You are on page 1of 8

Awal mula munculnya aliran Mu'tazilah Kelompok pemuja akal ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad

ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan mati pada tahun 131 H. Di dalam menyebarkan bidahnya, ia didukung oleh Amr bin Ubaid (seorang gembong Qadariyyah kota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam suatu pemikiran bidah, yaitu mengingkari taqdir dan sifat-sifat Allah1. (Lihat Firaq Muashirah, karya Dr. Ghalib bin Ali Awaji, 2/821, Siyar Alam An-Nubala, karya Adz-Dzahabi, 5/464-465, dan Al-Milal Wan-Nihal, karya Asy-Syihristani hal. 46-48) Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok Mutazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. Hingga kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benarbenar terwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalildalil dari Al Quran dan As Sunnah -pen)2. (Al-Milal Wan-Nihal, hal.29) Oleh karena itu, tidaklah aneh bila kaidah nomor satu mereka berbunyi: Akal lebih didahulukan daripada syariat (Al Quran, As Sunnah dan Ijma, pen) dan akal-lah sebagai kata pemutus dalam segala hal. Bila syariat bertentangan dengan akal menurut persangkaan mereka maka sungguh syariat tersebut harus dibuang atau ditakwil3. (Lihat kata pengantar kitab Al-Intishar Firraddi alal Mutazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, 1/65) (Ini merupakan kaidah yang batil, karena kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah akan perintahkan kita untuk merujuk kepadanya ketika terjadi perselisihan. Namun kenyataannya Allah perintahkan kita untuk merujuk kepada Al-Quran dan As-Sunnah, sebagaimana yang terdapat dalam Surat An-Nisa: 59. Kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah tidak akan mengutus para Rasul pada tiap-tiap umat dalam rangka membimbing mereka menuju jalan yang benar sebagaimana yang terdapat dalam An-Nahl: 36. Kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka akal siapakah yang dijadikan sebagai tolok ukur?! Dan banyak hujjah-hujjah lain yang menunjukkan batilnya kaidah ini. Untuk lebih rincinya lihat kitab Daru Taarrudhil Aqli wan Naqli, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan kitab Ash-Shawaiq Al-Mursalah AlalJahmiyyatil-Muaththilah, karya Al-Imam Ibnul-Qayyim.) Mengapa Disebut Mutazilah? Mutazilah, secara etimologis bermakna: orang-orang yang memisahkan diri. Sebutan ini mempunyai suatu kronologi yang tidak bisa dipisahkan dengan sosok Al-Hasan Al-Bashri, salah seorang imam di kalangan tabiin. Asy-Syihristani t berkata: (Suatu hari) datanglah seorang laki-laki kepada Al-Hasan Al-Bashri seraya berkata: Wahai imam dalam agama, telah muncul di zaman kita ini kelompok yang mengkafirkan pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik). Dan dosa tersebut diyakini sebagai suatu kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama, mereka adalah kaum Khawarij. Sedangkan kelompok yang lainnya sangat toleran terhadap pelaku dosa besar (di bawah dosa

syirik), dan dosa tersebut tidak berpengaruh terhadap keimanan. Karena dalam madzhab mereka, suatu amalan bukanlah rukun dari keimanan dan kemaksiatan tidak berpengaruh terhadap keimanan sebagaimana ketaatan tidak berpengaruh terhadap kekafiran, mereka adalah Murjiah umat ini. Bagaimanakah pendapatmu dalam permasalahan ini agar kami bisa menjadikannya sebagai prinsip (dalam beragama)?

Al-Hasan Al-Bashri pun berpikir sejenak dalam permasalahan tersebut. Sebelum beliau menjawab, tiba-tiba dengan lancangnya Washil bin Atha berseloroh: Menurutku pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, namun ia juga tidak kafir, bahkan ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan, tidak mukmin dan juga tidak kafir. Lalu ia berdiri dan duduk menyendiri di salah satu tiang masjid sambil tetap menyatakan pendapatnya tersebut kepada murid-murid Washil telah Hasan Al-Bashri lainnya. Maka Al-Hasan Al-Bashri berkata: memisahkan diri dari kita, maka disebutlah dia dan para pengikutnya dengan sebutan Mutazilah4.(Al-Milal Wan-Nihal,hal.47-48 ) Pertanyaan itu pun akhirnya dijawab oleh Al-Hasan Al-Bashri dengan jawaban Ahlussunnah Wal Jamaah: Sesungguhnya pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik) adalah seorang mukmin yang tidak sempurna imannya. Karena keimanannya, ia masih disebut mukmin dan karena dosa besarnya ia disebut fasiq (dan keimanannya pun menjadi tidak sempurna).5 (Lihat kitab Lamhah Anil-Firaq Adh-Dhallah, karya Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal.42) Asas dan Landasan Mutazilah Mutazilah mempunyai asas dan landasan yang selalu dipegang erat oleh mereka, bahkan di atasnya-lah prinsip-prinsip mereka dibangun. Asas dan landasan itu mereka sebut dengan Al-Ushulul-Khomsah (lima landasan pokok). Adapun rinciannya sebagai berikut:

Landasan Pertama: At-Tauhid Yang mereka maksud dengan At-Tauhid adalah mengingkari dan meniadakan sifat-sifat Allah, dengan dalil bahwa menetapkan sifat-sifat tersebut berarti telah menetapkan untuk masingmasingnya tuhan, dan ini suatu kesyirikan kepada Allah, menurut mereka6 (Firaq Muashirah, 2/832). Oleh karena itu mereka menamakan diri dengan Ahlut-Tauhid atau Al-Munazihuuna lillah (orang-orang yang mensucikan Allah). Bantahan: 1. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata: Dalil ini sangat lemah, bahkan menjadi runtuh dengan adanya dalil sami (naqli) dan aqli yang menerangkan tentang kebatilannya. Adapun dalil mensifati dirinya sendiri dengan sifat-sifat yang sami: bahwa Allah berfirman: begitu banyak, padahal Dia Dzat Yang MahaTunggal. Allah 0 0 0 0 0

Sesungguhnya adzab Rabbmu sangat dahsyat. Sesungguhnya Dialah yang menciptakan (makhluk) dari permulaan dan menghidupkannya (kembali), Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih, Yang mempunyai Arsy lagi Maha Mulia, Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya. (Al-Buruuj: 12-16) 0 0 0 0 Sucikanlah Nama Rabbmu Yang Maha Tinggi, Yang Menciptakan dan Menyempurnakan (penciptaan-Nya), Yang Menentukan taqdir (untuk masing-masing) dan Memberi Petunjuk, Yang Menumbuhkan rerumputan, lalu Ia jadikan rerumputan itu kering kehitam-hitaman. (AlAla: 1-5) Adapun dalil aqli: bahwa sifat-sifat itu bukanlah sesuatu yang terpisah dari yang disifati, sehingga ketika sifat-sifat tersebut ditetapkan maka tidak menunjukkan bahwa yang disifati itu lebih dari satu, bahkan ia termasuk dari sekian sifat yang dimiliki oleh dzat yang disifati tersebut. Dan segala sesuatu yang ada ini pasti mempunyai berbagai macam sifat 7 (Al-Qawaidul-Mutsla, hal. 10-11)

2. Menetapkan sifat-sifat Allah tanpa menyerupakannya dengan sifat makhluq bukanlah bentuk kesyirikan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam Ar-Risalah AlHamawiyah: Menetapkan sifat-sifat Allah tidak termasuk meniadakan kesucian Allah, tidak pula menyelisihi tauhid, atau menyamakan Allah dengan makhluk-Nya. Bahkan ini termasuk konsekuensi dari tauhid al-asma wash-shifat. Sedangkan yang meniadakannya, justru merekalah orang-orang yang terjerumus ke dalam kesyirikan. Karena sebelum meniadakan sifat-sifat Allah tersebut, mereka terlebih dahulu menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Lebih dari itu, ketika mereka meniadakan sifat-sifat Allah yang sempurna itu, sungguh mereka menyamakan Allah dengan sesuatu yang penuh kekurangan dan tidak ada wujudnya. Karena tidak mungkin sesuatu itu ada namun tidak mempunyai sifat sama sekali. Oleh karena itu IbnulQayyim rahimahullah di dalam Nuniyyah-nya menjuluki mereka dengan Abidul-Maduum (penyembah sesuatu yang tidak ada wujudnya).8 (Untuk lebih rincinya lihat kitab AtTadmuriyyah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, hal.79-81) Atas dasar ini mereka lebih tepat disebut dengan Jahmiyyah, Muaththilah, dan penyembah sesuatu yang tidak ada wujudnya. Landasan kedua: Al-Adl (keadilan) Yang mereka maksud dengan keadilan adalah keyakinan bahwasanya kebaikan itu datang dari Allah, sedangkan kejelekan datang dari makhluk dan di luar Dan Allah tidak suka terhadap kerusakan. (Al-Baqarah: 205)

Dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya. (Az-Zumar: 7) Menurut mereka kesukaan dan keinginan merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sehingga mustahil bila Allah tidak suka terhadap kejelekan, kemudian menghendaki atau menginginkan untuk terjadi (mentaqdirkannya). Oleh karena itu mereka menamakan diri dengan Ahlul-Adl atau Al-Adliyyah. Bantahan: Asy-Syaikh Yahya bin Abil-Khair Al-Imrani t berkata: Kita tidak sepakat bahwa kesukaan dan Maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir. (Ali Imran: 32) Padahal kita semua tahu bahwa Allah-lah yang menginginkan adanya orang-orang kafir tersebut dan Dialah yang menciptakan mereka.9 (Al-Intishar Firraddi Alal- Mutazilatil-Qadariyyah AlAsyrar, 1/315) Terlebih lagi Allah telah menyatakan bahwasanya apa yang dikehendaki dan dikerjakan hamba -Nya. Allah Dan kalian tidak akan mampu menghendaki (jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. (AlInsan: 30) Padahal Allah-lah yang menciptakan kalian dan yang kalian perbuat. (Ash-Shaaffaat: 96) mengin Allah pantas disebut dengan Qadariyyah, Majusiyyah, dan orang-orang yang zalim. Landasan Ketiga: Al-Wadu Wal-Waid Yang mereka maksud dengan landasan ini adalah bahwa wajib bagi Allah I untuk memenuhi janji-Nya (al-wad) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam Al-Jannah, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-waid) bagi pelaku dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam An-Naar, kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut dengan Waidiyyah. Bantahan: 1. Seseorang yang beramal shalih (sekecil apapun) akan mendapatkan pahalanya (seperti yang dijanjikan Allah) sebagai karunia dan nikmat dari-Nya. Dan tidaklah pantas bagi makhluk untuk Rububiyyah-Nya dan sebagai bentuk keraguan terhadap firman-Nya:

Sesungguhnya Allah tidak akan menyelisihi janji (-Nya). (Ali Imran: 9) Bahkan Allah mewajibkan bagi diri-Nya sendiri sebagai keutamaan untuk para hamba-Nya. Adapun orang-orang yang mendapatkan ancaman dari Allah karena dosa besarnya (di bawah syirik) dan meninggal dunia dalam keadaan seperti itu, maka sesuai dengan kehendak Allah. Dia Maha berhak untuk melaksanakan ancaman-Nya dan Maha berhak pula untuk tidak melaksanakannya, karena Dia telah mensifati diri-Nya dengan Maha Pemaaf, Maha Pemurah, Maha Pengampun, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Terlebih lagi Dia telah menyatakan: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik (bila pelakunya meninggal dunia belum bertaubat darinya) dan mengampuni dosa yang di bawah (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. (An-Nisa: 48)10 (Diringkas dari kitab Al-Intishar Firraddi Alal-MutazilatilQadariyyah Al-Asyrar, 3/676, dengan beberapa tambahan). 2. Adapun pernyataan mereka bahwa pelaku dosa besar (di bawah syirik) kekal abadi di AnNaar, maka sangat bertentangan dengan firman Allah dalam Surat An-Nisa ayat 48 di atas, dan juga bertentangan dengan sabda Rasulullah r yang artinya: Telah datang Jibril kepadaku dengan suatu kabar gembira, bahwasanya siapa saja dari umatku yang meninggal dunia dalam keadaan tidak syirik kepada Allah niscaya akan masuk ke dalam al-jannah. Aku (Abu Dzar) berkata: Walaupun berzina dan mencuri? Beliau menjawab: Walaupun berzina dan mencuri. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Dzar Al-Ghifari)11 (Meskipun mungkin mereka masuk neraka lebih dahulu (ed).) Landasan Keempat: Suatu keadaan di antara dua keadaan Yang mereka maksud adalah, bahwasanya keimanan itu satu dan tidak bertingkat-tingkat, sehingga ketika seseorang melakukan dosa besar (walaupun di bawah syirik) maka telah keluar dari keimanan, namun tidak kafir (di dunia). Sehingga ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan (antara keimanan dan kekafiran). Bantahan: 1.Bahwasanya keimanan itu bertingkat-tingkat, bertambah dengan ketaatan dan berkurang

Dan jika dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, maka bertambahlah keimanan mereka. (AlAnfal: 2)

Dan juga firman-Nya: Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini? Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir. (At-Taubah: 124-125) Dan firman-Nya: Supaya Dia memasukkan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan ke dalam Al-Jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya dan supaya Dia menutupi kesalahan-kesalahan mereka. Dan yang demikian itu adalah keberuntungan yang besar di sisi Allah. (Al-Fath: 4) Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat. Dan tidaklah menjadikan bilangan mereka itu melainkan sebagai cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya dan supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab dan orang-orang mumin itu tidak ragu-ragu dan supaya orangorang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (mengatakan): Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan? Demikianlah Allah menyesatkan orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri. Dan Saqar itu tiada lain hanyalah peringatan bagi manusia. (Al-Muddatstsir: 31) (Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung. (Ali Imran: 173) Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: Ya Tuhanku, perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati. Allah berfirman: Belum yakinkah kamu? Ibrahim menjawab:

Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku) (Al-Baqarah: 260) enam puluh sekian atau tujuh puluh sekian cabang/tingkat, yang paling utama ucapan Laa ilaaha illallah, dan yang paling rendah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan sifat malu itu cabang dari iman. (HR Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah z) 2. Atas dasar ini, pelaku dosa besar (di bawah syirik) tidaklah bisa dikeluarkan dari keimanan secara mutlak. Bahkan ia masih sebagai mukmin namun kurang iman, karena Allah masih menyebut dua golongan yang saling bertempur (padahal ini termasuk dosa besar) dengan sebutan orang-orang yang beriman, sebagaimana dalam firman-Nya:

Dan jika ada dua golongan dari orang-orang yang beriman saling bertempur, maka damaikanlah antara keduanya (Al-Hujurat: 9) Landasan Kelima: Amar Maruf Nahi Mungkar Di antara kandungan landasan ini adalah wajibnya memberontak terhadap pemerintah (muslim) yang zalim. Bantahan: Memberontak terhadap pemerintah muslim yang zalim merupakan prinsip sesat yang bertentangan dengan Al Quran dan As Sunnah. Allah berfirman: Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri (pimpinan) di antara kalian. (An-Nisa: 59) Rasulullah bersabda: Akan datang setelahku para pemimpin yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak menjalankan sunnahku, dan sungguh akan ada di antara mereka yang berhati setan namun bertubuh manusia. (Hudzaifah berkata): Wahai Rasulullah, apa yang kuperbuat jika aku mendapati mereka? Beliau menjawab: Hendaknya engkau mendengar (perintahnya) dan menaatinya, walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu diambil.12 (HR. Muslim, dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman) [Untuk lebih rincinya, lihat majalah AsySyariah edisi Menyikapi Kejahatan Penguasa] Sesatkah Mutazilah?

Dari lima landasan pokok mereka yang batil dan bertentangan dengan Al Quran dan As-Sunnah itu, sudah cukup sebagai bukti tentang kesesatan mereka. Lalu bagaimana bila ditambah dengan prinsip-prinsip sesat lainnya yang mereka punyai, seperti: - Mendahulukan akal daripada Al Quran, As Sunnah, dan Ijma Ulama. - Mengingkari adzab kubur, syafaat Rasulullah untuk para pelaku dosa, ruyatullah (dilihatnya Allah) pada hari kiamat, timbangan amal di hari kiamat, Ash-Shirath13 (jembatan yang diletakkan di antara dua tepi Jahannam), telaga Rasulullah di padang Mahsyar, keluarnya Dajjal di akhir zaman, telah diciptakannya Al-Jannah dan An-Naar (saat ini), turunnya Allah ke langit dunia setiap malam, hadits ahad (selain mutawatir), dan lain sebagainya. - Vonis mereka terhadap salah satu dari dua kelompok yang terlibat dalam pertempuran Jamal dan Shiffin (dari kalangan shahabat dan tabiin), bahwa mereka adalah orang-orang fasiq (pelaku dosa besar) dan tidak diterima persaksiannya. Dan engkau sudah tahu prinsip mereka tentang pelaku dosa besar, di dunia tidak mukmin dan juga tidak kafir, sedangkan di akhirat kekal abadi di dalam an-naar. - Meniadakan sifat-sifat Allah, dengan alasan bahwa menetapkannya merupakan kesyirikan. Namun ternyata mereka mentakwil sifat Kalam (berbicara) bagi Allah dengan sifat Menciptakan, sehingga mereka terjerumus ke dalam keyakinan kufur bahwa Al-Quran itu makhluq, bukan Kalamullah. Demikian pula mereka mentakwil sifat Istiwaa Allah dengan sifat Istilaa (menguasai). Kalau memang menetapkan sifat-sifat bagi Allah merupakan kesyirikan, mengapa mereka tetapkan sifat menciptakan dan Istilaa bagi Allah?!14 (Lihat kitab Al-Intishar Firraddi AlalMutazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, Al-Milal Wan-Nihal, Al-Ibanah an Ushulid-Diyanah, Syarh Al-Qashidah An-Nuniyyah dan Ash-Shawaiq Al-Mursalah alal Jahmiyyatil-Muaththilah) Para pembaca, betapa nyata dan jelasnya kesesatan kelompok pemuja akal ini. Oleh karena itu Al-Imam Abul-Hasan Al-Asyari (yang sebelumnya sebagai tokoh Mutazilah) setelah mengetahui kesesatan mereka yang nyata, berdiri di masjid pada hari Jumat untuk mengumumkan baraa (berlepas diri) dari madzhab Mutazilah. Beliau melepas pakaian yang dikenakannya seraya mengatakan: Aku lepas madzhab Mutazilah sebagaimana aku melepas pakaianku ini. Dan ketika Allah beri karunia beliau hidayah untuk menapak manhaj Ahlussunnah Wal Jamaah, maka beliau tulis sebuah kitab bantahan untuk Mutazilah dan kelompok sesat lainnya dengan judul Al-Ibanah an Ushulid-Diyanah.15 (Diringkas dari kitab Lamhah Anil-Firaq Adh-Dhallah, hal. 44-45). Wallahu alam bish-shawab.

You might also like