You are on page 1of 15

KASUS 4

PT. LAPINDO BRANTAS, INC (LBI)


I. GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN
Lapindo Brantas, Inc (LBI) bergerak di bidang usaha eksplorasi dan produksi migas
di Indonesia yang beroperasi melalui skema Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di
Blok Brantas, Jawa Timur. LBI melakukan eksplorasi secara komersil di 2 Wilayah Kerja
(WK) di darat dan 3 WK lepas pantai dan saat ini total luas WK Blok Brantas secara
keseluruhan adalah 3.042 kilometer persegi. Sementara komposisi jumlah Penyertaan
Saham (Participating Interest) perusahaan terdiri dari Lapindo Brantas, Inc (Bakrie
Group) sebagai operator sebesar 50%, PT. Prakarsa Brantas sebesar 32% dan Minarak
Labuan Co.Ltd (MLC) sebesar 18%. Dari kepemilikan sebelumnya, walaupun perizinan
usaha LBI terdaftar berdasarkan hukum negara bagian Delaware di Amerika Serikat,
namun saat ini 100% sahamnya dimiliki oleh pengusaha nasional.
II. FENOMENA KASUS OLEH LBI
Maret 2004 : PT. Energi Mega Persada, salah satu perusahaan dalam Grup Bakrie,
membeli Lapindo, dan selanjutnya memasang alat pengeboran di Banjar Panji-1 (BJP-1),
Porong, Sidoarjo.
Desember 2005 : Selesai dikerjakannya pemasangan alat penegboran.
8 Maret 2006 : Kegiatan eksplorasi pertama di BJP-1
29 Mei 2006 : Peristiwa yang mengagetkan masyarakat , yaitu semburan lumpur panas
muncul di lokasi pengeboran milik Lapindo tersebut. Semburan lumpur panas sebanyak
sekitar 5000 meter kubik per hari menyebabkan 6.660 orang dievakuasi ke Pasar Baru
Porong yang segera berubah menjadi tempat penampungan darurat. Akibat dari peristiwa
ini, 15 perusahaan besar dan usaha kecil yang terletak di sekitar lokasi pengeboran
lenyap. Jalan tol Surabaya-Gempol pun harus ditutup, dan air tanah di desa-desa sekitar
juga dinyatakan tidak layak diminum.
27 Mei 2006 : Lapindo bersikeras bahwa luapan lumpur panas dipicu oleh gempa bumi.
Pertengahan Juni 2006 : MedcoEnergi Oil & Gas, rekanan Lapindo dalam proyek
pengeboran ini, menuduh Lapindo melakukan kesalahan dalam pengeboran karena tidak
menggunakan casing pelindung yang dibutuhkan dalam eksplorasi. Wakil Presiden RI
saat itu, Jusuf Kalla juga menyatakan bahwa Lapindo harus memberikan kompensasi
pada korban lumpur.
Juli 2006 : Lumpur panas menyembur dengan volume sekitar 25.000 meter kubik per
hari dan meliputi 179 hektar lahan, menyebabkan sekitar 7.918 orang diharuskan

mengungsi dari kediamannya. Setelah mendapat reaksi keras dari masyarakat, Lapindo
mulai membangun tanggul dan kolam untuk menampung semburan lumpur.
11 Agustus 2006 : Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengunjungi lokasi
bencana lumpur dan berjanji untuk memberikan bantuan sebesar Rp. 1 Miliar. Tanggul
diperluas hingga ke Desa Siring dan Kedung Bendo. Jalan Tol Surabaya- Gempol dan
kereta api terputus oleh lumpur. Sayangnya, tanggul disekitar Jatirejo dan Kedung Bendo
Ronokenongo retak yang menyebabkan lumpur mengalir ke desa-desa lain. Melihat
kejadian ini, PT. Lapindo Brantas, Inc. segera memulai instalasi jaringan pipa yang
dirancang untuk membawa lumpur sejauh 20 kilometer ke Laut Jawa. Nelayan di Desa
Kalirejo kemudian berdemonstrasi massal, menolak keras usulan untuk membuang
lumpur ke Selat Madura karena takut lumpur tersebut akan mencemari daerah
penangkapan ikan mereka. Para korban lumpur ikut berunjuk rasa dengan memblokir
jalan Porong dan rel kereta api, mendirikan tenda di jalan tol, serta protes di kantor
pemerintah Kabupaten Sidoarjo. Mereka meminta kompensasi atas kerugian akibat
semburan lumpur.
Akhir Agustus 2006 : semburan lumpur telah mencapai volume 50.000 meter kubik per
hari, mencakup sekitar 350 hektar lahan, dan 10.860 orang telah mengungsi.
9 September 2006 : Sebagai respon atas meningkatnya protes, Presiden SBY
membentuk Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo berdasarkan
Keppres No.13 Tahun 2006 sebagai sebuah langkah untuk mempercepat penyelesaian
bencana. Segera setelah pembentukannya, Tim Nasional menyatakan daerah yang
terkena lumpur sebagai daerah terdampak dan diberlakukan sebagai zona bencana.
27 September 2006 : Presiden SBY mengesahkan sebuah rencana untuk menyelamatkan
daerah sekitar kolam dengan mengalihkan lumpur ke Sungai Porong dan akhirnya ke
Laut Jawa. Volume semburan lumpur kini mencapai 125.000 meter kubik per hari dan
meliputi wilayah seluas sekitar 2 mil persegi, dengan kondisi 400 hektar tanah dan 8 desa
tertutup lumpur. Kios di Pasar Porong Baru dikosongkan setelah beberapa orang
menerima bantuan sewa rumah dari Lapindo selama 2 tahun (Rp. 2,5 juta per tahun),
namun hingga saat ini kompensasi tersebut belum diselesaikan secara tuntas oleh
Lapindo.
16 Oktober 2006 : operasi untuk mengalihkan lumpur ke kanal yang membentang dari
kolam yang lebih besar ke sungai Porong dimulai. Penyaluran lumpur melalui spillway
ke sungai dimulai.
November 2006 : lumpur panas mecapai Ronokenongo menyebabkan pipa gas milik
Pertamina meledak, 14 korban jiwa meninggal sebagai akibat dari pecahnya pipa gas.
Medco Brantas, saah satu pemegang saham Lapindo, menggugat Lapindo Brantas ke

Arbitrase Internasional karena kinerja Lapindo yang tidak benar mengakibatkan bencana
lumpur panas.
Akhir Tahun 2006 : Pemerintah mengeluarkan laporan yang menyatakan bahwa 1.810
rumah, 18 sekolah, dua kantor pemerintah, 20 pabrik, dan 15 masjid telah musnah ditelan
oleh lumpur panas. Wilayah tersebut mencakup 9 desa di 3 kecamatan: Porong (Jatirejo,
Siring, Renokenongo, dan Mindi), Tanggulangin (Kedungbendo, Ketapang, dan
Gempolsari), dan Jabon (Pejarakan dan Besuki).
Maret 2007 : pemerintah menerbitkan sebuah peta terdampak yang lebih baru mencakup
empat desa yang telah tenggelam (Jatirejo, Siring, Kedungbendo, Renokenongo), tiga
lainnya desa (Gempolsari, Kalitengah, Ketapang) dan Perum TAS I.
22 Maret 2007 : Presiden SBY mengeluarkan Peraturan Presiden No.14/2007 yang
memaksa Lapindo untuk membayar kompensasi kepada penduduk desa di zona bencana
kedua yang ditetapkan pemerintah. Peraturan tersebut menjelaskan lebih rinci tentang
tata cara dan waktu pembayaran kompensasi.
April 2007 : Tim Nasional Mitigasi Semburan Lumpur dibubarkan, dan sebagai
penggantinya Presiden SBY membentuk Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo
(BPLS).
Akhir Mei 2007 : PT. Lapindo Brantas mengklaim bahwa perusahaan telah
menghabiskan dana Rp. 1,4 triliun untuk membayar kompensasi 9.500 korban lumpur.
25 Juni 2007 : Presiden SBY memutuskan berkantor di Wisma Perwira, Juanda Airport,
Surabaya untuk mempercepat proses pembayaran kompensasi kepada para korban.
September 2007 : DPR menyetujui pembentukan Tim Pengawasan Penyelesaian
Semburan Lumpur Lapindo.
28 Mei 2008 : Kompensasi pembayaran pertama total untuk 11 warga di Desa Siring
telah selesai dilaksanakan, namun ribuan keluarga masih tidak dibayar secara penuh.
12 Februari 2008 : Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi)
mendaftarkan gugatan terhadap PT. Lapindo Brantas, Inc. dan 11 tergugat lainnya,
termasuk Pemerintah RI, atas kerusakan lingkungan akibat semburan lumpur panas di
Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Para tergugat terdiri atas PT. Lapindo Brantas, Inc., PT.
Energi Mega Persada, Kalila Energy Ltd., Pan Asia Enterprise, PT. Medco Energi Tbk.,
Santos Australia, Presiden RI, Menteri ESDM, Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu
Minyak dan Gas Bumi, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Gubernur Provinsi Jawa
Timur, dan Bupati Kabupaten Sidoarjo. Lapindo Brantas digugat dengan asas tanggung
jawab mutlak sebagaimana pasal 35 UU No.23/1997 tentang Lingkungan Hidup yang
mensyaratkan pertanggungjawaban yang dilakukan pihak perusak atau pencemaran
lingkungan tidak harus dibuktikan oleh penggugat. Pemimpin Walhi, Chalid Muhammad
menyatakan, gugatan perbuatan melawan hukum diajukan oleh Walhi dengan landasan

hukum pasal 38 UU No.23/1997 tentang Lingkungan Hidup. Dalam pasal tersebut


dinyatakan, organisasi lingkungan hidup memiliki hak untuk mengajukan gugatan demi
kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Juni 2008 : Pemerintah RI mengeluarkan Peraturan Presiden No.48/2008 yang
mencakup 3 desa tambahan (Kedungcangkring, Pejarakan, dan Besuki) di zona bencana
terbaru. Penambahan ini memberikan hak kepada warga yang properti di tiga desa
tenggelam di bawah lumpur untuk menerima kompensasi sebanyak desa-desa lainnya
sudah termasuk dalam peta sebelumnya. Namun, tidak seperti sebelumnya, kompensasi
yang dibayarkan oleh Lapindo ini akan dibayar melalui APBN.
Oktober 2008 : PT. Minarak Lapindo Jaya, sebuah perusahaan yang khusus didirikan
oleh Lapindo Brantas, Inc. untuk membayar kompensasi kepada para korban
mengirimkan surat permohonan kepada BPLS yang meminta pemerintah untuk
mengambil alih tanggung jawab perusahaan berkaita dengan pembayaran kompensasi
seluruh dengan alasan likuiditas. Perusahaan ini menyatakan bahwa problem yang
dihadapi dikarenakan krisis keuangan global.
November 2008 : PT. Minarak Lapindo Jaya menawarkan pilihan untuk membayar sisa
80% dari kompesasi dengan cara dicicil. Jumlah yang ditawarkan adalah Rp. 15 juta per
bulan. Beberapa kelompok korban menerima tawaran itu karena mereka percaya hal
tersebut lebih baik ditempuh daripada tidak ada penggantian sama sekali, sedangkan
kelompok lainnya menolak dengan alasan pembayaran kompensasi secara angsuran akan
membuat mereka lebih sulit untuk mendapatkan rumah baru.
Mei 2009 : Jaksa Agung menyatakan kasus semburan lumpur Lapindo tidak dapat
dibawa ke pengadilan jika masih ada ketidaksepakatan diantara para ahli.
23 September 2009 : Puncak peristiwa terjadi ketika pemerintah RI mengeluarkan
Peraturan Presiden No. 40/2009 yang membebaskan kewajiban PT. Lapindo Brantas
dalam operasi penanggulangan lumpur termasuk menghapus kewajiban untuk
menanggung biaya penyaluran lumpur ke sungai Porong dan biaya sosial lain. Semua
ongkos selanjutnya dibayar melalui APBN.
III.

PERTANYAAN DAN ANALISA KASUS


1. Siapa sajakah yang menjadi pemangku kepentingan dalam kasus ini?
Pemangku kepentingan adalah terjemahan dari kata stakeholder dapat diartikan
sebagai segenap pihak baik perorangan dan kelompok yang secara aktif terkait dalam
kegiatan, atau yang terkena dampak baik positif maupun negatif, dari hasil
pelaksanaan.
Secara garis besar, pemangku kepentingan dapat dibedakan atas tiga kelompok
(Crosby 1992), yaitu:

1) Pemangku kepentingan utama, yakni yang menerima dampak positif atau negatif
(di luar kerelaan) dari suatu kegiatan. Pemangku kepentingan utama dari kasus
Lapindo Brantas dari sisi negatif adalah :
Masyarakat yang berada di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur karena
mereka adalah korban yang telah mengalami kerugian besar seperti
kehilangan rumah, lapangan pekerjaan, area perkebunan, serta beberapa

perusahaan yang terpaksa menutup bisnisnya.


PT. Pertamina mengalami kerugian karena meledaknya pipa gas akibat
lumpur panas yang telah mencapai Renokenongo dan menelan korban
sebanyak 14 orang meninggal.

2) Pemangku kepentingan penunjang, adalah yang menjadi perantara dalam


membantu proses penyampaian kegiatan. Mereka dapat digolongkan atas pihak
penyandang dana, pelaksana, pengawas, dan organisasi advokasi seperti organisasi
pemerintahan, LSM, dan pihak swasta. Dalam beberapa kegiatan, pemangku
kepentingan penunjang dapat merupakan perorangan atau kelompok kunci yang
memiliki kepentingan baik formal maupun informal. Pemangku kepentingan
penunjang dari kasus Lapindo Brantas adalah :
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono karena beliau ikut berperan dalam
membentuk Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur pada
tanggal 9 September 2006 dan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo

(BPLS) bulan April 2007 untuk mempercepat penanganan kasus tersebut.


Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla menyatakan bahwa Lapindo haru

smemberikan kompensasi kepada korban lumpur.


DPR yang menyetujui pembentukan Tim Pengawasan Penyelesaian

Semburan Lumpur Lapindo.


Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) yang mendaftarkan
gugatan terhadap
PT. Lapindo Brantas Inc
Pemerintah RI
PT. Energi Mega Persada
Kalila Energy Ltd
Pan Asia Enterprise
PT. Medco Energi Tbk
Santos Australia
Presiden RI
Menteri ESDM
Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi
Menteri Negara Lingkungan Hidup

Gubernur Provinsi Jawa Timur, dan


Bupati Kabupaten Sidoarjo.
3) Pemangku kepentingan kunci, yakni yang berpengaruh kuat atau penting terkait
dengan masalah, kebutuhan, dan perhatian terhadap kelancaran kegiatan.
Pemangku kepentingan kunci dari kasus Lapindo Brantas adalah :
PT. Lapindo Brantas sebagai perusahaan yang memiliki proyek

pengeboran yang menyebabkan munculnya semburan lumpur panas.


PT. Energi Mega Persada adalah perusahaan yang membeli Lapindo dan

kemudian memasang alat pengeboran untuk kegiatan eksplorasi pertama.


PT. Minarak Lapindo Jaya adalah perusahaan yang didirikan khusus oleh
Lapindo Brantas untuk membayar kompensasi kepada para korban.

2. Menurut Anda, prinsip etika apa saja yang mungkin dilanggar oleh PT.
Lapindo Brantas?
Dalam kasus ini, Lapindo Brantas Inc. telah melanggar berbagai prinsip etika dalam
dunia bisnis di Indonesia, karena bencana ini semata-mata mutlak dilakukan oleh
perusahaan itu sendiri. Adapun beberapa prinsip etika yang dilanggar adalah:
Prinsip mengenai hak dan deontologi. Prinsip ini menekankan bahwa tiap
manusia berhak atas lingkungan berkualitas, akan tetapi dengan adanya
peristiwa lumpur panas tersebut, warga justru mengalami penurunan kualitas
lingkungan hidup.
Prinsip utilitarisme. Prinsip ini menegaskan bahwa lingkungan hidup tidak
lagi boleh diperlakukan sebagai suatu eksternalitas ekonomis. Jika dampak
atas lingkungan tidak diperhitungkan dalam biaya manfaat, pendekatan ini
menjadi tidak etis apalagi jika kerusakan lingkungan dibebankan pada orang
lain. Akan tetapi, dalam kasus ini PT. Lapindo justru mengeruk sumber daya
alam di Sidoarjo untuk kepentingan ekonomis semata, dan cenderung kurang
melakukan pemeliharaan terhadap alam, yang dibuktikan dengan penghematan
biaya operasional pada pemasangan chasing, sehingga menimbulkan bencana
yang besar. Selanjutnya, kerusakan akibat kesalahan tersebut menimpa pada
warga Porong yang tidak berdosa.
Prinsip etika bisnis. Prinsip ini mengenai keadilan distributif juga dilanggar
oleh PT. Lapindo, karena perusahaan tidak bertindak adil dalam hal
persamaan, prinsip penghematan adil, dan keadilan sosial. PT. Lapindo pun
dinilai tidak memiliki kepedulian terhadap sesama manusia atau lingkungan,
karena menganggap peristiwa tersebut merupakan bencana alam yang

kemudian dijadikan alasan perusahaan untuk lepas tanggung jawab. Dengan


segala tindakan yang dilakukan oleh PT. Lapindo secara otomatis juga berarti
telah melanggar etika kebajikan.

Prinsip Saling Menguntungkan.

Prinsip ini menuntut agar semua pihak

berusaha untuk saling menguntungkan satu sama lain. Dalam dunia bisnis,
prinsip ini menuntut persaingan bisnis haruslah bisa melahirkan suatu winwin situation. Namun, dengan adanya bencana lumpur panas tersebut, banyak
pihak yang dirugikan, hingga sekarang penanganan korban lumpur lapindo
pun belum dapat diselesaikan hingga tuntas.
Prinsip Integritas Moral. Prinsip ini menyarankan dalam berbisnis
selayaknya dijalankan dengan tetap menjaga nama baiknya dan nama baik
perusahaan. Namun, jika kita melihat situasi saat ini, Lapindo Brantas tidak
lagi mampu untuk menuntaskan hutangnya kepada korban Lapindo sebagai
ganti rugi atas bencana tersebut. Korban Lapindo kini hanyalah wacana belaka
tanpa adanya tanggapan serius dari Lapindo Brantas. Tanggung jawab yang
kurang ini akan menyebabkan nama baik dari Lapindo Brantas akan selalu
mendapat predikat buruk di mata masyarakat Indonesia.
3. Mengapa hingga saat ini korban terdampak semburan lumpur belum tuntas
ditangani pemerintah Indonesia?
Menurut kelompok kami penangan korban semburan lumpur belum tuntas
dikarenakan PT. Lapindo Brantas Inc. tidak mampu lagi untuk membayar kerugian
yang dialami oleh masyarakat secara materil. Meskipun perusahaan ini telah
mendirikan PT. Minarak Lapindo Jaya untuk membayar kompensasi kepada para
korban namun tetap saja tidak dapat mengganti kerugian yang sangat besar dengan
alasan adanya krisis keuangan global.
Eksploitasi besar-besaran yang dilakukan PT. Lapindo membuktikan bahwa
PT. Lapindo rela menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan. Dan
keengganan PT. Lapindo untuk bertanggung jawab membuktikan bahwa PT. Lapindo
lebih memilih untuk melindungi aset-aset mereka daripada melakukan penyelamat
dan perbaikan atas kerusakan lingkungan dan sosial yang mereka timbulkan. Oleh
karena itu, melalui BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo) meminta

pemerintah untuk mengambil alih tanggung jawab perusahaan berkaitan dengan


pembayaran kompensasi dengan alasan likuiditas.
Selain itu, pemerintah RI mengeluarkan Peraturan Presiden yang membebaskan
kewajiban PT. Lapindo Brantas dalam operasi penanggulangan lumpur, termasuk
menghapus kewajiban PT. Lapindo untuk menanggung biaya penyaluran lumpur ke
sungai Porong dan biaya sosial lain. Dan selanjutnya dibiayai oleh APBN.

4. Jika Anda menjadi salah satu korban semburan lumpur panas di Sidoarjo, tindakan
strategis apa saja yang akan Anda lakukan berkaitan dengan kasus ini?
kami akan menuntut hak hak kami yang hilang akibat bencana lumpur lapindo ,

diantaranya :
memberikan penanganan layak dengan memasukkan korban Lapindo yang selama ini
berada di luar peta terdampak dalam perolehan ganti rugi yang sama seperti dalam

peta terdampak.
Memberikan jaminan sosial atau kompensasi penggantian kerugian material.
Memberikan jaminan kesehatan yang layak.
Memeberikan jaminan keamanan dan keselamatan korban.
Terus mengupayakan secara maksimal menutup/mematikan semburan lumpur.

5. Menurut Anda, apa saja tindakan yang perlu dilakukan pemerintah Indonesia untuk
mencegah peristiwa yang sama terulang di masa mendatang?
Menurut para pakar pertambangan dari beberapa perguruan tinggi ternama di Indonesia
seperti mantan Direktorat Eksplorasi dan Produksi BPPKA-Pertamina Ir Kersam
Sumanta semburan lumpur Lapindo disebabkan oleh adanya unsur kelalaian dalam
proses pengeboran. Seharusnya perusahaan harus merekrut tenaga ahli yang kompeten
dalam bidang pertambangan, terutama dalam hal pengeboran, juga sebelum melakukan
pengeboran, harus dilakukan kajian ilmiah oleh para ahli untuk mengetahui sumur
sumur mana saja yang harus dilakukan pengeboran dan juga membahas bagaimana
antisipasi jika terjadi kecelakaan industri, apa dampak nya. Itu semua harus
diperhitungkan secara matang untuk meminimalisir resiko kecelakaan, baik karena
kelalaian maupun karena ketidaksengajaan.

IV.

KESIMPULAN DAN SARAN


Dari berbagai uraian di atas tentang kasus eksplorasi lingkungan secara berlebihan
yang dilakukan oleh PT. Lapindo Brantas dapat disimpulkan bahwa :
Menurut Undang Undang No. 23 Tahun 1997, lingkungan hidup adalah kesatuan
ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk
manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
Eksploitasi besar-besaran yang dilakukan PT. Lapindo membuktikan bahwa PT.
Lapindo rela menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan,
Kasus Lumpur lapindo tinjau dari segi etika baik teori deontologi, utilitarisme,
serta keadialan, dinilai sangat tidak beretika karena merugikan masyarakat
Porong, Sidoarjo.
Bagi pengusaha-pengusaha yang kegiatan bisnisnya berhubungan dengan eksplorasi
lingkungan harus selalu berusaha waspada serta tidak menghalalkan segala cara untuk
memperoleh keuntungan sehingga menjadi berlebihan, karena hal ini akan berpengaruh
terhadap keseimbanagan lingkungan itu sendiri. Apabila hal ini terus dilakukan akan
menyebabkan kerusakan lingkungan serta dapat membahayakan masyarakat yang
bermukim disekitar kegiatan eksplorasi. Selain itu, kejadian lumpur lapindo dijadikan
sebagai pengalaman berharga yang tidak boleh terulang lagi di masa yang akan datang
demi kesejahteraan seluruh umat manusia di bumi.

KASUS 6
CITYBANK INDONESIA
I. GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN

Citybank adalah sebuah bank internasional besar, adalah perbankan konsumen


dengan jasa keuangan raksasa citygroup. Citybank didirikan pada tahun 1812 sebagai
Bank Kota New York. Pada bulan Maret 2010, citybank merupakan bank ketiga terbesar
perusahaan holding di Amerika Serikat.
Selain perbankan, Citybank menawarkan asuransi, kartu kredit dan produk investasi.
Divisi layanan online mereka termasuk yang paling sukses di lapangan, mengklaim
sebesar 15 juta pengguna. Dan sekarang di Indonesia sudah terdapat Citybank yang
berada di Jakarta.
II. FENOMENA KASUS OLEH CITYBANK
Bulan April 2011 Melinda Dee (MD), Vice Precident Senior Relation Manager
Citybank Jakarta, didakwa telah membobol dana nasabah sebesar Rp. 17 miliar. Dikenal
sebagai karyawati yang ramah, murah senyum kepada para nasabah dan karyawan lain,
dan sangat sopan dalam bertutur kata, peristiwa ini banyak mengagetkan banyak
kalangan. Sebelum menjabat sebagai VP Senior Relation Manager, MD bekerja sebagai
Account Officer (AO) Citybank cabang Landmark, dan karena kemampuannya MD
selalu berhasil mendapat nasabah para orang kaya dan pejabat. Setelah bekerja selama 15
tahun, akhirnya MD memperoleh posisi terakhir yang prestisius.
Modus yang dilakukan MD adalah dengan memindahkan uang nasabah ke beberapa
korporasi untuk kemudiannya uangnya ditarik oleh MD, sedangkan kepemilikan
korporasi itu atas nama orang lain. Polisi berhasil menyita beberapa barang bukti yaitu
dokumen-dokumen transaksi dan 1 unit mobil merek Hummer-3 Luxury Sport Utility B
18 DIK yang ditaksir senilai Rp. 3,4 miliar. Kepolisian menjerat MD dengan pasal 49
ayat 1 dan 2 UU No.7 tahun 1992 sebagaimana diubah dengan UU No.10 tahun 1998
tentang perbankan dan atau pasal 6 UU No.15 tahun 2002 sebagaimana diubah dengan
UU No.25 tahun 2003 dan UU No.8 tahun 2010 tentang tindak pidana pencurian uang.
Selain itu, MD juga diduga dengan sengaja mengaburkan transaksi dan pencatatan tidak
benar terhadap beberapa slip transfer penarikan dana pada rekening nasabahnya.
Director Country Corporate Affairs Citybank Indonesia, Ditta Amahorseya
menyatakan, Citybank telah bertindak cepat dengan menghubungi seluruh nasabah yang
mungkin terkena dampaknya. Selain itu, Citybank juga berkomitmen untuk melindungi
kepentingan nasabah, termasuk secepatnya mengembalikan kerugian yang dialami oleh
nasabah yang hilang melalui transaksi tidak sah di dalam rekening mereka secara adil
dan tepat waktu. Kepala Biro Humas Bank Indonesia Difi A Johansyah menyampaikan,
kasus yang terjadi di Citybank merupakan tanggung jawab Citybank karena kasus
tersebut berkaitan dengan oknum di bank, dan bukan sistem bank tersebut. Pengawasan

Bank Indonesia hanya berkaitan dengan kesehatan bank, termasuk hal-hal yang terkait
dengan intermediasi perbankan, seperti pengucuran kredit.
III.

PERTANYAAN DAN ANALISA KASUS


1. Siapa sajakah yang menjadi pemangku kepentingan dalam kasus ini?
Pemangku kepentingan utama, yakni dari sisi negatif adalah pihak nasabah
Citybank Indonesia, karena Melinda Dee menggunakan uang nasabahnya dan
kemudian memindahkannya ke beberapa korporasi untuk kemudian ditarik uangnya
oleh Melinda Dee, sedangkan kepemilikan korporasi itu atas nama orang lain.
Sedangkan dari sisi positif adalah Melinda Dee sebagai oknum yang mendapatkan
keuntungan atas perbuatannya itu.
Pemangku kepentingan penunjang, yakni pihak kepolisian yang menjerat
Melinda Dee dengan pasal-pasal terkait dan Kepala Biro Humas Bank Indonesia, Difi
A. Johansyah menyampaikan bahwa kasus tersebut merupakan tanggung jawab
Citybank.
Pemangku kepentingan kunci, yakni Director Country Corporate Affairs
Citybank Indonesia, Ditta Amahorseya yang menyatakan Citybank telah bertindak
cepat dalam menangani kasus ini.
2. Menurut Anda, prinsip etika apa saja yang mungkin dilanggar oleh Melinda Dee
sebagai karyawan Citybank Indonesia?
Dalam kasus ini, Melinda Dee telah melanggar berbagai prinsip etika dalam dunia
bisnis di Indonesia. Adapun beberapa prinsip etika yang dilanggar adalah:
Prinsip kejujuran. Kejujuran merupakan nilai yang paling mendasar dalam
mendukung keberhasilan perusahaan. Kejujuran harus diarahkan pada semua
pihak, baik internal maupun eksternal perusahaan. Jika prinsip kejujuran ini
dapat dipegang teguh oleh perusahaan, maka akan dapat meningkatkan
kepercayaan dari lingkungan perusahaan tersebut. Namun, Melinda Dee ini
sudah mencerminkan sikap ketidakjujurannya kepada perusahaan maupun
kepada nasabahnya dengan melakukan kecurangan untuk menikmati kekayaan
yang diperolehnya dari uang nasabah.
Prinsip Integritas Moral. Prinsip ini menyarankan dalam berbisnis
selayaknya dijalankan dengan tetap menjaga nama baiknya dan nama baik
perusahaan. Tindakan Melinda Dee termasuk tindakan korupsi yang telah
mencoreng nama baik diri sendiri dan perusahaannya. Hal ini dapat
berdampak pada tingkat kepercayaan nasabah dan calon nasabah sehingga

mereka dapat mengurungkan niatnya untuk bertransaksi di Citybank


Indonesia.
Prinsip Tanggung Jawab. Yaitu salah satu prinsip pokok bagi kaum
profesional. Karena orang yang professional sudah dengan sendirinya berarti
bertanggung jawab atas profesi yang dimilikinya. Dalam melaksanakan
tugasnya dia akan bertanggung jawab dan akan melakukan pekerjaan dengan
sebaik mungkin, dan dengan standar diatas rata-rata, dengan hasil maksimal
serta mutu yang terbaik. Dalam kasus ini, Melinda Dee tidak profesional. Ia
dipercaya sebagai VP Senior Relation Manager, namun ia menyalahgunakan
jabatan tersebut. Sangat tidak bertanggung jawab. Terlalu.
Prinsip otonomi. Sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil keputusan
untuk bertindak berdasarkan kesadaran sendiri tentang apa yang baik untuk
dilakukan. Namun Melinda Dee tidak mementingkan prinsip tersebut. Beliau
lebih mementingkan kepentingan pribadinya tanpa memikirkan dampak

perilakunya terhadap pihak-pihak yang berkaitan.


Prinsip Saling Menguntungkan. Prinsip ini menuntut agar semua pihak
berusaha untuk saling menguntungkan satu sama lain. Dalam dunia bisnis,
prinsip ini menuntut persaingan bisnis haruslah bisa melahirkan suatu win-win
situation. Dalam kasus ini, perbuatan Melinda Dee sangat tindak
menguntungkan nasabah dan perusahaannya. Beliau menggunakan yang bukan
menjadi haknya sehingga mencoreng nama baik pribadi dan perusahaannya.

3. Jika Anda menjadi salah satu nasabah Citybank Indonesia yang ditangani oleh
Melinda Dee, tindakan strategis apa saja yang akan Anda lakukan berkaitan
dengan kasus ini?
Saya akan meminta ganti rugi kepada pihak Bank untuk segera mengembalikan
seluruh uang yang telah digunakan oleh Melinda Dee dengan segera. Jika kasus ini
tidak segera ditangani oleh pihak Bank, maka saya akan berhenti menjadi nasabah dan
menuntut Bank tersebut ke pihak berwajib.
4. Bagaimana peran pengawasan Bank Indonesia terhadap kasus Citybank
Indonesia ini?
Bank Indonesia sebagai intuisi pengawasan perbankan, terbukti belum efektif dalam
menjalankan tugasnya. Bank Indonesia memang memiliki keterbatasan. Tidak hanya
keterbatasan teknis tetapi juga terkait dengan konflik kepentingan. Bank Indonesia
juga dihadapkan dua fungsi yang sama-sama sangat penting. Selain sebagai

pengawasa perbankan, bank Indonesia juga sebagai kendali moneter. Dengan kondisi
ini , sementara infrastruktur yang kurang memadai, maka bank Indonesia harus
memilih prioritas dalam menjalankan fungsinya dihadapkan dua kondisi dimana harus
memilih, apakah harus menjalan fungsinya apakah harus mendahulukan aspek
pengawasan atau pengendalian moneter. Hal tersebut membuat ketidakindependenan
BI, hal tersebut didasari kenyataan dalam praktek keseharian, seringkali terdapat
ketidakserasian-bahkan kerancuan antara mengawasi bank di stu pihak dengan upaya
penyelamatan bank dipihak lain. Kondisi inin nampakanya juga dialami BI, dimana
banyak opini yang pada intinya meragukan obyektifitas, independensi dan efektifitas
pengawasan Bank Indonesia, terlebih lagi BI juga dibebani sebagai pengendai
moneter yang tentunya memerlukan perhatian lebih mengingat persoalan moneter
yang komplek.
5. Menurut Anda, apa saja tindakan yang perlu dilakukan oleh pemerintah
Indonesia untuk mencegah peristiwa yang sama terulang di masa mendatang?
Untuk mencegah agar tidak terjadi lagi kasus pembobolan bank, setidaknya ada tiga
hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah (dalam hal ini BI):
memperkuat penegakan hukum. Cara ini memang klise, namun untuk
mewujudkan law enforcement, salah satu prasyarat utamanya adalah
membersihkan aparat penegak hukum. Jika jaksa, polisi, ataupun hakim masih
kotor, maka penegakan hukum sulit diwujudkan.
memperbaiki dua kelemahan mendasar BI: pengawasan dan koordinasi. Dua
hal ini harus terus-menerus diperbaiki karena selama ini dijadikan jalan bagi
pembobol bank untuk beraksi. Sistem perbankan sebenarnya cukup kuat untuk
mencegah pembobolan oleh orang dalam tapi faktanya tidak bisa menjamin
100%.
memperketat proses perekrutan SDM perbankan sehingga yang diterima
benar-benar yang mempunyai kredibilitas tinggi. Tidak hanya dari sisi skill
dan knowledge namun lebih penting dari itu attitude, yang menyangkut
kejujuran dan komitmen tinggi pada profesi bankir. Semuanya harus dipenuhi
guna menjaga keberlangsungan bisnis perbankan mengingat keterkaitannya
dengan kepercayaan nasabah dan dunia usaha.
Selain itu, Kebijakan Manajemen Bank juga dapat mencegah terjadinya hal yang sama
seperti yang dilakukan oleh Melinda Dee. Menurut Lester A. Pratt dalam Bank

Frauds Their Detection and Prevention kebijakan ini dapat dilakukan melalui langkah
berikut:
Kebijakan Personalia. Kebijakan ini meliputi peraturan seleksi, pelatihan,
promosi dan penggajian dari pegawai dan pejabat bank. Program dimaksud
harus dilakukan secara hati-hati untuk mencegah kejahatan. Peraturan tentang
promosi pegawai harus menempatkan dan keahlian seseorang di atas
senioritas. Penggajian pejabat dan pegawai bank harus seiring dengan
meningkatnya

pendapatan

dan

pertumbuhan

institusi

sesuai

dengan

kompetensi serta partisipasi seorang pegawai atau pejabat dalam jabatannya


untuk mendukung kesuksesan bank.
Kebijakan Pengawasan. Kebijakan tentang fungsi pengawasan menetapkan
cara yang aman dan lazim dalam setiap kegiatan usaha bank untuk mencapai
tujuan organisasi, baik pengawasan melekat sejara berjenjang, audit intern,
Direktur/Unit Kepatuhan dan Unit Manajemen Risiko. Hal yang penting
dalam pengawasan adalah penilaian atas efisiensi, ekonomis dan keamanan
dalam setiap fungsi departemen.
Tanggung Jawab Direksi. Setidaknya ada lima tanggung jawab yang wajib
diemban direksi dalam rangka mencegah terjadinya bank fraud, yaitu:
Direksi bertanggung jawab melakukan pengawasan terhadap seluruh

kegiatan bank dan memastikan usaha bank berjalan dengan baik.


Direksi bank bukan penjamin atas kebenaran dan kelakuan yang patut dari
pejabat eksekutifnya, namun mereka harus melakukan pengawasan

terhadap tindak-tanduk eksekutif banknya dengan seksama.


Direksi harus menaruh perhatian terhadap penerapan prinsip kehati-hatian

dalam setiap kegiatan usaha bank.


Direksi bank harus mengetahui setiap fakta yang mencurigakan, sehingga

harus menempatkan orang yang dapat dipercaya.sebagai pengawas.


Direksi tidak diharapkan memantau kegiatan rutin perbankan setiap hari,
tetapi mereka harus mempunyai pengetahuan pelaksanaan kegiatan usaha
bank pada umumnya, dan memberikan arahan kepada hal-hal yang penting

IV.

KESIMPULAN DAN SARAN

DAFTAR PUSTAKA
astra-agro.co.id/index.php
http://jejaringwarna.com/blog/index/Prinsip%20Etika%20Bisnis
http://caeciliaajah.wordpress.com/2012/11/07/prinsip-etika-bisnis/
http://stabilitas.co.id/view_articles.php?article_id=42&article_type=0&article_category=4

You might also like