You are on page 1of 19

ACARA V ZAT WARNA TANAMAN

A. Tujuan Tujuan dari praktikum Acara V Zat Warna Tanaman ini adalah: 1. Mengetahui pengaruh cara pemasakan terbuka dan tertutup, pengaruh asam dan alkali dan pengaruh ion-ion terhadap pigmen. 2. Mengetahui pengaruh curing dan pemanasan terhadap warna daging. B. Tinjauan Pustaka 1. Tinjauan Teori Zat warna alam (pigmen) adalah zat warna yang secara alami terdapat dalam tanaman maupun hewan. Zat war-na alam dapat dikelompokkan sebagai warna hijau, kuning, dan merah. Peng-gunaan zat warna alam untuk makanan dan minuman tidak memberikan kerugi-an bagi kesehatan, seperti halnya zat warna sintetik yang semakin banyak penggunaannya. Diantara zat warna sin-tetik yang sangat berbahaya untuk ke-sehatan sehingga penggunaannya dila-rang adalah zat warna merah rhodamin B

(Firdaus dkk, 2010). Di Indonesia, terdapat kecende-rungan penyalahgunaan pemakaian zat pewarna untuk berbagai bahan pangan, misalnya zat warna untuk tekstil dan kulit dipakai untuk mewarnai bahan ma-kanan. Hal ini sangat berbahaya bagi kesehatan karena adanya residu logam berat pada zat pewarna tersebut. Manusia dan hewan telah meng-konsumsi antosianin sejak lama bersama buah-buahan dan sayuran dan tanpa ada efek samping yang merugikan. Pigmen ini sangat berpotensi sebagai pengganti pewarna makanan sintetik (Firdaus dkk, 2010). Zat warna merah yang banyak ter-dapat di alam dikelompokkan kedalam dua golongan yaitu karotenoid dan anto-sianin. Antosianin tergolong pigmen yang disebut flavonoid yang pada umumnya larut dalam air. Warna pigmen antosianin berwarna merah, biru, violet dan biasanya dijumpai pada bunga, buah-buahan dan sayur-sayuran. Dalam tanaman

terdapat dalam bentuk glikosi da yaitu membentuk ester dengan monosakarida (glukosa, galaktosa, ramno-sa, dan kadang-kadang pentosa) (Firdaus dkk, 2010). Di Indonesia belum banyak ma-syarakat yang memanfatkan tanaman rosela. Sementara di negara lain, rosela sudah banyak dimanfaatkan sejak lama. Di India barat dan tempat-tempat tropis lainnya, kelopak segar rosela digunakan untuk pewarna dan perasa dalam mem-buat anggur rosela, jeli, sirup, gelatin, minuman segar, puding dan cake. Ke-lopak rosela yang berwarna cantik dapat ditambahkan pada salat untuk memper-cantik warnanya. Kelopak rosela dapat juga dimasak sebagai pengganti kubis (Firdaus dkk, 2010). Sari (2005), mengekstrak kulit bu-ah duwet dengan menggunakan pelarut air, etanol dan isoproanol. Hasil intensi-tas warna ekstrak dengan menggunakan air dan kombinasi air dengan etanol lebih tinggi jika dibandingkan dengan konbinasi dengan isopropanol. Diduga polaritas senyawa lebih rendah diban-ding air sehingga pelarut yang baik un-tuk ekstraksi adalah polar. Saati dkk (2001) mejelaskan ten-tang ekstraksi pigmen antosianin pada bunga pacar air. Komposisi pelarut yang digunakan pada ekstraksi ini adalah eta-nol (95%) : air : HCl 1N (5:4:1) menun-jukkan kadar antosianin tertinggi jika dibandingkan dengan kombinasi iso-propanol dengan air dan air dengan HCl (Firdaus dkk, 2010). Zat warna merah yang diperoleh dari ekstrak bunga rosela sangat berpo-tensi sebagai pewarna makanan dan mi-numan, namun demikian belum diketahui jenis pelarut yang cocok dan sejauh ma-na stabilitas zat warna dari ekstrak bu-nga rosela. Oleh karena itu perlu dikaji jenis pelarut dan stabilitas warna merah terhadap perubahan pH, kadar gula, ka-dar garam, pemanasan maupun pada be-berapa jenis makanan dan minuman (Firdaus dkk, 2010).

Penentuan mutu bahan makanan pada umumnya sangat bergantung pada beberapa faktor diantaranya cita rasa, warna, tekstur dan nilai gizinya, disamping itu ada faktor lain, misalnya sifat mikrobiologis, tetapi sebelum faktor-faktor lain dipertimbangkan, secara visual faktor warna tampil lebih dahulu dan kadang-kadang sangat menentukan. Pewarna sintetis pada makanan kurang aman untuk konsumen karena mengandung logamberat yang berbahaya bagi kesehatan. Oleh sebab itu perlu ditingkatkan pencarian alternatif sumber pewarna alami. Zat pewarna alami yang berpotensi untuk diekstrak adalah antosianin dari ubu jalar ungu. Antosianin adalah pigmen yang sifatnya polar dan akan larut dengan baik dalam pelarut-pelarut polar (Winarti, 2004). Dewasa ini penggunaan zat warna sudah semakin luas terutama dalam makanan dan minuman, karena warna makanan memberikan daya tarik bagi konsumen. Zat warna menurut asalnya terdiri dari zat warna alami dan zat warna sintetik. Zat warna alami (pigmen) adalah zat warna yang secara alami terdapat dalam tanaman maupun hewan. Zat warna alami dapat dikelompokkan sebagai warna hijau, kuning dan merah. Penggunaan zat warna alami untuk makanan dan minuman tidak memberikan efek merugikan bagi kesehatan, seperti halnya zat warna sintetik yang semakin banyak penggunaannya (Winarti, 2004). Zat warna sintetik lebih sering digunakan karena keuntungannya antara lain nstabilitasnya lebih tinggi dan penggunaannya dalam jumlah kecil sudah cukup memberikan warna yang diinginkan, namun penggunaan zat warna sintetik dapat mengakibatkan efek samping yang menunjukkan sifat karsinogenik. Adanya batasan-batasan pada penggunaan beberapa macam zat warna sintetik mengakibatkan pentingnya penelitian terhadap zat warna alami. Berkembangnya industry pengolahan pangan dan terbatasnya jumlah serta kualitas zat pewarna alami menyebabkan pemakaian zat warna sintetis meningkat. Pewarna sintetis pada makanan kurang aman untuk konsumen karena diantaranya ada yang mengandung logam berat yang berbahaya bagi kesehatan. Oleh sebab itu, perlu ditingkatkan pencarian

alternatif sumber zat pewarna alami. Zat pewarna alami yang berpotensi untuk diekstrak diantaranya adalah antosianin (Winarti, 2004). Salah satu sumber antosianin yang murah dan banyak terdapat di Indonesia adalah pada ubi jalar ungu karena pada ubi jalar ungu memiliki kandungan antosianin yang lebih besar dari pada ubi jalar dengan varietas yang lain yaitu sebesar 11,051 mg/100 gr (Arixs, 2006). Antosianin telah memenuhi persyaratan sebagai zat pewarna makanan tambahan, diantaranya tidak menimbulkan kerusakan pada bahan makanan maupun kemasannya dan bukan merupakan zat yang beracun bagi tubuh, sehingga secara internasional telah diijinkan sebagai zat pewarna makanan. Mengekstraksi kulit buah manggis menggunakan solven air, metanol dan etanol, ternyata intensitas warna ekstrak dengan air lebih rendah dibandingkan dengan metanol dan etanol. Hal ini diduga polaritas senyawa tersebut lebih rendah dibandingkan air sehingga pelarut yang baik untuk ekstraksi adalah solvent yang kurang polar (Winarti, 2004). Suatu bahan yang dinilai bergizi, enak, dan teksturnya sangat baik tidak akan dimakan apabila memiliki warna yang tidak sedap dipandang atau member kesan yang menyimpang dari warna yang seharusnya. Penerimaan warna suatu bahan berbeda-beda tergantung dari faktor alam, geografis, dan aspek social masyarakat penerima. Warna suatu bahan dapat diukur dengan menggunakan alat kalorimetri, spektrofotometer, atau alat yang dirancang khusus untuk mengukur warna. Tetapi alat tersebut biasanya terbatas penggunaanya untuk bahan cair yang tembus cahaya seperti sari buah, bir atau warna hasil ekstraksi. Pada bahan yang bukan cairan atau padatan, warna bahan dapat diukur dengan membandingkan terhadap suatu warna standart yang dinyatakan dalam angka (Winarno, 2004). Cara pengukuran warna yang lebih teliti dilakukan dengan mengukur komponen warna dalam besaran value, hue dan chroma. Nilai value menunjukkan gelap terangnya warna, nilai hue mewakili panjang gelombang yang dominan yang akan menentukan apakah warna tersebut merah, hijau atau kuning sedangkan chroma menunjukkan itensitas warna.

Ketiga komponen ini diukur dengan menggunakan alat khusus yang mengukur nilai kromatisitas permukaan suatu bahan (winarno, 2004). C. Metodologi 1. Alat a. Kompor b. Tabung Reaksi c. Beker glass d. Gelas ukur e. Panci f. Timbangan g. Pisau h. pH meter 2. Bahan a. Tomat b. Buncis c. Bawang Merah d. Daging sapi e. Larutan FeCl3 50 ppm Fe f. Asam cuka 95 % g. NaHCO3 kristal h. Larutan MgCl2 50 ppm Mg i. Aquades j. Natrium Nitrat k. Natrium Nitrit l. Asam Askorbat

3. Cara Kerja a. Pengaruh Asam, Alkali, dan Ion-Ion Logam terhadap Pigmen Tanaman

Tomat, buncis, bawang merah disiapkan Diiris dan ditimbang 25 gram Dimasukkan ke dalam 5 beker glass

50 ml aquades

NaHCO3 0,5 gr + 50 ml air ledeng

50 ml larutan FeCl350 ppm Fe

50 ml larutan MgCl2 50 ppm Mg

2,5 ml asam cuka 95% + 50 ml air ledeng

Diamati warna awal bahan, larutan dan diukir pH-nya

Dipanaskan hingga mendidih selama 15 menit

Diamati perubahan warna bahan, pH, dan warna larutan sebelum dan sesudah percobaan

b. Pengaruh Cara Pemasakan Terbuka dan Tertutup Terhadap Pigmen Tanaman Tomatl, buncis, dan bawang merah disiapkan

Diiris dan ditmbang 10 gram Dimasukkan ke dalam baker glass

Ditambahkan air 100 ml Diamati warna bahan, warna larutan dan diukur pH-nya

Dipanaskan terbuka

Dipanaskan tertutup

Diamati perubahan warna bahan, warna larutan, dan pH

c. Pengaruh Beberapa Perlakuan terhadap Zat Warna Daging 1) Pengaruh Zat Warna Daging tanpa Curing Daging segar

Diiris dengan pisau

Didiamkan pada suhu kamar

Diamati perubahan warnanya pada 10, 20, dan 30 menit

2) Pengaruh Daging terhadap Pemanasan Daging segar

Dicincang

Dimasukkan dalam 5 tabung rekasi

Ditambah aquadest Diamati warna dan teksturnya

Direbus hingga mendidih selama 15 menit

Diamati perubahan warna dan teksturnya sebelum dan sesudah pemanasan

3) Pengaruh Zat Warna Daging dengan Curing Daging segar

Dicacah hingga menjadi potongan kecil Dimasukkan dalam 5 beker glass

0,1 gr NaNO3 + 0,1 gr NaNO2 + 0,1 gr vitamin C + 100 ml aquades

0,2 gr NaNO3 + 100 ml aquades

0,2 gr NaNO2 + 100 ml aquades

0,2 gr vitamin C + 100 ml aquades

100 ml aquades

Ditambahkan 2-3 tetes asam cuka 95%

Diadukk

Diisi aquadest

Dipanaskan 15 menit

Diamati perubahan warna daging

D. Hasil dan Pembahasan Tabel 5.1 Pengaruh Beberpa Perlakuan Terhadap Zat Warna Tomat Sebelum Sesudah Kel Perlakuan pH Warna pH Warna Tomat+2,5 ml asam 14 cuka+air ledeng 50 5,1 bening 6,47 Orange muda ml 10&13 Tomat+MgCL2 4,91 bening 7,24 Orange Tomat+ air ledeng 9 50 ml keadaan 7,09 bening 5,21 Orange bening terbuka Tomat+ air ledeng 8 50 ml keadaan bening Orange keruh tertutup 11&15 Tomat+NaHCO3 7,09 bening 6,47 Orange merah 12&16 bening Sumber: Laporan Sementara Pada percobaan ini, digunakan sampel tomat sebagai sumber karatenoid yang diuji. Sampel tersebut diberi 6 perlakuan, yaitu ditambahkan air ledeng (terbuka), air ledeng (tertutup) kemudian dipanaskan, larutan NaHCO3 0,5 gr, larutan FeCl3 50 ppm Fe, asam cukal 2,5 ml dan larutan MgCl2 50 ppm Mg. Setelah diberi masing-masing perlakuan, sampel diamati perubahan warna yang terjadi dan kemudian dipanaskan hingga 15 menit dan dianalisis perubahan warna dan pH-nya. Melalui hasil penelitian, dapat diketahui bahwa terjadi perubahan warna pada masing-masing sampel yang diberi perlakuan berbeda. Pada penambahan air ledeng dengan perlakuan terbuka pada tomat, terdapat perubahan warna dari bening ke orange muda dan mengalami perubahan pH dari 5,1 menjadi 6,47. Pada penambahan air ledeng dengan perlakuan tertutup terjadi perubahan warna dari bening ke orange keruh disertai perubahan pH dari menjadi. Pada penambahan FeCl3 terjadi perubahan warna dari merah keorangean ke orange dan perubahan pH dari 4 menjadi 5. Pada penambahan asam cuka 95 % terjadi perubaan warna dari merah keorangean ke orange dan tidak mengalami perubahan pH yaitu 4. Pada penambahan NaHCO3 warna berubah dari bening menjadi orange pudar dan perubahan pH dari 7,09 menjadi 6,47. Pada

penambahan MgCl2 warna berubah dari bening ke orange dan mengalami perubahan pH dari 4,91 ke 7,24. Pada warna larutan setelah pemanasan terbuka mengalami perubahan dari bening menjadi sedikit keruh. Hal ini dimungkinkan karena terjadinya degradasi atau kerusakan jaringan atau sel-sel penyusun bahan yang terjadi selama proses pemanasan. Pigmen karotenoid dapat mengalami reaksi autooksidasi dalam jumlah ikatan ganda yang besar. Oksidasi ini dapat menyebabkan off-flavor dan hilangnya warna, sehingga hasil produknya kurang memuaskan. Oksidasi menyebabkan warna sayuran menjadi lebih terang. Hasil praktikum untuk wortel yang mengandung karotenoid setelah dilakukan pemanasan baik secara terbuka maupun tertutup, warna wortel yang semula orange cerah berubah menjadi warna orange pucat. Karotenoid sangat mudah teroksidasi sehingga warnanya menjadi sedikit pucat. Sebagai hasil peristiwa ini dihasilkan hidroperoksida dan senyawa karbonil serta hilangnya senyawa volatil dalam wortel. Pada perlakuan pemanasan struktur karotenoid mengalami perubahan dari trans-karotenoid menjadi cis-karotenoid yang berwarna lebih muda. Semakin banyak kontak uap panas dengan karoten, semakin besar tingkat kerusakan karoten. Karotenoid merupakan kelompok pigmen yang berwarna kuning, orang, merah orange serta larut dalam minyak (lipid) dan tidak larut dalam air. Karotenoid merupakan senyawa yang mempunyai rumus kimia sesuai atau mirip dengan karoten. Karoten sendiri merupakan campuran dari beberapa senyawa yaitu -, - dan - karoten. Berdasarkan tabel dapat diketahui yaitu pH tertinggi setelah pemanasan yaitu pada tomat yang ditanbah larutan MgCL2 yaitu 7,24 yang sifatnya basa, proses pemanasan dengan penambahan MgCL2 akan meningkatkan pH larutan. Pada tomat ditambah MgCl2 merupakan perlakuan yang paling baik karena penambahan MgCl2 warna akan menjadi merah terang dan pHnya stabil.

Tabel 5.2 Pengaruh Beberapa Perlakuan Terhadap Zat Warna Buncis Kel Perlakuan Sebelum Sesudah pH Warna pH Warna Tomat+2,5 ml asam 2,98 Hijau 5,8 Hijau tua 14 cuka+air ledeng 50 8 ml 7,55 Hijau 10, Hijau kecoklatan 10&13 Tomat+MgCL2 47 Tomat+ air ledeng 7,44 Hijau 8,4 Hijau keputihan 9 50 ml keadaan 6 terbuka Tomat+ air ledeng Hijau Hijau kecoklatan 8 50 ml keadaan muda tertutup 7,55 Hijau 8,8 Hijau tua 11&15 Tomat+NaHCO3 muda 12&16 Hijau Hijau layu Sumber: Laporan Sementara Pada percobaan ini, digunakan sampel buncis sebagai sumber klorofil yang diuji. Sampel tersebut diberi 6 perlakuan, yaitu ditambahkan air ledeng (terbuka), air ledeng (tertutup) kemudian dipanaskan, larutan NaHCO3 0,5 gr, larutan FeCl3 50 ppm Fe, asam cukal 2,5 ml dan larutan MgCl2 50 ppm Mg. Setelah diberi masing-masing perlakuan, sampel diamati perubahan warna yang terjadi dan kemudian dipanaskan hingga 15 menit dan dianalisis perubahan warna dan pH-nya. Dalam proses pemanasan protein dalam klorofil terdenaturasi dan larut dalam air sehingga klorofil dilepaskan menyebabkan perubahan warna. Selama pemanasan klorofil membentuk asam-asam organik yang dapat merubah pH. Bila dalam keadaan terbuka, asam-asam itu dapat teruapkan keluar dan warna hijau lebih dapat dipertahankan. Klorofil merupakan pigmen berwarna hijau yang terdapat dalam kloroplas bersama-sama dengan karoten dan xantofil. Ada dua jenis klorofil yang telah berhasil diisolasi yaitu klorofil a dan b. Molekul klorofil sampai sekarang belum dapat disintesis. Pada hakikatnya klorofil merupakan senyawa yang tidak stabil sehingga sulit untuk menjaga agar molekulnya tetap utuh dengan warna hijau yang sangat menarik.

Klorofil yang berwarna hijau dapat berubah menjadi hijau kecoklatan dan mungkin berubah menjadi coklat akibat substitusi magnesium oleh hidrogen membentuk feofitin (klorofil yang kehilangan magnesium). Reaksi tersebut berjalan cepat pada larutan yang bersifat asam. Pada penambahan larutan MgCl2, pada buncis dilakukan pemansan warna bahan berubah menjadi hijau pucat. MgCl2 merupakan senyawa alkali klorofil yang stabil jika dalam keadaan alkali dan asam. Jadi pada penambahan MgCl2 pada buncis tidak berdampak pada perubahan pH. Pada penambahan asam cuka 95 % pada buncis, warna awal hijau segar dengan warna larutan bening dan setelah dilakukan pemansan warna bahan berubah menjadi hijau layu dengan warna larutan keruh. Pada penambahan asam glasial sama dampaknya dengan penambahan MgCl2 karena klorofil akan stabil jika berada dalam keadaan alkali dan asam. Pada penambahan NaHCO3 pada buncis terjadi perubahan pH dari 7,55 ke 8,8 menandakan klorofil yang ada pada buncis setelah ditambahkan NaHCO3 dan dilakukan pemanasan banyak yang hilang. Karena pada warna larutan menjadi berwarna hijau sekali. Tetapi seharusnya terbentuk warna hijau kecoklatan karena ion Mg tergantikan ion H pada saat penambahan MgCl2. Perendaman dalam NaHCO3 dapat mencegah perubahan warna karena peningkatan pH atau semakin basa. Secara teori bahan lebih dapat mempertahankan warnanya pada pemanasan terbuka, karena pada pemanasan terbuka uap air akan bebas ke udara sehingga tidak akan berpengaruh lagi pada proses pemanasan. Pada buncis ditambah NaHCO3 merupakan perlakuan yang paling baik karena penambahan NaHCO3 dapat menghambat perubahan warna pada buncis.

Tabel 5.3 Pengaruh Beberapa Perlakuan Terhadap Zat Warna Bawang Merah Kel Perlakuan Sebelum Sesudah pH Warna pH Warna Tomat+2,5 ml asam 7 Ungu 8 Putih 14 cuka+air ledeng 50 ml 10&1 7 Ungu 7 Putih Tomat+MgCL2 3 Tomat+ air ledeng 50 6 Ungu 5 Putih 9 ml keadaan terbuka Tomat+ air ledeng 50 4 Ungu muda 4 Merah muda 8 ml keadaan tertutup 11&1 8 Ungu muda 9 Putih kehijauan Tomat+NaHCO3 5 12&1 5 Ungu 5 Ungu keputihan 6 Sumber: Laporan Sementara Antosianin yaitu pigmen warna merah, biru, dan ungu. Seperti pada bawang, cabe, terong, dan mempunyai sifat larut dalam air. Antosianin terdiri dari gugus glikon (gula) dan nonglikon (non gula), dan kadang-kadang terdapat gugus asli seperti kumarat, kafeat atau feruat. Antosianin pada pH asam berwarna merah, pada pH netral berwarna ungu sedang basa berwarna biru tua. Hasil praktikum pada pemanasan tertutup air tidak menguap ke luar sistem sehingga warna larutan menjadi keruh dan warna bawang merah menjadi agak pucat (putih). Penyimpangan ini terjadi mungkin dikarenakan wadah tidak tertutup dengan rapat sehingga pigmen yang larut dalam air akan menguap ke luar sistem. Untuk pH setelah pemanasan mengalami kenaikan, kenaikan ini disebabkan karena asam-asam organik menguap sehingga membebaskan atom H, hal inilah yang menyebabkan pH bahan menjadi naik. Pada penambahan larutan larutan MgCl2 50 ppm Mg dan asam cuka 95 % mengalami perubahan pH, hal itu tidak sesuai teori karena pada sifat asam, antosianin bersifat stabil. Pada bawang merah ditambah asam cuka 95 % merupakan perlakuan yang paling baik karena penambahan asam cuka warna akan menjadi terang dan pHnya stabil.

Pada pemanasan terbuka mengalami perubahan warna menjadi lebih pucat (putih) karena pigmen ini peka terhadap panas dan dapat terdegradasi oleh panas. Warna larutan yang keruh disebabkan karena degradsi antosianin dipercepat dengan adanya oksigen dan asam-asam organik yang dibebaskan selama pemanasan, tidak keluar dari sistem dan kembali, lalu bereaksi mendegradasi pigmen antosianin pada bahan. Hasil pada warna tersebut menyimpang dari teori, menurut Astawan (2008) pemasakan sayuran yang mengandung pigmen antosianin lebih direkomendasikan dilakukan secara tertutup untuk menjaga warna sayuran. Hal ini disebabkan karena pigmen yang ada pada bawang merah larut dalam air dan pada pemanasan terbuka air menguap keluar sistem sehingga warna larutan menjadi lebih keruh. Selain itu, pigmen antosianin yang ada pada bahan bersifat larut dalam air, sehingga ikut teruapkan. Pada percobaan ini, dilakukan 6 perlakuan pada sampel daging segar. Pada perlakuan pertama, yaitu ketika daging dibiarkan pada udara terbuka, warna merah tua menjadi merah muda. Hal tersebut terjadi karena daging mengalami kontak dengan oksigen sehingga membentuk oksimyoglobin (MbO2). Pada perlakuan kedua yaitu daging ditambah air kemudian dipanaskan. Warna merah tua menjadi putih. Hal tersebut karena daging mengalami kontak dengan oksigen dan terdenaturasi oleh pemanasan. Pada perlakuan ketiga yaitu daging ditambah curing I (0,1 gr NaNO3 + 0,1 gr NaNO2 + 0,1 gr vitamin C + 100 ml aquades) warna daging merah tua menjadi merah pucat. Pada perlakuan keempat yaitu daging ditambah curing II (0,2 gr NaNO3 + 100 ml aquades), warna daging merah jambu menjadi putih kecoklatan. Pada perlakuan kelima yaitu daging ditambah curing III (0,2 gr NaNO2 + 100 ml aquades), warna daging merah menjadi kecoklatan. Pada perlakuaan keenam yaitu yaitu daging ditambah curing IV (0,2 gr vitamin C + 100 ml aquades), warna daging merah jambu menjadi putih pucat. Perubahan warna tersebut karena proses curing daging melibatkan pemberian nitrat, nitrit dan garam dapur.

Nitrit dan nitrat merupakan bahan tambahan yang dapat memperbaiki warna dan rasa daging pada proses curing. Selain itu, nitrit pun dapat mencegah pertumbuhan clostridium botulinum yang bersifat racun bila dikonsumsi manusia sehingga menyebabkan botulisme. Nitrit dapat berubah menjadi nitrit oksida yang akan bergabung dengan myoglobin (Mb). Myoglobin merupakan pigmen yang menentukan warna merah alami pada daging yang tidak diasin. Setelah itu nitrit oksida dan myoglobin berubah menjadi nitrit oksida myoglobin (NOMb). Nitrit yang digunakan dalam pengasinan daging ini telah diproduksi secara komersial dengan nama sodium nitrite. Proses curing terjadi karena reaksi biologis yang dapat mereduksi nitrat menjadi nitrit dan NO, yang mampu mereduksi feri menjadi fero. Selain itu, terjadinya denaturasi globin oleh panas. Bila daging yang di curing dipanaskan pada suhu 150oF atau lebih, maka terjadilah proses denaturasi tersebut. Hasil akhir curing daging membentuk pigmen nitrosilmioglobin bila tidak dimasak dan nitrosil hemokromogen bila telah dimasak. Pada dasarnya pengawetan daging dengan menggunakan larutan curing akan menghasilkan warna yang segar dan bagus kecuali curing menggunakan vitamin C dan aquadest tidak menghasilkan warna yang segar. Larutan curing yang baik untuk mempertahankan zat warna daging adalah larutan curing I karena larutan curing I (0,1 gr NaNO3 + 0,1 gr NaNO2 + 0,1 gr vitamin C + 100 ml aquades) akan menutupi daging agar daging tidak teroksidasi dengan udara luar sehingga warna tidak akan berubah akan tetap merah segar.

E. Kesimpulan Dari hasil praktikum acara V Zat Warna Tanaman dan Hewan diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Klorofil merupakan zat warna pada buncis, karotenoid merupakan zat warna pada tomat dan antosianin merupakan zat warna pada bawang merah. 2. Pengawetan daging dengan menggunakan larutan curing akan

menghasilkan warna yang segar dan bagus. 3. Untuk anthosianin, pemanasan lebih baik dengan pemanasan tertutup. 4. Perlakuan curing dapat mempertahankan warna merah daging.

DAFTAR PUSTAKA

Azeredo, Henriette M.C. 2009. Betalains: Properties, Source, Applications and Stability-a Review. International Journal of Food and Technology. Herawati, Dian dkk. 2011. Analisis Pangan. Dian Rakyat: Jakarta. Hutajulu, Tiurlan Farida; Eddy Sapto Hartanto, dkk. 2008. Proses Ekstraksi Zat Warna Hijau Khlorofil Alami Untuk Pangan dan Karakteristiknya. Jurnal Riset Industri Vol. 2, No. 1. Sugiyono dkk. 2011. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Alfabeta: Bogor. Suhardi dkk. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. UGM. Yogyakarta. Skibsted, Leif H. 2011. Nitric Oxide and Quality and Safety of Muscle Based Foods. Food Chemistry, Deparment of Food Science, Faculty of Life Science, University of Copenhangen, Rolighedsvej 30, DK-1958 Frederiksberg C, Denmark. Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. Winarti, Sri dan Aburrozaq Firdaus. 2010. Stabilitas Warna Merah Ekstrak Bunga Rosela Untuk Pewarna Makanan dan Minuman. Jurnal Tekonlogi Pertanian Vol. 11 No. 2. Winarti, Sri; Ulya Sarofa, dkk. 2008. Ekstraksi dan Stabilitas Warna Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas L) sebagai Pewarna Alami. Jurnal Teknik Kimia, Vol.3, No. 1.

You might also like