BAB III

F. ANASTESI UMUM

I. Definisi Anestesi umum (general anestesi) atau bius total disebut jugadengan nama narkose umum (NU). Anestesi umum adalah meniadakan nyerisecara sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel (Miharja,2009). Anestesi umum biasanya dimanfaatkan untuk tindakan operasi besar yangmemerlukan ketenangan pasien dan waktu pengerjaan lebih panjang, misalnya pada kasus bedah jantung, pengangkatan batu empedu, bedah rekonstruksi tulang,dan lain-lain (Joomla, 2008).Cara kerja anestesi umum selain menghilangkan rasa nyeri,menghilangkan kesadaran, dan membuat amnesia, juga merelaksasi seluruh otot.Maka, selama penggunaan anestesi juga diperlukan alat bantu nafas, selain deteksi jantung untuk meminimalisasi kegagalan organ vital melakukan fungsinya selamaoperasi dilakukan. Untuk menentukan prognosis ASA (AmericanSociety of Anesthesiologists) membuat klasifikasi berdasarkan status fisik pasien pra anestesi yang membagi pasien kedalam 5 kelompok atau kategori sebagai berikut: ASA 1, yaitu pasien dalam keadaan sehat yang memerlukan operasi. ASA2, yaitu pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik karena penyakit bedah maupun penyakit lainnya. Contohnya pasien batu ureter denganhipertensi sedang terkontrol, atau pasien apendisitis akut dengan lekositosis dan febris. ASA 3, yaitu pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yangdiaktibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya pasien apendisitis perforasidengan septi semia, atau pasien ileus obstruksi dengan iskemia miokardium. ASA4, yaitu pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung mengancamkehiduannya. ASA 5, yaitu pasien tidak diharapkan hidup setelah 24 jamwalaupun dioperasi atau tidak. Contohnya pasien tua dengan perdarahan basiskrani dan syok hemoragik karena ruptura hepatik. Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan tanda darurat (E = emergency),misalnya ASA 1 E atau III E.Stadium anestesi dibagi dalam 4 yaitu; Stadium I (stadium induksiatau eksitasi

volunter), dimulai dari pemberian agen anestesi sampai menimbulkanhilangnya kesadaran. Rasa takut dapat meningkatkan frekuensi nafas dan pulsus,dilatasi pupil, dapat terjadi urinasi dan defekasi. Stadium II (stadium eksitasiinvolunter), dimulai dari hilangnya kesadaran sampai permulaan stadium pembedahan. Pada stadium II terjadi eksitasi dan gerakan yang tidak menurutkehendak, pernafasan tidak teratur, inkontinensia urin, muntah,

midriasis,hipertensi, dan takikardia. Stadium III (pembedahan/operasi), terbagi dalam 3 bagian yaitu; Plane I yang ditandai dengan pernafasan yang teratur danterhentinya anggota gerak. Tipe pernafasan thoraco-abdominal, refleks pedalmasih ada, bola mata bergerak-gerak, palpebra, konjuctiva dan kornea terdepresi.Plane II, ditandai dengan respirasi thoracoabdominal dan bola mata ventro medialsemua otot mengalami relaksasi kecuali otot perut. Plane III, ditandai denganrespirasi regular, abdominal, bola mata kembali ke tengah dan otot perut relaksasi.Stadium IV (paralisis medulla oblongata atau overdosis),ditandai dengan paralisis otot dada, pulsus cepat dan pupil dilatasi. Bola mata menunjukkan gambaranseperti mata ikan karena terhentinya sekresi lakrimal (Archibald, 1966).

2. Obat-obat Anestesi Umum Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin, pertimbangan utamanya adalah memilih anestetika ideal. Pemilihan ini didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat anestetika, jenisoperasi yang dilakukan, dan peralatan serta obat yang tersedia (Admin,2008).Sifat anestetika yang ideal antara lain mudah didapat, murah, tidak menimbulkan efek samping terhadap organ vital seperti saluran pernapasan atau jantung, tidak mudah terbakar, stabil, cepat dieliminasi, menghasilkan relaksasiotot yang cukup baik, kesadaran cepat kembali, tanpa efek yang tidak diinginkan(Gan, 1987). Obat anestesi umum yang ideal menurut Norsworhy (1993) mempunyai sifat-sifat antara lain : pada dosis yang aman mempunyai dayaanalgesik relaksasi otot yang cukup, cara pemberian mudah, mula kerja obat yangcepat dan tidak mempunyai efek samping yang merugikan. Selain itu obat tersebutharus tidak toksik, mudah dinetralkan, mempunyai batas keamanan yang luas,tidak dipengaruhi oleh variasi umur dan kondisi pasien.Obat-obatan anestesi yang umum dipakai pada pembiusan totaladalah N2O, halotan, enfluran, isofluran, sevofluran, dan desfluran. Obat anestesiumum yang ideal haruslah tidak mudah terbakar, tidak meledak, larut dalamlemak, larut dalam darah, tidak meracuni end-organ (jantung, hati, ginjal), efek samping minimal, tidak dimetabolisasi oleh tubuh, dan tidak mengiritasi pasien.

G. TRAUMA TUMPUL ABDOMEN Trauma tumpul abdomen paling sering mengakibatkan cedera pada lien (40-45%), kemudian diikuti cedera pada hepar(35-45%) dan usus halus (5-10%). Sebagaitambahan 15% mengalami hematoma retroperitoneal.Beberapa mekanisme patofisiologi dapat menjelaskan trauma tumpulabdomen. Secara garis besar trauma tumpul abdomen (non penetrtaing trauma) Dibagi menjadi 3 yaitu : a. Trauma kompresi Trauma kompresi terjadi bila bagian depan dari badan berhenti bergerak,sedangkan bagian belakang dan bagian dalam tetap bergerak ke depan. Organ-organterjepit dari belakang oleh bagian belakang thorakoabdominal dan kolumna vetebralisdan di depan oleh struktur yang terjepit. Trauma abdomen menggambarkan variasikhusus mekanisme trauma dan menekankan prinsip yang menyatakan bahwa keadaan jaringan pada saat pemindahan energi mempengaruhi kerusakan jaringan. Padatabrakan, maka penderita akan secara refleks menarik napas dan menahannya denganmenutup glotis. Kompresi abdominal mengkibatkan peningkatan tekananintrabdominal dan dapat menyebabkan ruptur diafragma dan translokasi organ-organabdomen ke dalam rongga thorax. Transient hepatic kongestion dengan darah sebagaiakibat tindakan valsava mendadak diikuti kompresi abdomen ini dapat menyebabkan pecahnya hati. Keadaan serupa dapat terjadi pada usus halus bila ada usus halus yang closed loop terjepit antra tulang belakang dan sabuk pengaman yang salah memakainya. b. Trauma sabuk pengaman (seat belt)

Sabuk pengaman tiga titik jika digunakan dengan baik, mengurangikematian 65%70% dan mengurangi trauma berat sampai 10 kali. Bila tidak dipakaidengan benar, sabuk pengaman dapat menimbulkan trauma. Agar berfungsi dengan baik, sabuk pengamna harus dipakai di bawah spina iliaka anterior superior, dan diatas femur, tidak boleh mengendur saat tabrakan dan harus mengikat penumpang dengan baik. Bila dipakai terlalu tinggi (di atas SIAS) maka hepar, lien, pankreas,usus halus, diodenum, dan ginjal akan terjepit di antara sabuk pengaman dan tulang belakang, dan timbul burst injury atau laserasi. Hiperfleksi vetebra lumbalis akibatsabuk yangterlalu tinggi mengakibatkan fraktur kompresi anterior dan vetebra lumbal. c. Cedera akselerasi / deselerasi. Trauma deselerasi terjadi bila bagian yang menstabilasi organ, seperti pedikel ginjal, ligamentum teres berhenti bergerak, sedangkan organ yangdistabilisasi tetap bergerak. Shear force terjadi bila pergerakan ini terus berlanjut,contoh pada ginjal dan limpa denga pedikelnya, pada hati terjadi laserasi hati bagiansentral, terjadi jika deselerasi lobus kanan dan kiri sekitar ligamentum teres.

Riwayat trauma Secara umum, jangan menanyakan riwayat lengkap hingga cidera yangmengancam nyawa teridentifikasi dan mendapatkan penatalaksanaan yang sesuai.AMPLE sering digunakan untuk mengingat kunci dari anamnesis, yaitu Allergies,Medications, Past medical history, Last meal or other intake, Events leading to presentation.Riwayat trauma sangat penting untuk menilai penderita yang cedera dalamtabrakan kendaraan bermotor. Keterangan ini dapat diberikan oleh penderita, penumpanglain, polisi atau petugas medis gawat darurat di lapangan. Keterangan mengenai tanda-tanda vital, cedera yang kelihatan, dan respon terhadap perawatan pre-hospital juga harusdiberikan oleh para petugas yang memberikan perawatan pre-hospital. Pada traumatumpul abdomen terutama yang merupakan akibat dari kecelakaan lalu lintas, petugasmedis harus menanyakan hal-hal sebagai berikut : fatalitas dari kejadian ? tipe kendaraan dan kecepatan ?

apakah kendaraan terguling ? bagaimana kondisi penumpang lainnya ? lokasi pasien dalam kendaraan ? tingkat keparahan rusaknya kendaraan ? deformitas setir ? apakah korban menggunakan sabuk pengaman? Tipe sabuk pengaman? apakah airbag di samping dan depan korban berfungsi ketika kejadian? apakah ada riwayat pengunaan alkohol dan obat-obatan sebelumnya?

Parahnya cedera pada pejalan kaki bervariasi tergantung pada kecepatan danukuran kendaraan yang menabraknya. Tinggi bemper versus ketinggian penderitamerupakan faktor kritis dalam trauma. Pada orang dewasa dengan posisi berdiri, benturanawal dengan bemper biasanya mengenai tungkai dan pelvis. Trauma lutut terjadi samaseringnya dengan seperti trauma pelvis. Anak-anak lebih mungkin terkena truma dadadan abdomen. Pejalan kaki sering mengalami trias cedera yaitu kaki, batang tubuh, dancranium, sebagai akibat dari mekanisme trauma yaitu benturan bemper, benturan kacadepan dan kap mobil, serta benturan kepala dengan tanah. Cedera pada salah satu bagianini memerlukan evaluasi yang lebih segera dibandingkan cedera pada bagian tubuh lain.Riwayat dan kronologis kejadian memang penting, tapi mekanisme sendiri tidak bisa menentukan apakah diperlukan laparotomi

emergency atau tidak. Mekanisme dankronologis kejadian harus disertai dengan data lain seperti vital sign prehospital, pemeriksaan fisik, tes diagnostik, dan kondisi kesehatan yang mendasari.

Evaluasi primer dan penatalaksanaan Initial resuscitation dan penatalaksanaan pasien trauma berdasarkan pada protokol Advanced Trauma Life Support. Penilaian awal (Primary survey) mengikuti pola ABCDE, yaitu Airway, Breathing, Circulation, Disability (status neurologis), dan Exposure.

A. Intial assesment Trauma tumpul abdomen akan muncul dalam manifestasi yang sangat

bervariasi,mulai dari pasien dengan vital sign normal dan keluhan minor hingga pasien denganshock berat. Bisa saja pasien datang dengan gejala awal yang ringan

walaupunsebenarnya terdapat cedera intraabdominal yang parah. Jika didapati bukti cederaextraabdominal, harus dicurigai adanya cedera intraabdominal, walaupun

hemodinamik pasien stabil dan tidak ada keluhan abdominal. Pada pasien dengan hemodinamik yangtidak stabil, resusitasi dan penilaian harus dilakukan segera. Pemeriksaan fisik abdomenharus dilakukan secara teliti dan sistematis, dengan urutan inspeksi, auskultasi, perkusi,dan palpasi. Penemuannya positif dan negatif harus dicatat dengan teliti dalam rekammedik. 1. Inspeksi Baju penderita harus dibuka semua untuk memudahkan penilaian. Bila dipasang pakaian Pneumatic Anti Shock Garment dan hemodinamik penderita stabil,segmen abdominal dikempeskan sambil tekanan darah penderita dipantau denganteliti. Penurunan tekanan darah sistolik lebih adari 5 mmHG adalah tanda untuk menambah resusitasi cairan sebelum meneruskan pengempesan (deflasi). Perut depandan belakang, dan juga bagian bawah dada dan perineum, harus diperiksa apakah adagoresan, robekan, ekomosis, luka tembus, benda asing yang tertancap, keluarnyaomentum atau usus kecil, dan status hamil. Seat belt sign , dengan tanda konstitusiatau abrasi pada abdomen bagian bawah, biasanya sangat berhubungan dengan cederaintraperitoneal. Adanya distensi abdominal, yang biasanya berhubungan dengan pneumoperitoneum, dilatasi gaster, atau ileus sebagai akibat dari iritasi peritonealmerupakan hal penting yang harus diperhatikan. Adanya kebiruan yang melibatkanregion flank, punggung bagian bawah (Grey Turner sign) menandakan adanya perdarahan retroperitoneal yang melibatkan pankreas, ginjal, atau fraktur pelvis.Kebiruan di sekitar umbilicus (Cullen sign) menandakan adanya perdarahan peritoneal biasanya selalu melibatkan perdarahan pankreas, akan tetapi tandatandaini biasanya baru didapati setelah beberapa jam atau hari. Fraktur costa yangmelibatkan dada bagian bawah, biasanya berhubungan dengan cedera lien atau liver.

2. Auskultasi Melalui auskultasi ditentukan apakah bising usus ada atau tidak.Penurunan suara usus dapat berasal dari adanya peritonitis kimiawi karena perdarahanatau ruptur organ

berongga. Cedera pada struktur berdekatan seperti tulang iga, tulang belakang atau tulang panggul juga dapat mengakibatkan ileus meskipun tidak ada cedera intraabdominal, sehingga tidak adanya bunyi usus bukan berarti pasti adacedera intrabdominal. Adanya suara usus pada thorax menandakan adanya cedera pada diafragma. 3. Perkusi Manuver ini menyebabkan pergerakan peritoneum, dan dapatmenunjukkan adanya peritonitis yang masih meragukan. Perkusi juga dapatmenunjukkan adanya bunyi timpani di kuadran atas akibat dari dilatasi lambung akutatau bunyi redup bila ada hemoperitoneum.

4. Palpasi Kecenderungan untuk mengeraskan dinding abdomen (voluntary guarding) dapat menyulitkan pemeriksaan abdomen. Sebaliknya defans muskuler (involuntary guarding) adalah tanda yang andal dari iritasi peritoneum. Tujuan palpasi adalah untuk mendapatkan apakah didapati nyeri serta menentukan lokasi nyeri tekan superficial, nyeritekan dalam, atau nyeri lepas tekan. Nyeri lepas tekan biasanya menandakan adanya peritonitis yang timbul akibat adanya darah atau isi usus. Pada truma tumpul abdomen perlu juga disertai kecurigaan adanya fraktur pelvis. Untuk menilai stabilitas pelvis, yaitudengan cara menekankan tangan pada tulang-tualng iliaka untuk membangkitkan gerakanabnormal atau nyeri tulang yang menandakan adanya fraktur pelvis.Walaupun melalui pemeriksaan fisik dapat dideteksi cedera intraperitoneal,keakuratan pemeriksaan fisik pada pasien dengan trauma tumpul abdomen hanya berkisar antara 55 65%. Tidak adanya tanda dan gejala yang ditemukan dalam pemeriksaan fisik tidak menyingkirkan adanya cedera yang serius, sehingga diperlukan pemeriksaan yanglebih spesifik lagi untuk menghindarkan missed injury.Walaupun tidak ditemukan tanda dan gejala, adanya perubahan sensoris ataucedera extraabdominal yang disertai nyeri pada pasien trauma tumpul abdomen haruslebih mengarahkan kepada cedera intrabdominal. Lebih dari 10% pasien dengan cederakepala tertutup, disertai dengan cedera intraabdominal, dan 7% pasien trauma tumpuldengan cedera extraabdominal memiliki cedera intraabdominal, walaupun tanpa disertai rasa nyeri. Pada pasien sadar tanpa cedera luar yang terlihat, gejala yang paling terlihat daritrauma tumpul abdomen adalah nyeri dan peritoneal findings. Pada 90% kasus, pasiendengan cedera visceral datang dengan nyeri lokal atau nyeri general. Tanda-tanda ini

bukan merupakan tanda yang spesifik, karena dapat pula ditemukan pada isolated thoracoabdominal wall constitution atau pada fraktur costa bawah. Dan yang paling penting, tidak adanya nyeri pada pasien sadar dan stabil lebih menandakan tidak adanyacedera. Meskipun demikian, cedera intrabdominal bisa didapati pada pasien sadar dantanpa nyeri.Hipotensi pada trauma tumpul abdomen sering sebagai akibat dari perdarahanorgan padat abdomen atau cedera vasa abdominal. Walaupun sumber perdarahextraabdominal (misalnya, laserasi kulit kepala, cedera dada, atau fraktur tulang panjang)harus segera diatasi, tapi evaluasi cavitas peritoneal juga tidak boleh diabaikan. Pasiendengan cedera kepala ringan tidak bisa menyebabkan shock, kecuali pada pasien dengancedera intracranial, atau pada bayi dengan perdarahan intracranial ataucephalohematoma.Pemeriksaan rectal jarang menunjukkan adanya darah atau subcutaneousemphysema, tapi jika didapati, tanda tersebut berkaitan dengan cedera abdomen. Evaluasitonus rectal merupakan bagian yang sangat penting untuk pasien dengan kecurigaancedera spinal. Palpasi high-riding prostate mengarahkan indikasi pada cedera uretra. B. Studi Laboratorium Blood typing Pada pasien trauma harus dilakukan pengecekan golongan darah dan cross-match ,sebagai antisipasi jika sewaktu-waktu diperlukan transfusi, terlebih pada pasiendengan perdarahan yang mengancam jiwa. Hematocrit/Darah lengkap Serial Hematocrit dapat berguna sebagai dasar penilaian pada pasien trauma

abdomen,terlabih untuk jika diukur secara berkala untuk melihat perdarah yang terus berlangsung. Hitung leukosit Pada trauma tumpul abdomen akut, hitung leukosit tidak spesifik. Ephinefrin yangdilepaskan tibuh pada saat trauma dapat menyebabkan demarginasi dan dapatmeningkatkan jumlah leukosit mencapai 12000-20000/mm3 dengan pergeseran ke kir yang moderat. Enzim pankreas Kadar amilase dan lipase dalam serum tidak terlalu memiliki arti penting untuk menunjang diagnostik. Kadar amilase dan lipase yang normal dalam serum tidak daptmenyingkirkan kecurigaan adanay trauma pankreas. Peningkatan mungkin mengarah pada cedera pankreas, tapi juga mungkin dari cedera abdomen non

pankreas. Jika adakecurigaan cedera pankreas, masih diperlukan pemeriksaan lebih lanjut, misal CTscan. Tes fungsi hati Cedera hepar bisa meningkatkan kadar transaminase dalam serum, akan tetapi peningkatan ini tidak akan terjadi pada konstitusi minor. Pasien denagn komorbidseperti pada pasien dengan alcohol induced liver disease bisa memiliki kadar transaminase yang abnormal Analisis toksikologi Skrening rutin penyalahgunaan obat dan alkohol belum dilakukan pada penatalaksanaan trauma tumpul abdomen, terlebih pada pasien dengan status mentalnormal. Urinalisis Gross hematuri mengarah pada adanya cedera ginjal serius dan

membutuhkaninvestigai yang lebih lanjut. Diperlukan juga pemeriksaan terhadap adanya hematurimikro yang dapat mengindikasikan cedra serius. Oleh karena itu, penting dialakukan pemeriksaan mikroskopik atau urinalisis dipstick pada semua pasien trayma tumpulabdomen. Adanya nyeri abdomen dan hematuri memiliki tingkat sensitifitas 64% dan94% spesifik untuk cedera intraabdominal yang telah dibuktilkan melalui CT scan.

C. Studi Diagnostik KhususA. 1. Radiologi Tes radiologi dapat menyampaikan informasi penting untuk penatalaksanaan pasien trauma tumpul abdomen. Pemeriksaan radiologi diindikasikan pada pasien stabil, jika dari pemeriksaan fisik dan lab tidak bisa disimpulkan diagnosik.Pasien yang tidak kooperatif, dapat mengganggu hasil tes radiologi dan dapat beresiko mengalami cedera spinal. Penyebab dari pasien yang tidak koopertatif ini harusdievaluasi, misalnya karena hipoksia atau cedera otak. Demi kelancaran, pasien tersebutdapat dipertimbangkan untuk diberi sedatif.Rontgen untuk screening adalah Ro-foto cervical lateral, thorax AP, dan pelvisAP dilakukan pada pasien trauma tumpul dengan multitrauma. Rontgen foto abdomen 3 posisi (telentang, setengah tegak dan lateral dekubitus) berguna untuk melihat adanyaudara bebas di bawah diafragma ataupun udara di luar lumen di retroperitoneum, yangkalau ada pada keduanya

menjadi petunjuk untuk dilakukannya laparotomi. Hilangnya bayangan psoas menunjukkan adanya kemungkinan cedera retroperitoneal. Foto polosabdomen memiliki kegunaan yang terbatas, dan sudah digantikan oleh CT-scan dan USG 2. Computed Tomography ( CT-scan ) CT merupakan prosedur diagnostik yang memerlukan transport penderita kescanner, pemberian kontras oral maupun intravena, dan scanning dari abdomen atas bawah dan juga panggul. Proses ini makan waktu dan hanya digunakan pada penderitadengan hemodinamik normal. CT-scan mampu memberikan informasi yang berhubungandengan cedera organ tertentu dan tingkat keparahannya, dan juga dapat mendiagnosiscedera retroperitoneum dan organ panggul yang sukar diakses melalui pemeriksaan fisik maupun DPL. Kotraindikasi relatif terhadap penggunaan CT meliputi penundaan karenamenunggu scanner, pendrita yang tidak kooperatif, dan alergi terhdap bahan kontras. Keuntungan CT-scan : 1. non invasive 2. mendeteksi cedera organ dan potensial untuk penatalaksanaan non operatif cedera hepar dan lien mendeteksi adanya perdarahan dan mengetahui dimana sumber perdarahan 3. retroperitoneum dan columna vetebra dapat dilihat 4. imaging tambahan dapat dilakukan jika diperlukan Kelemahan CT-scan 1. 2. 3. 4. kurang sensitif untuk cedera pankreas, diafragma, usus, dan mesenterium diperlukan kontras intra vena mahal tidak bisa dilakukan pada pasien yang tidak stabil

Gambar 1. Blunt abdominal traumawith splenic injury andhemoperitoneum

Gambar 2. Blunt abdominal traumawith liver laceration

3. Ultrasound Ultrasound digunakan untuk mendeteksi adanya darah intraperitonum setelahterjadi trauma tumpul. USG difokuskan pada daerah intraperitoneal dimana seringdidapati akumulasi darah, yaitu pada1 kuadran kanan atas abdomen (Morison's space antara liver ginjal kanan) kuadran kiri ats abdomen (perisplenic dan perirenal kiri)3. Suprapubic region (area perivesical) Subxyphoid region (pericardiumhepatorenal space)

Daerah anechoic karena adanya darah dapat terlihat paling jelas jik adibandingkan dengan organ padat di sekitarnya. Banyak penelitian retrospektif menyatakan manfaat USG pada pasien dengan hemodinamik yang stabil atau tidak stabiluntuk mendeteksi adanya perdarahan intraperitoneal. Beberapa RCT menunjukkan penggunaan FAST untuk diagnostik akan menghasil pasien dengan hasil perawatan yanglebih baik.Keuntungan USG : 1. Portabel 2. dapat dilaksanakan dengan cepat 3. tingkat sesitifitas sebesar 65-95% dalam mendeteksi paling sedikit 100 ml cairanintraperitoneal. 4. spesifik untuk hemoperitoneum 5. tanpa radiasi atau kotras

6. mudah dilakuakn pemeriksaan serial jika diperlukan 7. tekniknya mudah dipelajari 8. non invasif 9. lebih murah dibandingkan CT-scan atau peritoneal lavage

Kelemahan USG cedera parenkim padat, retroperitoneum, atau diafragma tidak bisa dilihat dengan baik kualitas gambar akan dipengaruhi pada pasien yang tidak kooperatif, obesitas,adanya gas usus, dan udara subkutan darah tidak bisa dibedakan dari ascites tidak sensitif untuk mendeteksi cedera usus.

Gambar 3. Morison pouch normal(tidak ada cairan bebas)

Gambar 4. Cairan bebas di Morison pouch. Metode pemeriksaan ultrasound pada kasus trauma tumpul abdomen adalahFAST ( Focused Abdominal Sonogram for Trauma). Tujuan primer dari FAST

adalahmengidentifikasi adanyan hemoperitonium pada pasien dengan kecurigaan cidera intraabdomen. Indikasi FAST adalah pasien yang secara hemodinamik unstable dengan kecurigaan cedera abdomen dan pasien-pasien serupa yang juga mengalami cederaekstraabdominal signifikan (ortopedi, spinal, thorax, dll.) yang memerlukan bedah non-abdomen emergensi. FAST sebaiknya dilakukan oleh ahli bedah yang hadir pada saat itu di IGD/ ICUsebagai prosedur bedside sementara resusitasi dapat terus berlangsung.

FASTdirekomendasikan menggunakan 3,5 atau 5 MHz ultrasound sector transducer probe dan gray scale B mode ultrasound scanning. Scan dimulai dari sub-xiphoid region di sagittal plane. Probe kemudian digerakkan ke kanan untuk memeriksa Morrisons pouch (hepato-renal) (sagittal plane). Setelah itu, probe digerakkan ke arah kiri untuk untuk menilai kavum spleno-renal (sagittal plane).Pada keadaan ini, direkomendasikan agar bladder diisikan dengan 200-300 ml denganlarutan normal steril melalui kateter urin yang kemudian diklem. Cara ini akanmemberikan excellent sonological window untuk memvisualisasi pelvis (transverse plane).Pada pasien yang dicurigai mengalami cedera bladder, hindari prosedur pengisian di atas.Gantikan dengan meletakkan kantong berisi saline di atas hipogastrium, dengan demikianakan menimbulkan acoustic window untuk pelvis.Waktu total yang dibutuhkan untuk seluruh prosedur ini sebaiknya antara 5-8 menit.

Diagnostic Peritoneal Lavage Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL) memiliki peran besar pada penatalaksanaantrauma tumpul abdomen. DPL paling berguna pada pasien yang memiliki resiko tinggicedera organ berongga, terutama jika dari CT-scan dan USG hanya terdeteksi sedikitcairan, dan pada pasien dengan demam yang nyata, peritonitis, atau keduanya. Keadaan ini berlangsung selama 6-12 jam setelah cedera organ berongga. Indikasi: Perubahan sensorium cedera kepala,intoksikasi alkohol, penggunaan obatterlarang Perubahan perasaan cedera jaringan saraf tulang belakang. Cedera pada struktur berdekatan tulang iga bawah, panggul, tulang belakang dari pinggang bawah (lumbar spine). Pemeriksaan fisik yang meragukan.

Secara tradisional, DPL dialakukan melalui 2 tahap, tahap pertama adalah aspirasidarah bebas intraperitoneal (diagnostic peritoneal tap,DPT). Jika darah yang teraspirasi 10ml atau lebih, hentikan prosedur karena hal ini menandakan adanya cedera intraperitoneal.Jika dari DPT tidak didapatkan darah, lakukan peritoneal lavage dengan normal saline dankirim segera hasilnya ke lab utuk dievaluasi.Pasien yang memerlukan laparotomy segera merupakan satu-satunya kontraindikasi untuk DPL atau DPT. Riwayat operasi abdomen, infeksi abdomen, koagulopati,obesitas dan hamil trimester 2 atau 3 merupakn kontra indikasi relatif. Keuntungan DPL/DPT triase pasien trauma multisistem dengan hemodinamik yang tidak stabil, melalui pengeluaran perdarahan intapertoneal dapat mendeteksi perdarahan minor pada pasien dengan hemodinamik stabil.Kelemahan dan komplikasi DPL / DPT1. infeksi lokal atau sistemik ( pada kurang dari 0,3% kasus cedera intaperitoneal

positif palsu karena insersi jarum melalui dinding abdomen dengan hematoma atau pada gangguan hemostasis. Interpertasi DPL Pada trauma tumpul abdomen, aspirasi darah sebanyak 10 ml atau lebih pada DPT menunjukkan kecurigaan lebih dari 90% terhadap adanya cedera intaperitoneal. Jika hasillavage pasien yang dikirim ke lab menunjukkan RBC lebih dari 100.000/mm3 maka dapat dikatakan positif untuk cedera intraabdominal. Jika hasil aspirasi positif dan adanya peningkatan RBC pada lavge menunjukkan adanya cedera, terutama viscera padat danstruktur vaskular, namun hal ini tidak cukup untuk mengindikasikan laparotomi.Pada pasien dengan fraktur pelvis, harus diwaspadai adanya positif palsu padaDPL. Walaupun demikian pada lebih dari 85% kasus, pasien fraktur pelvis dengan aspirasi positif pada DPT mengindikasikan adanya cedera intraperitoneal. Aspirasi negatif pada pasien fraktur pelvis dengan hemodinamik yang tidak stabil menunjukkan adanya perdarahan retroperitoneal, jika demikian perlu dilakukan angiography dengan embolisasi.Peningkatan WBC baru terjadi setelah 3 6 jam setelah cedera, sehingga tidak terlalu penting pada interpretasi DPL. Peningkatan amilase juga tidak spesifik dan tidak sensitif untuk cedra pankreas.Kriteria untuk trauma abdomen yang positif DPL berikut tumpulIndex Positive EquivocalAspirateBlood >10 mL -Fluid Enteric contents -LavageRed blood cells >1.000.000 / mm >20.000 / mmWhite blood cells >1.000.000 / mm >500 / mmEnzymeAmylase >20 IU/L andalkaline phosphatase >3IU/LAmilase >20 IU/L or alkaline phosphatase >3IU/Lbile Confirmed biomechanically-

Penatalaksanaan lanjutan Pasien trauma tumpul abdomen harus dievalusi lanjut apakah diperlukan perawatan operatif atau tidak. Setelah melakukan resusitasi dan penatalaksanaan awal berdasarkan protokol ATLS, harus dipertimbangkan indikasi untuk laparotomi melalui pemeriksaan fisik, ultrasound (USG), computed tomography (CT), dan DPT/DPLAlgoritma Prosedur Pemeriksaan pada Trauma Tumpul Abdomen

A. Pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil Pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil, penatalaksanaan bergantung pada ada tidaknya perdarahan intraperitoneal. Pemeriksaan difokuskan padaUSG abdomen atau DPL untuk membuat keputusan.Walaupun ada banyak penelitian retrospektif dan beberapa

penelitian prespektif mendukung penggunaan USG sebagai alat untuk skrening trauma, beberapa ahli masihmempertanyakan USG pada penatalaksanaan trauma. Mereka menekankan pada tingkatsensitifitas dan adanya kemungkinan hasil negatif pada penggunaan USG untuk mendeteksi cedera intraperitoneal. Walaupun demikian kebanyakan trauma center memakai Focused Assesment with Sonography for Trauma (FAST) untuk mengevaluasi pasien yang tidak stabil. FAST dilakukan secepatnya setelah primary survey, atau ketikakliknisi bekerja secara paralel, biasanya dilakukana bersamaan dengan primary survey,sebagai bagian dari C (Circulation) pada ABC.Jika tersedia USG, sangat disarankan penggunaan FAST pada semua pasien dengantrauma tumpul abdomen. Jika hasil FAST jelek, misalnya kualitas gambar yang tidak bagus, maka selanjutnya perlu dilakukan DPL. Jika USG dan DPL menunjukkan adanyahemoperitoneum, maka diperlukan laparotomi emergensi. Hemoperitoneum pada pasienyang tidak stabil secara klinis, tanpa cedera lain yang terlihat, juga mengindikasikan untuk dilakukan laparotomi. Jika melalui USG dan DPL tidak didapati adanya hemoperitoneum,harus dilakukan investigasi lebih lanjut terhadap lokasi perdarahan. Pada penatalaksanaan pasien tidak stabil dengan fraktur pelvis mayor, harus diingat bahwa USG tidak bisamembedakan hemoperitoneum dan uroperitoneumX-ray dada harus dilakukan sebagai bagian dari initial evalutiaon karena dapatmenunjukkan adanya perdarah pada cavum thorax. Radiography antero-posterior pelvis bisa menunjukkan adanya fraktur pelvis yang membutuhkan stabilisasi segera dankemungkinan dilakukan angiography untuk mengkontrol perdarahan. B. Pasien dengan hemodinamik yang stabil Penilaian klinis pada pasien trauma tumpul abdomen dengan kondisi sadar dan bebas dari intoksikasi, pemeriksaan abdomen saja biasanya akurat tapi tetap tidak sempurna. Satu penelitian prospective observational terhadap pasien dengan hemodinamik stabil, tanpa trauma external dan dengan pemeriksaan abdomen yang normal, ternyatasetelah dibuktikan melalui CT-scan ditemukan sebanyak 7,1% kasus abnormalitas.USG dan CT sering digunakan untuk mengevaluasi pasien trauma tumpulabdomen yang stabil. Jika pada USG awal tidak terdetekdi adanya perdarahanintraperitoneal, maka perlu dilakukan pemeriksaan fisik, USG, dan CT secara serial.Pemeriksaan fisik serial dilakukan jika hasil pemeriksaan dapat dipercaya, misal pada pasien dengan sensoris normal, dan cedera yang mengganggu. Penelitian prospectiveobservational terhadap 547 pasien menunjukkan USG kedua (FAST) yang dilakukanselama 24 jam dari trauma, meningkatkan sensitifitas terhadap cedra intraabdominal,Jika USG awal mendeteksi adanya darah di intraperitoneal, maka

kemudiandilakukan CT scan untuk memperoleh gambaran cedera intraabdominal dan menaksir jumlah hemoperitoneum. Keputusan apakah diperlukan laparotomy segera atau hanyaterapi non operatif tergantung pada cedera yang terdetaksi dan status klinis pasien. CTabdominal harus dilakukan pada semua pasien dengan hemodinamik stabil, tapi tidak untuk pasien dengan perubahan sensoris dan status mental karena cedera kepala tertutup,intoksikasi obat dan alkohol, atau cedera lain yang mengganggu.

Indikasi Klinis Laparotomi Laparotomi segera diperlukan setelah terjadinya trauma jika terdapat indikasiklinis sebagai berikut : 1. Kehilangan darah dan hipotensi yang tidak diketahui penyebabnya, dan pada pasien yang tidak bisa stabil setelah resusitasi, dan jika ada kecurigaan kuatadanya cedera intrabdominal 2. Adanya tanda - tanda iritasi peritoneum 3. Bukti radiologi adanya pneumoperitoneum konsisten 4. dengan ruptur viscera 5. Bukti adanya ruptur diafragma 6. Jika melalui nasogastic drainage atau muntahan didapati adanya GI bleedingyang persisten dan bermakna.

BAB III KESIMPULAN

Pada pasien dengan cedera intraabdominal perlu dilakukan konsultasi segeradengan ahli bedah. Bila fungsi vital pasien bisa diperbaiki, maka evaluasi dan penanganan akan bervariasi sesuai dengan cederanya.

Semua pasien trauma tumpul dengan hemodinamik yang tidak stabil harus segeradinilai kemungkinan perdarahan intraabdominal maupun kontaminasi GI tractdengan melakukan DPL, ataupun FAST. Pasien peritonitis dengan hemodinamik normal bisa dinilai dengan CT scan, dengan keputusan operasi didasarkan padaorgan yang terkena dan beratnya trauma.

Indikasi untuk laparotomi ditegakkan melalui pemeriksaan fisik, ultrasound (USG),computed tomography (CT), dan DPL.

You might also like