You are on page 1of 16

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Populasi dapat didefinisikan sebagai kelompok kolektif organismeorganisme dari spesies yang sama yang menduduki ruang atau waktu tertentu
dengan pola tertentu. Kumpulan dari beberapa populasi disebut dengan
komunitas. Proses identifikasi suatu komunitas dalam suatu habitat tertentu salah
satunya bisa dengan metode pitfalltraps. Metode pitfall traps merupakan metode
penangkapan hewan dengan sistem perangkap, khususnya untuk hewan yang
hidup di permukaan tanah.
Jumlah dan jenis spesies di suatu komunitas tergantung pada kondisi suatu
daerah, misalnya faktor biotik dan abiotik. Suatu spesies yang dapat beradaptasi
dengan lingkungannya dan berinteraksi dengan sesamanya akan dapat bertahan di
lingkungan tersebut. Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi komunitas
suatu spesies antara lain adalah; suhu, kelembaban dan pH.
Tujuan dari penanaman pitfall traps ini adalah untuk menjebak binatangbinatang permukaan tanah agar jatuh ke dalamnya sehingga bisa dilakukan
identifikasi atau untuk mengoleksi jenis binatang permukaan tanah yang berada
pada lingkungan perangkap. Metode pitfall traps tidak dapat digunakan untuk
mengukur besarnya populasi namun dari data yang diperoleh bisa didapatkan
cerminan komunitas binatang tanah dan indeks diversitasnya.
Metode pitfall traps dilakukan dengan menggunakan botol jam yang diisi
larutan alkohol 70% dan larutan gliserin dengan perbandingan 1:1 lalu
ditanamkan ditanah lokasi yang sudah ditentukan dengan mulut botol terbuka dan
sejajar dengan permukaan tanah. Penanaman botol dilakukan pada tempat terbuka
dan tempat yang tertutup. Mekanisme kerja dalam praktikum ini yakni lokasi
penanaman yang dipilih harus diingat dengan pasti posisinya dan dicatat kondisi
habitatnya. Pada setiap lokasi tersebut, pertama-tama harus diukur pH dan
kelembabannya dengan pH tester dengan cara ditancapkan ke tanah pada lokasi
tersebut. Setelah itu botol jam yang sudah diisi dengan larutan alkohol 70% dan
larutan gliserin dengan perbandingan 1:1 ditanamkan ke dalam tanah, mulut botol
sejajar dengan tanah. Kemudian botol tersbut ditutupi dengan kardus yang

terbungkus

plastik

yang

diberdirikan

dengan

bantuan

lidi

sebagai

cagak/penopangnya. Untuk penangkapan hewan nokturnal, perangkap tersebut


dipasang saat senja hari dan baru diambil keesokan paginya dan untuk
penangkapan hewan diurnal, perangkap tersebut dipasang saat pagi harinya dan
diambil saat senja hari (sore).
B. Tujuan
1. Menganalisis populasi/komunitas binatang tanah dengan teknik sampling
pitfall traps
2. Membandingkan distribusi/penyebaran dan tingkah laku soil anthropod
nokturnal dan diurnal
3. Melihat pengaruh fisiko-kimia terhadap penyebaran soil anthropod
nocturnal dan diurnal
C. Deskripsi Tempat
Pada percobaan kali ini dilakukan dikebun Fakultas Teknobiologi
Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Di kebun terdapat berbagai jenis tumbuhan
(pohon mangga, rambutan, sawo, jambu biji dll), berbagai jenis rumputan, hewanhewan kecil (semut, kupu-kupu, dll). Lokasi yang akan digunakan untuk
menanam sumur perangkap yaitu pada kondisi teduh dan kondisi terbuka.
Sebelum ditanam, dilakukan pengukuran terhadap pH dan kelembaban tanah.
Penanaman sumur perangkap dilakukan pada pagi hari dan menjelang malam hari.

II.

DASAR TEORI

Hewan tanah adalah hewan yang hidup di tanah baik di dalam maupun
diatas tanah. Populasi hewan tanah biasanya berupa cacing, kelompok arcarina,
kumbang, bekicot dan beberapa jenis lainnya. Hewan tanah pada umumnya hidup
pada daerah yang lembab dengan kisaran pH sekitar 6-7 dan kelembaban tanah
sekitar 5-7. Hewan tanah dapat dikelompokan berdasarkan jenis, perilaku dan cara
makan hewan tersebut (Krebs, 1989).
Kelompok mikroorganisme tanah antara lain adalah mikrobia uniseluler
seperti alga tanah, bakteri, jamur, protozoa. Sedangkan mesobiotanya antara lain
adalah cacing, cacing oligochaea, enchytracida, larva serangga yang lebih kecil,
mikro antropoda seperti acarina dan collembola serta mikrobiota yang juga
meliputi serangga yang lebih besar seperti cacing tanah, jangkrik, kecoa, kumbang
tanah dan lainnya (Odum, 1994).
Menurut Hidayat (2006), arthropoda herbovora merupakan kelompok yang
memakan tanaman dan keberadaan populasinya menyebabkan kerusakan pada
tanaman disebut sebagai hama. Herbivore tidak perlu mngeluarkan energy banyak
mengejar makanan sehingga mereka bias sangat lamban bergerak. Beberapa dari
mereka tidak mengeluarkan energy sama sekali seperti kutu.
Arthropoda parasit, hamper setiap jenis arthropoda terlibat dalam
hubungan parasit, baik sebagai parasit sendiri atau sebagai host/ vector untuk
mikroorganisme (termasuk virus, bakteri, protozoa, dan cacing). Mereka
umumnya ektoparasit pada atau kulit host vertebrata. Banyak spesies yang
haematophagous (mengisap darah) sementara yang lain histophagous (jaringanfeeder) dan gigitan atau liang pada jaringan kulit menyebabakan reaksi trauma,
peradanngan dan hipersensitivitas. Arthropoda predator, duduk dan tunggu dalam
pemangsaan makan hewan lain sangat bergizi, mudah dicerna daripada tanaman,
dan memiliki lebih banyak energy sehingga mungkin tidak perlu makan sering.
Karena beberapa makhluk bias menunggu untuk waktu yang lama untuk
mendapatkan makanan mereka. Contohnya adalah laba- laba (Levi, 2001).
Menurut Pauser (2013), arthropoda shredder atau pencabik kebanyakan
arthropoda tanah terutama mereka yang berada dipermukaan tanah. Mereka
mengunyah bahan organic dalam pencarian konstan mereka untuk makanan,

menciptakan potongan potongan kecil. Akibatnya, aktivitas jamur dan bakteri


meningkat karena shredding mengekspos permukaan pada sampah organic yang
memberikan bakteri dan jamur sebuah jalan mudah serangan. Kebanyakan adalah
serangga seperti kecoa. Menurut Wahyoedy (2012), arthropoda scavenger adalah
arthropoda yang memakan organism mati atau membusuk pada tanaman atau
hewan.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pH tanah antara lain produk
sampingan belerang pada gas industri sehingga terbentuk asam sulfat, maka
tanaman akan mati kalau belerang teroksidai dan berubah menjadi asam sulfida
dan pH tanah menjadi sangat rendah, dan di dalam air hujan juga terdapat sedikit
asam sitrat tetapi tidak berpengaruh yang tidak berarti, jadi perubahan pH tanah
pada keadaan seperti itu tergantung pada perubahan-perubahan dalam kejenuhan
basa. Kenaikkan dalam kejenuhan basa menghasilkan kenaikan pH, dan
penurunan basa mengurangi pH (Foth dan Soenartono, 1994).
Suhu tanah merupakan salah satu faktor fisik yang sangat menentukan
kehadiran dan kepadatan organisme tanah, dengan demikian suhu tanah akan
menentukan tingkat dekomposisi maerial organik tanah. Fluktuasi suhu tanah
lebih rendah dari suhu udara, dan suhu tanah sangat tergantung dari suhu udara.
Suhu tanah lapisan atas mengalami fluktuasi dalan satu hari satu malam dan
tergantung musim. Fluktuasi itu juga tergantung pada keadaan cuaca topografi
daerah dan keadaan tanah (Suin, 2006).
Aktivitas Arthropoda tanah dipengaruhi oleh respon terhadap cahaya,
sehingga timbul jenis serangga yang aktif pada pagi, siang, sore, dan malam hari.
Cahaya matahari dapat mempengaruhi aktivitas dan distribusi lokalnya (Karnela
dkk, 2012).
Metode sampling yang cocok digunakan untuk komunitas hewan tanah
adalah pitfall traps. Pitfall traps adalah perangkap berbentuk sumuran dari botol
jam yang berisi larutan alkohol 70% dan gliserin. Fungsi larutan gliserin yaitu
untuk menarik hewan agar masuk dalam perangkap. Keuntungan dari metode ini
adalah alatnya murah, mudah penggunaannya, cepat operasinya, data yang
diperoleh merupakan cerminan komunitas binatang tanah. Faktor- faktor yang

mempengaruhi organisme yang tertangkap pada perangkap adalah densitas


populasinya, jangkauan jelajahnya, batas area sumur perangkap dan keadaan
diluar batas sumur perangkap (Yuda dan Jati, 2001).
Prinsip jebak pada dasarnya ada 2 macam, yaitu adalah perangkap jebak
tanpa umpan penarik dan perangkap jebak dengan menggunakan umpan. Pada
perangkap jebak tanpa umpan hewan tanah yang berkeliaran dipermukaan tanah
akan jatuh terjebak, sedangkan perangkap dengan menggunakan umpan hewan
yang terperangkap adalah hewan yang tertarik oleh bau umpan yang diletakan ke
dalam perangkap. Hewan yang jatuh ke dalam perangkap akan terawetkan dalam
formalin atau zat kimia lainnya yang diletakan ke dalam perangkap tersebut.
Hewan tanah yang terperangkap dalam perangkap sumuran dapat berperilaku
diurnal maupun nokturnal. Diurnal adalah hewan yang aktif pada siang hari,
sedangkan nokturnal merupakan hewan yang aktif pada malam hari. Contoh
hewan diurnal adalah laba-laba dan semut, sedangkan contoh hewan nokturnal
adalah kumbang. Masing - masing hewan tersebut tinggal dalam tanah karena
mereka merupakan kekayaan spesies daerah tanah. Perilaku kedua hewan tersebut
sangat berbeda tergantung pada cara mencari makan dan proses beradaptasi
dengan lingkungannya (Michael, 1994).
Menurut Nurdin (1989), struktur komunitas hewan tanah antara dua lokasi
dapat dibandingkan dengan membandingkan indeks diversitas masing-masing
komunitas. Dikembangkan rumus perhitungan diversitas jenis oleh Shannon
Wiener, dengan rumus :
H = - Pi log 2 . Pi
dimana Pi adalah kepadatan relatif jenis ( i = 1, 2, 3, ... n ).
Selanjutnya dihitung maksimum indeks yang dapat dicapai yang dihitung
dengan menggunkan rumus :
H max = log 2 ( s )
Menurut Krebs (1989), nilai penting dapat diukur dengan menggunakan
indeks Shannon-Wineer. Dua komponen keragaman tergantung didalam indeks
Shannon-Wineer

adalah

jumlah

spesies

yang

besar

akan

menambah

keanekaragaman spcies yang diukur dengan mengunakan indeks

Shannon-

Wineer. Besarnya indeks Shannon-Wineer adalah :


H = - ( (ni )/N) log ((ni )/N) atau - Pi log Pi
dimana:
ni = nilai kepentingan untuk tiap spesies
N = nilai kepentingan total
Pi = peluang kepentingan untuk tiap spesies = ni / N
Indeks keragaman digunakan untuk mengetahui pengaruh kualitas
lingkungan terhadap komunitas makrofauna tanah. Keanekaragaman spesies
menunjukkan jumlah total proporsi suatu spesies relatif terhadap jumlah total
individu yang ada (Leksono, 2007). Menurut Maguran (1988), kriteria yang
digunakan untuk meninterpretasikan keanekaragaman Shannon-Wiener adalah :
1. H < 1.5
2. H 1.5 3.5
3. H > 3.5

: keanekaragaman rendah
: keanekaragaman sedang
: keanekaragaman tinggi

Menurut Suin (2006), binatang tanah adalah binatang yang hidup di tanah
baik di permukaan tanah atau di dalam tanah. Tanah merupakan suatu bentangan
alam yang tersusun dari bahan mineral hasil pelapukan batu-batuan, bahan-bahan
organic yang terdiri dari organisme tanah dan hasil pelapukan sisa tumbuhan dan
binatang. Jadi binatang tanah merupakan bagian dari ekosistem tanah. Binatang
tanah dapat dikelompokkan atas dasar ukuran tubuh, kehadirannya di tanah,
habitat yang dipilihnya, dan kegiatan makannya.
1.

Berdasarkan ukuran tubuhnya, hewan dikelompokkan menjadi mikrofauna,


mesofauna, dan makrofauna. Ukuran mikrofauna sekitar 20-200 m,

2.

mesofauna sekitar 200 m-1 cm, dan makrofauna berukuran lebih dari 1 cm.
Berdasarkan kehadirannya, hewan tanah dibagi menjadi kelompok transien,

3.

temporer, periodik, dan permanen.


Berdasarkan habitatnya, hewan tanah digolongkan menjadi epigeon,
hemiedafon, dan edafon. Epigeon hidup pada lapisan tumbuh-tubuhan dari
permukaan tanah, hemiedafon hidup pada lapisan organik tanah, dan edafon

4.

hidup pada tanah lapisan mineral.


Berdasarkan kegiatan makannya, hewan tanah dapat bersifat herbivora,
saprofora, fungivora, dan predator.

III.
A. Alat dan Bahan
1. Alat
a. Botol jam
b. Sekop
c. Soil tester

METODE

d. Penutup mulut sumur


2. Bahan
a. Gliserin
b. Alkohol 70%
c. Tanah
B. Cara Kerja
Pitfall trap dirangkai pada daerah kanopi dan non- kanopi. Kemudian
parameter fisiko dan kimia (pH dan kelembaban) diukur menggunakan soil tester
pada daerah sekitar pitfall trap. Data dikoleksi untuk diurnal (fajar- sore) dan
untuk nocturnal (sore- fajar). Hasil pitfall trap diamati dan diidentifikasi
menggunakan buku Soil Biology Guide. Selanjutnya, densitas dari pitfall trap
dihitung dari Row Data yang sudah diisi. Terakhir, densitas relative, frekuensi,
frekuensi relatifndan nilai penting dihitung.

IV.
A. Hasil

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1. Histogram cacah spesies binatang nokturnal

Gambar 2. Histogram cacah spesies binatang tanah diurnal

Gambar 3. Histogram Parameter Fisiko-kimiawi Tanah


B. Pembahasan
Percobaan praktikum ini teknik pitfall traps yang dilakukan di kebun
Fakultas Teknobiologi UAJY yang letaknya tidak jauh dari kampus, di kebun
Teknobiologi ini terdapat berbagai jenis tanaman, antara lain berupa pohon,
semak, rumput-rumputan dan beberapa jenis hewan seperti kupu-kupu, nyamuk
dan sebagainya. Letak pohon-pohonnya tidak tersebar secara merata, tetapi
terpisah di beberapa lokasi. Jenis pohon yang ada disana antara lain adalah talok,
beringin.dll, kondisi tanahnya ada sebagian subur dan ada sebagian yang kering,
tanahnya ditumbuhi banyak rerumputan dan semak-semak. Penanaman perangkap
metode pitfall traps ini menggunakan botol jam yang ditanamkan di dalam tanah
yang digali sampai mulut botol sejajar dengan permukaan tanah.
Penanaman botol dilakukan di 2 lokasi yakni, di tempat yang terbuka
dimana lokasi tersebut tidak di bawah naungan pohon jadi bisa dijangkau sinar
matahari secara langsung dan di tempat yang tertutup dimana lokasi
penanamannya di bawah naungan pohon. Selain perlakuan tempat, penanaman
perangkap juga dilakukan dengan waktu yang berbeda. Penanaman pada sore hari
bertujuan untuk menangkap hewan tanah yang aktif pada malam hari (nokturnal)
dan di ambil pada keesokan paginya, lalu penanaman pada pagi hari bertujuan

untuk menangkap hewan yang aktif pada siang hari (diurnal) dan diambil sore
harinya.
Tujuan dari metode pitfall traps adalah untuk menjebak komunitas tanah
agar masuk ke dalam perangkap botol jam. Botol jam yang ditanamkan sebagai
perangkap diisi dengan larutan alkohol 70% dan larutan gliserin dangan
perbandingan 1:1. Larutan alkohol berfungsi sebagai pengawet hewan yang
terjebak dan larutan gliserin berfungsi untuk mengeluarkan aroma yang menarik
binatang untuk datang mendekat. Namun sebelum botol jam ditanamkan, tanah di
lokasi penanaman digali dengan cetok sedalam botol jam dulu lalu pH dan
kelembaban tanahnya diukur dengan pH tester.
Penggunaan pH tester ini dengan menancapkan pH tester ke tanah yang
telah digali sampai batas (kuning) lalu angka barisan atas yang ditunjuk
merupakan besarnya pH, kemudian tombol bawahnya ditekan dan angka di
barisan bawah dibaca sebagai besarnya kelembaban tanah. Bagian atas botol jam
ditutupi dengan kardus dipotong berbentuk yang dibungkus dengan plastik yang
diberdirikan dengan bantuan pasak (lidi) agar terlindung dari air hujan.
Kelebihan metode ini selain mudah didapat dan dioperasikan juga secara
langsung mencerminkan populasi binatang tanah. Jumlah organisme yamg
terperangkap tergantung pada densitas populasinya, jangkauan jelajahnya, batas
area sumur dan keadaan di luar batas sumur perangkap.
Kemelimpahan suatu jenis adalah ketersediaan atau adanya suatu spesies
pada suatu tempat pada suatu waktu tertentu. Berdasarkan data yang diperoleh
indeks nilai penting pada grafik binatang tanah diurnal yang tertinggi adalah
Monomorium pharaonois. Jenis ini merupakan jenis semut merah yang ukurannya
cukup kecil untuk kelompok semut. Nilai DR dan FR tertinggi juga pada semut.
Monomorium pharaonois. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan pada
komunitas binatang tanah diurnal yang paling banyak dan mendominasi adalah
semut Monomorium pharaonois. Semut lebih aktif keluar pada siang hari karena
serangga merupakan hewan diurnal serta dominasinya dikarenakan sifat semut
yang merupakan predator dan pemakan sisa-sisa tumbuhan. Wilayah yang
berumput merupakan tempat yang strategis bagi semut untuk membuat sarang

untuk koloninya. Dari hasil pengukuran faktor abiotik (pH dan kelembaban tanah)
masih temasuk dalam range syarat hidup binatang tanah.
Sedangkan berdasarkan data yang diperoleh indeks nilai penting pada
grafik binatang tanah nocturnal yang tertinggi adalah Hymenoptera sp. Jenis ini
merupakan jenis lebah yang ukurannya kecil untuk kelompok lebah. Nilai DR
tertinggi juga pada lebah ini dan FR tertinggi pada Hymenoptera sp, Semicerura
sp, Oechophylla smagdina, Lassius sp, dan Gryllus sp. Secara faktor abiotik (pH
dan kelembaban tanah), dari hasil pengukuran juga masih temasuk dalam range
syarat hidup binatang tanah.
Berdasarkan bersarnya nilai penting, diperoleh beberapa spesies yang
memiliki nilai penting terendah, pada botol diurnal yaitu Grylidae sp,
Aphaenogaster sp, Myrmaraceae sp. Sedangkan pada botol nocturnal yaitu,
Araneus didemalus, Paederus littoralis, Leptinotarsa decemlin, Cryptocercus sp.
Rendahnya nilai penting berkaitan dengan kehadiran dan kemelimpahan jenis ini
pada suatu lokasi dan pada waktu tertentu. Hal ini dapat disebabkan
ketidakcocokan faktor abiotik maupun biotik pada lokasi tersebut bagi jenis-jenis
diatas. Kehadiran jenis diatas pada tabel data juga sangat sedikit yaitu 1.
Tempat kanopi adalah tempat ternaungi sedangkan tanpa kanopi adalah
tempat tanpa naungan atau terbuka. Kelembaban pada tempat dengan kanopi lebih
tinggi daripada tempat terbuka kaitannya dengan proses penguapan dan
penampungan air. Naungan (kanopi) dapat berupa buatan ataupun alami seperti
pepohonan (dibawah pohon).
Pada percobaan nilai penting ini didapatkan hasil tertinggi pada perlakuan
nocturnal adalah herbivora. Hal ini menandakan bahwa arthropoda herbivora
bersifat random atau juga dapat dikatakan herbivora lebih sering ditemui dan
tersebar dimana- mana, tetapi memiliki jumlah yang relatif kecil jika sekali
ditemukan. Sedangkan percobaan nilai penting didapatkan hasil tertinggi pada
perlakuan diurnal adalah shredder, daam hal ini shredder juga bersifat random
atau sering ditemui.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pH tanah antara lain produk
sampingan belerang pada gas industri sehingga terbentuk asam sulfat, maka

tanaman akan mati kalau belerang teroksidai dan berubah menjadi asam sulfida
dan pH tanah menjadi sangat rendah, dan di dalam air hujan juga terdapat sedikit
asam sitrat tetapi tidak berpengaruh yang tidak berarti, jadi perubahan pH tanah
pada keadaan seperti itu tergantung pada perubahan-perubahan dalam kejenuhan
basa. Kenaikkan dalam kejenuhan basa menghasilkan kenaikan pH, dan
penurunan basa mengurangi pH (Foth dan Soenartono, 1994).
Suhu tanah merupakan salah satu faktor fisik yang sangat menentukan
kehadiran dan kepadatan organisme tanah, dengan demikian suhu tanah akan
menentukan tingkat dekomposisi maerial organik tanah. Fluktuasi suhu tanah
lebih rendah dari suhu udara, dan suhu tanah sangat tergantung dari suhu udara.
Suhu tanah lapisan atas mengalami fluktuasi dalan satu hari satu malam dan
tergantung musim. Fluktuasi itu juga tergantung pada keadaan cuaca topografi
daerah dan keadaan tanah (Suin, 2006).
Berdasarkan tabel data parameter lingkungan yang diperoleh pH di kedua
macam lokasi dan di dua macam waktu penanaman. Pada penanaman pagi (untuk
mendapatkan hewan tanah diurnal) diperoleh nilai pH 7,2 pada awal penanaman
dan 6,8 pada akhir pengambilan botol. Sedangkan pada penanaman sore (untuk
mendapatkan hewan tanah nocturnal) diperoleh nilai pH 7 ; 7 dan 5,4pada awal
penanaman dan 6,8 ; 5,4 dan 5,2 pada akhir pengambilan botol.
Pada lokasi penanaman pagi (untuk mendapatkan hewan tanah diurnal)
diperoleh nilai kelembaban 0,4 pada awal penanaman dan 2 pada akhir
pengambilan botol. Sedangkan pada lokasi penanaman sore (untuk mendapatkan
hewan tanah nocturnal) diperoleh nilai kelembaban 8% ; 9% ; dan 10% pada awal
penanaman dan 10% ; 10% ; dan 8% pada akhir pengambilan botol.
Dari data diatas dapat dikatakan nilai pH tanah masih berkisar antara 5.8
7 dengan rata-rata sekitar 7 pada lokasi penanaman diurnal dan 6,13 untuk lokasi
penanaman nokturnal. Nilai pengukuran suhu tanah sudah sesuai dengan teori
menurut Nurdin (1989) kisaran pH tanah sekitar 6-7. Range nilai kelembaban
yang diperoleh antara 0% 50%. Nilai kelembaban tinggi saat penanaman botol
diurnal pagi hari dan pengambilan botol nocturnal pagi hari. Serta kelembaban
lokasi dibawah naungan biasanya lebih tinggi dari lokasi tanpa naungan. Hal ini

dikarenakan pada pagi hari tanahnya banyak mengandung air karena adanya
pohon-pohon yang banyak menampung air juga sedikit penguapan air karena
terhalangi oleh pohon yang menyebabkan tanah di lokasi tetap lembab.
Dalam studi ekologi hewan tanah, pengukuran faktor lingkungan abiotik
penting dilakukan karena besarnya pengaruh faktor abiotik itu terhadap
keberadaan dan kepadatan populasi kelompok hewan ini. Dengan dilakukannya
pengukuran faktor lingkungan abiotik, maka akan dapat diketahui faktor yang
besar pengaruhnya terhadap keberadaan dan kepadatan populasi hewan yang
diteliti. Selain itu, pengukuran faktor lingkungan abiotik pada tempat diman jenis
hewan tanah tinggi kepadatannya akan sangat menolong dalam perencanaan
pembudidayaannya (Nurdin, 1989). Binantang tanah penting untuk ditelili karena
mikro dan makrofauna berperan penting dalam proses-proses ekologis yang
terjadi di dalam tanah seperti dekomposisi, siklus unsur hara dan agregasi tanah.

V.

SIMPULAN

Dari percobaan analisis binatang tanah yang telah dilakukan, dapat


disimpulkan bahwa, binatang tanah berperan penting dalam proses-proses
ekologis yang terjadi di dalam tanah seperti dekomposisi, siklus unsur hara dan
agregasi tanah. Nilai kelembaban diurnal lebih besar dari nokturnal. Binatang
tanah diurnal yang mendominasi adalah semut merah Monomorium pharaonois
sedangkan untuk nocturnal adalah jenis lebah Hymenoptera sp. Faktor abiotik
sangat menentukan keberadaan dan keragaman jenis binatang tanah yang ada.

DAFTAR PUSTAKA
Foth, D. H dan Soenartono, A. 1994. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Penerbit Erlangga,
Jakarta.
Hidayat, A. 2002. Buku PEtunjuk Teknologi Sapi Perah di Indonesia : Kesehatan
Pemerah. PT. Sonysugema Presindo, Bandung.
Karnela, D.L., Herwina, H., dan Lusi, A. 2012. Komposisi Hymenoptera Tanah
Pada Pertanaman Mentimun (Cucurmis sativus L.). Jurnal Mahasiswa 2
(1) : 4- 5.
Krebs, C. J. 1989. Ecologycal Metdodelogy. Harper and Row Publication, New
York.
Leksono, A. S. 2007. Ekologi Pendekatan Deskriptif dan Kuantitatif. Bayumedia,
Malang.
Levi, H., dan L, Levi. 2001. A Golden Guide to spiders and Their kin. St. Martins
Press, USA.
Michael, P. 1994. Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Ladang dan Laboratorium.
UI Press, Jakarta.
Nurdin, M.S. 1989. Ekologi Hewan Tanah. Bumi Aksara, Jakarta.
Suin, N.M. 2006. Ekologi Hewan Tanah. Bumi Aksara., Jakarta.
Wahyoedy, R. 2012. Struktur Komunitas Atrhropoda pada Area Pertania dan Area
Hutan Lindung di Cagar Kecamatan Bumiaji Kota Batu. Jurnal Biologi
Fakultas MIPA UM 3 (1) : 3- 6.
Yuda, P. Dan Jati, W.N. 2001. Petunjuk Praktikum Ekologi Umum. Fakultas
Teknobiologi UAJY, Yogyakarta.

You might also like