You are on page 1of 4

PATOGENESIS Penelitian terhadap virus H5N1 yang diisolasi dari pasien yang terinfeksi pada tahun 1997, menunjukkan

bahwa mutasi genetik pada posisi 627 dari gen PB2 yang mengkode ekspresi polymesase basic protein (Glu627Lys) telah menghasilkan highly cleavable hemagglutinin glycoprotein yang merupakan faktor virulensi yang dapat meningkatkan aktivitas replikasi virus H5N1 dalam sel hospesnya. Disamping itu adanya substitusi pada nonstructural protein (Asp92Glu), menyebabkan H5N1 resisten terhadap interferon dan tumor necrosis factor (TNF) secara invitro. Infeksi virus H5N1 dimulai ketika virus memasuki sel hospes setelah terjadi penempelan spikes virion dengan reseptor spesifik yang ada di permukaan sel hospesnya. Virion akan menyusup ke sitoplasma sel dan akan mengintegrasikan materi genetiknya di dalam inti sel hospesnya, dan dengan menggunakan mesin genetik dari sel hospesnya, virus dapat bereplikasi membentuk virion-virion baru, dan virion-virion ini dapat menginfeksi kembali sel-sel disekitarnya. Dari beberapa hasil pemeriksaan terhadap spesimen klinik yang diambil dari penderita ternyata avian influenza H5N1 dapat bereplikasi di dalam sel nasofaring, dan di dalam sel gastrointestinal. Virus H5N1 juga dapat dideteksi di dalam darah, cairan serebrospinal, dan tinja pasien Fase penempelan (attachment) adalah fase yang paling menentukan apakah virus bisa masuk atau tidak ke dalam sel hospesnya untuk melanjutkan replikasinya. Virus influenza A melalui spikes hemaglutinin (HA) akan berikatan dengan reseptor yang mengandung sialic acid (SA) yang ada pada permukaan sel hospesnya. Ada perbedaan penting antara molekul reseptor yang ada pada manusia dengan reseptor yang ada pada unggas atau binatang. Pada virus flu burung, mereka dapat mengenali dan terikat pada reseptor yang hanya terdapat pada jenis ungags yang terdiri dari oligosakharida yang mengandung N-acethylneuraminic acid -2,3-galactose (SA -2,3- Gal), dimana molekul ini berbeda dengan reseptor yang ada pada manusia. Reseptor yang ada pada permukaan sel manusia adalah SA - 2,6-galactose (SA -2,6-Gal), sehingga secara teoritis virus flu burung tidak bisa menginfeksi manusia karena perbedaan reseptor spesifiknya. Namun demikian, dengan perubahan hanya 1 asam amino saja konfigurasi reseptor tersebut dapat dirubah sehingga reseptor pada manusia dikenali oleh HPAI-H5N1. Potensi virus

H5N1 untuk melakukan mutasi inilah yang dikhawatirkan sehingga virus dapat membuat varianvarian baru dari HPAI-H5N1 yang dapat menular antar manusia ke manusia TERAPI Vaksinasi Tujuan pertama, yaitu perlindungan terhadap munculnya penyakit secara klinis dapat dipenuhi oleh semua vaksin. Risiko hewan yang divaksinasi untuk terkena infeksi virus virulen, dan mengeksresinya, biasanya juga dapat diturunkan tetapi tidak sepenuhnya tercegah. Hal ini dapat menimbulkan masalah epidemiologik yang signifikan di daerah endemik yang sudah mendapat vaksinasi secara luas: unggas yang sudah divaksinasi yang nampak sehat dapat juga terkena infeksi dan mengeluarkan virus liar di balik perlindungan vaksin. Dalam hal vaksinasi terhadap virus H5N1 zoonotik, penurunan jumlah virus yang diekskresi berarti juga menunrunkan risiko penularan ke manusia karena untuk dapat menembus batas penghalang (barrier) antara unggas dan manusia diperlukan jumlah virus yang signifikan. Vaksin yang digunakan untuk manusia adalah injeksi suspensi hemagglutinin strain H5N1. Medikamentosa Pengobatan dengan antiviral oseltamivir (Tamiflu) atau zanamivir (Relenza) dapat mengurangkan progresivitas penyakit jika diambil dalam waktu 48 jam setelah symptom bermula. Oseltamivir juga dapat digunakan oleh orang serumah dengan penderita flu burung. Virus H5N1 dikatakan resisten dengan terapi antiviral amantadine dan rimantadine. Penderita dengan infeksi berat flu burung memerlukan bantuan mesin pernafasan dan diisolasi. Oseltamivir dapat menurunkan waktu replikasi virus dan memperbaiki peluang hidup. Pada kasus tersangka flu burung, oseltamivir perlu diberi secepat mungkin (48 jam setelah gejala awal) dapat memaksimal keberhasilan terapi. Pada kasus dengan infeksi H5N1 berat, pengambilan dosis harian atau jangka waktu pengobatan perlu diperhatikan. Pada pasien H5N1 dengan gangguan GIT seperti mual muntah, pengobatan oral perlu dipertimbangkan.

Terapi suportif seperti terapi oksigen, cairan intravena dan nutrisi parenteral diperlukan selain terapi antivirus. Pada kasus berat diperlukan bantuan ventilasi dengan intubasi dan ventilasi volume rendah. Terapi ativirus perlu memerhatikan usia pasien dan profil resistensi virus pada area pajanan.terapi perlu dimulai walaupun gejala tampil lebih belakangan. Antibiotic diperlukan untuk mengobati pneumonia bacterial tetapi tidak diperlukan secara empiris. Terapi steroid tidak memperlihatkan keunggulannya kecuali menangani sepsis dengan insufiensi renal Terapi Antiviral a. Amantadine (Symmetrel) Aktif melawan influenza A. mekanisme tidak jelas. Menghalangi asam nukleik virus dilepaskan ke sel host dengan mengganggi fungsi domain transmembran pada protein M2 virus. Ia juga menghalang penyatuan virus pada saat replikasi. Terapi dimulai dalam 48 jam setelah onset symptom. Ia menurunkan gejala demam dan gejala lain. Ia juga bisa digunakan sebagai profilaksis dan terapi jangka pendek. Tidak direkomendasi oleh CDC pada 2005-2006 karena resistensi. b. Rimantadine (Flumadine) Menghambat replikasi virus influenza A H1N1, H2N2, H3N2. Ia menghalang penetrasi virus ke dalam host dengan menghambat uncoating virus. Resistensi telah terjadi. c. Oseltamivir Oseltamivir menghambat neuramidase yang merupakan glikoprotein pada permukaan virus yang menghancurkan reseptor hemagglutinin virus pada sel terinfeksi . Dengan menghambat neuraminidase virus, ini dapat menurunkan penglepasan virus dari sel terinfeksi dan mengurangkan penyebaran. Oseltamivir efektif mengobati influenza A dan B. Dimulai 40 jam dari onset.

d. Zanamivir Zanamivir menghambat neuramidase yang merupakan glikoprotein pada permukaan virus yang menghancurkan reseptor hemagglutinin virus pada sel terinfeksi. Dengan menghambat neuraminidase virus, ini dapat menurunkan penglepasan virus dari sel terinfeksi dan mengurangkan penyebaran. Efektif mengobati influenza A dan B. Ia perlu diinhalasi melewati diskhaler dengan memasukkan 5mg blister obat (alat inhalasi oral). Terapi agen uricosuric. Merupakan obat yang menghambat sekresi tubular dari metabolit aktif obat. Probenisid menghambat sekresi metabolit aktif oseltamivir dan menurunkan clearance sehingga kurang lebih 50% [3]. KOMPLIKASI Komplikasi flu burung seperti berikut [1]: ARDS Gagal organ Pneumonia Sepsis

PROGNOSIS Risiko kematian pada manusia dengan infeksi flu burung tergantung pada derajat gangguan pernafasan (hipoksemia) berbanding komplikasi pneumonia [3]. Prognosis masih kurang memuaskan. Banyak kasus terjadi pada masyarakat golongan rendah, pedalaman Negara yang tidak berkembang dimana pengobatan antivirus dan simptomatik sulit diperoleh. Kurang lebih 60% individu terdiagnosis flu burung berakhir dengan kematian [6].

You might also like