You are on page 1of 17

Herman Willem Daendels

Meester in de Rechten Herman


Willem Daendels (lahir
di Hattem, 21 Oktober 1762
meninggal di Ghana, 2
Mei 1818 pada umur 55 tahun),
adalah
seorang politikus Belanda yang
merupakan GubernurJenderal Hindia-Belanda yang ke36.
Ia memerintah antara tahun 1808
1811. Masa itu Belanda sedang
dikuasai oleh Perancis.

Masa dewasa
Pada tahun 1780 dan 1787 ia ikut para kumpulan pemberontak di Belanda dan kemudian
melarikan diri ke Perancis. Di sana ia menyaksikan dari dekat Revolusi Perancis dan lalu
menggabungkan diri dengan pasukan Batavia yang republikan. Akhirnya ia mencapai
pangkat Jenderal dan pada tahun 1795 ia masuk Belanda dan masuk tentara Republik
Batavia dengan pangkat Letnan-Jenderal. Sebagai kepala kaum Unitaris, ia ikut mengurusi
disusunnya Undang-Undang Dasar Belanda yang pertama. Bahkan ia mengintervensi secara
militer selama dua

kali. Tetapi invasi

orang Inggris dan Rusia di

provinsi Noord-

Holland berakibat buruk baginya. Ia dianggap kurang tanggap dan diserang oleh berbagai
pihak. Akhirnya ia kecewa dan mengundurkan diri dari tentara pada tahun 1800. Ia
memutuskan pindah ke Heerde, Gelderland.
Karier
Pada tahun 1806 ia dipanggil oleh Raja Belanda, Raja Louis (Koning Lodewijk) untuk
berbakti

kembali

di

tentara

Belanda.

Ia

ditugasi

untuk

mempertahankan provinsi Friesland danGroningen dari serangan Prusia. Lalu setelah sukses,

pada tanggal 28 Januari 1807 atas saran Kaisar Napoleon Bonaparte, ia dikirim ke HindiaBelanda sebagai Gubernur-Jenderal.
Daendels di Hindia-Belanda
Maka setelah perjalanan yang panjang melalui Pulau Kanari, Daendels tiba di Batavia pada
tanggal 5 Januari 1808 dan menggantikan Gubernur-Jenderal Albertus Wiese. Daendels
diserahi tugas terutama untuk melindungi pulau Jawa dari serangan tentara Inggris. Jawa
adalah satu-satunya daerah koloni Belanda-Perancis yang belum jatuh ke tangan Inggris
setelah Isle de France dan Mauritius pada tahun1807. Namun demikian beberapa kali armada
Inggris telah muncul di perairan utara laut Jawa bahkan di dekat Batavia. Pada tahun 1800,
armada Inggris telah memblokade Batavia dan menghancurkan galangan kapal Belanda
di Pulau Onrust sehingga tidak berfungsi lagi. Pada tahun 1806, armada kecil Inggris di
bawah laksamana Pellew muncul di Gresik. Setelah blokade singkat, pimpinan militer
Belanda, Von Franquemont memutuskan untuk tidak mau menyerah kepada Pellew.
Ultimatum Pellew untuk mendarat di Surabaya tidak terwujud, tetapi sebelum meninggalkan
Jawa Pellew menuntut Belanda agar membongkar semua pertahanan meriam di Gresik dan
dikabulkan. Ketika mendengar hal ini, Daendels menyadari bahwa kekuatan PerancisBelanda yang ada di Jawa tidak akan mampu menghadapi kekuatan armada Inggris. Maka
iapun melaksanakan tugasnya dengan segera. Tentara Belanda diisinya dengan orangorang pribumi, ia membangunrumah sakit-rumah sakit dan tangsi-tangsi militer baru.
Di Surabaya ia membangun sebuah pabrik senjata, di Semarang ia membangun pabrik
meriam dan di Batavia ia membangun sekolah militer. Kastil di Batavia dihancurkannya dan
diganti

dengan

benteng

di Meester

Cornelis (kini Jatinegara).

Di

Surabaya

dibangunnya Benteng Lodewijk. Proyek utamanya, yaitu Jalan Raya Pos, sebenarnya
dibangunnya juga karena manfaat militernya, yaitu untuk mengusahakan tentara-tentaranya
bergerak dengan cepat.

Terhadap raja-raja di Jawa, ia bertindak keras, tetapi kurang strategis sehingga mereka
menyimpan dendam kepadanya. Di mata Daendels, semua raja pribumi harus mengakui raja

Belanda sebagai junjungannya dan minta perlindungan kepadanya. Bertolak dari konsep ini,
Daendels mengubah jabatan pejabat Belanda di kraton Solo dan kraton Yogya dari residen
menjadi minister. Minister tidak lagi bertindak sebagai pejabat Belanda melainkan sebagai
wakil raja Belanda dan juga wakilnya di kraton Jawa. Oleh karena itu Daendels membuat
peraturan tentang perlakuan raja-raja Jawa kepada para Minister di kratonnya. Jika di zaman
VOC para residen Belanda diperlakukan sama seperti para penguasa daerah yang menghadap
raja-raja Jawa, dengan duduk di lantai dan mempersembahkan sirih sebagai tanda hormat
kepada raja Jawa, Minister tidak layak lagi diperlakukan seperti itu. Minister berhak duduk
sejajar dengan raja, memakai payung seperti raja, tidak perlu membuka topi atau
mempersembahkan sirih kepada raja, dan harus disambut oleh raja dengan berdiri dari
tahtanya ketika Minister datang di kraton. Ketika bertemu di tengah jalan dengan raja,
Minister tidak perlu turun dari kereta tetapi cukup membuka jendela kereta dan boleh
berpapasan dengan kereta raja. Meskipun di Surakarta Sunan Paku Buwono IVmenerima
ketentuan ini, di Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono II tidak mau menerimanya. Daendels
harus menggunakan tekanan agar Sultan Yogya bersedia melaksanakan aturan itu.Tetapi
dalam hati kedua raja itu tetap tidak terima terhadap perlakuan Daendels ini. Jadi ketika
orang-orang Inggris datang, maka mereka bersama-sama dengan para raja mengkhianati
orang Belanda.
Berbeda dengan apa yang dipercaya orang selama ini, Daendels selama masa
pemerintahannya memang memerintahkan pembangunan jalan di Jawa tetapi tidak dilakukan
dariAnyer hingga Panarukan. Jalan antara Anyer dan Batavia sudah ada ketika Daendels tiba.
Oleh karena itu menurut het Plakaatboek van Nederlandsch Indie jilid 14, Daendels mulai
membangun jalan dari Buitenzorg menuju Cisarua dan seterusnya sampai ke
Sumedang.Pembangunan dimulai bulan Mei 1808. Di Sumedang, proyek pembangunan jalan
ini terbentur pada kondisi alam yang sulit karena terdiri atas batuan cadas, akibatnya para
pekerja menolak melakukan proyek tersebut dan akhirnya pembangunan jalan macet.
Akhirnya Pangeran Kornel turun tangan dan langsung menghadap Daendels untuk meminta
pengertian atas penolakan para pekerja. Ketika mengetahui hal ini, Daendels memerintahkan
komandan pasukan zeni Brigadir Jenderal von Lutzow untuk mengatasinya. Berkat tembakan
artileri, bukit padas berhasil diratakan dan pembangunan diteruskan hingga Karangsambung.
Sampai Karangsambung, proyek pembangunan itu dilakukan dengan kerja upah. Para bupati
pribumi diperintahkan menyiapkan tenaga kerja dalam jumlah tertentu dan masing-masing
setiap hari dibayar 10 sen per orang dan ditambah dengan beras serta jatah garam setiap
minggu.

Setibanya di Karangsambung pada bulan Juni 1808, dana tiga puluh


ribu gulden yang disediakan Daendels untuk membayar tenaga kerja ini habis dan di luar
dugaannya, tidak ada lagi dana untuk membiayai proyek pembangunan jalan tersebut. Ketika
Daendels berkunjung ke Semarang pada pertengahan Juli 1808, ia mengundang semua bupati
di pantai utara Jawa. Dalam pertemuan itu Daendels menyampaikan bahwa proyek
pembangunan jalan harus diteruskan karena kepentingan mensejahterakan rakyat (H.W.
Daendels, Staat van Nederlandsch Indische Bezittingen onder bestuur van Gouverneur
Generaal en Marschalk H.W. Daendels 1808-1811, s Gravenhage, 1814). Para bupati
diperintahkan menyediakan tenaga kerja dengan konsekuensi para pekerja ini dibebaskan dari
kewajiban kerja bagi para bupati tetapi mencurahkan tenaganya untuk membangun jalan.
Sementara itu para bupati harus menyediakan kebutuhan pangan bagi mereka. Semua proyek

ini akan diawasi oleh para prefect yang merupakan kepala daerah pengganti residen VOC.
Dari hasil kesepakatan itu, proyek pembangunan jalan diteruskan dari Karangsambung ke
Cirebon. Pada bulan Agustus 1808 jalan telah sampai di Pekalongan. Sebenarnya jalan yang
menghubungkan Pekalongan hingga Surabaya telah ada, karena pada tahun 1806 Gubernur
Pantai Timur Laut Jawa Nicolaas Engelhard telah menggunakannya untuk membawa pasukan
Madura dalam rangka menumpas pemberontakan Bagus Rangin di Cirebon (Indische
Tijdschrift, 1850). Jadi Daendels hanya melebarkannya. Tetapi ia memang memerintahkan
pembukaan jalan dari Surabaya sampai Panarukan sebagai pelabuhan ekspor paling ujung
di Jawa Timur saat itu.
Kontroversi terjadi tentang pembangunan jalan ini. Pada masa Daendels banyak pejabat
Belanda yang dalam hatinya tidak menyukai Perancis tetapi tetap setia kepada dinasti Oranje
yang melarikan diri ke Inggris. Namun mereka tidak bisa berbuat banyak karena penentangan
terhadap Daendels berarti pemecatan dan penahanan dirinya. Hal itu menerima beberapa
orang pejabat seperti Prediger (Residen Manado), Nicolaas Engelhard (Gubernur Pantai
Timur Laut Jawa) dan Nederburgh (bekas pimpinan Hooge Regeering). Mereka yang dipecat
ini kemudian kembali ke Eropa dan melalui informasi yang dikirim dari para pejabat lain
yang diam-diam menentang Daendels (seperti Peter Engelhard Minister Yogya, F. Waterloo
Prefect Cirebon, F. Rothenbuhler, Gubernur Ujung Timur Jawa), mereka menulis keburukan
Daendels. Di antara tulisan mereka terdapat proyek pembangunan jalan raya yang dilakukan
dengan kerja rodi dan meminta banyak korban jiwa. Sebenarnya mereka sendiri tidak berada
di Jawa ketika proyek pembangunan jalan ini dibuat. Ini terbukti dari penyebutan
pembangunan jalan antara Anyer dan Panarukan, padahal Daendels membuatnya dimulai dari
Buitenzorg. Sayang sekali arsip-arsip mereka lebih banyak ditemukan dan disimpan di arsip
Belanda, sementara data-data yang dilaporkan oleh Daendels atau para pejabat yang setia
kepadanya (seperti J.A. van Braam, Minister Surakarta) tidak ditemukan kecuali tersimpan di
Perancis karena Daendels melaporkan semua pelaksanaan tugasnya kepada Napoleon setelah
penghapusan Kerajaan Belanda pada tahun 1810. Sejarawan Indonesia yang banyak
mengandalkan informasi dari arsip Belanda ikut berbuat kesalahan dengan menerima
kenyataan pembangunan jalan antara Anyer-Panarukan melalui kerja rodi.
Kontroversi lain yang menyangkut pembangunan jalan ini adalah tidak pernah disebutkannya
manfaat yang diperoleh dari jalan tersebut oleh para sejarawan dan lawan-lawan Daendels.
Setelah proyek
pembuatan jalan
itu selesai,
hasil
produk kopi
dari
pedalaman Priangan semakin
banyak
yang
diangkut
ke
pelabuhan Cirebon dan Indramayu padahal sebelumnya tidak terjadi dan produk itu
membusuk di gudang-gudang kopi Sumedang, Limbangan, Cisarua dan Sukabumi. Begitu
juga dengan adanya jalan ini, jarak antara Surabaya-Batavia yang sebelumnya ditempuh 40
hari bisa disingkat menjadi 7 hari. Ini sangat bermanfaat bagi pengiriman surat yang oleh
Daendels kemudian dikelola dalam dinaspos.
Di sisi lain dikatakan bahwa Daendels mebuat birokrasi menjadi lebih efisien dan
mengurangi korupsi. Tetapi ia sendiri dituduh korupsi dan memperkaya diri sendiri. Akhirnya
ia dipanggil pulang oleh Perancis dan kekuasaan harus diserahkan kepada Jan Willem
Janssens, seperti diputuskan oleh Napoleon Bonaparte.Pemanggilan pulang ini
dipertimbangkan oleh Napoleon sendiri. Dalam rangka penyerbuan ke Rusia, Napoleon
memerlukan seorang jenderal yang handal dan pilihannya jatuh kepada Daendels. Dalam
korps tentara kebanggaan Perancis (Grande Armee), ada kesatuan Legiun Asing (Legion
Estranger) yang terdiri atas kesatuan bantuan dari raja-raja sekutu Perancis. Di antaranya
adalah pasukan dari Duke of Wurtemberg yang terdiri atas tiga divisi (kira-kira 30 ribu
tentara). Tentara Wurtemberg ini sangat terkenal sebagai pasukan yang berani, pandai
bertempur tetapi sulit dikontrol karena latar belakang mereka sebagai tentara bayaran pada

masa sebelum penaklukan oleh Perancis. Napoleon mempercayakan kesatuan ini kepada
Daendels dan dianugerahi pangkat Kolonel Jenderal.
Ketika tiba di Paris dari perjalanannya di Batavia, Daendels disambut sendiri oleh Napoleon
di istana Tuiliries dengan permadani merah. Di sana ia diberi instruksi untuk memimpin
kesatuan Wurtemberg dan terlibat dalam penyerbuan ke Rusia pada tanggal 22 Juni 1812.
Kekuasaan H.W. Daendels di Jawa (1808 1811)
Di awal Januari 1795, Napoleon menaklukkan negeri Belanda tanpa perlawanan yang berarti.
Raja Willem V melarikan diri dan bersembunyi di Kew, sebuah kota kecil di Inggris. Sebagai
ganti Willem V, Napoleon mendudukkan adiknya, Louis Bonaparte, di tahta kerajaan
Belanda. Segera ia memerintahkan untuk mengantisipasi serangan dari Inggris terhadap tanah
jajahan. Ada tiga target utama serangan Inggris yaitu; Tanjung Harapan, Jawa dan kepulauan
Maluku. Ketiga tempat tersebut berada didalam blokade angkatan laut Inggris. Napoleon pun
mengirim dua orang militer untuk tujuan itu. Jendral Jan Willem Janssen di kirim ke Tanjung
Harapan tahun 1803 dan Marshall Herman Willem Daendels ke Jawa tahun 1808.

H.W. Daendels adalah seorang jendral Belanda, pengagum Napoleon dan Jacobis. Ia
memimpin perlawanan yang gagal terhadap kerajaan Oranje pada 1787. Setelah
kegagalannya, ia lari ke Prancis. Ia kembali ke Belanda, 1795, bersama serangan Prancis.
Sejak itu, Belanda terlibat dalam perang Eropa di pihak Prancis. 1797, Daendels memimpin
30.000 pasukan Belanda di Texel, menunggu invasi Inggris yang sedang dalam pertempuran
laut di Camperdown. 1799, ia hampir menjadi tawanan perang di pertempuran Helder.
Di awal 1800-an, Inggris dan Prancis mengkonsentrasikan kekuatan perangnya di wilayah
India dan Mesir. Secara tak terduga Tanjung Harapan sebagai pelabuhan strategis dapat di
kuasai Inggris tahun 1806, Jawa berada dalam posisi terancam. Jawa membutuhkan seorang
gubernur-jendral baru yang dapat memperkuat pertahanan militer. Untuk alasan itu, Napoleon
tidak mempercayai pejabat Asiatic Council, Dirk van Hogendorp, seorang liberalis yang
dicalonkan sebagai gubernur jendral. Maka pilihan jatuh pada Daendels.

Daendels menempuh perjalanan melalui Cadix, Tanger, Kepulauan Kanari dan New York.
Dengan kapal dagang berbendera Amerika, Daendels tiba di Batavia pada Januari 1808.
Amerika adalah negara netral yang tidak terlibat dalam perang Eropa. Kedatangannya
seorang diri menggunakan nama samaran van Vlierden (nama istrinya) dengan kapal tersebut,
dimaksudkan untuk mengelabui blokade kapal perang Inggris. Kedatangannya di Batavia, ia
langsung berhadapan dengan keadaan keuangan dan administrasi yang buruk. Korupsi
membuat bangkrut VOC. Keuntungan dagang lebih banyak masuk ke kantong pejabat VOC.
Kekuatan pasukan Belanda di Jawa tidak lebih dari 2.000 orang dengan kemampuan dan
disiplin yang rendah.
Pada saat yang hampir bersamaan dengan dikuasainya Belanda oleh Prancis, VOC
dibubarkan. Herren XVII (dewan beranggotakan 17 orang pengusaha besar Belanda)
ditiadakan. Sebagai gantinya, seluruh jajahan Belanda langsung berada dibawah penguasaan
kerajaan Belanda dan diurus oleh kementerian jajahan (Pemerintah kolonial Belanda di
Nusantara menguasai Jawa, Palembang, Makassar dan Maluku, sisanya dikuasai oleh
Inggris). Pengaruh langsung dari pergantian itu adalah soal otonomi pengaturan keuangan
dan pembentukkan angkatan perang.
Segera setelah menginjakkan kakinya di Weltevreden, Daendels mengganti bendera Belanda
di depan kantor gubernuran dengan bendera Prancis. Tak ada seorang pegawai pun yang
berani bereaksi atas tindakannya itu. Begitu pula ketika ia mengeluarkan aturan bahwa
pegawai pemerintah kolonial dilarang untuk memberi dan menerima hadiah dari pejabat
pribumi. Setiap kesalahan akan ditindak dengan keras dan tak luput dari dampratan dengan
suaranya yang sangat keras. Hobi membentak dan suaranya yang menggelegar membuatnya
mendapat panggilan mas guntur dan mas galak. Berdiri di atas ketaatan para pegawainya, ia
membangun pasukan dalam jumlah dan organisasi yang cukup mengesankan. Pasukannya
terdiri dari orang-orang Belanda dan pribumi. Ia menghentikan penggunaan orang-orang
Jawa dalam pasukan inti nya dan menggantinya dengan orang-orang dari Madura, Makasar,
Bali, Ambon dan budak-budak dari wilayah jajahan lainnya. Sistem kepangkatan dalam
organisasi militer eropa diterapkan pula dalam pasukan pribumi. Mereka mendapat latihan,
pangkat, ransum, seragam, senjata dan juga upah. Dalam dua tahun, ia berhasil membentuk
20.000 orang pasukan yang terdiri dari lima divisi; divisi mobile, tiga divisi kota (Batavia,
Semarang, dan Surabaya) dan divisi pertahanan di luar Jawa. Ia mengatur korps tentaranya
dengan gaya Prancis dan mengubah banyak industri komersial menjadi industri militer,
seperti pabrik-pabrik di Gresik menjadi senjata dan di Semarang diubah menjadi penghasil
mesiu.

Sebagai bagian dari proyek militernya, Daendels juga membangun instalasi militer seperti
pelabuhan militer di Surabaya dan benteng di Mester Cornelis serta sebuah jalan utama dari
Anyer hingga Panarukan. Sebelumnya, hanya ada jalan setapak yang diketahui oleh
penduduk setempat dan itupun selalu disertai dengan penebasan hutan. Jalur perdagangan
lebih mengutamakan penggunaan jalur laut sepanjang pantai utara.

Kesulitan jalur darat itu memang telah menjadi perhatian pihak kolonial seperti yang
dituturkan oleh Francois Tombe. Tombe adalah seorang perwira Prancis yang dikirim oleh
Daendels dua tahun sebelum kedatangannya. Tugasnya adalah membuat peta selat Bali.
Sayangnya, ia terdampar di Banyuwangi dan kemudian memutuskan melakukan perjalanan
ke Surabaya. Perjalanan itu memakan waktu enam bulan.
Dari sekian banyak proyek Daendels dalam kurun waktu tiga tahun kepemimpinannya,
pembuatan jalan utama Anyer-Panarukan adalah yang paling besar pengaruhnya. Bahkan
diluar yang dibayangkan olehnya sebagai fasilitas yang mempercepat mobilitas
pasukan (Dengan kekuatan lautnya, Inggris mempunyai kemungkinan untuk mendarat
dimanapun sepanjang pantai utara Jawa. Oleh karena itu, mustahil bagi Daendels untuk terus
mengawasinya. Baginya, adalah paling penting membangun pasukan infanteri dengan
mobilitas yang tinggi untuk mengantisipasi penyusupan lebih jauh dari pasukan Inggris).
Belum diperoleh waktu yang tepat kapan pembuatan jalan tersebut dimulai. Hanya saja,
bersamaan dengan pembuatan jalan, ia juga mendirikan jasa pos dan telegraf yang kemudian
menjadi nama jalan Anyer-Panarukan, groote postweg (jalan raya pos). Tercatat pada 1810
Daendels telah membeli 200 ekor kuda alat pengangkut pos yang menandakan jalan
Anyer-Panarukan telah selesai. Pada tahun ini juga ia menghidupkan kembali surat kabar
yang sebelumnya pernah terbit dan mati, Bataviasche Koloniale Courant. Surat kabar ini
terus terbit hingga berakhirnya kekuasaan kolonial di Indonesia.
groote postweg di buat dalam jangka waktu sekitar satu tahun. Pembuatannya memaksa pada
penguasa pribumi setempat, yang dilewati jalan tersebut, untuk mengerahkan penduduk di
wilayah cacah-nya. Jarak yang ditempuh oleh Groote postweg adalah sekitar 800 mil. Dalam
jarak itu, dibangun 12 pesanggrahan, 126 stasiun untuk kereta, 51 stasiun untuk penggantian
kuda-kuda pos, semuanya didirikan atas tanggung jawab bupati setempat. Menurut laporan
yang didapat oleh Raffles, pembuatan jalan tersebut memakan korban sekitar 10.000 orang.
Dalam situasi perang Inggris-Prancis di Nusantara, seluruh aktivitas Daendels dipantau oleh
biro urusan intelejen Inggris yang berpusat di Penang.
Februari 1808, Du Fuy menghadap Sultan Banten untuk meminta pekerja untuk pengerjaan
jalan dan pembuatan pelabuhan militer di Merak. Sultan Banten yang berseteru dengan
pemerintah kolonial sejak masa VOC menolak. Ia melihat peperangan antara Inggris dan
Prancis memberikan kesempatan baginya untuk memberontak apalagi pasukan Daendels
dianggap belum cukup siap untuk menghadapi peperangan. Atas alasan itu, ia membunuh Du
Fuy dan menghabisi seluruh garnisun kecil pemerintah kolonial di Banten. Atas tindakannya
itu, segera Daendels mengirim 1.000 pasukan yang dipimpinnya langsung. Kesultanan
Banten berhasil dikuasai bahkan Daendels sambil duduk di tahta kerajaan berujar, akulah
raja Banten. Kesultanan Banten kemudian dihapus dan ia mengirim saudaranya untuk
menjadi residen di sana (Kemudian hari ia merehabilitasi kesultanan Banten dan menentukan
siapa yang duduk di tahta kerajaan. Banten tidak sepenuhnya aman dari gangguan karena
sering adanya pemberontakan yang dibantu oleh Inggris.)

Sebagai penganut jacobism, Daendels menghancurkan kekuatan raja-raja Jawa. Setelah


Banten, ia mencoba mengatasi kesultanan Yogyakarta. Mangkunegara II di Surakarta telah
memutuskan untuk bekerjasama dengan Belanda. Atas perintah Daendels pada 1808,
Mangkunegara II mendapat pangkat kolonel dan membentuk Legiun Mangkunegara
beranggotakan 1.150 prajurit serta mendapat bantuan 10.000 ryksdaalders pertahun.

Sementara itu, Saudara ipar Sultan Hamengkubuwana II, Raden Rangga melancarkan
pemberontakan atas Daendels yang secara diam-diam mendapat dukungan dari Sultan
Hamengkubuwana II. Dengan 3.200 pasukan, Daendels dapat mengatasi pemberontakan.
Pangeran Rangga terbunuh dan Sultan Hamengkubuwana II diturunkan dari tahta serta
digantikan oleh putra mahkota. Atas pembangkangan itu, dua orang pangeran, Natakusuma
dan Natadiningrat, dikirim ke penjara Cirebon.
Menjelang akhir jabatannya, Daendels menghadapi banyak persoalan. Perjalanan
kepemimpinannya telah membangun tembok kebencian baik dikalangan Belanda maupun
Pribumi. Beberapa suku yang menjadi anggota pasukannya membelot dan menolak berperang
di pihaknya. Belum dapat dipastikan apakah itu ada kaitannya dengan kegiatan intelejen
Inggris.
Proyek besar Daendels memakan banyak biaya. Sementara keadaan keuangannya semakin
memburuk. Blokade Inggris menyebabkan hilangnya pemasukan dari sektor perdagangan.
Bahkan untuk mata uang, Daendels harus mengeluarkan assigant (Mata uang kertas yang
biasa digunakan di Prancis)sebagai pengganti mata uang tembaga yang bahannya harus
diimpor. Satu-satunya pemasukan yang diperolehnya adalah dari pajak (Pajak dikenakan
pada penjualan barang, tol jalan, penjualan & penyewaan tanah, judi, rumah madat dan
banyak lagi.), pencetakan assigant, dan penjualan tanah seperti. Contoh penjualan tanah
seperti yang berlangsung pada wilayah Besuki dan Panarukan kepada Kapiten Cina di
Surabaya, Han Chan Pit. Terakhir ia menjual tanah seluas Besuki dan Panarukan di
Probolinggo kepada saudara Han Chan Pit, Han Ki Ko.
Pada masa Daendels, ia memindahkan ibukota pemerintahan dari Batavia ke Weltevreden
dan memindahkan tempat tinggal dari Batavia ke Buitenzorg (Bogor). Dengan gajinya,
130.000 guilders, ia membeli tanah Buitenzorg ke pemerintah dan membangun sebuah istana
megah bagi dirinya yaitu Istana Bogor. Tanah disekitar istana dijual kembali ke pengusaha
Cina dan istananya dijual kembali kepada pemerintah. Pada saat hendak digantikan oleh W.
Janssens, Daendels menjual istananya. Untuk penjualan itu, ia mendapat untung
900.000 guilders. Pada 27 April 1811, W. Janssens datang disertai oleh seorang mayor
jenderal Prancis, Jumel. Segera Daendels diganti dan dipulangkan. Sebagai seorang tahanan.
4 Agustus 1811 60 kapal perang Inggris muncul di Batavia. 26 Agustus seluruh wilayah
disekitar Batavia dapat dikuasai. Janssens bertahan di Semarang bersama legiun
Mangkunegara dibantu pasukan Yogyakarta dan Surakarta. 18 September 1811, Janssens
menyerah di Salatiga.
Sumber Bacaan:
Nusa
Jawa
Silang
Budaya
I,II
&
III,
Dennys
Lombard
Raffles
of
The
Eastern
Isles,
C.E.
Wurtzburg
Nusantara,
Vlekke
Sejarah Indonesia Modern, Ricklefs
Kilasan
Sejarah
Antara
Anyer dan Panarukan
PANDEGLANG, Anda
pernah
mendengar Nama Daendels..?? Ya,
tokoh yang sering kita dengar ini
memang
penuh
kontroversi.
Herman Willem Daendels atau di
Indonesia lebih dikenal dengan
nama Daendels, adalah nama
seorang Gubernur Jenderal Belanda
yang pernah memerintah di bumi
kita tercinta ini antara tahun 1808

dan 1811. Berdasarkan buku-buku sejarah, Gubernur Jenderal Daendels dikenal sebagai
seorang diktator yang sangat kejam, tidak berperikemanusiaan, dan selalu menindas rakyat
demi keuntungan pemerintah Kolonial Belanda dan pribadinya.
Daendels menerima dua tugas yang diberikan oleh Louis Napoleon, yang menjadi raja di
negeri Belanda pada saat itu. Kedua tugas itu adalah: mempertahankan Pulau Jawa agar tidak
jatuh ke tangan Inggris dan memperbaiki sistem administrasi negara di Jawa.
Dan untuk melakukan tugas itu, dirinya berusaha membangun Jalan antara Anyer sampai
dengan Panarukan. Menurut beberapa sumber sejarah, Jalur jalan ini melalui garis pantai dari
Batavia menuju Carita, Caringin, menembus Gunung Pulosari, Jiput, Menes, Pandeglang,
Lebak hingga Jasinga (Bogor).
Sebuah tulisan yang dibuat oleh DN. Halwany, dapat menjadi referensi kita untuk mengenal
tokoh ini. Berikut ini tulisan tersebut, yang saya ambil dari Blog-nya PERPUSTAKAAN
HALWANY
Misteri Perjalanan Dendles Di Banten
Pembangunan jalan Daendels dari Anyer (Banten) sampai Panarukan (Jawa Timur) sejauh
1000 km pada tahun 1809 1810 yang bertujuan untuk mempercepat tibanya surat-surat
yang dikirim antar Anyer hingga Panarukan atau sebagai jalan pos, namun jalan-jalan itu
dalam perkembangan selanjutnya banyak dipengaruhi kehidupan masyarakat disekitarnya dan
telah berubah fungsinya antara lain mejadi jalan ekonomi atau jalan umum dan kini sudah
banyak bangunan disekitarnya.
Rute jalan Daendels di Kabupaten Serang sampai saat ini sebetulnya masih dihantui oleh
kesimpangsiuran informasi. Karena yang beredar di masyarakat ada dua pendapat ada yang
berpendapat bahwa jalan Daendels melewati Kabupaten Lebak, namun ada juga yang
menyatakan hanya melewati Kabupaten Serang saja. Memang, menelusuri jalan Daedels dari
titik km nol di Anyer hingga 1000 km di Panarukan, orang sering bingung untuk menentukan
rute yang benar apakah melalui Serang ataukah melalui Lebak, beberapa masyarakat yang
dihubungi, hanya mengenal jalan Daendels dari Anyer sampai Serang. Tidak itu saja di
Banten juga banyak jalan-jalan yang bercabang dan masyarakat setempat menamakannya
jalan Daendels.
Kesimpangsiuran informasi itu menurut Halwany Michrob, wajar-wajar saja sebab
pembuatan jalan Deandels saat itu melakukannya dalam dua tahapan, tahap pertama
merupakan pembuatan jalan untuk membuka poros Batavia Banten pada tahun 1808, pada
masa itu Daendels memfokuskan kegiatannya pada pembangunan dua pelabuhan di utara
(Merak) dan di selatan (Ujung Kulon). Jalur ini melalui garis pantai dari Batavia menuju
Carita, Caringin, menembus Gunung Pulosari, Jiput, Menes, Pandeglang, Lebak hingga
Jasinga (Bogor). Tahap kedua dimulai tahun 1809, Dari Anyer melalui Pandeglang jalan
bercabang dua menuju Serang (utara) dan Lebak (selatan). Dari Serang, rute selanjutnya Ke
Tangerang, Jakarta, Bogor, Puncak, Cianjur, Bandung, Sumedang, Cirebon hingga
Panarukan, sepanjang pantai utara Pulau Jawa. Jalan inilah jalan yang di sebut jalan utama
atau jalan protokol, tetapi itu tidak berarti bahwa tidak ada cabang-cabang jalan lainnya yang
dilewati oleh Daendels.
Di daerah tertentu, banyak rute khusus yang sengaja di bangun oleh Daendels pada masa itu
terutama daerah pusat Kabupaten karena untuk mempermudah transportasi pengangkutan
rempah-rempah keluar daerah tersebut. Banten merupakan tempat yang paling banyak
memiliki cabang-cabang Jalan Deandels sebab Banten cukup banyak menghasilkan rempahrempah. Anyer dijadikan titik km nol karena kota ini sudah di pola Daendels untuk
mempermudahkan pengangkutan hasil bumi dari Banten menuju dua pelabuhan yaitu
pelabuhan Merak dan Pelabuhan Ujung Kulon. Banten sendiri sudah dilokalisasi dalam segi
hasil bumi oleh Daendels karena Banten Subur dan Kaya akan hasil buminya terutama
rempah-rempah.

Hingga saat ini, sebagian besar jalan Daendels masih terpakai bahkan yang lama sengaja
diperbaharui supaya dapat digunakan. Jalan Daendels yang tidak dapat digunakan lagi adalah
daerah Pontang dan Bayah, karena hancur dan tidak diperbaiki kembali. Sementara itu
Daendels sempat memerintahkan pembuatan jalan di selatan Pulau Jawa, rutenya di mulai
dari sebelah barat Jawa yakni; Bayah menuju Pelabuhan Ratu, terus ke selatan ke daerah
Sukabumi, Cimanuk dan seterusnya hingga ke Pangandaran, Purwokerto dan Yoyakarta.
Jalan Daendels yang lebih di kenal oleh masyarkat adalah jalan bagian utara Jawa, ini
disebabkan karena jalan di utara melalui rute yang berhadapan langsung dengan rute Batavia,
sedangkan jalan bagian selatan Jawa selain kondisi jalannya rusak banyak juga yang terputus
seperti jalan Bayah sampai Citorek.
Ada beberapa versi mengenai sejarah pembuatan jalan ini, ada yang mengatakan bahwa
Daendels membuat jalan Anyer Panarukan ini karena ingin mempertahankan Pulau Jawa
dari serangan Inggris, sehingga Pulau Jawa perlu dibangun jalan guna menghubungkan suatu
daerah ke daerah lain agar dapat mempercepat kabar berita dan alur transportasi. Secara
kronologis, pada tahun 1808 datanglah Herman Willem Daendels dari Belanda ke Banten,
waktu ia datang ke Indonesia negaranya tengah di jajah oleh Perancis. Sebagai murid yang
disayangi Napoleon, akhirnya Daendels dikirim ke Indonesia untuk menggantikan Gubernur
Jendral dari Belanda yang ada di Indonesia oleh Napoleon Bonaparte (Dr. H.J. de Graaf; 363370, 1949). Dengan segala upaya akhirnya Daendels mendapatkan bantuan dari rakyat
Banten berupa rempah-rempah untuk dikirim ke Perancis dan Belanda sebagai upeti, jadi
tidak mengherankan jika ia membuat kerja rodi dan tanam paksa (verplichte diensten)
karena jika tidak, ia tidak bisa memberikan upeti pada kedua negara itu.
Pada tahun 1808-1809 Daendles mulai pembuatan jalan dengan rute Batavia-Banten tahap
pertama, pada saat itu rakyat masih mau menghimpun kekuatan untuk melaksanakan perintah
paksa Daendles, namun setelah terjangitnya penyakit malaria dan banyak yang tewas, maka
rakyat menghentikan bantuannya. Karena banyaknya korban pada pembuatan jalan BataviaBanten masih simpang siur, menurut beberapa sejarahwan Indonesia, yang meninggal sekitar
15.000 orang dan banyak yang meningal tampa dikuburkan secara layak. Walaupun demikian
Daendels semakin keras menghadapi rakyat, ia tidak segan-segan memerintahkan tentaranya
menembak mati rakyat yang lalai atau tidak mau bekerja dalam pembuatan jalan apapun
alasannya.
Sementara itu ada yang beranggapan jalan Daendels dibuat untuk jalur pos atau Jalan Pos
Raya (Grote Postweq), namun Halwany beranggapan bahwa jalan Daendels sebagai siasat
untuk memperlancar jalur ekonomi, politik dan pemerintahan. Jadi yang dikatakan jalan pos
disini maksudnya adalah sebagai sentral untuk pemerintahan agar sistim birokrasi pola
pikirnya sampai kebawah.
Keadaan jalan Daendels saat ini dari titik nol km yang bertempat di Anyer Kidul, Desa
Cikoneng menuju Serang maupun Pandeglang dibandingkan dengan situasi dan kondisi 180
tahun yang lalu, memang jauh berbeda baik cara hidup masyarakat setempat ataupun alam
sekitarnya. Pada saat tanam paksa pembuatan jalan hanya hutan belantara dengan kehidupan
binatang yang ada dan di dukung oleh keadaan pantai yang indah menawan belum terjamah
manusia. Puluhan orang pribumi atas perintah paksa menerobos hutan dan jadilah jalan
tembus untuk mempernudah arus angutan hasil-hasil bumi. Menurut ceritera penduduk
setempat, pada pembuatan jalan Daendles (kerja rodi) ini setiap jarak 25 meter di tanami
pohon asem di pinggir badan jalan, itu dilakukan agar badan jalan yang telah di buat tetap
terpelihara adan terjaga.
Menginjak tahun 1950-an, sepanjang jalan pantai Selat Sunda ini masih sunyi, karena tidak
seminggu sekali pun kendaraan roda empat melintas ke tempat ini kecuali kereta api yang
melintas jurusan Rangkasbitung Anyer itupun sehari sekali pulang-pergi mengangkut para
penumpang, tapi sejak tahun 1970 di Anyer tak ada lagi ada kereta api yang melintas dan

yang ada tinggal sebuah stasiun tua yang sunyi dan sepi. Beberapa masyarakat berpendapat
waktu tahun 1972, jangankan malam hari pada siang hari saja masih sering menemukan
rombongan binatang seperti; monyet, kancil, manjangan, kelinci maupun sesekali terlihat
macan. Sekarang jalan itu telah ramai di lalui kendaraan bermotor, tak kelihatan lagi gerobak
yang biasa lewat mengangut singkong ataupun pisang malah yang banyak terlihat temboktembok bangunan milik penduduk berjejer bahkan vila dan hotel pun telah menutupi hampir
semua kawasan pantai Selat Sunda itu. Tidak hanya itu saja pabrik-pabrik pun telah
memadati kawasan ini termasuk tambak udang, sekarang tidak ada lagi kelihatatan binatang
liar yang bebas bergelantungan di pohon-pohon maupun bergerombol di pinggiran jalan.
Binatang ini telah pergi entah kemana. ***
Cerita Rakyat Banten Gubernur Jendral Herman Willem Daendles
Herman Willem Daendels atau di Indonesia lebih dikenal dengan nama Daendels, adalah
nama seorang Gubernur Jenderal Belanda yang pernah memerintah di bumi kita tercinta ini
antara tahun 1808 dan 1811. Berdasarkan buku-buku sejarah, Gubernur Jenderal Daendels
dikenal sebagai seorang diktator yang sangat kejam, tidak berperikemanusiaan, dan selalu
menindas rakyat demi keuntungan pemerintah Kolonial Belanda dan pribadinya. Sebelum
meninggalkan negeri Belanda menuju Jawa, Daendels menerima dua tugas yang diberikan
oleh Louis Napoleon, yang menjadi raja di negeri Belanda pada saat itu. Kedua tugas itu
adalah: mempertahankan Pulau Jawa agar tidak jatuh ke tangan Inggris dan memperbaiki
sistem administrasi negara di Jawa.
Kedua tugas ini diberikan kepadanya mengingat bahwa pada saat itu negeri Belanda berada
di bawah kekuasaan Napoleon Bonaparte, dan Inggris adalah salah satu negara yang belum
bisa ditaklukkan Prancis yang saat itu. (Eymeret: 1973: 29). Pada tanggal 28 Januari 1807
Daendels menerima tugas untuk menjadi Gubernur Jenderal di Hindia Belanda langsung dari
Louis Napoleon atas perintah dari Napoleon Bonaparte. Persiapan keberangkatannya pun
dilakukan. Pada tanggal 9 Februari 1807, Louis Napoleon menandatangani instruksi yang
harus dilakukan oleh Daendels. Instruksi itu terdiri atas 37 pasal. Pada bulan Maret, Daendels
berangkat secara diam-diam, agar tidak diketahui pihak Inggris, melalui Paris, kemudian ke
Lisabon dengan menaiki kapal Amerika dan mengubah namanya menjadi Van Vlierden. Dari
Lisabon Daendels berlayar menuju Kepulauan Kanari selanjutnya menuju pulau Jawa.
(Paulus: 1917: 554). Pada tanggal 1 Januari 1808, setelah menempuh perjalanan selama 10
bulan, Daendels mendarat di Anyer hanya dengan didampingi oleh seorang ajudannya dan
tanpa memiliki surat-surat kepercayaan. Dari Anyer dia melalui jalan darat menuju ke
Batavia untuk menemui gubernur jenderal saat itu, yaitu Henricus Albertus Wiese (Stapel:
1940: 35). Tampaknya Wiese telah menerima berita pengangkatan Daendels. Pada tanggal 14
Januari 1808 Wiese menyerahkan kekuasaannya kepada Daendels.
Hubungan Daendels dengan Raja-Raja di Jawa Barat

Sebenarnya Daendels melakukan intervensi terhadap kekuasaan kesultanan di Jawa, yakni:


Kesultanan Banten, Cirebon (Kanoman dan Kasepuhan), Yogyakarta dan Surakarta
(Vorstenlanden). Namun, sesuai dengan tema seminar ini, hanya akan dibahas
hubungan Daendels dengan Kesultanan Banten dan Cirebon. Hubungan antara Daendels dan
raja Banten bermula dari rencana pembuatan pelabuhan dan jalan raya di Ujung Kulon.
Ribuan pekerja dikerahkan untuk membuat jalan dan pelabuhan itu. Dalam pekerjaan ini
terjadi banyak korban manusia baik yang berasal dari kalangan pribumi maupun dari
kalangan orang Eropa, karena tanahnya banyak yang berupa rawa-rawa. Untuk melanjutkan
proyek itu Daendels meminta kepada Sultan Banten saat itu, untuk menyediakan tenaga baru
dari Banten. Sultan Banten menolak permintaan itu mengingat banyaknya korban yang sakit
dan mati karena penyakit. Daendels tidak bisa menerima alasan tersebut, kemudian
mengirimkan utusannya yang bernama Komandan Du Puy untuk mendesak Sultan Banten
agar bersedia mengirimkan rakyatnya. Du Puy diserang dan dibunuh. Keadaan ini membuat
Daendels marah, sehingga ia memutuskan untuk menyerang Banten. Sultan Banten menyerah
dan diasingkan ke Ambon, sementara pemerintahan diserahkan kepada putra mahkota
(Murdiman: 1970:14). Kondisi di Cirebon berbeda sekali dengan kondisi di Banten. Pada
akhir abad ke 18, di kraton-kraton Cirebon cukup kacau akibat konflik di dalam kraton.
Sultan Sepuh yang memerintah dari tahun 1781 dikabarkan sakit ingatan, sehingga tidak
mampu untuk menjalankan pemerintahan. Selanjutnya, untuk menjalankan
Sumber lain menyebutkan bahwa Daendels pergi ke Jawa melalui Cadix, Tanger, Kepulauan
Kanari, New York baru menuju ke Jawa dengan menggunakan kapal Amerika (Graaf: 1949:
hal. 363). pemerintahan di kraton dilakukan oleh beberapa adipati. Ketika sultan wafat pada
tahun 1787, ia digantikan oleh penggantinya yang kemudian pada tahun 1791 meninggal juga
secara mendadak. Sementara itu putranya yang diharapkan menggantikannya usianya masih
sangat muda. Akibatnya, pemerintahan di dalam kraton diserahkan kepada walinya hingga
tahun 1799. Kondisi kraton menjadi sangat kacau ketika putra Sultan yang dulu dibuang ke
Maluku melakukan pemberontakan. Ia ditangkap dan dibawa ke Batavia. Sementara itu
Sultan Kanoman meninggal tahun 1798. Namun, yang menggantikan bukan putra mahkota,
melainkan orang lain. Hal ini mengakibatkan kekacauan yang mengakibatkan banyak orang
Cina terbunuh. Akibat kerusuhan ini putra mahkota Kanoman ditangkap dan dibawa ke
Batavia karena dianggap mendalangi kerusuhan itu. Ribuan rakyat protes ke Batavia, tetapi
bisa dihalau di Krawang. Akibat dari kejadian ini semua, putra mahkota Kanoman dibuang ke
Ambon. (Lubis, 2000: 45-47) Pada masa Daendels menjadi gubernur jenderal. Oleh Daendels
para penguasa kerajaan tidak diijinkan menggunakan sebutan sultan lagi, melainkan
menggunakan sebutan pangeran. Menurut sumber sejarah, Kesultanan Banten mulai berada di
bawah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda semenjak Sultan Banten menandatangani

perjanjian dengan Belanda yang dilakukan oleh Sultan Safiuddin pada tanggal 28 Nopember
1808. Setelah penandatangan dan pengucapan sumpah pada tanggal itu, istana Sorosowan
yang juga dikenal dengan istilah Benteng Intan dihancurkan belanda sebagai hukuman atas
meninggalnya pejabat tinggi negara dan pejabat rendah yang dibunuh oleh abdi dalem Sultan.

Jatuhnya Kesultanan Banten berdasarkan arsip yang ada

Berdasarkan ringkasan daftar keputusan Gubernur Jenderal


Herman Willem Daendels yang dibuat di Banten tanggal 22 Nopember 1808 terdapat dua hal
yang berkaitan dengan jatuhnya Kesultanan banten, yaitu: Pertama, Berita Acara
terbunuhnya Komandan Du Puy dan Letnan Kohl serta seorang Eropa dan tiga anggota
militer pribumi dan keduaperintah untuk Raja Banten. Daendels menerima laporan
terbunuhnya Komandan Du Puy, Letnan Kohl, tiga orang Eropa dan tiga anggota militer
pribumi. Pada saat Du Puy dipanggil oleh utusan Sultan agar datang menghadap ke Benteng
Intan (Istana Sorosowan), Komandan Du Puy diserang oleh adipati Pangeran Wargadiraja
hingga meninggal. Sultan dianggap mengetahui rencana pembunuhan itu dan tidak
melakukan apa-apa, bahkan membiarkan para penyerang merusak mayat Du Puy, kemudian
dengan sangat kejam menyeretnya menuju sungai dan menenggelamkannya. Kejadian ini
juga menimpa para anggota militer Eropa dan pribumi yang menyertai Du Puy ke sana.
Wakil pemerintah yang ditugaskan ikut menjaga Kraton yang bernama Kapten Kohl, pada
malam sebelum pembunuhan itu dibuat mabuk, sehingga Sultan dianggap dengan bebas bisa
membunuhnya esok harinya. Sultan tidak melakukan tindakan pencegahan sedikitpun. Selain
itu juga ada tuduhan pemerintah Hindia Belanda kepada Sultan Banten yakni: adanya
serangan terhadap tiga orang serdadu Eropa yang dikirim ke teluk Anyer. Namun, tidak
semuanya berhasil dibunuh, karena sebagian bisa melarikan diri ke seberang.
Selanjutnya Daendels memberikan instruksi bagi Raja Banten yang baru, untuk mengesahkan
tata cara berikut upacara bagi Prefect Banten, apabila dia tiba sebagai wakil pemerintahan
umum Paduka Raja.
1. Tidak ada upacara yang dilakukan apabila pada kesempatan ini Prefect tidak sedang
diminta untuk menghadap raja;
2. Dalam kesempatan resmi tergantung pada kondisi, Prefect setelah menyampaikan kepada
raja alasan pertemuan ini, oleh empat utusan dikawal dan upacra dari pihak raja Banten akan
diadakan sesuai kebiasaan;
3. Prefect setelah mendekati raja akan dilengkapi dengan sebuah payung besar yang baik
pada sisi dalam maupun luarnya dicat kuning dan diberi warna pinggi emas dan batangnya
lebar, dan selain itu akan dicat biru muda dengan tombol emas, yang harus dipegang oleh
seorang pembantu sampai di rumah ketika dia harus diterima oleh raja dengan seluruh ikat
kepalanya.
4. Raja harus berdiri dari kursinya ketika Prefect memasuki istana dan harus menyambutnya
ketika Prefect di sini menyampaikan salamnya kepada raja, seperti halnya diadakan upacara
secara cermat ketika kembali terjadi dia duduk di sebelah kanan raja dan kemudian
disesuaikan dengan pemilihan.

5. Dalam peristiwa upacara ini bisa ditunjukan bahwa kepada raja ketika tampil di depan
umum dan Prefect kebetulan ada di sana, harus digandeng tangannya di bawah
pengawasan Prefectdan dipayungi.
6. Apabila raja menghampiri Prefect, ketika memasuki benteng Speelwijk atau di tempat lain
di mana pejabat ini biasa tinggal, dilepaskan tiga tembakan senapan, dan
kepada Prefect wajib menyambutnya, membawanya masuk namun para pejabat rendahan
bisa menerimanya di depan atau di luar kompleks bangunan itu.
7. Juga para pejabat rendahan seperti halnya Prefect baik yang berjalan kaki maupun
berkereta dan berkuda bisa berangkat dan dinaiki bila mereka kebetulan berhalangan.
8. Apabila seorang Prefect atau pejabat lain bertemu dengan raja di tengah jalan, setiap orang
akan berbagi jalan dan masing-masing memberi salam, namun anggota militer bisa berdiri di
depan raja.
9. Apabila Prefect berjalan menghampiri raja, dia akan berjalan di belakang korps prajurit
jaga yang terdiri atas seorang sersan, seorang kopral dan 12 orang prajurit biasa.
10. Pada semua upacara lain, sejauh dirasakan perlu oleh Prefect, harus dihadiri pula oleh
raja ketika upacara ini diadakan seperti yang ditetapkan dalam pasal 6.
11. Dengan kedatangan Prefect di Banten, Prefect akan menyampaikan kepada raja yang
akan memberikan sambutan kedatangannya sebelum dia sendiri menghadap raja.
12. Selain itu kepada Prefect dan raja diberi wewenang untuk saling bertemu secara
kekeluargaan tanpa upacara. Setelah itu Prefect dalam semua aspek akan memperhatikan
kepentingan martabat negara yang diwakilinya dan memperhatikan agar raja dan para
bangsawannya baik dari pihak penguasa Eropa maupun bangsanya sendiri dihormati
martabatnya.
Pada tahun 1808-1809 Daendles mulai pembuatan jalan dengan rute Batavia-Banten tahap
pertama, pada saat itu rakyat masih mau menghimpun kekuatan untuk melaksanakan perintah
paksa Daendles, namun setelah terjangitnya penyakit malaria dan banyak yang tewas, maka
rakyat menghentikan bantuannya. Karena banyaknya korban pada pembuatan jalan BataviaBanten masih simpang siur, menurut beberapa sejarahwan Indonesia, yang meninggal sekitar
15.000 orang dan banyak yang meningal tampa dikuburkan secara layak. Walaupun demikian
Daendels semakin keras menghadapi rakyat, ia tidak segan-segan memerintahkan tentaranya
menembak mati rakyat yang lalai atau tidak mau bekerja dalam pembuatan jalan apapun
alasannya. Sementara itu ada yang beranggapan jalan Daendels dibuat untuk jalur pos atau
Jalan Pos Raya (Grote Postweq), namun Halwany beranggapan bahwa jalan Daendels sebagai
siasat untuk memperlancar jalur ekonomi, politik dan pemerintahan. Jadi yang dikatakan
jalan pos disini maksudnya adalah sebagai sentral untuk pemerintahan agar sistim birokrasi
pola pikirnya sampai kebawah.
Ekpedisi H.W. Daendels, Belajar dari Sejarah Sebuah Jalan
Indonesia adalah
negeri
budak.
Budak di antara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain.
-Pramoedya Ananta Toer, dalam Novel Jalan Raya Pos, Jalan Daendels___________
5 Januari 1808. Maarschalk Herman Willem Daendels menjejakkan kakinya di Anyer,
Banten. Ini adalah hari pertamanya di Pulau Jawa setelah perjalanan jauh melintas samudra
dari negeri Belanda. Tidak ringan misi yang diembannya di negeri jajahan ini. Raja
Belanda Louis (Lodewijk) Napoleon, saudara Kaisar Perancis Napoleon Bonaparte,
mengangkatnya menjadi Gubernur Jenderal di Jawa menggantikan Albertus Wiese. Tugas
utama Gubernur Jenderal Daendels adalah menyelamatkan Pulau Jawa dari serangan Inggris.
Jawa adalah satu-satunya daerah koloni Belanda-Perancis yang belum jatuh ke tangan
Inggris setelah Isle de France dan Mauritius jatuh pada tahun 1807. Beberapa kali armada
Inggris terlihat di perairan utara Laut Jawa, dekat Batavia. Delapan tahun lalu, tepatnya tahun

1800, armada Inggris berhasil memblokade Batavia dan menghancurkan galangan kapal
Belanda di Pulau Onrust. Belum lama, dua tahun lalu, tahun 1806, armada Inggris muncul di
Gresik. Kegentingan politik mewarnai kedatangan Daendels hari itu.
Gubernur Jenderal baru ini bergerak cepat. Ia sadar betul, kekuatan Perancis-Belanda di Jawa
tidak akan mampu menghadapi armada Inggris. Ia pun merestrukturisasi kekuatan militernya.
Orang-orang pribumi direkrutnya menjadi tentara. Ia membangun sejumlah rumah sakit dan
tangsi-tangsi militer baru. Di Surabaya ia mendirikan Benteng Lodewijk dan membangun
sebuah pabrik senjata. Di Semarang ia membangun pabrik meriam. Sementara, sekolah
militer ia dirikan di Batavia.
Namun, lebih dari semua itu, proyek utamanya demi mempertahankan Jawa adalah
membangun jalan raya sepanjang lebih kurang 1.000 kilometer yang menghubungkan ujung
barat dan ujung timur Pulau Jawa, menghubungkan Anyer hingga Panarukan. Tujuannya satu
agar mobilisasi perang dapat berjalan cepat. Hanya dengan jalur darat yang bagus mobilisasi
pasukan untuk mempertahankan Jawa akan lebih mudah dilaksanakan. Inilah Jalan Raya
Pos (Groote Postweg, The Great Post Road).
***

Era kekuasaan Daendels di Pulau Jawa yang hanya tiga tahun (1808-1811) merupakan salah
satu titik kelam sejarah bangsa ini. Pramoedya Ananta Toer, dalam novelnya Jalan Raya
Pos, Jalan Daendels,mengabadikan masa-masa pahit itu. Dengan getir ia menulis, Indonesia
adalah negeri budak. Budak di antara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain. Sejarah
mencatat, lebih dari 12.000 jiwa tewas akibat kerja paksa membangun jalan ini.
Namun siapa nyana, di balik hitamnya sejarah masa lalu, Daendels sesungguhnya meletakkan
dasar bagi perkembangan tata ruang kota dan hubungan antarkota di Jawa sejak awal abad
XIX hingga kini.Jalan raya itu kini menjadi urat nadi transportasi di Jawa. Pembangunan
Jalan Raya Pos juga telah mengubah wajah perkotaan di Jawa. Kehidupan ekonomi di kotakota yang dilewati jalur Jalan Raya Pos berkembang pesat. Satu kota mati, kota lain tumbuh.
Begitu terus sepanjang waktu. Selama 200 tahun (1808-2008) jalan raya itu menjadi saksi
bisu hidup dan matinya kota-kota di Pulau Jawa.
Mengenang 200 tahun Jalan Raya Pos, Kompas akan melakukan ekspedisi, menyusuri
kembali jalan itu dari Anyer hingga Panarukan. Perjalanan akan berlangsung dari tanggal 16
hingga 25 Agustus nanti. Rute yang akan ditempuh adalah Anyer-Serang-Tangerang-JakartaDepok-Bogor-Cipanas-Cianjur-Bandung-Cileunyi-Sumedang-Palimanan-Cirebon-LosariBrebes-Tegal-Pekalongan-Batang-Semarang-Demak-Kudus-Pati-Rembang-Lasem-TubanGresik-Surabaya-Waru-Sidoarjo-Pasuruan-Probolinggo-Panarukan.

Napak tilas yang mengambil tema 200 Tahun Anjer-Panaroekan: Jalan (untuk)
Perubahan ini ingin memotret perkembangan yang terjadi di sepanjang Jalan Raya
Pos. Kompas juga ingin menggali pelajaran apa yang bisa dipetik dari Gubernur Jenderal
Belanda dengan proyek jalan raya ini. Sejarah, sekelam apa pun bentuknya, selalu
menyimpan pelajaran berharga. Di halaman ini Anda dapat mengikuti perjalanan tim
ekspedisi Kompas.
______________________
Tak
mungkin
orang
dapat
mencintai
negeri
dan
kalau
orang
tak
mengenal
kertas-kertas
Kalau
dia
tak
mengenal
Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya,
-Minke, dalam Novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer-

bangsanya,
tentangnya.
sejarahnya.

TUGAS BAHASA INDONESIA

NAMA: BAGUS PUTU OKAYASA


NO: 03
KELAS:XI TKR1

You might also like