You are on page 1of 9

MAKALAH AMDAL Analisis Keppres No 32 Tahun 1999

Di susun oleh : Indriya Rahayu (3415111391) Lisa Asriani (3415111373) Rita Wahyu Pertiwi (3415111372) Vita Istiqomah (3415110315)

Pendidikan Biologi Reguler Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Univeritas Negeri Jakarta
2013

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Sampai satu dekade ke depan diperkirakan perekonomian Indonesia masih akan tergantung pada sektor sumber daya alam. Dalam keadaan ekonomi yang belum stabil, diperkeruh dengan banyaknya praktik korupsi, kolusi dan pelanggaran hukum, merupakan ancaman bagi perekonomian Indonesia yang pada saat sekarang ini dan kelestarian sumber daya alam serta lingkungan hidup. Salah satu permasalahan dalam pengelolaan sumber daya alam saat ini adalah cara pandang terhadap sumber daya alam yang terkotak-kotak dan tidak integratif sehingga melahirkan kebijakan yang sangat sektoral, ini merupakan ancaman yang serius bagi berlangsung ekosistem dan masyarakat sekitar. Misalnya kebijakan yang dibuat oleh Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral dengan kebijakan yang dibuat oleh Departemen Kehutanan seharusnya saling bersinergi, keduanya seharusnya mempunyai visi dan misi yang holistik, tidak mengedepankan kepentingan sektoral. Menurut Bentham dalam Sonny Keraf, 2002 disebutkan bahwa kebijakan yang baik apabila memberi manfaat tertentu bagi masyakat oleh karena itu kebijakan dibuat harus memenuhi kebutuhan di masyarakat. Salah satu contoh yaitu kawasan-kawasan hutan lindung dan konservasi di Indonesia yang banyak menyimpan bahan tambang yang menjadi incaran para investor. Kurang lebih 150 perusahaan tambang yang akan segera membuka usahanya di kawasan hutan seluas lebih dari 11 juta hektar yang tersebar di pulau Sumatera, kalimantan, Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Kawasan lindung yang berada di pulau-pulau kecil pun tidak lepas dari ancaman eksploitasi pertambangan. Saat ini luas kawasan lindung Indonesia adalah seluas 55,2 juta hektar dan 31,9 juta hektar diantaranya berstatus sebagai hutan lindung dan selebihnya kawasan konservasi. Kawasan-kawasan tersebut mengalami tekanan yang sangat berat, yaitu mulai dari praktik pembalakan liar, kebakaran hutan serta tumpang tindihnya peruntukan hutan misalnya Hutan Tanaman Industri dengan Pertambangan. Jelaslah bahwa akan dikeluarkannya ijin pertambahan di kawasan hutan lindung sebesar lebih dari 11 juta hektar akan menambah tekanan lagi bagi hutan lindung. Tidak hanya hutan, rencana penambangan di hutan lindung juga akan merambah ke pulau-pulau kecil, meskipun kaya dengan keanekaragaman hayati, keberadaan perairan dan kepulauan ini sangat rentan dan peka terhadap berbagai perubahan, bahkan yang terkecil sekalipun. Karena medianya adalah air, jika terjadi pencemaran atau kerusakan akan jauh lebih sulit untuk diisolasi atau ditangani, dibandingkan kasus serupa

yang terjadi di darat. Selain pertambangan, hutan-hutan di Indonesia dalam status tidak aman karena maraknya pembalakan liar dan eksploitasi hutan tanpa adanya tanggung jawab. Dengan latar belakang masalah diatas untuk mencegah dan menanggulangi permasalahan maka dibuat peraturan-peraturan lingkungan hidup salah satunya mengenai pengelolaan kawasan hutan lindung yang sudah ditetapkan dalam Keputusan Presiden No.32 Tahun 1990. Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai peraturan ini maka dibuat makalah ini perihal isi,fungsi, dan tujuan dari Keppres No.32 Tahun 1990 dalam permasalahan hutan lindung. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang, dirumuskan masalah sebagai berikut: Apa tujuan dan fungsi dari Keppres No.32 Tahun 1990 dalam pengelolaan lingkungan hidup khususnya pengelolaan kawasan hutan lindung C. Tujuan Tujuan umum adalah untuk mengetahui dan menganalisis mengenai peraturan ini maka dibuat makalah ini perihal isi,fungsi, dan tujuan dari Keppres No.32 Tahun 1990 dalam permasalahan hutan lindung. D. Manfaat Diharapkan makalah ini dapat menjadi suatu informasi bagi pihak lain mengenai pengelolaan kawasan lindung dalam Keppres No.32 Tahun 1990

BAB II SUBSTANSI DASAR

Dalam Keppres No 32 tahun 1999 ini membahas pengertian dari Kawasan Lindung, Pengelolaan kawasan lindung, Kawasan Hutan Lindung, Kawasan Bergambut, Kawasan Resapan air, Sempadan Pantai, Sempadan Sungai, Kawasan sekitar Danau/Waduk, Kawasan sekitar mata air, Kawasan Suaka Alam, Kawasan suaka alam Laut dan Perairan lainya, Kawasan Pantai berhutan Bakau, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Taman Wisata Alam, Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan, dan Kawasan Rawan Bencana Alam secara rinci. Selain menjelaskan pengertian, pada keppres ini juga menjelaskan kriteria dan perlindungan terhadap masing-masing kawasan tersebut. Dalam keppres No 32 tahun 1999 terdiri dari 8 BAB dan 41 pasal yaitu : BAB I Ketentuan Umum, hanya terdiri dari satu pasal. BAB II Tujuan Dan Sasaran, terdiri dari satu pasal. BAB III Ruang Lingkup, terdiri dari empat pasal. BAB IV Pokok-Pokok Kebijaksanaan Kawasan Lindung, terdiri dari 27 pasal. BAB V Penetapan Kawasan Lindung, terdiri dari tiga pasal. BAB VI Pengendalian Kawasan Lindung, terdiri dari tiga pasal. BAB VII Ketentuan Lain-Lain, terdiri dari satu pasal. BAB VIII Ketentuan Penutup, terdiri dari satu pasal.

BAB III ANALISIS ISI A. Analisis Kekuatan 1. Dari Bab 1 pasal 1 sudah cukup lengkap pengertian yang telah diberikan dan juga sudah cukup jelas. 2. Pada Bab 3 sudah secara rinci menjelaskan ruang lingkup yang termasuk kawasan hutan lindung. 3. Pada beberapa pasal sudah dijelaskan tujuan dari dilakukannya perlindungan terhadap suatu kawasan sehingga dapat memperjelas maksud dan tujuan pasal tersebut. 4. Dalam Keppres No. 32 ini sudah secara jelas dicantumkan kriteria-kriteria yang termasuk kawasan yang dilindungi sehingga dapat mempermudah proses pengelolaan kawasan lindung.

B. Analisis Kelemahan 1. Pasal 2 Pada pasal 2 mengamanatkan tujuan kawasan lindung adalah untuk mencegah kerusakan fungsi LH (ayat 1) dan fungsi LH terhadap tanah air, iklim, tumbuhan dan satwa serta nilai sejarah dan budaya (ayat 2a) dan mempertahankan keanekaragaman hayati, ekosistem dan keunikan alam (ayat 2b). Akan tetapi pada Pasal 9, perlindungan kawasan gambut hanya ditujukan untuk mengendalikan hidrologi wilayah, yang berfungsi sebagai penambat air dan pencegah banjir, serta melindungi ekosistem yang khas di kawasan yang bersangkutan, tidak termasuk sebagai fungsi perlindungan iklim seperti pada pasal 2. Pengetahuan kita sekarang menunjukkan bahwa rawa gambut tidak hanya unik dan berperan dalam pengendalian hidrologi wilayah dan habitat keanekaragaman hayati, tetapi juga berperan dalam mengendalikan perubahan iklim (Pasal 2 ayat 1 dan 2), jadi peran gambut tidak hanya terbatas pada hidrologi saja seperti yang diuraikan oleh Pasal 9. 2. Kelemahan yang selanjutnya adalah pada pasal 8. Penerapan Pasal 8 tentang kriteria kawasan hutan lindung terhadap hutan rawa gambut juga akan menyebabkan semua hutan rawa gambut tidak akan ada yang perlu dilindungi. Hal ini disebabkan tidak ada hutan gambut yang mempunyai faktor-faktor lereng lapangan, jenis tanah, curah hujan yang melebihi nilai skor 175 (Pasal 8a). Semua hutan rawa gambut tidak ada yang mempunyai

lereng lapangan 40 % atau lebih (Pasal 8b) dan/atau mempunyai ketinggian di atas permukaan laut 2.000 meter atau lebih (Pasal 8c).

3. Pasal 10 Pasal 10 mengamanatkan kriteria kawasan gambut yang dilindungi adalah tanah gambut dengan ketebalan 3m atau lebih yang terdapat di bagian hulu sungai dan rawa. Menurut Driessen (1978) gambut adalah tanah yang mengandung bahan organik lebih besar daripada 65% (dari berat kering) dan mempunyai ketebalan lebih daripada 0.5m. Pendekatan ketebalan untuk perlindungan gambut (Keppres 32/1999 Pasal 10) mengindikasikan bahwa Keppres hanya melihat gambut dari satu sisi, yaitu sebagai lahan untuk pertanian, bukan sebagai suatu bentang alam dengan berbagai potensi fungsi ekosistem. Pendekatan ketebalan gambut lebih dari 3m tidak merefleksikan karakter biofisik khusus untuk perlindungan atau konservasi ekosistem lahan gambut. Batasan ketebalan gambut 3m cenderung hanya merefleksikan batas toleransi teknis dan ekonomis pemanfaatan, yaitu batas potensial dan tidak potensial untuk lahan pertanian atau perkebunan. Pendekatan perlindungan gambut seharusnya tidak didasarkan hanya pada sisi potensi gambut sebagai lahan pertanian, tetapi harus dari sisi potensi dan kondisi serta fungsi ekosistem gambut secara menyeluruh, yaitu ekosistem yang mempunyai karkater biofisik yang unik dan tidak dapat balik tetapi rentan terhadap kerusakan, serta yang berfungsi sebagai penambat air dan pencegah banjir, melindungi ekosistem yang khas di kawasan yang bersangkutan, serta gudang penyimpanan GRK C yang berperan dalam perubahan iklim. Berdasarkan penelitian, diketahui bahwa sebagian besar kawasan gambut Papua (bahkan hampir semua) mempunyai kedalaman kurang dari 3m, dan banyak kawasan gambut di Sumatera dan Kalimantan yang mempunyai kedalaman kurang dari 3m (WIIP 2003, 2004, 2006). Hasil analisis spasial yang dilakukan oleh WACLIMAD terhadap laporan yang sama menunjukkan bahwa sebagian besar (lebih daripada 80%) kawasan ekosistem gambut tropika yang berada di tiga pulau utama Indonesia (Sumatera, Kalimantan dan Papua) tersebar di daerah hilir sungai, di pantai atau dekat pantai sehingga termasuk sebagai rawa (gambut) pasang surut.

Jika kedua kriteria dirujuk secara bersamaan, yaitu ketebalan lebih dari 3 m yang berada di bagian hulu sungai dan rawa seperti yang diamanatkan oleh Keppres 32/1999 Pasal 10 maka hanya sangat sedikit bahkan hampir tidak ada kawasan gambut yang masuk dalam kategori dilindungi; dengan kata lain Keppres tersebut melegalkan bahwa hampir semua kawasan gambut Indonesia tidak perlu dilindungi. Sehingga secara teknis di lapangan, Keppres ini menjadi kurang bermakna dalam perlindungan kawasan gambut dalam mengendalikan hidrologi wilayah, yang berfungsi sebagai penambat air dan pencegah banjir, serta melindungi ekosistem yang khas di kawasan yang bersangkutan (Pasal 9) dan apalagi sebagai perlindungan terhadap keunikan ekosistem dan iklim (Pasal 2 ayat 1 dan 2).

4. Pasal-pasal dalam Keppres No. 32 ini yang tidak konsisten satu sama lain. Pasal 6 merinci KSA dan cagar budaya, kemudian Pasal 22 merinci KSA lagi dengan rincian berbeda. Pasal 22 menyebutkan bahwa "Kawasan suaka alam terdiri dari dari cagar alam, suaka margasatwa, hutan wisata, daerah perlindungan plasma nutfah dan daerah pengungsian satwa".

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Keppres No 32 tahun 1999 ini membahas mengenai kawasan yang dilindungi. Keppres ini terdiri atas delapan (8) BAB dan 41 pasal. Setelah dilakukan analisis, diketahui beberapa pasal yang memiliki kekuatan yaitu BAB 1 pasal 1 dan BAB 3. Kemudian yang memiliki kelemahan yaitu BAB 2, BAB 8 dan BAB 10. Kemudian terdapat beberapa pasal dalam keppres ini yang tidak konsisten. Jadi dalam Keppres No 32 tahun 1999 memiliki kelemahan dan juga kelebihannya. Saran Makalah ini bisa menjadi acuan untuk penelitian selanjutnya. Disarannya bagi peneliti selanjutnya bisa melakukan penelitian yang lebih detail mengenai Keppres No 32 tahun 1999 ini.

DAFTAR PUSTAKA Bappenas, 2009. Reducing Emissions from Indonesias Peat Lands. Interim Report of a Multi Disciplinary Study. December 2009. Maltby, E. and CP Immirzi 1993. Carbon dynamic on peatlands and other wetlands soils regional and global perspective. Chemosphere 27(6): 999-1023. Noor, YR, L Herlisah dan D Sutaryo, 2005. Bibliografi mengenai Gambut dan Topik terkait di Indonesia dan Wilayah Tropis sekitarnya. WI-IP. 142 pp.

You might also like