You are on page 1of 2

Awal Islam di Nusantara Dalam Perdebatan JOKO ARIZAL Masuk dan berkembang pesatnya Islam di Nusantara memunculkan banyak

pendapat yang berbeda-beda bahkan saling bertentangan. Setidaknya ada tiga masalah pokok yang diperdebatkan oleh para ahli, yaitu tempat asal kedatangannya, para pembawanya dan waktu kedatangannya. Berbagai teori dan pembahasan yang berusaha menjawab ketiga masalah pokok ini jelas belum tuntas, tidak hanya kurangnya data yang dapat mendukung suatu teori tertentu, tetapi juga sikap sepihak dari teori yang ada. Terdapat kecenderungan kuat suatu teori yang menitikberatkan pada aspek-aspek khusus dan mengabaikan pada aspek yang lain. Mengenai tempat asal kedatangannya, terdapat berbagai teori. Pertama, teori yang menyatakan bahwa Islam berasal dari Gujarat dan Malabar, pertama kali dikemukakan oleh Pijnapel (1872). Berdasarkan referensi Prancis tentang catatan perjalanan Sulaiman, Marco Polo dan Ibn Batutah, ia menyimpulkan bahwa orang-orang arab yang bermazhab Syafii dari Gujarat dan Malabar di India yang membawa Islam ke Nusantara. Teori ini lebih lanjut dikembangkan oleh Snouck Hurgronje. Menurutnya, begitu Islam berpijak kokoh di beberapa kota pelabuhan anak benua India, banyak Muslim Dacca yang tinggal di sana sebagai distributor dalam perdagangan Timur Tengah dengan Nusantara, datang ke Nusantara sebagai para penyebar Islam pertama. Baru kemudian mereka disusul oleh orang Arab yang kebanyakan keturunan Nabi yang bergelar sayid atau syarif. Abad ke-12 sebagai periode paling mungkin dari permulaan penyebaran Islam di Nusantara. Disamping itu, pengaruh Gujarat ditunjukkan oleh kenyataan bahwa batu nisan Malik Ibrahim (w.1419) di Gresik dan beberapa batu nisan di Pasai dipercaya diimpor dari Kambay di Gujarat. Hal ini dikemukakan oleh Moquette, seorang sarjana Belanda. Di dalam sejarah melayu juga terdapat beberapa bukti yang membenarkan hal ini; antara lain disebutkan kebiasaan beberapa wilayah Nusantara mengimpor batu nisan dari Gujarat. Kedua, teori yang dikembangkan oleh Fatimi yang menyatakan bahwa Islam berasal datang dari Benggali (kini Banglades). Hal ini berangkat dari kritikannya terhadap batu nisan Malik Al Shalih dengan batu nisan di Gujarat. Menurut penelitiannya, bentuk dan gaya batu nisan Malik Al Shalih berbeda sepenuhnya dengan batu nisan yang ada di Gujarat. Baginya, justru bantuk dan gaya batu nisan ini mirip dengan batu nisan yang terdapat di Bengal. Teori tentang Islam di Nusantara berasal dari Bengal tentu saja bisa dipersoalkan lebih lanjut. Dalam hal bermazhab misalnya, Muslim di Bengal menganut mazhab Hanafi, sedangkan muslim Nusantara menganut mazhab Syafii. Dalam pandangan Morrison, meskipun batu-batu nisan yang ditemukan di tempat-tempat tertentu di Nusantara boleh jadi berasal dari Gujarat atau Bengal. Akan tetapi, itu tidak lantas berarti Islam di datangkan juga dari sana. Ia mematahkan teori ini dengan menunjukkan kenyataan bahwa pada masa Islamisasi Samudera Pasai, Gujarat masih merupakan Kerajaan Hindu. Baru setahun kemudian (1298), Cambay dan Gujarat ditaklukkan kekuasaan Muslim. Mempertimbangkan semua ini, Morrison mengemukakan teorinya bahwa Islam di Nusantara bukan berasal dari Gujarat, melainkan dibawa para penyebar Islam dari pantai Coromandel pada akhir abad ke-13. Teori yang dikemukakan Marrison kelihatan mendukung pendapat yang dipegang Arnold. Sebelumnya, Arnold juga berpendapat bahwa Islam di Nusantara berasal dari Coromandel dan Malabar. Ia menyokong teorinya dengan menunjukkan kesamaan mazhab Fiqh di antara kedua wilayah ini, yaitu mazhab Syafii. Sejumlah besar pedagang Malabar dan Coromandel mendatangai pelabuhan-pelabuhan di dunia Melayu, ternyata tidak hanya berdagang, tetapi juga dalam penyebaran Islam. Melalui sumber-sumber Cina, Arnold menyatakan bahwa Malabar dan Coromandel bukan satusatunya tempat asal Islam, tetapi juga Arabia. Menjelang akhir abad ke-7, seorang pedagang Arab

menjadi pemimpin sebuah pemukiman Arab muslim di pesisir pantai Sumatera. Sebagian orang-orang Arab ini dilaporkan melakukan perkawinan dengan wanita lokal. Teori yang menyatakan bahwa Islam dibawa langsung dari Arabia dipegang oleh Crawfurd. Walaupun ia menyatakan bahwa interaksi muslim Nusantara dengan kaum Muslim yang berasal dari pantai timur India juga merupakan faktor penting dalam penyebaran Islam Nusantara. Teori ini juga dipegang oleh Niemann dan de Hollander dengan sedikit revisi, bahwa Islam berasal dari Hadralmaut. Sebagian Sejarahwan setuju dengan teori Arab ini. Dalam seminar yang diselenggarakan pada 1969 dan 1978 tentang kedatangan Islam di Nusantara, mereka menyimpulkan bahwa Islam datang langsung dari Arabia, bukan dari India, tidak pada abad ke-12 atau ke-13, melainkan dalam abad ke-7. Di antara tokoh yang paling keukeuh mempertahankan teori ini adalah Naquib Al Attas. Bukti arkeologis awal Islam di Nusantara terdapat di Samudera Pasai dan Leran di Jawa Timur. Dengan kata lain, kawasan ini sudah memeluk Islam sejak abad ke-11. Batu nisan Muslim tertua masih ada bahkan tarikhnya terbaca jelas (475 H / 1082 M). Ini nisan seorang Wanita, Fatimah binti Maimun. Seorang penjelajah asal Italia, Marco Polo, seusai mengadakan pelayaran dari Cina mengunjungi wilayah Samudera Pasai pada 1292 menyebutkan bahwa Perlak sudah memeluk Islam, sementara Samara masih menyembah berhala. Demikian pula pengembara Muslim Maroko, Ibn Batutah mengunjungi Pasai pada 1345 menyatakan bahwa masyarakat setempat sudah masuk Islam. Di samping itu, kondisi awal Islam di Nusantara juga terdapat dalam historiografi lokal, seperti Hikayat Raja-raja Pasai (ditulis 1350), Sejarah Melayu (1500), Hikayat Merong Mahawangsa (1630), dan Tarsilah. Berdasarkan riwayat-riwayat yang dikemukakan dalam historiografi klasik ini, kita dapat mengambil 4 tema pokok. Pertama, Islam dibawa langsung dari Arabia, kedua, Islam diperkenalkan oleh para guru dan penyair propesional; ketiga, yang mula-mula masuk Islam adalah penguasa; dan keempat, kebanyakan penyebar Islam datang ke Nusantara pada abad ke-12 dan ke-13. Mempertimbangkan tema terakhir ini, mungkin benar bahwa Islam sudah diperkenalkan ke dan ada di Nusantara pada abad ke-7, sebagaimana yang kemukakan Arnold dan Sarjana IndonesiaMalaysia. Akan tetapi, hanya setelah abad ke-12 pengaruh Islam kelihatan lebih nyata. Karena itu, proses Islamisasi tampaknya mengalami akselarasi antara abad ke-12 dan ke-16. Sebagian besar Sarjana Barat berpegang pada teori yang menyatakan bahwa Islam di Nusantara dibawa oleh pedagang. Bahkan pedagang tersebut juga melakukan perkawinan dengan keluarga bangsawan sehingga memungkinkan mereka atau keturunan mereka yang pada akhirnya mencapai kekuasaan politik yang dapat digunakan untuk penyebaran Islam. Van Leur percaya bahwa motif ekonomi dan politik sangat penting dalam masuk Islamnya penduduk Nusantara. Dalam pendapatnya, para penguasa pribumi yang ingin meningkatkan kegiatankegiatan perdagangan di wilayah kekuasaan mereka menerima Islam. Dengan begitu mereka mendapat dukungan para pedagang Muslim yang menguasai sumber-sumber ekonomi. Dengan masuk Islam dan mendapat dukungan dari para pedagang Muslim, para penguasa dapat mengabsahkan dan memperkuat kekuasaan mereka sehingga mampu menangkis kekuatan luar. Teori di atas sangat jelas menekankan pada motif-motif ekonomi dan peran para pedagang. Cukup meragukan jika para pedagang dianggap sebagai penyebar Islam. Karena tidak terlihat secara signifikan proses Islamisasi terjadi di awal kehadiran mereka di Nusantara pada abad ke-7, meskipun interaksi antara pribumi dan pedagang tersebut sudah mulai terjalin. Berbeda halnya dengan A.H. John mengajukan bahwa sejak abad ke-13 para sufi menyebarkan Islam di Nusantara. Faktor utama keberhasilan konversi adalah kemampuan para sufi menyajikan Islam dalam kemasan atraktif, khususnya dengan menekankan kesesuaian dengan Islam atau kontinuitas, ketimbang perubahan dalam kepercayaan dan praktik keagamaan lokal. John memperkuat argumennya dengan sumber sejarah lokal. Banyak sumber lokal yang mengaitkan pengenalan Islam ke kawasan ini dengan guru-guru pengembara dengan karakteristik sufi yang kental.

You might also like