You are on page 1of 10

I.

Awal Kerasulan

Menjelang usianya yang keempat puluh, Muhammad SAW terbiasa memisahkan diri dari pergaulan masyarakat umum, untuk berkontemplasi di Gua Hira, beberapa kilometer di Utara Mekah. Di gua tersebut, nabi mula-mula hanya berjam-jam saja, kemudian berhari-hari bertafakur. Pada tanggal 17 Ramadhan tahun 611 M, Muhammad SAW mendapatkan wahyu pertama dari Allah melalui Malaikat Jibril, yaitu ayat 1 sampai 5 dalam surat Al-Alaq. Dia merasa ketakutan karena belum pernah mendengar dan mengalaminya. Dengan turunnya wahyu yang pertama itu, berarti Muhammad SAW telah dipilih Allah sebagai nabi. Dalam wahyu pertama ini, dia belum diperintahkan untuk menyeru manusia kepada suatu agama.[18] Peristiwa turunnya wahyu itu menandakan telah diangkatnya Muhammad SAW sebagai seorang nabi penerima wahyu di tanah Arab. Malam terjadinya peristiwa itu kemudian dikenal sebagai Malam Penuh Keagungan (Laylah al-qadar), dan menurut sebagian riwayat terjadi menjelang akhir bulan Ramadhan. Setelah wahyu pertama turun, yang menandai masa awal kenabian, berlangsung masa kekosongan, atau masa jeda (fatrah). Ketika hati Muhammad SAW diliputi kegelisahan yang sangat dan merasakan beban emosi yang menghimpit, dia pulang ke rumah dengan perasaan waswas, dan meminta istrinya untuk menyelimutinya. Saat itulah turun wahyu yang kedua yang berbunyi: Wahai kau yang berselimut! Bangkit dan berilah peringatan!. Dan seterusnya, yaitu surat al-Muddatstsir: 1-7. Wahyu yang telah, dan kemudian turun sepanjang hidup Muhammad SAW, muncul dalam bentuk suara-suara yang berbeda-beda. Tapi pada periode akhir kenabiannya, wahyu surah-surah Madaniyah- turun dalam satu suara.[19] Dengan turunnya awal surat al-Muddatstsir itu, mulailah Nabi Muhammad SAW berdakwah, pertama-tama, beliau melakukannya secara diam-diam di lingkungan sendiri dan di kalangan rekan-rekannya. Karena itulah, orang yang pertama kali menerima dakwahnya adalah keluarga dan sahabat dekatnya. Mula-mula istrinya sendiri, Khadijah, kemudian saudara sepupunya Ali bin Abi Thalib yang baru berumur 10 tahun. Kemudian, Abu Bakar Ash-Shiddiq, sahabat karibnya sejak masa kanak-kanak. Lalu Zaid bin Amr, bekas budak yang telah menjadi anak angkatnya. Ummu Aiman, pengasuh nabi sejak Aminah masih hidup, juga termasuk orang yang pertama masuk Islam. Filosofi awal kerasulan MUHAMMAD SAW

Nabi Muhammad SAW adalah Nabi terakhir yang diutus oleh Allah SWT. Kedatangan Nabi Muhammad sudah diberitahukan kepada Nabi-nabi sebelumnya. Nabi Muhammad diutus untuk membenarkan aqidah Nabi-nabi sebelumnya bahwa tiada Tuhan selain Allah SAW. Sebelum Muhammad diangkat sebagai seorang Rasul pada usia 40 tahun, Muhammad mengalami beberapa pengalaman hidup, di mana yang dialami oleh Muhammad memiliki arti dan filosofi tersendiri. Bertahannus di gua hiro Muhammad SAW sudah terbiasa bertahannus di gua hiro sebelum Beliau diangkat menjadi Rasul. Kebiasaan itu dilatar belakangi oleh kejahiliahan orang-orang kafir Quraisy, di mana kemaksiatan merajalela, pembunuhan sesuatu hal yang biasa, wanita tidak dihargai layaknya manusia, jika lahir bayi perempuan maka bayi itu dikubur hidup-hidup. Masyarakat melupakan Tuhan, masyarakat banyak yang menyembah berhala, perbudakan di mana-mana, mabukmabukan, berjudi, dan masih banyak lagi. Melihat kebobrokan masyarakat Quraisy itu, Muhammad pun selalu bertahannus (berdiam diri) di dalam gua hiro. Muhammad bertahannus di gua hiro merupakan bentuk penolakan terhadap kemaksiatan dan kebobrokan akhlak serta keterpurukan masyarakat Quraisy pada waktu itu. Sehingga tidak ada yang bisa dilakukan oleh Muhammad kecuali berdiam diri di gua hiro dalam keadaan resah. Di gua hiro, Rasulullah selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT, memikirkan dan menyesalkan fenomena kehancuran kehidupan kaum kafir Quraisy, serta menyayangkan kemungkaran masyarakat tersebut.. Maka dari itu, dari pada melihat kemungkaran di depan mata maka lebih baik bertahannus di gua hiro untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Nilai dan filosofi bertahannus di gua hiro Pelajaran yang dapat diambil berkenaan dengan kebiasaan Nabi bertahannus di gua hiro adalah, sebagai berikut : 1. Mendekatkan diri kepada Allah merupakan jalan utama untuk mengatasi segala permasalahan. Jika ada sesuatu apapun yang menjadi kebuntuhan pikiran, maka kembalikanlah kepada Allah SWT. Hal itu dicontohkan Rasul, bahwa Rasul bertahaannus, menghabiskan waktu di gua hiro adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah dari pada melihat kemungkaran di mana-mana. 2. Menghindari kemungkaran. Pada saat itu Muhammad bertahannus di gua hiro merupakan bentuk penghindaran diri dari kemunkaran. Bertahannus merupakan bentuk penolakan terhadap kemaksiatan. Sehingga tidak ada yang bisa dilakukan kecuali berdiam diri. Selain itu, bertannus merupakan bentuk keresahaan Muhammad terhadap keterpurukan masyarakat. Maka filosofinya adalah hindarkanlah kemunkaran dan senantiasalah resah dengan

kemunkaran. Jika hari ini tidak ada keresahan sedikit pun di hati ini, maka pertanyakanlah kembali adakah keimanan di dalam diri ini?. Sebab dalam hadistnya, yang juga termaktub dalam kitab arbain Nawawi disebutkan : siapa yang melihat diantara kamu kemunkaran, maka cegahlah ia dengan tanganmu! Maka jika kamu tidak sanggup, maka dengan lisanmu! Maka jika tidak sanggup juga, maka dengan hatimu! Dan itu adalah selemah-lemahnya iman. Yang senantiasa harus dipertanyakan adalah, tidakkah kita senantiasa melihat kemunkaran di depan mata? Apa yang dilakukan? Merubahnya dengan kekuasaan? Berdakwah dengan lisan? Atau menolaknya dengan hati? Adakah keresahan di dalam hati jika terlihat kemunkaran? Bersyukurlah jika masih ada, sebab jika tidak, di mana lagi letak keimanan bersembunyi? Padahal Rasul mengatakan menbenci dengan hati adalah selemahlemahnya iman! Jika tidak benci maka kelemahan yang nomor berapa lagi yang dimiliki? Menerima wahyu pertama (iqro=membaca) Setelah sering bertahannus di gua hiro, kejadian yang pernah dialami oleh Muhammad selanjutnya adalah penerimaan wahyu pertama dari ALLAH SWT melalui perantara malaikat Jibril. Pada saat itu wahyu pertama yang turun adalah surat al-alaq dengan kalimat pertama berbunyi iqro! Maka, Muhammad pun tidak bisa membaca, sebab Muhammad adalah orang yang Ummiy dan mengatakan kepada Jibril maa ana biqoori Pelajaran yang dapat diambil dari penerimaan wahyu tersebut adalah : 1. Penerimaan wahyu merupakan tanda pengangkatan Muhammad menjadi seorang Rasul. Hal ini mirip dengan beberapa pengangkatan Nabi-nabi terdahulu, di mana kaum dari Nabinabi terdahulu meminta agar nabi mereka memberikan bukti berupa mukjizat-mukjizat kepada kaumnya sehingga mereka percaya bahwa Nabi itu adalah utusan Allah. Maka begitu pulalah yang dialami oleh Muhammad di mana mukjizat yang pernah diterimanya yang terbesar adalah al-quran. 2. Dalam proses dakwah hendaknya melihat dan membaca keadaan masyarakat. Makna iqra (bacalah) berbeda dengan tilawah (baca). Walaupun sama-sama memiliki arti membaca, namun terdapat perbedaan maksud. Tilawah berarti membaca dengan menggunakan teks, naskah atau sesuatu yang dapat dilihat untuk dibaca. Namun iqra berarti membaca tanpa menggunakan teks. Maka, ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa Nabi bukanlah orang yang bodoh yang tidak mampu membaca, namun dalam konteks ini, Nabi tidak bisa membaca disebabkan yang dibaca tidak ada teksnya. Hal ini merupakan sebuah hal yang menggambarkan, jika mau membaca mana yang mau dibaca? Namun dalam hal ini, terlepas dari itu semua makna iqra sesungguhnya luas sekali. Membaca yang dimaksud adalah membaca dalam konteks universal. Termasuk di dalamnya membaca fenomena, membaca keadaan, membaca kebesaran Allah, membaca kekuasaan Allah, membaca hikmah yang terkandung, membaca dalam konteks memikirkan. Maka pesan yang

ingin disampaikan adalah bahwa dalam proses dakwah hendaknya melihat dan membaca keadaan masyarakat secara universal. Ketika melihat kemunkaran di mana-mana, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah membaca bagaimana mencegah kemunkaran tersebut. Jadi dalam hal ini, sesungguhnya setiap muslim tidak hanya harus resah melihat kemunkaran tetapi juga harus dibarengi dengan membaca. Membaca jalan keluar agar mampu mencegah kemunkaran. 3. Iqra adalah syariat pertama yang turun kepada Nabi Muhammad untuk diikuti oleh kaumnya. Iqra marupakan fiil amr (kalimat perintah) yang mengisyaratkan manusia untuk membaca. Maka sebagai syariat pertama, hendaknya setiap muslim selalu membaca. Namun perlu digarisbawahi bahwa membaca yang dimaksud adalah membaca dalam konteks yang universal. Bukan hanya membaca tulisan, tapi juga membaca keadaan, membaca alam, membaca kekuasaan Tuhan, membaca untuk memikirkan. Berselimut ketakutan Setelah menerima wahyu pertama, Rasulullah merasakan ketakutan yang luar biasa. Sehingga Rasul pun bergegas pulang dari gua hiro dan memilih berdiam diri di rumah dalam keadaan ketakutan. Karena rasa takut itu, kemudian Rasul meminta Siti Khadijah untuk menyelimutinya dengan selimut. Pelajaran yang bisa diambil adalah 1. Hendaklah berhati-hati memegang sebuah amanah Jika dipertanyakan, mengapa Rasulullah takut selepas menerima wahyu pertama? Apakah Jibril bermuka seram? Jika ya, mengapa Rasul masih berani bercakap-cakap dengan Jibril? Maka pelajaran yang tersembunyi adalah hendaknya takutlah memegang amanah. Sebab apa yang dilakukan Rasulullah dengan berselimut ketakutan merupakan bentuk ketakutan tersendiri disebabkan karena Beliau menerima amanah sebagai seorang Rasul dengan datangnya wahyu pertama di gua hiro terdahulu. Sehingga dalam benaknya, wahyu pertama itu bentuk pengangkatan menjadi Rasul yang merupakan tugas berat. Sesuatu yang hari ini ditakuti dan dihindari harus dibenahi segera. Kemunkaran yang selama ini dihindari harus dibenahi segera. Dan ini merupakan tugas berat yang diemban oleh Nabi Muhammad yang lebih berat dari pemimpin pasukan perang sekali pun. Filosopi yang terkandung di dalamnya adalah, amanah itu sangat berat tanggungannya. Maka jangan sembarangan mengemban amanah. Amanah harus ditanggung-jawabi. Memegang amanah merupakan bentuk ketakutan yang pernah dialami Rasulullah. Ketakutan atau keresahan memikul amanah itu senantiasa tercermin dalam diri Rasulullah hingga Beliau menjelang kembali kepada Rabbnya. Bukankah Rasullullah berkata di akhir hayatnya

ummati! Ummati! ummati! yang seolah-olah ingin mengatakan bagaimana dengan umatku? Bagaimana dengan amanahku? Hal ini mengajarkan kepada manusia, hendaklah merasa takut ketika diberi amanah. Namun, ketakutan yang dimaksud adalah takut tidak adil, takut tidak bisa ditanggungjawabi, takut ceroboh, takut menjadi jahat dan lain-lain. Maka, sebuah amanah mau tidak mau tetap akan diemban oleh setiap manusia. Maka jalan tengah yang harus dilakukan adalah hendaknya berhati-hati dalam memegang sebuah amanah. Layaknya keresahan dan ketakutan Rasul menerima wahyu pertama sebagai bentuk penerimaan amanah. 2. Ketakutan memegang amanah merupakan sebuah hal yang lumrah Ketakutan yang dirasakan oleh Rasul merupakan sesuatu hal yang lumrah. Sebab hal itu sangat manusiawi, dikarenakan memikul amanah tidaklah segampang membalikkan telapak tangan. Banyak yang harus dilaksanakan dan ditanggungjawabi. Maka seyogyanya bagi setiap manusia hendaklah takut ketika diberi amanah. Amanah yang dulu diberikan oleh gunung, lautan tidak dapat disanggupi oleh mereka, dan amanah sebagai kholifatu fil ardh itu pun jatuh kepada manusia. Maka ketakutan memegang amanah merupakan sebuah hal yang lumrah. Namun dalam hal ini, ketakutan yang dimaksud bukanlah harus mengelak dari sebuah amanah, namun menjaga amanah itu atau menyerahkannya kepada yang lebih baik. Sebab rasul pun berkata jika amanah itu tidak diserahkan kepada ahlinya, maka tunggulah saatna Wahyu kedua (al-mudattsir) Saat Rasulullah berdekap ketakutan dengan selimut, maka turunlah wahyu yang kedua, yang berbunyi : wahai orang yang berselimut!(1) Bangunlah, lalu berilah peringatan! (2)dan agungkanlah Tuhanmu!(3) dan bersihkan pakaianmu! (4) dan tinggalkanlah segala perbuatan yang keji! (5) dan janganlah engkau memberi dengan maksud memperoleh balasan yang lebih banyak (6) dan karena Tuhanmu bersabarlah!(7............) dan seterusnya Pelajaran yang dapat diambil : 1. Ayat ini merupakan perintah dakwah Di awal, ketika Rasulullah bertahannus, hal itu merupakan bentuk penolakan dan penghindaran diri Muhammad terhadap kemunkaran. Maka dengan turunnya ayat ini, pelajaran yang dapat diambil adalah hendaknya kita berdakwah. Keimanan seorang muslim akan naik ke atas dengan cara berdakwah, bukan lagi hanya resah di dalam hati saja! Bukan lagi hanya bertahannus, berdiam diri, menghindari kemunkaran tanpa usaha pencegahan. Ayat ini menegaskan kembali bahwa tugas kerasulan Muhammad sudah disahkan lewat wahyu pertama, maka selanjutnya adalah implementasi terhadap kerasulan itu. Namun dalam

hal ini, tugas dakwah yang diemban Rasul bukan hanya diperuntukkan oleh Muhammad, tetapi juga umat muslim keseluruhan. 2. Wahai orang yang berselimut Di atas, diterangkan bahwa menerima amanah dengan turunnya wahyu pertama merupakan sesuatu hal yang ditakuti. Sebab tanggung jawabnya besar. Sehingga Rasulpun berselimut. Ayat ini merupakan teguran kepada Nabi Muhammad. Yang seolah mengatakan bahwa, Kamu sudah diberi amanah, mengapa harus takut? Mengapa harus berdiam diri? Mengapa harus berselimut? Bagi umat muslim hari ini, makna berselimut memiliki pengertian yang universal. Makna orang yang berrselimut bisa saja diartikan wahai oran g yang berdiam diri! Wahai orang yang tertidur! Wahai orang yang berleha-leha! Wahai orang yang lalai! Wahai orang yang bermalas-malasan! Wahai orang yang lebih banyak tidurnya dari bangunnya! Wahai orang yang memiliki ilmu! di mana teguran itu merupakan seruan untuk setiap muslim yang masih belum tersadar dari tugas dakwahnya. 3. Bangunlah lalu berilah peringatan Ayat kedua merupakan perintah bangunlah lalu berilah peringatan!. Ayat ini mengindikasi, setelah diberi amanah hendaknya jangan terlalu memikirkan resiko yang akan dihadapi, tapi bangunlah! Ayat ini memberi pelajaran, bahwa amanah tidak lagi harus ditakuti dengan berselimut, tapi harus dibangunkan bukan ditidurkan! Ayat Ini merupakan perintah dakwah! Setelah berhari-hari kita resah, dengan bertahannus di rumah, maka langkah selanjutnya adalah bangun dari berdiam diri lalu berikan peringatan!. Ini merupakan tugas berat setiap muslim, namun ini juga merupakan kewajiban. Tugas kerasulan telah diterima, maka tidak perlu lagi takut dengan tugas itu, tapi bangun dari ketakutan dan berikan peringatan. Perintah dakwah telah diperdengarkan, maka tidak perlu takut dengan tugas itu, tapi bangun dari ketakutan itu dan berikanlah peringatan. 4. Dan agungkanlah Tuhanmu Tugas selanjutnya adalah mengagungkan Allah. Ayat ini memberi pelajaran bahwa hendaknya dakwahan Laa ilaaha illallah teragungkan di mana-mana. Selan itu hendaknya tidak ada yang diagungkan kecuali hanya Allah semata. Tidak ada yang mengagungkan patung. Tidak ada yang mengagungkan uang. Tidak ada yang mengagungkan harta, dan lain sebagainya. 5. Dan bersihkanlah pakaianmu Ayat ini merupakan perintah untuk berthoharo. Selain ini, pelajaran yang terkandung dalam ayat ini adalah, penampilan seorang muslim yang berdakwah harusnya selalu rapi, bersih, dan

enak dipandang oleh pancaindra. Penampilan yang dimaksud bukan hanya penampilan zhohiriyah belaka yang mempertontonkan pakaian, namun lebih dari itu penampilan yang dimaksud adalah kesesuaian antara materi dakwah dengan apa yang dicontohkannya. Kesesuaian antara dakwah billisan dengan dakwah bil hal. Sehingga dalam berdakwah akan terlihat bersih antara yang zhohir dengan yang bathin. Selanjutnya ayat ini seolah berkata, bersihkanlah tingkahmu! Bersihkanlah akhlakmu! Bersihkanlah hatimu! 6. Dan tinggalkanlah segala perbuatan yang keji Setelah tugas dakwah dilaksanakan, maka satu persatu tinggalkanlah perbuatan keji! Hal ini untuk mencontohkan antara kesesuaian dakwah billisan dengan dakwah bilhal Selain itu, ayat ini merupakan larangan untuk berbuat keji setelah seorang muslim berdakwah, mengagungkan Allah dan membersihkan diri! 7. Dan janganlah engkau memberi dengan maksud memperoleh balasan yang lebih banyak Tugas dakwah hendaknya jangan dimaksudkan untuk memperoleh balasan. Oleh karena itu, tugas dakwah secara ikhlas merupakan niat yang menjadi pondasi bagi setiap muslim 8. Dan karena Tuhanmu bersabarlah! Dakwah yang dilakukan sedikit banyak akan mengalami hambatan-hambatan, bahkan rintangan. Pada kondisi seperti ini hendaklah segala sesuatu niat baik dikarenakan Allah SWT. Dan pada kondisi seperti itu, hendaklah bersabar. Setelah wahyu kedua diterima, maka Rasulpun menggiatkan dakwahnya. Dakwah yang dikembangkan Rasul memiliki manajemen yang rapi dan terstruktur serta perlahan. Akan tampak seperti yang dilakukannya lewat : - Berdakwah sembunyi-sembunyi Berdakwah dengan bersembunyi merupakan langkah awal yang dilakukan Rasul. Dakwah dengan performa seperti ini mementingkan agar orang-orang terdekat diselamatkan terlebih dahulu. Seperti yang dikatakan dalam al-quran jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka. Pada prakteknya, dakwah dengan model ini memiliki keunggulan tersendiri yaitu lahir orang-orang yang disebut asabiqunal awwalun. Berdakwah dengan model ini mengajarkan kepada kita bahwa dakwah harus dimulai dari yang terkecil, lewat orang-orang di sekitar kita, juga orang-orang terdekat. Dakwah ini juga lebih efektif, karena dapat dilakukan dengan pendekatan personal. Sehingga dari sedikit-demi sedikit akan tercipta jaringan yang makin hari akan semakin kompleks. Lambat laun, jika setiap muslim mendakwai orang-orang terdekatnya, kemudian orang terdekat itu mendakwahkan orang terdekatnya yang lain, maka akan tercipta kondisi multi level dakwah.

- Berdakwah terang-terangan Setelah multi level dakwah tercipta, maka performa dakwah selanjutnya harus menunjukkan kebesarannya lewat dakwah dengan terang-terang. Berdakwah di tengan orang yang lebih banyak. Sebagai wujud dari pelaksanaan amanah, layaknya Rasulullah menerima amanah lewat wahyu pertama (al-alaq) kemudian dikuatkan dengan perintah berdakwah lewat wahyu yang kedua (al-mudatsir) Tahun Kesedihan Kematian Abu Talib Kegeringan Abu Talib semakin menekan, tidak berapa lama beliau pun meninggal dunia, kematian beliau adalah dibulan Rejab tahun kesepuluh kebangkitan Rasulullah, iaitu enam bulan selepas keluar dari pengepungan di lorong Abi Talib, ada pendapat yang menyebut beliau meninggal di bulan Ramadhan tiga hari sebelum kewafatan Khadijah (r.a). Di dalam sahih Bukhari hadis yang diriwayatkan dari al-Musayyab: Bahawa Abu Talib ketika hampir kewafatannya beliau telah dihadiri oleh Rasulullah di sampingnya juga Abu Jahal, di sini Baginda menyeru Abu Talib: Wahai ayahanda sebutlah lailahaillallah satu kalimah yang boleh ku berhujah dengannya di hadapan Allah esok. Kata Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umaiyah: Wahai Abu Talib: Mahu kau tinggal agama bapa kau Abdul Muttalib? Beginilah keadaan mereka berdua, tarik menarik Abu Talib ke pihaknya, akhirnya Abu Talib menyebut: Aku di dalam agama Abdul Muttalib bersama dengan hembusan nafas terakhir, di ketika itu Rasulullah berkata: Sesungguhnya akan ku beristighfar untuk kau selagi mana aku tidak ditegah berbuat sesuatu untuk kau. Di masa itu turunlah wahyu Allah: yang bermaksud: Tidaklah dibenarkan bagi Nabi dan orang yang beriman, meminta ampiin bagi orang yang musyrik, sekali pun orang itu kaum kerabat sendiri, sesudah nyata bagi mereka bahawa orang musyrik itu adalah ahlineraka. (at-Taubah: 113) Dan turun juga ayat: Sesungguhnya engkau (wahai Muhammad) tidak berkuasa memberi hidayah petunjuk kepada sesiapa yang engkau kasihi (supaya ia menerima Islam), (al-Qashas: 56) Tidak perlu untuk menjelaskan lagi bagaimana Abu Talib ini merupakan penjaga dan benteng kepada Rasulullah, hingga dakwah Islamiah boleh bertahan di sebaliknya, dari serangan kaum sufaha dan elit, tetapi beliau tetap dengan agama datuk moyangnya, sesungguhnya beliau gagal di sisi Allah. Di dalam sahih al-Bukhari satu riwayat dari al-Abbas bin Abdul al-Muttalib yang berkata kepada Rasulullah: Kau tidak boleh memanfaatkan bapa saudara mu itu, beliau mempertahankan dan membela kau, kata Rasulullah: Beliau di hujung api neraka, kalau tidak kerana aku, sudah pasti di lapisan terbawah api neraka. Dari Abi Said al-Khudri, meriwayatkan, bahawa beliau mendengar Rasulullah menyebut tentang bapa saudaranya, dengan sabdanya yang bermaksud:

Semoga syafaat ku boleh memanafaatkan beliau di hari Qiamat nanti, beliau diletakkan di hujung api neraka sampai membakar dua tumitnya KHADIJAH KEMBALI KE RAHMATULLAH Lebih kurang dua atau tiga bulan selepas kematian Abu Talib, Khadijah pula kembali ke rahmatullah, kewafatan beliau ialah di dalam bulan Ramadhan tahun kesepuluh kebangkitan Rasulullah, dalam lingkungan usia lima puluh enam tahun manakala Rasulullah berusia lima puluh tahun. Sesungguhnya Khadijah adalah nimat dan anugerah yang teragung kepada Rasulullah, beliau bersama-sama Rasulullah untuk selama suku abad mencucuri Baginda dengan belai kasih sayang terhadap Baginda, di saat-saat genting dan meruncing, menyokong Baginda di waktu-waktu kegawatan yang diperlukan kepada sokongan dan bantuan, malah beliau menolong Baginda menyebar ajaran dan risalahnya, bersama-sama Rasulullah ke medan jihad suci, berkongsi kemewahan dan kesusahan dengan harta dan keringatnya pernah Rasulullah menyebut-nyebut kelebihan Khadijah dengan sabdanya yang bermaksud: Beliau beriman denganku ketika manusia kufur dengan ku, membenarkan daku ketika manusia mendustai daku, berkongsikan daku haita-hartanya ketika manusia lain enggan memberi daku, dan Allah mengurniakan darinya anak-anak dan tidak mengumiakan anak dari yang lain. Al-Bukhari di dalam sahihnya meriwayatkan hadith dari Abi Hurairah dengan katanya: Jibril (a.s.), telah mendatangi Nabi Muhammad (s.a.w) dan berkata; Wahai Rasulullah itu dia Khadijah (r.a.) telah datang bersama-samanya satu bekas, di dalamnya hidangan atau makanan atau minuman, bila beliau tiba ke hadapanmu, sampaikan kepadanya salam dari Tuhannya dan beritahu kepadanya berita gembira di mana tersedia untuk beliau sebuah rumah di dalam syurga, diperbuat dari permata baiduri tiada bising dan gangguan di dalamnya. DUKACITA YANG SILIH BERGANTI Dua peristiwa sedih yang menekan, berturut mengoncang perasaan Baginda dan menyayat hati naluri Rasulullah, dari situ musibah kaumnya bertubi-tubi menimpa Rasulullah, mereka lebih berani lagi dari masa yang lampau, terang-terangan mengancam Baginda dengan kenakalan dan penyiksaan. Selepas kematian Abu Talib, Baginda semakin bertambah duka nestapa, hingga terasa berputus asa dengan mereka, lalu Baginda keluar ke Taif dengan harapan di sana penduduknya akan menyahut seruannya dan membantu menghadapi kaum Quraisy, malang di sana tiada siapa yang mahu menyokong dan membantu, malah yang didapati penentangan yang lebih pahit lagi, Baginda mengalami lebih teruk lagi, dari apa yang diharap dari kaumnya. Sebagaimana tekanan semakin hebat ke atas Rasulullah semakin hebat juga penyiksaan ke atas sahabatnya, hinggakan sahabatnya yang tersayang, Abu Bakr al-Siddiq mengambil langkah untuk berhijrah keluar dari Makkah, beliau keluar hingga sampai ke Birk al-Ghamad untuk pergi ke Habsyah, namun beliau telah di bawa pulang oleh Ibnu al-Dughnah dan meletak di bawah suakanya. Ibnu Ishak meriwayatkan: Setelah Abu Talib-meninggal dunia, pihak Quraisy mengancam Rasulullah dengan berbagai penyiksaan yang belum pernah dialami semasa hayat Abu Talib, malah golongan bodoh pun berani juga, pernah di suatu hari seorang lelaki bodoh

berani menabur pasir ke atas kepala Rasulullah, Baginda memasuki mmahnya dengan tanah dan pasir bertaburan di kepala Baginda, salah seorang puterinya membasuh kepalanya sambil menangis, namun Rasulullah masih menenangkannya: Tak usah kau tangis wahai anakku, sesungguhnya Allah melindungi ayahmu ini. Quraisy tidak melakukan seberat ini, yang paling ku benci, melainkan selepas kematian Abu Talib. Oleh kerana bertubi-tubi penyiksaan di tahun ini maka Baginda menamakan tahun berkenaan dengan tahun perkabungan dan dukacita, dan penamaan ini memang terkenal di dalam sejarah Islam. PERKAHWINAN BAGINDA DENGAN SAWDAH (r.a.) Dalam bulan Syawal di tahun kesepuluh kebangkitan Baginda, Rasulullah telah berkahwin dengan Sawdah binti Zamah, beliau adalah wanita muslimah yang memeluk Islam terulung. Beliau adalah penghijrah peringkat kedua ke al-Habsyah, suaminya ialah al-Sakran bin Amru telah memeluk Islam dan berhijrah bersama isterinya Sawdah, tetapi beliau wafat di bumi Habsyah atau selepas pulang ke Makkah, setelah selesai idahnya Rasulullah meminangnya dan berkahwin dengannya. Beliau adalah isteri pertama yang dikahwini Rasulullah selepas peninggalan Khadijah. Selepas beberapa tahun, beliau menghadiahkan gilirannya kepada Aisyah(r.a). SECEBIS ULASAN MENGENAI PERKAHWINAN RASULULLAH DENGAN AISYAH ( r.a.) Di bulan Syawal tahun kesembilan kebangkitan Rasulullah, Baginda telah berkahwin dengan Aisyah al-Siddiqah puteri Abu Bakr al-Siddiq (r.a.), usianya masih enam tahun, di mana Rasulullah berseketiduran dengannya semasa Baginda berhijrah ke Madinah, iaitu di bulan Syawal tahun pertama hijrah, ketika itu usianya sudah meningkat sembilan tahun.

You might also like