You are on page 1of 16

Tim Pengajar Bahasa Indonesia Universitas Padjadjaran 2011

AWAL MULA (BAHASA) INDONESIA

Apa yang menjadi dasar kita menjadi sebuah bangsa? Untuk apa kita bersatu dalam sebuah negara?

Sering kali rasa kebangsaan Indonesia berakar pada cerita perjuangan kemerdekaan para pendahulu kita. Sebuah dongeng perjuangan yang gilang-gemilang dalam merebut kemerdekaan dari bangsa penjajah. Dalam suasana yang sama, seluruh rakyat Indonesia berikrar untuk bersatu pada saat itu.

Dalam hal ini keindonesiaan menjadi sangat politis yang lahir dari pergulatan politik di awal abad ke-20. Namun demikian, sesungguhnya keindonesiaan lebih dari sekadar kesamaan nasib sebagai kaum yang dijajah. Sebab, definisi Indonesia untuk pertama kalinya adalah kesamaan rumpun budaya.

Sebagaimana pernah dijelaskan oleh Bung Hatta, adalah G.S. Winsor Earl (1813-1865) yang untuk pertama kalinya mendefinisikan kata Indunesia (Indu: India dan Nesos: Pulau/ Kepulauan) sebagai keserumpunan budaya di tanah air. Indunesia dalam pengertian Earl, seorang etnolog berbangsa Inggris dalam artikelnya On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations, adalah keserumupunan karakteristik budaya yang terdapat di seluruh kepulauan nusantara yang kemudian dimodifikasi oleh James Richardson Logan (1819-1869) untuk membuat sinomin dari Indian Islands or the Indian Archipelago menjadi Indonesia. Maka, kata Indonesia lahir untuk pertamakalinya.

Lebih tepatnya pada 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan, seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl, menggabungkan diri sebagai redaktur majalah JIAEA.

Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah saatnya bagi penduduk Kepulauan Papua, Kepulauan Selatan, dan Kepulauan Melayu-Polinesia (Nusantara) untuk memiliki nama khas tersendiri (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan bangsa India yang lainyang berada di Asia Selatan.

Winsor Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia. Pada halaman 71 ditulis: "... the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians". Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia, sebab Malayunesia dirasa tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan olehnya untuk merujuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa).

Dalam JIAEA Volume IV itu juga, (1847: 252347), James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. James Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah Indian Islands atau Indian Archipelago tidak tepat dan membingungkan.

Logan memungut nama Indunesia yang diabaikan Earl, "Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago" dan huruf /u/ digantinya dengan huruf /o/ untuk membuat sinomin dari Indian Islands or the Indian Archipelago Indunesia menjadi Indonesia.

Maka, lahirlah untuk pertamakalinya istilah Indonesia pada tahun 1850 oleh James Richard Logan untuk menyebut identitas kesamaan bahasa dan budaya. Yang kemudian lebih dipopulerkan oleh Adolf Bastian (1826-1905) guru besar etnologi di Universitas Berlin yang menerbitkan penelitiannya yang monumental: Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel pada 1884.

KESERUMPUNAN BAHASA

Jika ahli etnologi asal Inggris tersebut mengatagorikan Indonesia sebagai devinisi sebuah rumpun kebudayaan, maka satu di antara unsur budaya tersebut haruslah bahasa. Namun, bahasa Indonesia telah dikukuhkandengan doktrin haruslah berakar dari bahasa Melayu Pasaruntuk membedakan dengan bahasa Melayu Tinggi. Bahasa Melayu dalam rumpun besar Austronesia hanya merupakan satu titik rumpun bahasa. Padahal, wilayah Indonesia tidak hanya mencakup semenanjung Melayu. Indonesia membentang dari Aceh sampai Papua, dari Kalimantan Utara sampai Nusa Tenggara Timur. Maka, betapa besar kekayaan, keanekaragaman, budaya, juga bahasa di Indonesia.

(PETA RUMPUN BAHASA AUSTRONESIA)

pusing 1. v putar; 2. pening, bingung, puyeng (Sd), kliyeng (Jw), paniang (Mk), mirdong (Btk).

1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10 (dalam pelafalan) Bugis: seddi dua tllu eppa lima enneng pitu aruwa asera seppulo Aceh: sa, duwa, lhee, peuet, limng, nam, tujh, lapan, sikureueng, plh Toba Batak sada duwa tolu opat lima onom pitu uwalu sia sampulu Bali sa dua telu empat lima enem pitu akutus sia dasa Jawa Kuna sa rwa telu pat lima nem pitu wwalu sanga sapuluh Jawa Baru siji loro telu papat lima nem pitu wolu sanga sepuluh Sunda hiji dua tilu opat lima genep tujuh dalapan salapan sapuluh Madura settong dhua tello' empa' lma' ennem ptto' ballu' sanga' sapolo Melayu satu dua tiga empat lima enam tujuh delapan sembilan sepuluh Minangkabau cik duo tigo ampk limo anam tujuah salapan sambilan sapuluah

Melihat peluang lebih jauh, kita bisa menjadikan bahasa Indonesia menjadi bahasa yang mudah dimengerti oleh masyarakat pengguna bahasa kerabat yang lainyang mungkin telah terkotak-kotak oleh nasionalisme. Dengan demikian saya membayangkan alangkah akan berjaya bahasa Indonesia di wilayah Asia Tenggarasekaligus tidak menjadi pembunuh bahasa ibu di daerah.

You might also like