Professional Documents
Culture Documents
X-URL: http://www.pdk.go.id/balitbang/Publikasi/Jurnal/No_026/pendekatan_hamid_hasan.htm
*)
Pernah disajikan pada seminar Pengembangan Kurikulum
**) Prof. Dr. S. Hamid Hasan adalah Guru Besar Tetap pada Universitas
Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung.
___________________________________________________________________
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Sudah sejak lama para ahli pendidikan dan kurikulum menyadari bahwa
kebudayaan adalah salah satu landasan pengembangan kurikulum (Taba,
1962) di samping landasan lain seperti perkembangan masyarakat, ilmu
pengetahuan, teknologi, politik, ekonomi. Ki Hajar Dewantara (1936,
1945, 1946) menyatakan bahwa kebudayaan merupakan faktor penting
sebagai akar pendidikan suatu bangsa. Ahli kurikulum lain seperti
Print (1993:15) menyatakan pentingnya kebudayaan sebagai landasan bagi
kurikulum dengan mengatakan bahwa kurikulum is a construct of that
culture. Kebudayaan merupakan keseluruhan totalitas cara manusia hidup
dan mengembangkan pola kehidupannya sehingga ia tidak saja menjadi
landasan di mana kurikulum dikembangkan tetapi juga menjadi target
hasil pengembangan kurikulum. Longstreet dan Shane (1993:87) melihat
bahwa kebudayaan berfungsi dalam dua perspektif yaitu eksternal dan
internal. Lebih lanjut, keduanya menulis (Longstreet dan Shane,
1993:87):
Lebih lanjut, studi Webb (1990) dan Burnett (1994) menunjukkan bahwa
proses belajar siswa yang dikembangkan melalui pertimbangan budaya
menunjukkan hasil yang lebih baik. Hal itu terjadi karena seperti yang
dikemukakan oleh Oliver dan Howley (1992) kebudayaan governs how
people share information and knowledge, as well as how they construct
meaning. Peran kebudayaan yang kuat dalam upaya seseorang memahami
lingkungan dan belajar dikemukakan oleh Delpit (Darling-Hammond,
1996:12) dengan mengatakan we all interpret behaviors, information,
and situation through our own cultural lenses; these lenses operate
involuntarily, below the level of conscious awareness, making it seems
that our own view is imply, the way it is. Pendapat yang sama
dikemukakan pula oleh Wloodkowski dan Ginsberg (1995) yang menyatakan
bahwa kebudayaan adalah dasar dari intrinsic motivation dan
mengembangkan model belajar yang dinamakan a comprehensive model of
culturally responsive teaching yang menurut mereka adalah a pedagogy
that crosses disciplines and cultures to engage learners while
respecting their cultural integrity. Oleh karena itu, sudah saatnya
untuk memperhitungkan faktor kebudayaan sebagai landasan penting dalam
menentukan komponen tujuan, materi, proses, dan evaluasi suatu
kurikulum, dan kegiatan belajar siswa. Konsekuensinya, para pengembang
kurikulum di tingkat pusat, daerah, dan sekolah harus memanfaatkan
kebudayaan sebagai landasan pengembangan secara lebih sungguh-sungguh
dan sistematis.
Alternatif kedua ini dapat dilakukan jika daerah telah memiliki tenaga
pengembang yang cukup. Jika belum maka sebaiknya alternatif pertama
yang dipilih sedangkan jika daerah telah memiliki tenaga yang cukup
dan sudah berpengalaman maka peran pusat dapat saja semakin longgar
dan pengembangan ide dan dokumen sepenuhnya dapat diserahkan ke
daerah. Pemerintah pusat hanya perlu mengembangkan principle
guidelines saja.
Kurikulum harus secara tegas menyikapi bahwa siswa bukan belajar untuk
kepentingan mata pelajaran tetapi mata pelajaran adalah untuk medium
mengembangkan kepribadian siswa. Oleh karena itu, pendekatan banyaknya
materi yang harus dipelajari diganti dengan pendekatan cara belajar
sesuai dengan pernyataan it is not a matter how much you have learned
but a matter of how you learn it.
KESIMPULAN
PUSTAKA ACUAN
Carter, R.T. dan Goodwin, A.L. (1994). Racial identity and education.
Review of Research in Education, 20:291-336.
Hasan, S.H. (1996). Local Content Curriculum for SMP. Paper presented
at UNESCO Seminar on Decentralization. Unpublished.