Professional Documents
Culture Documents
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
1.
Nethertons Sindrom
Nethertons Sindrom adalah penyakit yang langka dan kompleks, yang
Lepromatous Leprosy
Kusta merupakan penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae,
Leprae
bersifat
patogen
intraseluler
dan
dapat
Tuberculoid),
BB
Borderline
Leprosy),
BL
(Borderline
dapat menetapkan diagnosis penyakit kusta yaitu lesi yang anestesi, penebalan
saraf perifer dan ditemukannya M. Leprae. dimana apabila ditemukan salah satu
dari tanda tersebut telah dapat menegakkan diagnosa kusta pada pasien. Penyakit
kusta pada awalnya diawali dari munculnya kelainan pada kulit, kemudian diikuti
oleh kerusakan pada saraf tepi, kerusakan biasanya terjadi pada wajah, tangan,
dan kaki. Namun apabila kusta diterapi secara cepat dan tepat, maka kerusakan
permanen dapat dicegah dan dihindari.6,7
distribusi unilateral atau bilateral, asimetris, permukaan kering dan kasar, anestesi
jelas, tidak ditemukan nodulus. Penebalan saraf tepi terjadi lebih dini dan
asimetris. Pada sediaan hapus biasanya didapatkan hasil yang negatif. Sedangkan
lesi pada tipe Multibasiler berupa makula dengan jumlah banyak biasanya lebih
dari 5 (lima), berukuran kecil dengan distibusi bilateral, tidak tegas dengan
permukaan yang halus dan mengkilat, anestesi tidak jelas dan didapatkan aana
nodulus dan penebalan saraf tepi terjadi pada tahap lanjut dan cenderung simetris.
Pada sediaan hapus ditemukan hasil yang positif.
Manifestasi oral biasanya muncul dalam lepromatous penyakit kusta dan
terjadi di 20-60 % kasus. Dapat berupa beberapa nodul ( lepromas ) yang berlanjut
menjadi nekrosis dan ulserasi.5
3.
Kortikosteroid
Pemakaian kortikosteroid pada penyakit-penyakit inflamasi dan autoimun
meningkat setelah ditemukannya efek anti inflamasi pada akhir tahun 1950-an.
Namun bersamaan dengan peningkatan penggunaan kortikosteroid ditemukan
pula efek samping yang membahayakan pasien. Pada tahun 1950-an muncul
pandangan baru yaitu pemberian steroid dengan dosis tinggi sesingkat mungkin
kemudian dilakukan tappering of sampai tercapai dosis pemeliharaan terkecil
yang masih berefek. Pada proses inflamasi, sel mast, eosinofil, basofil, bahkan
sel-sel struktural (epitel, endotel, fibroblas, miosit) dan terutama sel mononuklir,
makrofag dan monosit mampu mengaktivasi dan memproduksi sitokin-sitokin pro
inflamasi seperti TNF-, IL- 1 , IL-6. Sitokin-sitokin ini merupakan sitokin awal
yang mampu mengaktivasi kaskade respon inflamasi lokal maupun sistemik.8
Kortikosteroid merupakan anti-inflamasi yang identik dengan kortisol,
hormon steroid alami pada manusia yang disintesis dan disekresi oleh korteks
adrenal. Efek
anti inflamasi
imunokompeten seperti sel T, makrofag, sel dendritik, eosinofil, neutrofil, dan sel
mast, yaitu dengan menghambat respons inflamasi dan menyebabkan apoptosis
berbagai sel tersebut.8
Kortikosteroid memiliki efek spesifik dan nonspesifik yang berhubungan
dengan mekanisme aksi yang berbeda, termasuk anti-inflamasi, imunosupresi,
antiproliferasi dan efek vasokonstriksi. Banyak dari aksi kortikosteroid ini
diperantarai oleh reseptor intraseluler yang disebut reseptor glukokortikoid.9
dilakukan
mendukung
bahwa
pemberian
kortikosteroid
edema,
hirsutisme,
osteoporosis,
gangguan
pertumbuhan
dan
YA
TIDAK
jelas,
singkat
tidak
terlalu
maupun
terlalu
panjang.
3) Cukup menarik
4) Tanpa singkatan,
mempresentasikan
kasus
ditampilkan
cukup
pada
menarik
jurnal
dengan
YA
1). (h:186) Nama penulis
dituliskan sesuai
pertama,
aturan jurnal
kedua.
2) Disebutkan penerbit
jurnal
3) Disebutkan tahun
TIDAK
2).
(h:186)
Nama penulis
International
journal of dermatology)
3).
(h:186) 2013
terbitan jurnal
C. Abstrak:
1) Abstrak satu paragraf
YA
TIDAK
dan terstruktur
2) Mencakup kompenen
dan diskusi
IMRAD
(Introduction,
3).
Discusion)
3) Secara keseluruhan
informatif
4) Tanpa singkatan,
selain yang baku
5) Kurang dari 250 kata
(h:
186)
merupakan
penulis
tidak
metode
yang
bahwa
(h:
186)
Terdapat
YA
TIDAK
PEMBAHASAN JURNAL
Judul artikel Nethertons syndrome and lepromatous leprosy: a mere
coincidence? merupakan artikel yang tidak terlalu panjang, judul yang
ditampilkan penulis tidak terlalu singkat dengan redaksi berupa pertanyaan yang
menarik, latar belakang dibuatnya penelitian ini adalah ditemukannya sebuah
kasus pasien dengan lepra yang juga menderita sindrom netherton secara
bersamaan, namun pada artikel ini penulis tidak mencantumkan tahun penelitian.
Dengan melihat departemen tempat penulis berasal, menurut penelaah, penulis
mempunyai kualifikasi yang cukup dibidang yang teliti. Penerbit juga disebutkan
dalam jurnal oleh International Journal of Dermatology disertai tahun terbit jurnal
2013. Penulisan abstrak ditulis terstruktur mencakup objektif, metodologi, serta
diskusi. Abstrak mampu menggambarkan secara jelas mengenai masalah
penelitian dan tujuan penelitian.
Kasus yang diteliti pada artikel ini merupakan kasus pertama yang
ditemukan di brazil, dimana seorang laki-laki berusia 26 tahun diketahui
menderita lepra dan sindrom netherthon secara bersamaan. Pasien tersebut
merupakan pasien yang berobat ke Hospital Santa Casa da Misericordia, Rio de
Janeiro, Brazil. Pasien datang dengan keluhan kulit kemerahan, berskuama dan
terasa gatal hampir diseluruh tubuhnya. Pasien juga mengalami gangguan
pertumbuhan sejak umur 4 tahun berupa berat badan yang terus menurun.
Keluhan tersebut terus berlanjut hingga remaja. Pasien memiliki riwayat
mengkonsumsi kortikosteroid sejak usia 15 tahun karena eritroderma yang
dideritanya.
Dari hasil pemeriksan fisik, artikel ini menyebutkan bahwa pasien
memiliki postur yang tidak sesuai dengan usianya, dengan berat badan rendah dan
berpostur pendekyang disertai deformitas tipe genu-valgum. Dari hasil
pemeriksaan dermatologis didapatkan beberapa temuan diantaranya eritroderma
dengan area lichenifikasi, plak polisiklik dan eritema hampir di sebagian besar
tubuh. Ditemukan pula lesi papulotuberous berwarna kecoklatan dan multipel
papulonodular eritematus terutama di siku, lutut, pubis, dan telinga.
Dalam artikel ini juga dicantumkan hasil histopatologis yang diambil pada
lesi papulonodular di wajah dan didapatkan globi yang merupakan karakteristik
dari LL. Diagnosis ini juga didukung dengan hasil pemeriksaan Basil Index (BI)
3,83 dan ditemukannya globi pada pemeriksaan kelenjar getah bening. Dari hasil
pemeriksaan mikologi dan kultur dari kuku dan skuama pada punggung tangan
didapatkan hifa positif yang mengarah ke Trichophyton Rubrum. Kadar IgE serum
pasien meningkat (395,2 U/ml). Dari urinalisa ditemukan proteinuria. Pasien telah
mendapatkan terapi MDT sesuai dengan standar WHO tipe LL. Pasien juga
mendapat terapi dosis rendah acitrecin 10 mg/dosis untuk sindrom netherton yang
dideritanya.
Peneliti dalam artikel ini juga membahas tentang riwayat konsumsi
kortikosteroid
jangka
panjang
terhadap
gangguan
pertumbuhan
dan
dan
pemeriksaan
dermatologis,
kemudian
penulis
tampak
menganalisa setiap temuan klinis yang didapat dari hasil pemeriksaan untuk
digunakan sebagai dasar menegakkan diagnosa lepra dan sindrom netherton.,
tidak dicantumkan uji hipotesis namun penulis menyebutkan dasar penegakkan
diagnosa penyakit yang diteliti pada halaman 188 paragraf 1 dan 2. Semua hasil
10
ditulis pada naskah dan dijabarkan dengan baik. Penulis menyertakan teori pada
setiap hasil temuan klinis pada penelitian yang dilakukan, sebelumnya serta
mencantumkan saran dan rekomendasi kepada instansi terkait yang berhubungan
dengan penelitian. Literatur yang digunakan sekitar 50% menggunakan literature
terbaru dari jurnal-jurnal yang telah dipublikasikan sebelumnya namun penulis
tidak mencantumkan ucapan terima kasih yang ditujukan kepada institusi atau
orang-orang yang berperan dalam penelitian tersebut.
11
DAFTAR PUSTAKA
1.
Olivera FL. Vasconcellos BO. Morais TS. Nascimento MB. Teles R. Nery
JAC. Miranda MJS. Abulafia LA. Nethertons syndrom and lepromatous
leprosy: a mere coincidence?. International journal of dermatology.
2013:52:186-190
2.
Han XY. Seo YH. Sizer KC. Schoberle T. May GS. Spencer JS. Li W.
Nair RG. 2008. A New Mycobacterium Species Causing Diffuse
Lepromatous Leprosy. Am J Clin Pathol. 2008;130:856-864
4.
5.
6.
7.
8.
9.
12