You are on page 1of 27

REFERAT

Aspek Rehabilitasi Cedera Medulla Spinalis Setinggi


Thorakal 6



Pembimbing :
dr. Hadi Kurniawan Sp. KFR

Disusun oleh :
Maria Amelinda
11.2013.260

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
RUMAH SAKIT PANTI WILASA, DR. CIPTO SEMARANG
PERIODE 23 JUNI 2014 26 JULI 2014
KATA PENGANTAR


Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan
karuniaNya sehingga referat Ilmu Penyakit Saraf tentang Aspek Rehabilitasi Cedera Medulla
Spinalis Setinggi Thorakal 6 ini dapat selesai. Referat ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk
menyelesaikan tugas kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf di RSU Panti Wilasa dr. Cipto
Semarang.
Ada banyak pihak yang turut mendukung pembuatan referat ini. Untuk itu dalam kesempatan ini
saya ingin mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing saya, dr. Hadi Kurniawan Sp.
KFR, dr.Endang kustiowati, Sp.S (K), Msi.Med, dr.Hexanto Muhartomo Sp.S yang telah
membimbing saya selama kepaniteraan di RSU Panti Wilasa dr. Cipto dalam pembuatan
referat ini.
Saya menyadari referat ini jauh dari sempurna. Untuk itu saya mengharapkan kritik dan
saran yang membangun. Akhir kata, semoga referat ini dapat bermafaat bagi semua pihak dan
setiap pembaca pada umumnya. Terima kasih.



Semarang, 16 Juli 2014


Penulis


DAFTAR ISI

BAB I. Pendahuluan..............................................................................................4
BAB II. Tinjauan Pustaka......................................................................................5
Definisi...........................................................................................5
Klasifikasi.......................................................................................5
Migren.6
Nyeri kepala tegang (Tension headache)7
Cluster headache.9
Epidemiologi..................................................................................11
Faktor pencetus..............................................................................11
Patofisiologi...................................................................................12
Struktur kepala yang peka nyeri12
Pemeriksaan...................................................................................13
Manifestasi klinis...........................................................................14
Penatalaksanaan.............................................................................16
Prognosis........................................................................................18

BAB III. Kesimpulan.............................................................................................19

Daftar Pustaka........................................................................................................20
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Spinal Cord Injury adalah suatu disfungsi dari medulla spinalis yang mempengaruhi
fungsi sensoris dan motoris, sehingga menyebabkan kerusakan pada traktus sensori motor dan
percabangan saraf-saraf perifer dari medulla spinalis. Cedera medulla spinalis merupakan
kerusakan medulla spinalis akibat dari trauma dan non trauma (infeksi bakteri atau virus) yang
dapat menyebabkan terjadinya gangguan sensoris, motoris, vegetative (bladder dan bowel).
1

Cedera pada medulla spinalis setinggi torakal 6 ke bawah dapat menyebabkan paraplegia
ataupun paraparesis. Paraplegia adalah gangguan atau hilangnya fungsi motorik dan atau
sensorik, karena kerusakan pada segmen torako-lumbal-sakral. Salah satu akibat yang akan
terjadi adalah kelumpuhan otot-otot anggota gerak bawah. Kondisi paraplegi berdampak besar
terhadap kemampuan seseorang untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang sangat terbatas.
Suatu hal yang sangat penting untuk dilakukan pada penderita paraplegi adalah memaksimalkan
anggota gerak tubuhnya yang berpotensial terutama pada bagian atas. Hal ini merupakan tujuan
dasar bagi penderita untuk memulai aktivitasnya sehari-hari.
1

Rehabilitasi medik adalah suatu proses pemulihan dan pengembangan bagi penyandang
cacat agar dapat melaksanakan fungsinya secara wajar. Hasil yang di harapkan pada
penderita cedera medula spinalis adalah mencapai penampilan fungsional semaksimal mungkin
sesuai dengan sisa-sisa kemampuan yang masih ada untuk meningkatkan kualitas hidup pasien,
dan mencegah komplikasi.
2

Pada kondisi penderita spinal cord injury, fisioterapi jelas sangat diperlukan untuk
memberikan latihan-latihan, edukasi, baik kepada pasien maupun keluarganya untuk membantu
pasien dalam mengatasi gangguan gerak dan fungsi yang diakibatkan spinal cord injury tersebut.
Penanganan fisioterapi yang dapat diberikan pada penderita paraplegi akibat spinal cord injury
yaitu penanganan yang bertujuan utama untuk meningkatkan aktivitas fungsional sehari-hari.
2


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Anatomi Medulla Spinalis

Gambar 1. Anatomi Medula spinalis
3


Medulla Spinalis merupakan bagian dari susunan saraf pusat. Terbentang dari
foramen magnum sampai dengan konus medullaris di L1. Medulla spinalis berlanjut
menjadi kauda equina yang lebih tahan terhadap cedera. Medula spinalis terletak di kanalis
vertebralis, dan dibungkus oleh tiga meningen yaitu duramater, arakhnoid dan piamater.
Saraf Spinal dilindungi oleh tulang vertebra, ligamen, meningen spinal dan juga cairan LCS
(liquor cerebro spinal). LCS mengelilingi medulla spinalis di dalam ruang subarachnoid.
Dibawah medulla spinalis menipis menjadi konus medularis dari ujungnya yang merupakan
lanjutan piamater, yaitu fillum terminale yang berjalan kebawah dan melekat dibagian
belakang os coccygea. Akar saraf lumbal dan sakral terkumpul yang disebut dengan Cauda
Equina. Setiap pasangan saraf keluar melalui foramen intervertebral.
4-6



Gambar 2. Cauda Equina
4

Medulla spinalis terdiri atas traktus asenden (yang membawa informasi di tubuh
menuju ke otak seperti rangsang raba, suhu, nyeri, dan gerak posisi) dan traktus desenden
(yang membawa informasi dari otak ke anggota gerak dan mengontrol fungsi tubuh).
7

Medulla spinalis diperdarahi oleh 2 susunan arteri yang mempunyai hubungan
istimewa yaitu arteri spinalis dan arteri radikularis. Arteri spinalis dibagi menjadi arteri
spinalis anterior dan posterior yang berasal dari arteri vertebralis, sedangkan arteri
radikularis dibagi menjadi arteri radikularis posterior dan anterior yang dikenal juga ramus
vertebra medularis arteria interkostalis.
7

Nervus spinalis/akar nervus yang berasal dari medulla spinalis melewati suatu lubang
di vertebra yang disebut foramen dan membawa informasi dari medulla spinalis sampai ke
bagian tubuh dan dari tubuh ke otak. Nervus spinalis berjumlah 31 pasang.
7


Dermatom.
3

Dermatom merupakan area kutaneus dimana terdapat persarafan sensorik dari salah
satu saraf spinal tertentu. Bagian dari kulit pada dermatom menunjukkan pengaturan
segmental dari saraf spinal dan persarafannya. Dermatom-dermatom nyeri lebih sempit dan
kurang tumpang tindih satu sama lain dibandingkan dengan dermatom sentuhan. Lesi pada
suatu level dari medulla spinalis dapat menyebabkan gangguan sensoris yang lebih mudah
diketahui dengan tes tusuk (pinprick testing) daripada dengan sentuhan ringan (light touch).


Gambar 3. Dermatom
3

II.2 Fisiologi Sistem Saraf
7

Sistem motorik berhubungan dengan sistem neuromuskular, terdiri atas upper motor
neurons (UMN) dan lower motor neurons (LMN). Upper motor neurons (UMN) merupakan
kumpulan-kumpulan saraf motorik yang menyalurkan impuls dan area motorik di korteks
motorik sampai inti-inti motorik di saraf kranial di batang otak atau kornu anterior medulla
spinalis.
Berdasarkan perbedaan anatomik dan fisiologik, kelompok UMN dibagi dalam
susunan piramidal dan susunan ekstrapiramidal. Susunan piramidal terdiri dari traktus
kortikospinal dan traktus kortikobulbar. Melalui LMN, yang merupakan kumpulan saraf
motorik yang berasal dari batang otak, pesan tersebut dari otak dilanjutkan ke berbagai otot
dalam tubuh seseorang. Kedua saraf motorik tersebut mempunyai peranan penting di dalam
sistem neuromuskular tubuh. Sistem ini yang memungkinkan tubuh kita untuk bergerak
secara terencana dan terukur.

II.2.1. Upper Motor Neuron
7

Traktus kortikospinalis berfungsi menyalurkan impuls motorik pada sel-sel motorik
batang otak dan medulla spinalis untuk gerakan-gerakan otot kepala dan leher. Traktus
kortikobulbar membentuk traktus piramidalis, mempersarafi sel-sel motorik batang otak
secara bilateral, kecuali nervus VII & XII, berfungsi untuk menyalurkan impuls motorik
untuk gerak otot tangkas. Dalam klinik, gangguan traktus piramidalis memberikan tipe
UMN berupa parese/paralisis spastis disertai dengan tonus meninggi, hiperrefleksi, klonus,
refleks patologis positif, tidak ada atrofi.
Kelainan traktus piramidalis setinggi:
Hemisfer: memberikan gejala-gejala hemiparesi tipika
Setinggi batang otak: hemiparese alternans
Setinggi medulla spinalis: tetra/paraparese

Susunan ekstrapiramidal dengan formasio retikularis:
Pusat eksitasi/fasilitasi: mempermudah pengantaran impuls ke korteks maupun ke
motor neuron.
Pusat inhibisi: menghambat aliran impuls ke korteks/motor neuron.
Pusat kesadaran

Susunan ekstrapiramidal berfungsi untuk gerak otot dasar/gerak otot tonik,
pembagian tonus secara harmonis, mengendalikan aktivitas piramidal. Gangguan pada
susunan ekstrapiramidal:
Kekakuan/rigiditas
Pergerakan-pergerakan involunter: tremor, atetose, khorea, balismus
II.2.2 Lower Motor Neuron
7

Merupakan neuron yang langsung berhubungan dengan otot, dapat dijumpai pada
batang otak dan kornu anterior medulla spinalis. Gangguan pada LMN memberikan
kelumpuhan tipe LMN, yaitu parese yang sifatnya flaksid, arefleksi, tidak ada refleks
patologis, atrofi cepat terjadi.

II.2.3 Susunan Somestesia
7

Perasaan yang dirasakan oleh bagian tubuh baik dari kulit, jaringan ikat, tulang,
maupun otot dikenal sebagai somestesia. Terdiri:
Perasaan eksteroseptif dalam bentuk rasa nyeri, rasa suhu, dan rasa raba
Perasaan proprioseptif: disadari sebagai rasa nyeri dalam rasa getar, rasa tekan, rasa
gerak, dan rasa sikap
Perasaan luhur: diskriminatif dan dimensional

Menentukan tinggi lesi medulla spinalis berdasarkan:
Gangguan motorik: timbul kelumpuhan yang sifatnya paraparese/tetraparese.
- Paraparese UMN: lesi supranuklear terhadap segmen medula spinalis lumbosakral
(L2-S2)
- Paraparese LMN: lesi setinggi segmen medula spinalis L2-S2 atau lesi
infranuklear
- Tetraparese UMN: lesi supranuklear terhadap segmen medula spinalis servikal IV
- Tetraparese: ekstremitas superior LMN, ekstremitas inferior UMN.
Gangguan sensibilitas
- Gangguan sensibilitas segmental:
Lipatan paha: lesi medulla spinalis L1
Pusar: lesi medulla spinalis torakal 10
Papilla mammae: lesi medulla spinalis torakal 4
Saddle anesthesia: lesi pada konus
- Gangguan sensibilitas radikuler:
Gangguan sensibilitas sesuai dengan radiks posterior
- Gangguan sensibilitas perifer: glove/stocking anesthesia
Gangguan susunan saraf otonom
- Produksi keringat
- Bladder: berupa inkontinensia urin atau uninhibited bladder.
Autonomic bladder/ spastic bladder lesi medulla spinalis supranuklear
terhadap segmen sakral
Flaccid bladder/overflow incontinence lesi pada sakral medulla spinalis

II.3 Definisi dan Klasifikasi Cedera Medula Spinalis
Cedera medulla spinalis adalah suatu kerusakan pada medulla spinalis akibat trauma
atau non trauma yang akan menimbulkan gangguan pada sistem motorik, sistem sensorik
dan vegetatif. Kelainan motorik yang timbul berupa kelumpuhan atau gangguan gerak dan
fungsi otot-otot, gangguan sensorik berupa hilangnya sensasi pada area tertentu sesuai
dengan area yang dipersarafi oleh level vertebra yang terkena, serta gangguan sistem
vegetatif berupa gangguan pada fungsi bladder, bowel dan juga adanya gangguan fungsi
seksual.
4
Parese adalah kelemahan parsial yang ringan/tidak lengkap atau suatu kondisi yang
ditandai oleh hilangnya sebagian gerakan atau gerakan terganggu. Plegia adalah kelemahan
berat/kelumpuhan sebagai akibat kerusakan sistem saraf.
4

Plegia pada anggota gerak dibagi menjadi 4 macam, yaitu:
4

Monoplegia: paralisis/kelemahan berat pada satu ekstremitas atas atau ekstremitas
bawah.
Paraplegia: paralisis/kelemahan berat pada kedua ekstremitas bawah
Hemiplegia: paralisis/kelemahan berat pada satu sisi tubuh yaitu satu ekstremitas atas
dan satu ekstremitas bawah pada sisi yang sama.
Tetraplegia: paralisis/kelemahan berat pada keempat ekstremitas.

Paraplegia inferior adalah paralisis bagian bawah tubuh termasuk tungkai.
4

Paraplegi terbagi menajdi tipe spastik (UMN) dan flaksid (LMN). Paraplegi spastik
adalah kekakuan otot dan kejang otot disebabkan oleh kondisi saraf tertentu. Paraplegi
flaksid adalah kelemahan atau kurangnya otot yang tidak memiliki penyebab yang jelas.
Otot lemas sebagian karena kurangnya aktivitas dalam otot, gerakan volunter sebagian atau
seluruhnya hilang.
4

Klasifikasi menurut American Spinal Injury Association:
8
Grade A Hilangnya seluruh fungsi motorik dan sensorik dibawah tingkat lesi
Grade B Hilangnya seluruh fungsi motorik dan sebagian fungsi sensorik di bawah
tingkat lesi.
Grade C Fungsi motorik intak tetapi dengan kekuatan di bawah 3.
Grade D Fungsi motorik intak dengan kekuatan motorik di atas atau sama dengan 3.
Grade E Fungsi motorik dan sensorik normal.

Sedangkan lesi pada medula spinalis menurut ASIA revised 2000, terbagi atas :
8
a. Paraplegi : Suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan sensorik karena
kerusakan pada segmen thoraco-lumbo-sacral.
b. Quadriplegi : Suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan sensorik karena
kerusakan pada segmen servikal.

Spesifik Level
8
1. C1 C2 : Quadriplegia, kemampuan bernafas (-).
2. C3 C4 : Quadriplegia, fungsi N. Phrenicus (-), kemampuan bernafas hilang.
3. C5 C6 : Quadriplegia, hanya ada gerak kasar lengan.
4. C6 C7 : Quadriplegia, gerak biceps (+), gerak triceps (-).
5. C7 C8 : Quadriplegia, gerak triceps (+), gerak intrinsic lengan (-).
6. Th1 L1-2 : Paraplegia, fungsi lengan (+), gerak intercostalis tertentu (-), fungsi tungkai
(-), fungsi seksual (-).
7. Di bawah L2: Termasuk LMN, fungsi sensorik (-), bladder & bowel (-), fungsi seksual
tergantung radiks yang rusak.
Sindrom cedera medulla spinalis menurut ASIA, yaitu :
4,8,9,10

Nama
Sindroma
Pola dari lesi saraf Kerusakan
Central cord
syndrome
Cedera pada posisi sentral dan
sebagian pada daerah lateral.
Sering terjadi pada daerah servikal
Menyebar ke daerah sakral.
Kelemahan otot ekstremitas
atas dan ekstremitas bawah
jarang terjadi.
Brown- Sequard
Syndrome
Anterior dan posterior hemisection
dari medulla spinalis atau cedera akan
menghasilkan hemilesi ipsilateral.
Kehilangan fungsi motorik dan
proprioseptif ipsilateral.
Anterior cord
syndrome
Kerusakan pada anterior dari daerah
putih dan abu- abu medulla spinalis
Kehilangan fungsi motorik dan
sensorik secara komplit.
Posterior cord
syndrome
Kerusakan pada anterior dari daerah
putih dan abu- abu medulla spinalis
Kerusakan proprioseptif ,
diskriminasi dan getaran.
Fungsi motor juga terganggu
Cauda equine
syndrome
Kerusakan pada saraf lumbal atau
sakral sampai ujung medulla spinalis
Kerusakan sensori dan lumpuh
flaksid pada ekstremitas
bawah, kontrol berkemih dan
defekasi.


Gambar 4.Pola Cedera medula spinalis.
6

II. 4 Patofisiologi
4,8,9,10

Defisit neurologis yang berkaitan dengan cedera medula spinalis terjadi akibat dari
proses cedera primer dan sekunder. Sejalan dengan kaskade cedera berlanjut, kemungkinan
penyembuhan fungsional semakin menurun. Karena itu, intervensi terapeutik sebaiknya
tidak ditunda, pada kebanyakan kasus, window period untuk intervensi terapeutik dipercaya
berkisar antara 6 sampai 24 jam setelah cedera. Mekanisme utama yaitu cedera inisial dan
mencakup transfer energi ke korda spinal, deformasi korda spinal dan kompresi korda paska
trauma yang persisten. Mekanisme ini, yang terjadi dalam hitungan detik dan menit setelah
cedera, menyebabkan kematian sel yang segera, disrupsi aksonal dan perubahan metabolik
dan vaskuler yang mempunyai efek yang berkelanjutan. Proses cedera sekunder yang
bermula dalam hitungan menit dari cedera dan berlangsung selama berminggu-minggu
hingga berbulan-bulan, melibatkan kaskade yang kompleks dari interaksi biokimia, reaksi
seluler dan gangguan serat traktus. Sangat jelas bahwa peningkatan produksi radikal bebas
dan opioid endogen, pelepasan yang berlebihan dari neurotransmitter eksitatori dan reaksi
inflamasi sangat berperan penting. Lebih jauh lagi, profil mRNA (messenger Ribonucleic
Acid) menunjukkan beberapa perubahan ekspresi gen setelah cedera medula spinalis dan
perubahan ini ditujukan sebagai target terapeutik.


Beberapa teori telah diusulkan untuk menjelaskan patofisiologi dari cedera sekunder.
Teori radikal bebas menjelaskan bahwa, akibat dari penurunan kadar anti-oksidan yang
cepat, oksigen radikal bebas berakumulasi di jaringan sistem saraf pusat yang cedera dan
menyerang membrane lipid, protein dan asam nukleat. Hal ini berakibat pada dihasilkannya
lipid peroxidase yang menyebabkan rusaknya membran sel. Teori kalsium menjelaskan
bahwa terjadinya cedera sekunder bergantung pada influks dari kalsium ekstraseluler ke
dalam sel saraf. Ion kalsium mengaktivasi phospholipase, protease, dan phosphatase.
Aktivasi dari enzim-enzim ini mengakibatkan interupsi dari aktivitas mitokondria dan
kerusakan membran sel. Teori opiate receptor mengusulkan bahwa opioid endogen mungkin
terlibat dalam proses terjadinya cedera medula spinalis dan bahwa antagonis opiate
(contohnya naloxone) mungkin bisa memperbaiki penyembuhan neurologis. Teori inflamasi
berdasarkan pada hipotesis bahwa zat-zat inflamasi (seperti prostaglandin, leukotrien,
platelet-activating factor, serotonin) berakumulasi pada jaringan medula spinalis yang
cedera dan merupakan mediator dari kerusakan jaringan sekunder.

Bila bagian cervical 1-4
yang terkena mengakibatkan pola nafas menjadi efektif dan kelumpuhan total dan
kemungkinan untuk bertahan hidup sangat kecil.
Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma (kecelakaan mobil, jatuh dari
ketinggian, cedera olahraga) atau penyakit (Transverse Myelitis, Polio, Spina Bifida,
Friedreich dari ataxia) dapat menyebabkan kerusakan pada medulla spinalis, tetapi lesi
traumatik pada medulla spinalis tidak selalu terjadi karena fraktur dan dislokasi. Efek
trauma yang tidak langsung bersangkutan tetapi dapat menimbulkan lesi pada medulla
spinalis disebut whiplash atau trauma indirek. Whiplash adalah gerakan dorsapleksi dan
anterofleksi berlebihan dari tulang belakang secara cepat dan mendadak. Trauma whiplash
terjadi pada tulang belakang bagian cervikalis bawah maupun thorakalis bawah misalnya
pada waktu duduk dikendaraan yang sedang berjalan cepat kemudian berhenti secara
mendadak, atau pada waktu terjun dari jarak tinggi, menyelam yang dapat mengakibatkan
paraplegia.
Trauma tidak langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi, hiperfleksi,
tekanan vertical (terutama pada T.12sampai L.2), rotasi. Kerusakan yang dialami medulla
spinalis dapat bersifat sementara atau menetap.akibat trauma terhadap tulang belakang,
medula spinalis dapat tidak berfungsi untuk sementara (komosio medulla spinalis), tetapi
dapat sembuh kembali dalam beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah berupa
oedema, perdarahan peri vaskuler dan infark disekitar pembuluh darah. Pada kerusakan
medulla spinalis yang menetap, secara makroskopis kelainannya dapat terlihat dan terjadi
lesi, contusion, laseratio dan pembengkakan daerah tertentu di medulla spinalis. Laserasi
medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang belakang secara langsung karena
tertutup atau peluru yang dapat mematahkan atau mengeserkan ruas tulang belakang (fraktur
dan dislokasi).lesi transversa medulla spinalis tergantung pada segmen yang terkena
(segmen transversa, hemitransversa, kuadran transversa). Trauma ini bersifat whiplash yaitu
jatuh dari jarak tinggi dengan sifat badan berdiri, jatuh terduduk, terdampar eksplosi atau
fraktur dislokasio.kompresi medulla spinalis terjadi karena dislokasi, medulla spinalis dapat
terjepit oleh penyempitan kanalis vertebralis.
Suatu segmen medulla spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstra meduler
traumatik dan dapat juga tertekan oleh kepingan tulang yang patah yang terselip diantara
duramater dan kolumna vertebralis.gejala yang didapat sama dengan sindroma kompresi
medulla spinalis akibat tumor, kista dan abses didalam kanalis vertebralis.
Akibat hiperekstensi dislokasio, fraktur dan whislap radiks saraf spinalis dapat tertarik dan
mengalami jejas. pada trauma whislap, radiks colmna 5-7 dapat mengalami hal demikian,
dan gejala yang terjadi adalah nyeri radikuler spontan yang bersifat hiperpatia, gambaran
tersebut disebut hematorasis atau neuralgia radikularis traumatik yang reversible.jika radiks
terputus akibat trauma tulang belakang, maka gejala defisit sensorik dan motorik yang
terlihat adalah radikuler dengan terputusnya arteri radikuler terutama radiks T.8 atau T.9
yang akan menimbulkan defisit sensorik motorik pada dermatoma dan miotoma yang
bersangkutan dan sindroma sistema anastomosis anterial anterior spinal.
Medula spinalis dan radiks dapat rusak melalui 4 mekanisme berikut:


1. Kompresi oleh tulang, ligamentum, herniasi diskus intervertebralis dan hematom. Yang
paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan kompresi oleh korpus vertebra
yang mengalami dislokasi tulang dan kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami
dislokasi ke posterior dan trauma hiperekstensi.
2. Regangan jaringan yang berlebihan akan menyebabkan gangguan pada jaringan, hal ini
biasanya terjadi pada hiperfleksi. Toleransi medula spinalis terhadap regangan akan
menurun dengan bertambahnya usia.
3. Edema medula spinalis yang timbul segera setelah trauma menyebabkan gangguan
aliran darah kapiler dan vena.
4. Gangguan sirkulasi akibat kompresi tulang atau sistem arteri spinalis anterior dan
posterior.

II.5 Manifestasi Klinis
4,8,9,10

Jika medula spinalis mengalami cedera, maka saraf-saraf yang berada pada daerah
yang mengalami cedera dan yang di bawahnya akan mengalami gangguan fungsi, yang
menyebabkan hilangnya kontrol otot dan juga hilangnya sensasi. Hilangnya kontrol otot
atau sensasi dapat bersifat sementara atau menetap, sebagian atau menyeluruh, tergantung
dari beratnya cedera yang terjadi. Cedera yang menyebabkan putusnya medula spinalis atau
merusak jalur jalannya saraf di medula spinalis menyebabkan hilangnya fungsi yang
menetap, tetapi trauma tumpul yang mengguncang medula spinalis dapat menyebabkan
hilangnya fungsi sementara, yaitu bisa sampai beberapa hari, beberapa minggu, atau
beberapa bulan. Hilangnya kontrol otot sebagian menyebabkan timbulnya kelemahan pada
otot. Sedangkan kontrol otot yang hilang seluruhnya menyebabkan kelumpuhan. Ketika otot
mengalami kelumpuhan, maka otot tersebut seringkali kehilangan tonus ototnya sehingga
menjadi lemas (flaccid). Beberapa minggu kemudian, kelumpuhan dapat berkembang
menjadi spasme otot yang involunter (tidak disadari) dan lama (paralysis spastik).


Kerusakan hebat dari medula spinalis di pertengahan punggung bisa menyebabkan
kelumpuhan pada tungkai, tetapi lengan masih tetap berfungsi secara normal. Gerakan
refleks tertentu yang tidak dikendalikan oleh otak akan tetap utuh atau bahkan
meningkat. Contohnya, refleks lutut tetap ada atau bahkan meningkat. Meningkatnya refleks
ini dapat menyebabkan spasme pada tungkai. Refleks yang tetap dipertahankan
menyebabkan otot yang terkena menjadi memendek, sehingga dapat terjadi kelumpuhan
jenis spastik. Otot yang spastik teraba kencang dan keras dan sering mengalami kedutan.
Kompresi yang terjadi secara langsung pada bagian-bagian saraf oleh fragmen-
fragmen tulang, ataupun rusaknya ligamen-ligamen pada sistem saraf pusat dan perifer.
Pembuluh darah rusak dan dapat menyebabkan iskemik. Ruptur axon dan sel membran
neuron bisa juga terjadi. Mikrohemoragik terjadi dalam beberapa menit di substansia grisea
dan meluas beberapa jam kemudian sehingga perdarahan masif dapat terjadi dalam beberapa
menit kemudian.
Sesaat setelah trauma, fungsi motorik dibawah tingkat lesi hilang, otot flaksid, reflex
hilang, paralisis atonik vesika urinaria dan kolon, atonia gaster dan hipestesia. Juga dibawah
tingkat lesi dijumpai hilangnya tonus vasomotor, keringat dan piloereksi serta fungsi
seksual. Kulit menjadi kering dan pucat serta ulkus dapat timbul pada daerah yang mendapat
penekanan tulang. Spingter vesika urinaria dan anus dalam keadaan kontraksi (disebabkan
oleh hilangnya inhibisi dari pusat sistem saraf pusat yang lebih tinggi.

Apabila medula spinalis cedera secara komplit dengan tiba-tiba, maka tiga fungsi
yang terganggu antara lain seluruh gerak, seluruh sensasi dan seluruh refleks pada bagian
tubuh di bawah lesi. Keadaan yang seluruh refleks hilang baik refleks tendon, refleks
autonomic disebut spinal shock. Kondisi spinal shock ini terjadi 2-3 minggu setelah cedera
medula spinalis. Fase selanjutnya setelah spinal shock adalah keadaan dimana aktifitas
refleks yang meningkat dan tidak terkontrol. Pada lesi yang menyebabkan cedera medula
spinalis tidak komplit, spinal shock dapat juga terjadi dalam keadaan yang lebih ringan atau
bahkan tidak melalui shock sama sekali. Selain itu gangguan yang timbul pada cidera
medula spinalis sesuai dengan letak lesinya, dimana pada UMN lesi akan timbul gangguan
berupa spastisitas, hiperefleksia, dan disertai hypertonus, biasanya lesi ini terjadi jika cidera
mengenai C1 hingga L1. Dan pada LMN lesi akan timbul gangguan berupa flaksid,
hiporefleksia, yang disertai hipotonus dan biasanya lesi ini terjadi jika cidera mengenai L3
sampai cauda equina, di samping itu juga masih ada gangguan lain seperti gangguan bladder
dan bowel, gangguan fungsi seksual, dan gangguan fungsi pernapasan.

Dapat durumuskan gejala-gejala yang terjadi pada cedera medulla spinalis yaitu:


1. Gangguan sensasi menyangkut adanya anastesia, hiperestesia, parastesia.
2. Gangguan motorik menyangkut adanya kelemahan dari fungsi otot-otot dan reflek
tendon.
3. Gangguan fungsi vegetatif dan otonom menyangkut adanya flaksid dan spastik bladder
dan bowel.
4. Gangguan fungsi ADL yaitu makan, toileting, berpakaian, kebersihan diri.
5. Gangguan mobilisasi yaitu miring kanan dan kiri, transfer dari tidur ke duduk, duduk,
transfer dari bed ke kursi roda, dan dari kursi roda ke bed.
6. Penurunan vital sign yaitu penurunan ekspansi toraks, kapasitas paru dan hipotensi.
7. Skin problem menyangkut adanya dekubitus.
Cedera medulla spinalis juga mempengaruhi fungsi organ vital yaitu diantaranya
disfungsi respirasi terbesar yaitu cedera setinggi C1-C4. Cedera pada C1-C2 akan
mempengaruhi ventilasi spontan tidak efektif. Lesi setinggi C5-8 akan mempengaruhi m.
intercostalis, parasternalis, scalenus, otot-otot abdominal, otot-otot abdominal. Selain itu
mempengaruhi intaknya diafragma, trapezius dan sebagian m. pectoralis mayor. Lesi
setinggi thoracal mempengaruhi otot-otot intercostalis dan abdominal, dampak umumnya
yaitu efektivitas kinerja otot pernafasan menurun.
Selain itu mengganggu fungsi sistem kardiovaskular dimana terjadi karena gangguan
jalur otonom, terjadi pada lesi setinggi cervical dan thoracal. Akibat disfungsi simpatis yang
mempengaruhi fungsi jantung dan dinding vascular, hilangnya control simpatis supraspinal
mengakibatkan aktivitas simpatis menurun. Lesi setinggi cervical dan thoracal
mengakibatkan tonus vasomotor menurun sehingga mengakibatkan hipotensi.


Fungsi sistem urinaria terganggu dimana bila terjadi lesi setinggi S2 dan S4. Dimana
bila terjadi lesi setinggi S2 akan mengakibatkan otot detrusor vesika urinaria mengalami
kelemahan tipe LMN sehingga otot detrusor melemah sedangkan S4 mengatur spinkter
urinaria eksterna berkontraksi karena bersifat spastic, akan mengakibatkan retensi urin.
Sedangkan bila lesi setinggi S4 akan mengakibatkan SUE melemah (membuka) sedangkan
fungsi dari otot VU normal maka akan mengakibatkan inkontinensia urin.
Lesi pada badan sel parasimpatis di conus medularis, axon parasimpatis di cauda
equine dan axon somatik pudendus setinggi T10, fungsi pembentukan fese terganggu,
karena mempengaruhi dinding usus, pada lesi tersebut diatas akan mengakibatkan tipe
LMN, dimana feces lebih kering dan bundar, resiko tinggi inkontinensia akibat rendahnya
tonus sfingter ani. Lesi setinggi diatas conus medularis akan mengakibatkan lesi tipe UMN,
dimana terjadi overaktivitas peristaltik usus, retensi fekal akibat spastic sfingter ani.

II.6 Manajemen Rehabilitasi
Rehabilitasi dimulai ketika kondisi medis pasien cukup stabil untuk menjalani terapi.
Terapi dapat langsung dijalani sesegera mungkin sehari setelah cedera. Faktanya, semakin
dini terapi dimulai, semakin besar kemungkinan terhindarnya komplikasi SCI seperti
pembentukan kontraktur-kontraktur sendi.
2

Program rehabilitasi meliputi: (a) Penilaian dan evaluasi pasien (b) Identifikasi
kondisi komorbid (c) Manajemen komplikasi (d) Terapi Fisik (e) Terapi okupasional (f)
Ortosis (g) Pelatihan gaya berjalan (gait retraining).
11

a. Penilaian dan evaluasi pasien: meliputi evaluasi stabilitas spinal, juga penilaian
neurologis, muskuloskeletal, paru, kardiovaskular, pencernaan, genitourinary, dan
sistem-sistem intergumen.
11

b. Identifikasi kondisi komorbid: meliputi hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung
iskemik, penyakit paru obstruktif kronik, dsb.
11

c. Manajemen komplikasi. pada rehabiliasi SCI komplikasi berikut harus diperhatikan:
11

(i) Bladder dysfunction. Pendekatan manajemen bladder yang paling sering meliputi
intermittent catheterization (IC) dan indwelling catheterization. Indwelling
catheterization digunakan pada cedera akut dan intermittent catheterization menjaga
volume pengeluaran urin kurang dari 450 ml. Kateterisasi suprapubik digunakan
pada ulserasi penis. Mekanisme pencetus contohnya valsava, metode crede juga
berguna dalam memperbaiki fungsi miksi (bladder). Obat-obatan digunakan dalam
penanganan bladder meliputi: antikolinergik, antispasmodic, dll. Terapi lain adalah
akupuntur, assistive devices, stimulasi elektrik atau surgical augmentation juga dapat
digunakan untuk membantu fungsi miksi.
(ii) Bowel dysfunction: lebih dari 20% penderita SCI melaporkan kesulitan dalam
mengevakuasi defekasi mereka. Penanganan defekasi harus dimulai selama fase akut
untuk menghindari impaksi fekal. Penanganan defekasi meliputi:
Diet serat: serat tidak terlarut dapat menyerap dan menahan air yang akan
membentuk suatu bulk yang mendorong makanan melalui sistem pencernaan
secara cepat. Serat terlarut akan mencetuskan regularitas dan menyembuhkan
konstipasi.
Asupan cairan tinggi (high fluid) secara teratur mencegah konstipasi.
Irigasi pulse water (intermitten rapid pulse of warm water) ke dalam rektum,
untuk memecah stool impaction dan merangsang peristalsis.
Rangsangan: rangsangan elektrik pada dinding otot abdominal dan stimulasi
magnetic fungsional dapat mengurangi waktu transit koloni.
Agen farmakologis: agen prokinetik are presumed to promote transit melalui
traktus pencernaan, dengan cara mengurangi jangka waktu dari stool saat melalui
usus dan meningkatkan frekuensi stool untuk evakuasi, contohnya Cisapride.
Penggunaan supositoria: gliserin suppositoria merupakan stimulant lokal yang
ringan dan agen lubrikan.
(iii)Spastisitas: merupakan episode yang umum terjadi pada SCI. terjadi secara bertahap
dan setelah spinal shock. Berikut penanganan yang tersedia saat ini:
11

1. Terapi fisik: pergerakan pasif yang ritmis,
2. Direct muscle electrical stimulation yang mengurangi spastisitas: patterned
electrical stimulation (PES), patterned neuro muscular electrical stimulation
(PNS), functional electrical stimulation, transcutaneous electrical nerve
stimulation (TENS).
3. Terapi farmakologis: baclofen oral, obat yang bekerja secara sentral yang
merupakan agonis gamma-aminobutaric acid. Obat lain: diazepam, tizanidine,
klonidin, gabapentin. Agen penghambat: phenol atau toksin botulinum.
4. Pembedahan meliputi percutaneous radio frequency rhizotomy, myelotomy.
(iv) Kelemahan otot: paresis atau paraplegia merupakan gejala yang umum terjadi pada
SCI. Penanganannya dengan cara:
11

1. Strengthening exercise: meningkatkan kekuatan otot dan mencegah kehilangan
otot.
2. Electrical stimulation therapy: juga meningkatkan kekuatan otot dan mencegah
kehilangan otot.
(v) Nyeri: nyeri merupakan komplikasi yang sering pada SCI traumatik. 30-40% pasien
dengan SCI mengalami nyeri yang berat. 69% telah ditetapkan sebagai nyeri kronik.
Usia yang tua berhubungan dengan prevalensi nyeri yang meningkat. Nyeri
disebabkan karena neuropatik atau nyeri muskuloskeletal yang dapat dikurangi
dengan cara:
10

1. Non farmakologis: pijat dan terapi panas, TENS dan modalitas latihan yang
mengurangi nyeri.
2. Farmakologis: berbagai obat tersedia untuk mengurangi nyeri, contoh:
gabapentin dan antikonvulsan lain.
(vi) DVT: komplikasi yang umum terjadi pada SCI dan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas. Kejadian pada penderita SCI bervariasi dari 12.5-55% dan emboli paru
dilaporkan sekitar 5% pada pasien SCI akut. Pengobatan berikut untuk mencegah
dan mengobati DVT:
10

1. Non farmakologis: compression stocking, external pneumatic compression, dan
continuous rotation beads.
2. Agen farmakologis: antitrombotik atau antikoagulan digunakan sebagai
profilaksis terhadap DVT. Penggunaan LMWH mempunyai efektivitas yang
tinggi baik digunakan sendiri atau dengan kombinasi bersama modalitas mekanik
lain.
(vii) Bed sore: ulkus karena tekanan atau bed sore dapat timbul kapanpun pada SCI.
selama fase akut, ulkus di sakral dan tumit merupakan yang tersering, dan pada
kasus kronik, ulkus ischial yang tersering. Bed sore dapat dicegah dengan cara:
11

1. Perubahan postur tiap 2 jam.
2. Penggunaan minimal air loss beds.
3. Penggunaan bantal dan foam wedges untuk mencegah tekanan pada penonjolan
tulang.
4. Stimulasi elektrik digunakan untuk mengurangi ulkus ischial dan meningkatkan
aliran darah.
(viii) Hipotensi postural: terjadi karena penyimpangan respons simpatik. Pengobatan:
11

1. Farmakologis: klonidin, flucordison
2. Non farmakologis: elastic stocking dan abdominal binders.
d. Terapi fisik.
Tujuan Fisioterapi antara lain adalah:
2

Mengurangi nyeri
Meningkatkan kekuatan otot-otot tungkai
Mencegah atrofi dan kontraktur pada otot-otot tungkai
Meningkatkan ROM tungkai
Merangsang dan mengembalikan rasa sensasi
Mengembalikan ke ADL yang mandiri

Program Latihan Fisioterapi antara lain:
2

Menjaga fungsi respirasi: breath exercise, glossopharyngeal breath, airshift
manuever, strengthening, stretching, coughing, chest fisioterapi. Bertujuan untuk
meningkatkan kondisi umum serta mengatasi komplikasi paru akibat tirah baring
(bed rest). Perhatian pada: Trauma pada dada dan perut pada paraplegia (gangguan
diafragma).
Perubahan posisi (pencegahan pressure sores, kontraktur, inhibisi spastisitas,
mengkoreksi kelurusan dari fraktur).
Latihan ROM (pasif dan aktif) dan penguluran untuk mencegah kontraktur dan
adanya keterbatasan lingkup gerak sendi pada bagian yang lesi.
Penguatan yang tersisa dan yang sehat (selective).
Bladder training yang dilakukan untuk menjaga kontraktilitas otot detrusor.
Orientasi pada posisi vertikal sedini mungkin setelah cedera stabil.
Perhatian terhadap gerak yang boleh/tidak boleh pada cedera yang stabil/tak stabil.

Physical agents.
11

1). Thermotherapy: digunakan untuk mengurangi nyeri dan spastisitas. Meliputi
superficial heat (IRR, Wax bath) dan deep heat (SWD, MWD, UST).


Aplikasi panas adalah tindakan sederhana sebagai metode yang efektif untuk
mengurangi nyeri kronik atau kejang otot. Diberikan untuk mengurangi atau
menghilangkan rasa sakit, kekakuan otot dan kekakuan sendi.
Terdapat 2 macam pemanasan:
Pemanasan dangkal
Karena daya tembusnya hanya beberapa milimeter saja. Misalnya sinar infrared,
bantal hidrokolataor atau botol berisi air panas
Pemanasan dalam (diatermi)
- Diatermi gelombang pendek: menggunakan arus listrik frekuensi tinggi
yang diubah menjadi panas sewaktu melintasi jaringan
- Diatermi gelombang mikro: menggunakan radiasi elektromagnet dengan
efek pemanasan jaringan
- Diatermi ultrasonik: mengunakan gelombang suara dengan frekuensi diatas
17.000 Hz
Ultrasound dan short wave diathermy. Membantu terutama pada kontraktur
sendi, dan perlengketan. Hal ini meningkatkan fleksibilitas dari serat kolagen
dan sirkulasi jaringan ikat yang membantu restorasi fungsional
2). Electrical therapy: digunakan untuk meningkatkan kekuatan otot dan mengurangi
nyeri, contohnya TENS, EST.
Stimulasi saraf dengan listrik melalui kulit (TENS) terdiri dari suatu alat yang
digerakkan oleh batre yang mengirim impuls listrik lemah melalui elektroda
yang diletakkan di tubuh. Elektroda pada umumnya diletakkan diatas atau dekat
dengan bagian yang nyeri.
TENS mengaktifkan mekanisme sentral untuk memberikan analgesia. TENS
frekuensi rendah mengaktifkan reseptor -opioid pada saraf tulang belakang dan
batang otak sementara TENS frekuensi tinggi menghasilkan efeknya melalui -
opioid reseptor. Efektivitas TENS tergantung pada intensitas, frekuensi, durasi
dan jumlah sesi.
3). Teknik neurostimulation termasuk transcranial magnetic stimulation (TMS) dan
cortical electric stimulation (CES), spinal cord stimulation (SCS) dan deep brain
stimulation (DBS) juga telah telah ditemukan efektif dalam pengobatan nyeri
neuropatik.
4). Akupuntur. Akupuntur berupa insersi jarum halus ke dalam berbagai titik akupuntur
di seluruh tubuh untuk meredakan nyeri. Metode noninvasif lain untuk merangsang
titik-titik pemicu adalah memberi tekanan dengan ibu jari, suatu teknik yang disebut
akupresur.

Terapi latihan: mat exercise, PNF exercise, active & passive ROM exercise,
strengthening exercise, stretching exercise, endurance exercise, co-ordination
exercise.
11

Range of motion (ROM) exercise (pasif, dibantu, atau aktif) dapat digunakan untuk
melemaskan otot, memperbaiki sirkulasi dan mencegah nyeri yang berkaitan dengan
kekakuan dan imobilitas.
11

e. Terapi Okupasi. Merupakan bagian dari program rehabilitasi dan dilakukan oleh
terapis okupasi. Tujuan dari terapi ini adalah latihan untuk aktivitas sehari-hari (activity
daily life).
11

Terapi pada penderita paraplegia:
Cara duduk tegak. Pada awalnya penderita paraplegia akan ditegakkan perlahan-
lahan membentuk sudut 45
o
selama kurang lebih 10 menit, kemudian hingga 90
o

atau duduk tegak selama 30 menit. Setelah penderita paraplegia siap maka terapis
akan membantu duduk di atas kursi untuk beberapa menit dan sedikit demi sedikit
untuk waktu yang lebih lama.
Keseimbangan. Pertama kali penderita paraplegia akan belajar menyesuaikan perasaan
mengenai keseimbangan yang hilang dengan menggunakan matanya dan menggunakan otot-
otot yang masih berfungsi setelah penderita paraplegia ini akan mampu menarik tubuhnya ke
belakang dalam posisi tegak lurus. Hal ini membutuhkan waktu yang cukup hingga pada
akhirnya penderita paraplegia akan mampu melakukan hal tersebut dengan sendirinya tanpa
bantuan dari orang lain.
Berpakaian. Sementara penderita paraplegia belajar akan keseimbangan, mereka
juga belajar bagaimana cara memakai baju sendiri. Umumnya hal ini tidak terlalu
sulit untuk penderita paraplegia karena bagian atas tubuh mereka tidak mengalami
kerusakan atau kelumpuhan, hanya saja waktu yang mereka gunakan untuk memakai
baju menjadi agak lama terutama saat mereka memakai celana dan ini butuh latihan
yang intensif.
Latihan berdiri dan berjalan. Berfungsi untuk menjaga agar lutut-lutut penderita
paraplegia tetap lurus dan kaki-kaki tidak terseret ke lantai. Penderita paraplegia ini
akan belajar dengan menggunakan palang sejajar yang terdapat pada rumah sakit
rehabilitasi pada umumnya, setelah menjalani latihan yang cukup, penderita
paraplegia akan mulai belajar dengan menggunakan kruk untuk berjalan sedikit demi
sedikit. Hal ini hanya dapat dilakukan pada penderita paraplegia yang mengalami
tingkat cedera di bawah L3 sedangkan pada penderita paraplegia yang mengalami
tingkat cedera pada T12 kemungkinan ini sangat kecil, namun latihan harus tetap
dilakukan untuk menjaga terjadinya kontraktur atau pemendekan otot tetap,
memperbaiki sirkulasi darah, dan membantu ginjal agar dapat bekerja secara
semestinya.
Makanan. Penderita paraplegia juga akan kehilangan kontrol buang air kecil dan
besar sehingga pada tahap awal kelumpuhan, mereka membutuhkan makanan khusus
yang menghindarkan penderita mengalami komplikasi. Setelah lewat masa
perawatan dan setelah mendapat ijin dari dokter, penderita diperbolehkan memakan
makanan pada umumnya. Penderita paraplegia diharuskan memakan makanan yang
banyak mengandung serat dan mineral guna menghindarkan sembelit.
Naik turun dari kloset. Penderita paraplegia membutuhkan beberapa peralatan seperti
tali atau rantai yang digantung di langit-langit kamar mandi. Hal ini berfungsi untuk
membantu penderita paraplegia naik dan turun dari kloset.
f. Ortosis
11

Pada pasien cedera medula spinalis penetapan alat bantu ambulasi : kursi roda, crutches,
walker bisa digunakan. Setelah berbaring lurus untuk beberapa waktu selama periode
awal pasien harus berkembang oleh fisioterapis untuk duduk tegak di kursi roda. Ini
adalah proses bertahap yang bergerak pasien ke posisi tegak terlalu cepat dapat
menyebabkan penurunan tekanan darah yang parah. Sebuah kursi roda dengan kaki
terletak mengangkat dan kembali miring digunakan pada awalnya sampai pasien mampu
mentoleransi kursi tegak. Latihan teratur keseimbangan duduk adalah penting dibawah
pengawasan yang ketat dari fisioterapis sebagai kontrol batang diperlukan untuk hidup
mandiri. Setelah transfer duduk dikuasai ke kursi roda dan penguatan dapat bekerja.
Tahap pertama pembelajaran keseimbangan duduk yang baik, memperkuat otot dan
transfer kursi roda kini telah dikuasai dan itu adalah waktu untuk rehabilitasi tersisa
untuk mengambil tempat di Unit Luka Spinal.
g. Gait retraining. Gait retraining dapat dilakukan dengan cara:
11

- Program pre ambulation MAT: rolling, prone on elbow, prone on hand, quadruped,
pelvic tilting, setting and standing balance.
- Parallel bar progression
- Advanced parallel bar activities
- Assistive device, contoh: tongkat, crutches.

BAB III
PENUTUP

III.1 Kesimpulan
Cedera medulla spinalis adalah suatu kerusakan pada medulla spinalis akibat
trauma atau non trauma yang akan menimbulkan gangguan pada sistem motorik, sistem
sensorik dan vegetatif. Apabila medula spinalis cedera secara komplit dengan tiba-tiba,
maka tiga fungsi yang terganggu antara lain seluruh gerak, seluruh sensasi dan seluruh
refleks pada bagian tubuh di bawah lesi. Keadaan yang seluruh refleks hilang baik refleks
tendon, refleks autonomik disebut spinal shock.
Pada lesi yang menyebabkan cedera medula spinalis tidak komplit, spinal shock
dapat juga terjadi dalam keadaan yang lebih ringan atau bahkan tidak melalui shock sama
sekali. Selain itu gangguan yang timbul pada cedera medula spinalis sesuai dengan letak
lesinya, dimana pada UMN lesi akan timbul gangguan berupa spastisitas, hiperefleksia, dan
disertai hipertonus, biasanya lesi ini terjadi jika cidera mengenai C1 hingga L1. Dan pada
LMN lesi akan timbul gangguan berupa flaksid, hiporefleks, yang disertai hipotonus dan
biasanya lesi ini terjadi jika cidera mengenai L2 sampai cauda equina, di samping itu juga
masih ada gangguan lain seperti gangguan bladder dan bowel, gangguan fungsi seksual,
dan gangguan fungsi pernapasan.
Rehabilitasi medik adalah suatu proses pemulihan dan pengembangan bagi
penyandang cacat agar dapat melaksanakan fungsinya secara wajar. Hasil yang di
harapkan pada penderita cedera medula spinalis adalah mencapai penampilan fungsional
semaksimal mungkin sesuai dengan sisa-sisa kemampuan yang masih ada untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien, dan mencegah komplikasi.




Daftar Pustaka
1. Prayudi S. Perbedaan pengaruh penambahan latihan kekuatan otot lengan dengan Metode
Oxford pada latihan transfer dari tidur ke duduk terhadap kecepatan transfer dari tidur ke
duduk pada penderita paraplegia akibat spinal cord injury. Diunduh dari:
http://eprints.uns.ac.id/1979/2/1582-3512-1-SM.pdf, 2 Juli 2014.
2. Thuret, Sandrine; Moon, Lawrence D.F; Gage, Fred H. Therapeutic intervention after spinal
cord injury. Nature Publishing Group; 2006.p.7, 628-640.
3. Rohkamm R. Color atlas of neurology. New York: Thieme; 2004.p.31-3.
4. Evans, Mardjono M, Sidharta P. Neurologi klinis dasar. Jakarta: Dian Rakyat; 2003.h. 35-36.
5. deGroot J, Chusid JG. Corelative neuroanatomy. Jakarta: EGC; 1997.h.30-42.
6. Snell RS. Neuroanatomi klinik: pendahuluan dan susunan saraf pusat. Edisi ke-5. Jakarta :
EGC; 2007.h.1-16.
7. Sherwood L. Human physiology from cells to system. 6
th
ed. Canada: Thomson Brooks/ Cole;
2007.p.77-102.
8. ASIA. Spinal cord injury. 13 Januari 2008. Diunduh dari : http://sci.rutgers.edu, 4 Juli 2014.
9. Consortium Member Organizations and Steering Committee Representatives. Early Acute
Management in Adults with Spinal Cord Injury: A Clinical Practice Guideline for Health-
Care Professionals. The Journal Of Spinal Cord Medicine. Vol. 31. 2006.
10. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan praktis diagnosis dan tatalaksana
penyakit saraf. Jakarta: EGC; 2007.h.19-23.
11. Hasan SA, Alam Z, Hakim M, Shakoor MA, Salek AKM, Khan MM, et al. Rehabilitation of
patients with paraplegia from spinal cord injury: a review. JCMCTA 2008; 20 (1): 53-57.

You might also like