You are on page 1of 4

Ambisi di Balik Krisis Ukraina

Chusnan Maghribi ; Alumnus Hubungan Internasional FISIP


Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)
SUARA MERDEKA, 28 Desember 2013

Terbukti Putin menekan Yanukovich supaya tidak meneken pakta kerja


sama ekonomi dengan Uni Eropa
TENSI politik di Republik Ukraina saat ini memang tidak sepanas awal
Desember 2013, saat kebih dari 100 ribu pendukung oposisi mulai turun
ke jalan di ibu kota, Kiev, memprotes ketidakmauan pemerintahan Viktor
Yanukovich menandatangani pakta kerja sama ekonomi dengan Uni Eropa
(UE). Namun republik terbesar pecahan Uni Soviet itu masih belum lepas
dari jerat krisis politik. Dua kubu berseberangan, pemerintah versus
oposisi, yang didukung massa masing-masing masih saling berhadapan.
Setelah ribuan pendukung oposisi bertahan di sekitar gedung Verkhovna
Rasa (parlemen) dan Maidan Nezaleshnosti (Lapangan Kemerdekaan),
tanggal 13 Desember lalu Presiden Yanukovich mengerahkan ribuan
pendukungnya ke Kiev. Mereka dikerahkan dari wilayah selatan dan timur
Ukraina yang berbatasan dengan Rusia. Sejauh ini belum ada kepastian
dua kubu bisa mencapai kompromi. Ambisi apa di balik krisis politik negara
itu?
Sekilas krisis politik di Ukraina kali ini terjadi akibat keputusan
pemerintahan Yanukovich menolak menandatangani Deep and
Comprehensive Free Trade Agreement (DCTA) dengan UE, yang
ditentang keras kubu oposisi. Tetapi pasti akar masalahnya tidak

sesederhana itu. Persoalan dalam dan luar negeri berkelindan hingga


menjelma menjadi problema yang kompleks, rumit, dan sulit diselesaikan.
Masalah dalam negeri muncul lebih serius terutama sejak ekonomi
Ukraina terimbas krisis finansial global tahun 2008. Krisis keuangan,
khususnya yang melanda Eropa Barat waktu itu berdampak serius bagi
perekonomian Ukraina. Produk besi yang menjadi andalan ekspor tidak
terjual. Ukraina kehilangan salah satu sumber devisa utama.
Situasinya menjadi lebih sulit karena sektor pariwisata yang sesungguhnya
sangat potensial dibangun menjadi sumber devisa alternatif tidak digarap
sebagaimana mestinya. Pemerintahan Yanukovich menerapkan kebijakan
sangat ketat dalam pemberian visa.
Selain itu, Rusia konsisten dengan kebijakan mengurangi peran Ukraina
sebagai negara transit bagi ekspor gasnya ke Eropa Barat. Sebelum
terjadi Revolusi Oranye 2004 gas Rusia yang transit di Ukraina sebelum
diekspor ke negara-negara Eropa Barat, seperti Jerman dan Belgia,
mencapai 120 miliar m3 per tahun dengan imbalan 5 miliar dolar AS untuk
Kiev. Namun, dalam 8 tahun terakhir gas Rusia yang transit di Ukraina
hanya 84 miliar m3 per tahun dan Kiev mendapat imbalan hanya 3 miliar
dolar.
Awalnya kalangan analis menilai Negeri Beruang Merah mengurangi
peran Ukraina itu lantaran yang memimpin Ukraina pasca-Revolusi
Oranye adalah Presiden Yushchenko, yang pro-Barat, menyusul
kemenangannya dalam pemilihan umum (pemilu) ulang 2005.
Motif Ekonomi

Pemilu ulang digelar setelah sejumlah tokoh oposisi pro-Barat, semisal


Yulia Tymoshenko dan Yushchenko mengerahkan ribuan pendukungnya
memprotes hasil pemilu 2004 yang dimenangi Yanukovich, yang
dianggapnya tidak fair. Aksi protes berlangsung dari 22 November 2004
sampai 23 Januari 2005. Itulah gerakan besar pertama rakyat sejak
Ukraina merdeka dari Uni Soviet (Rusia) 8 Desember 1991, yang
selanjutnya terkenal dengan Revolusi Oranye.
Dalam pemilu ulang 2005 itu Yushchenko mengalahkan Viktor Yanukovich
yang pro-Moskow. Namun, setelah dalam pemilu 2010 Yanukovich
berbalik mengalahkan Yushchenko dan memerintah hingga sekarang,
Rusia tidak mengubah kebijakannya mengurangi peran Ukraina sehingga
pengamatan para analis tadi tidak sepenuhnya tepat. Kremlin mengurangi
peran Kiev ternyata lebih cenderung didorong perhitungan ekonomi
ketimbang kalkulasi politik murni.
Lantas, mengapa Rusia tampak tidak rela ketika Ukraina hendak
menandatangani DCTA dalam pertemuan puncak UE di Vilnius Lithuania
pada 23 November lalu? Terbukti pada saat-saat akhir pertemuan UE,
Presiden Rusia Vladimir Putin menekan Presiden Viktor Yanukovich
supaya tidak meneken pakta tersebut.
Penandatanganan DCTA menjadi langkah awal untuk bergabung dalam
UE. Jika Ukraina berintegrasi ke dalam UE, buyarlah harapan Kremlin
membentuk sejumlah pakta kerja sama regional, semisal Custom Union,
Collective Security Treaty Organization (CSTO), dan Eurasia Union, yang
semuanya menyertakan Ukraina. Untuk Uni Eurasia, Moskow telah
memplot Ukraina bersama Kazakstan dan Belarusia (di samping Rusia)

sebagai anggota. Ke depan, Uni Eurasia dimaksudkan guna menyaingi


UE.
Ukraina memiliki arti strategis bagi Rusia, baik dari segi geoekonomi
maupun geopolitik-keamanan. Ukraina menyerap 58% dari keseluruhan
ekspor gas Rusia tiap tahun. Secara politik keamanan, Ukraina bisa
dijadikan negara penyangga bagi keamanan Rusia. Karenanya, Rusia
merugi besar andai bekas jajahannya sampai jatuh ke pangkuan UE.
Jelaslah di balik krisis Ukraina terjadi rivalitas sengit antara Rusia dan UE
untuk memperebutkan negeri berluas wilayah 603.700 km2 supaya masuk
rangkulannya demi meraih keuntungan ekonomi sekaligus politik.
Diposkan oleh Budi Santoso di 10.39

You might also like