You are on page 1of 8

1.

1 Penyakit Alzheimer
2.1.1 Definisi dan Etiologi Penyakit Alzheimer
Penyakit Alzheimer pertama kali ditemukan pada tahun 1906 oleh Alois
Alzheimer, seorang neurolog dan psikiater Jerman (Purba, 2006). Alzheimer sendiri
merupakan bentuk paling umum dari demensia, sebagai akibat degenerasi neuron yang
terjadi secara progresif (Gilroy, 2000). Sampai sekarang belum diketahui dengan pasti
etiologi penyakit Alzheimer (Salloway dan Correia, 2009). Namun beberapa peneliti
memberikan teori kemungkinan sebagai penyebab dan faktor resiko terhadap penyakit
ini atas dasar kelainan yang ditemukan, diantaranya (1) Faktor umur, hal ini dikaitkan
dengan proses penuaan (aging). (2) Faktor hormonal, yaitu hormon- tiroid (TSH),
insulin, serta hormon estrogen dan testosteron. (Carrillo et al, 2009). (3) Faktor genetik,
autoimun dan inflamasi, radikal bebas, trauma kapitis, stres yang berlebihan
(psychological distress), dan sindrom down juga dianggap sebagai faktor resiko
terjadinya penyakit Alzheimer (Mayeux, 2010).

2.1.2 Patofisiologi Penyakit Alzheimer
























Patofisiologi AD ditandai dengan interaksi yang kompleks antara faktor-faktor yang terlibat dalam penuaan,
proses menyimpang dari prekursor protein amiloid dan tau. APP = Prekursor Protein Amiloid, Ab = beta-
amiloid, BACE = Bagain Beta Pembelah Enzim APP 1. PS1 = Presenilin-1. PS2 =Ppresenilin-2. NCSTN =
Nikastrin, NEP = Neprilisin. MAPT = Mikrotubulus terkait protein tau . Gen yang terbukti berperan
pada regulasi epigenetik dari ekspresi gen yang digambarkan dalam huruf miring dan garis bawah.







Proses Amiloid Penuaan Proses Tau
APP
BACE
-sekretase

PSEN1,2,NCSTN
-sekretase

A
NEP
Degradasi

Plak
Neuritik

Fibril A larut


Stres oksidatif

Gangguan
homeostasis kalsium

Penurunan kapasitas
perbaikan DNA

Ketidakstabilan
kromosom

Kerusakan DNA

MAPT
Protein Tau






Hiperfosforilasi


Neurofibrillary
Tangle

Disfungsi sinaps dan neuron
Gangguan keutuhan sinaps dan neuron
Hilangnya sinaps dan neuron


Demensia
H
i
p
o
m
e
t
i
l
a
s
i

D
N
A

m
e
n
y
e
l
u
r
u
h
,


h
i
p
e
r
m
e
t
i
l
a
s
i

y
a
n
g

m
e
n
y
i
m
p
a
n
g
,

p
e
n
u
r
u
n
a
n

m
e
t
i
l
a
s
i
,

m
o
d
i
f
i
k
a
s
i

k
r
o
m
a
t
i
n

2.1.3 Diagnosis dan Manifestasi Klinis
Penyakit alzheimer sebagai penanda awal dapat ditandai dengan keadaan mudah
lupa dan kehilangan ingatan ringan seperti kehilangan kemampuannya mengenali
wajah, tempat, dan objek yang sudah dikenalnya. Penderita penyakit alzheimer juga
sering mengulang-ulang cerita yang sama karena lupa telah menceritakannya.
Kemampuan berbicara memburuk sampai pembentukan suku kata yang tidak masuk
akal dan terjadi peningkatan aktivitas fisik. Nafsu makan bertambah secara berlebihan.
Terdapat kesulitan dalam aktivitas pekerjaan dan interaksi sosial. Pasien dalam keadaan
ini dapat menjadi depresif, curiga, paranoid, dan serta prilaku agresif (perubahan
kepribadian). Selain itu juga ditemukan kejang, dimana biasanya kejang terjadi pada
sekitar 10% pasien Alzheimer (Janice M.Keating and Daniel C.Potts, 2002).
Penegakan diagnosis Alzheimer dapat menggunakan kriteria DSM IV karena
secara nyata dapat mendiagnosis tipe demensia Alzheimer. (Daniel C.Potts, 2002).
Kriteria diagnosis pada penderita Alzheimer berdasarkan DSM IV :
A. Perkembangan penurunan kognitif multipel ditentukan oleh :
1. Gangguan memori (gangguan dalam mempelajari informasi baru untuk
mengingat informasi yang dipelajari sebelumnya).
2. Satu atau lebih dari gangguan kognitif berikut :
a. Afasia (gangguan bahasa)
b. Apraksia (gangguan untuk melaksanakan fungsi motorik)
c. Agnosia (kegagalan mengenali atau mengidentifikasi benda
meskipun fungsi sensorik utuh)
d. Disleksia (gangguan membaca)
e. Disgrafia (gangguan menulis)
f. Diskalkulia (gangguan menghitung)
B. Penurunan fungsi kognitif secara signifikan dalam fungsi sosial atau
pekerjaan.
C. Program ini ditandai dengan onset bertahap dan penurunan kognitif secara
terus menerus.
(Sumber: Gilroy, John. 2000. Third Edition : Basic Neurology. America: The McGraw-Hill Companies,
pp.348).

Untuk menentukan fase-fase (batas normal, demensia ringan, dan berat) penyakit
Alzheimer digunakan penilaian berdasarkan Global Deterioration Scale (GDS). Begitu
pula untuk menilai penurunan kemampuan kognitif dapat digunakan penilaian Mini-
Mental State Examination (MMSE), sangat praktis untuk mengetahui kesanggupan
memori dan fungsi kognitif secara dini. Pemeriksaan MMSE mudah dilakukan yaitu
dengan memberi nilai untuk beberapa fungsi kognitif. Tes ini menilai orientasi waktu,
tempat, ingatan hal secara segera, memori jangka pendek, dan selain itu juga mengukur
kemampuan pemakaian bahasa. Pemeriksaan dengan computer-tomography (CT) dan
Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat digunakan membantu menegakkan
diagnosis penyakit Alzheiemer. (Purba,2006).












Gambar Tahapan penurunan kognitif menurut GDS
Stage Level Deskripsi
1 Normal Tidak ada perubahan fungsi kognitif
2 Pelupa Mengeluh kehilangan sesuatu atau lupa nama teman,
tetapi tidak mempengaruhi pekerjaan maupun fungsi
sosial, umumnya merupakan bagian dari proses
penuaan yang normal.
3 Early
Confusion
Ada penurunan kondisi yang menyebabkan
gangguan fungsi sosial dan kerja. Anomia kesulitan
mengingat kata-kata yang tepat dalam percakapan,
dan sulit mengingat. Pasien mulai sering
bingung/anxiety.
4 Late
Confusion
Pasien tidak bisa lagi mengatur keuangan atau
aktivitas rumah tangga, sulit mengingat peristiwa
yang baru terjadi, mulai meninggalkan tugas yang
sulit, tetapi biasanya masih menyangkal punya
masalah memori.
5 Early dementia
(moderate AD)
Pasien tidak bisa lagi bertahan tanpa bantuan orang
lain. Sering terjadi disorientasi (waktu, tempat), sulit
memilih pakaian, lupa kejadian masa lalu. Tetapi
pasien umumnya masih menyangkal punya masalah,
hanya biasanya .
6 Middle
dementia
(moderately
severe AD)
Pasien butuh bantuan untuk kegiatan sehari-hari
(mandi, berpakaian, toileting), lupa nama keluarga,
sulit menghitung mundur dari angka 10. Mulai
muncul gejala agitasi, paranoid, dan delusion.
7 Late dementia Pasien tidak bisa berbicara jelas(mungkin cuma
bergumam atau teriak), tidak bisa jalan, atau makan
sendiri. Inkontinensia urin dan feces. Kesadaran bisa
berkurang dan akhirnya koma.

Sumber : Yulfran, 2009




















Gambar MRI dan CT pada pasien normal, MCI, dam penderita
Alzheimer. bentuk hipokampus dan atrofi progresif dari
kondisi normal (Panel A) ke gangguan kognitif ringan atau
mild cognitive impairment (Panel B) dan penyakit
Alzheimer (Panel C).


2.1.5 Penatalaksanaan
Pengobatan penyakit Alzheimer membutuhkan penanganan secara
komprehensif mencakup terapi farmakologis dan non-farmakologis (Purba, 2006).
Pengobatan penyakit Alzheimer masih sangat terbatas oleh karena penyebab dan
patofisiologis masih belum jelas. Terapi non farmakologis memerlukan keterlibatan dari
penderita, pengasuh, dan lingkungan. Terapi non famakologis bertujuan untuk
mempertahankan fungsi kognitif yang masih ada. Berbagai macam program kegiatan
yang dapat diberikan, antara lain terapi relaksasi dan latihan fisik untuk menyehatkan
kerja otak, serta senam otak.
Penatalaksanaan Farmakologis :
1) Inhibitor kolinesterase
Tujuan: Untuk mencegah penurunan kadar asetilkolin dapat digunakan anti
kolinesterase yang bekerja secara sentral
Contoh: fisostigmin, THA (tetrahydroaminoacridine), donepezil (Aricept),
galantamin (Razadyne), & rivastigmin
Pemberian obat ini dikatakan dapat memperbaiki memori dan apraksia selama
pemberian berlangsung.
ESO: memperburuk penampilan intelektual pada orang normal dan penderita
Alzheimer, mual & muntah, bradikardi, HCl, dan nafsu makan.
2) Thiamin
Pada penderita alzheimer didapatkan penurunan thiamin pyrophosphatase
dependent enzym yaitu 2 ketoglutarate (75%) dan transketolase (45%), hal ini
disebabkan kerusakan neuronal pada nukleus basalis.
Contoh: thiamin hydrochloride, dosis 3 gr/hari selama 3 bulan peroral
Tujuan: perbaikan bermakna terhadap fungsi kognisi dibandingkan placebo
selama periode yang sama.
3) Nootropik
Nootropik merupakan obat psikotropik.
Tujuan: memperbaiki fungsi kognisi dan proses belajar. Tetapi pemberian 4000
mg pada penderita alzheimer tidak menunjukkan perbaikan klinis yang
bermakna.
4) Klonidin
Gangguan fungsi intelektual pada penderita alzheimer dapat disebabkan
kerusakan noradrenergik kortikal.
Contoh: klonidin (catapres) yang merupakan noradrenergik alfa 2 reseptor agonis
Dosis : maksimal 1,2 mg peroral selama 4 minggu
Tujuan: kurang memuaskan untuk memperbaiki fungsi kognitif
5) Haloperiodol
Pada penderita alzheimer, sering kali terjadi :
Gangguan psikosis (delusi, halusinasi) dan tingkah laku: Pemberian oral
Haloperiodol 1-5 mg/hari selama 4 minggu akan memperbaiki
gejala tersebut
Bila penderita Alzheimer menderita depresi berikan tricyclic anti depresant
(amitryptiline 25-100 mg/hari)
6) Acetyl L-Carnitine (ALC)
Merupakan suatu substrat endogen yang disintesa didalam mitokondria dengan
bantuan enzym ALC transferase.
Tujuan : meningkatkan aktivitas asetil kolinesterase, kolin asetiltransferase.
Dosis:1-2 gr/hari/peroral selama 1 tahun dalam pengobatan
Efek: memperbaiki atau menghambat progresifitas kerusakan fungsi kognitif
(Yulfran, 2009)

You might also like