Professional Documents
Culture Documents
mengungsi dari kediamannya. Setelah mendapat reaksi keras dari masyarakat, Lapindo
mulai membangun tanggul dan kolam untuk menampung semburan lumpur.
11 Agustus 2006 : Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengunjungi lokasi
bencana lumpur dan berjanji untuk memberikan bantuan sebesar Rp. 1 Miliar. Tanggul
diperluas hingga ke Desa Siring dan Kedung Bendo. Jalan Tol Surabaya- Gempol dan
kereta api terputus oleh lumpur. Sayangnya, tanggul disekitar Jatirejo dan Kedung Bendo
Ronokenongo retak yang menyebabkan lumpur mengalir ke desa-desa lain. Melihat
kejadian ini, PT. Lapindo Brantas, Inc. segera memulai instalasi jaringan pipa yang
dirancang untuk membawa lumpur sejauh 20 kilometer ke Laut Jawa. Nelayan di Desa
Kalirejo kemudian berdemonstrasi massal, menolak keras usulan untuk membuang
lumpur ke Selat Madura karena takut lumpur tersebut akan mencemari daerah
penangkapan ikan mereka. Para korban lumpur ikut berunjuk rasa dengan memblokir
jalan Porong dan rel kereta api, mendirikan tenda di jalan tol, serta protes di kantor
pemerintah Kabupaten Sidoarjo. Mereka meminta kompensasi atas kerugian akibat
semburan lumpur.
Akhir Agustus 2006 : semburan lumpur telah mencapai volume 50.000 meter kubik per
hari, mencakup sekitar 350 hektar lahan, dan 10.860 orang telah mengungsi.
9 September 2006 : Sebagai respon atas meningkatnya protes, Presiden SBY
membentuk Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo berdasarkan
Keppres No.13 Tahun 2006 sebagai sebuah langkah untuk mempercepat penyelesaian
bencana. Segera setelah pembentukannya, Tim Nasional menyatakan daerah yang
terkena lumpur sebagai daerah terdampak dan diberlakukan sebagai zona bencana.
27 September 2006 : Presiden SBY mengesahkan sebuah rencana untuk menyelamatkan
daerah sekitar kolam dengan mengalihkan lumpur ke Sungai Porong dan akhirnya ke
Laut Jawa. Volume semburan lumpur kini mencapai 125.000 meter kubik per hari dan
meliputi wilayah seluas sekitar 2 mil persegi, dengan kondisi 400 hektar tanah dan 8 desa
tertutup lumpur. Kios di Pasar Porong Baru dikosongkan setelah beberapa orang
menerima bantuan sewa rumah dari Lapindo selama 2 tahun (Rp. 2,5 juta per tahun),
namun hingga saat ini kompensasi tersebut belum diselesaikan secara tuntas oleh
Lapindo.
16 Oktober 2006 : operasi untuk mengalihkan lumpur ke kanal yang membentang dari
kolam yang lebih besar ke sungai Porong dimulai. Penyaluran lumpur melalui spillway
ke sungai dimulai.
November 2006 : lumpur panas mecapai Ronokenongo menyebabkan pipa gas milik
Pertamina meledak, 14 korban jiwa meninggal sebagai akibat dari pecahnya pipa gas.
Medco Brantas, saah satu pemegang saham Lapindo, menggugat Lapindo Brantas ke
Arbitrase Internasional karena kinerja Lapindo yang tidak benar mengakibatkan bencana
lumpur panas.
Akhir Tahun 2006 : Pemerintah mengeluarkan laporan yang menyatakan bahwa 1.810
rumah, 18 sekolah, dua kantor pemerintah, 20 pabrik, dan 15 masjid telah musnah ditelan
oleh lumpur panas. Wilayah tersebut mencakup 9 desa di 3 kecamatan: Porong (Jatirejo,
Siring, Renokenongo, dan Mindi), Tanggulangin (Kedungbendo, Ketapang, dan
Gempolsari), dan Jabon (Pejarakan dan Besuki).
Maret 2007 : pemerintah menerbitkan sebuah peta terdampak yang lebih baru mencakup
empat desa yang telah tenggelam (Jatirejo, Siring, Kedungbendo, Renokenongo), tiga
lainnya desa (Gempolsari, Kalitengah, Ketapang) dan Perum TAS I.
22 Maret 2007 : Presiden SBY mengeluarkan Peraturan Presiden No.14/2007 yang
memaksa Lapindo untuk membayar kompensasi kepada penduduk desa di zona bencana
kedua yang ditetapkan pemerintah. Peraturan tersebut menjelaskan lebih rinci tentang
tata cara dan waktu pembayaran kompensasi.
April 2007 : Tim Nasional Mitigasi Semburan Lumpur dibubarkan, dan sebagai
penggantinya Presiden SBY membentuk Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo
(BPLS).
Akhir Mei 2007 : PT. Lapindo Brantas mengklaim bahwa perusahaan telah
menghabiskan dana Rp. 1,4 triliun untuk membayar kompensasi 9.500 korban lumpur.
25 Juni 2007 : Presiden SBY memutuskan berkantor di Wisma Perwira, Juanda Airport,
Surabaya untuk mempercepat proses pembayaran kompensasi kepada para korban.
September 2007 : DPR menyetujui pembentukan Tim Pengawasan Penyelesaian
Semburan Lumpur Lapindo.
28 Mei 2008 : Kompensasi pembayaran pertama total untuk 11 warga di Desa Siring
telah selesai dilaksanakan, namun ribuan keluarga masih tidak dibayar secara penuh.
12 Februari 2008 : Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi)
mendaftarkan gugatan terhadap PT. Lapindo Brantas, Inc. dan 11 tergugat lainnya,
termasuk Pemerintah RI, atas kerusakan lingkungan akibat semburan lumpur panas di
Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Para tergugat terdiri atas PT. Lapindo Brantas, Inc., PT.
Energi Mega Persada, Kalila Energy Ltd., Pan Asia Enterprise, PT. Medco Energi Tbk.,
Santos Australia, Presiden RI, Menteri ESDM, Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu
Minyak dan Gas Bumi, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Gubernur Provinsi Jawa
Timur, dan Bupati Kabupaten Sidoarjo. Lapindo Brantas digugat dengan asas tanggung
jawab mutlak sebagaimana pasal 35 UU No.23/1997 tentang Lingkungan Hidup yang
mensyaratkan pertanggungjawaban yang dilakukan pihak perusak atau pencemaran
lingkungan tidak harus dibuktikan oleh penggugat. Pemimpin Walhi, Chalid Muhammad
menyatakan, gugatan perbuatan melawan hukum diajukan oleh Walhi dengan landasan
1) Pemangku kepentingan utama, yakni yang menerima dampak positif atau negatif
(di luar kerelaan) dari suatu kegiatan. Pemangku kepentingan utama dari kasus
Lapindo Brantas dari sisi negatif adalah :
Masyarakat yang berada di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur karena
mereka adalah korban yang telah mengalami kerugian besar seperti
kehilangan rumah, lapangan pekerjaan, area perkebunan, serta beberapa
2. Menurut Anda, prinsip etika apa saja yang mungkin dilanggar oleh PT.
Lapindo Brantas?
Dalam kasus ini, Lapindo Brantas Inc. telah melanggar berbagai prinsip etika dalam
dunia bisnis di Indonesia, karena bencana ini semata-mata mutlak dilakukan oleh
perusahaan itu sendiri. Adapun beberapa prinsip etika yang dilanggar adalah:
Prinsip mengenai hak dan deontologi. Prinsip ini menekankan bahwa tiap
manusia berhak atas lingkungan berkualitas, akan tetapi dengan adanya
peristiwa lumpur panas tersebut, warga justru mengalami penurunan kualitas
lingkungan hidup.
Prinsip utilitarisme. Prinsip ini menegaskan bahwa lingkungan hidup tidak
lagi boleh diperlakukan sebagai suatu eksternalitas ekonomis. Jika dampak
atas lingkungan tidak diperhitungkan dalam biaya manfaat, pendekatan ini
menjadi tidak etis apalagi jika kerusakan lingkungan dibebankan pada orang
lain. Akan tetapi, dalam kasus ini PT. Lapindo justru mengeruk sumber daya
alam di Sidoarjo untuk kepentingan ekonomis semata, dan cenderung kurang
melakukan pemeliharaan terhadap alam, yang dibuktikan dengan penghematan
biaya operasional pada pemasangan chasing, sehingga menimbulkan bencana
yang besar. Selanjutnya, kerusakan akibat kesalahan tersebut menimpa pada
warga Porong yang tidak berdosa.
Prinsip etika bisnis. Prinsip ini mengenai keadilan distributif juga dilanggar
oleh PT. Lapindo, karena perusahaan tidak bertindak adil dalam hal
persamaan, prinsip penghematan adil, dan keadilan sosial. PT. Lapindo pun
dinilai tidak memiliki kepedulian terhadap sesama manusia atau lingkungan,
karena menganggap peristiwa tersebut merupakan bencana alam yang
berusaha untuk saling menguntungkan satu sama lain. Dalam dunia bisnis,
prinsip ini menuntut persaingan bisnis haruslah bisa melahirkan suatu winwin situation. Namun, dengan adanya bencana lumpur panas tersebut, banyak
pihak yang dirugikan, hingga sekarang penanganan korban lumpur lapindo
pun belum dapat diselesaikan hingga tuntas.
Prinsip Integritas Moral. Prinsip ini menyarankan dalam berbisnis
selayaknya dijalankan dengan tetap menjaga nama baiknya dan nama baik
perusahaan. Namun, jika kita melihat situasi saat ini, Lapindo Brantas tidak
lagi mampu untuk menuntaskan hutangnya kepada korban Lapindo sebagai
ganti rugi atas bencana tersebut. Korban Lapindo kini hanyalah wacana belaka
tanpa adanya tanggapan serius dari Lapindo Brantas. Tanggung jawab yang
kurang ini akan menyebabkan nama baik dari Lapindo Brantas akan selalu
mendapat predikat buruk di mata masyarakat Indonesia.
3. Mengapa hingga saat ini korban terdampak semburan lumpur belum tuntas
ditangani pemerintah Indonesia?
Menurut kelompok kami penangan korban semburan lumpur belum tuntas
dikarenakan PT. Lapindo Brantas Inc. tidak mampu lagi untuk membayar kerugian
yang dialami oleh masyarakat secara materil. Meskipun perusahaan ini telah
mendirikan PT. Minarak Lapindo Jaya untuk membayar kompensasi kepada para
korban namun tetap saja tidak dapat mengganti kerugian yang sangat besar dengan
alasan adanya krisis keuangan global.
Eksploitasi besar-besaran yang dilakukan PT. Lapindo membuktikan bahwa
PT. Lapindo rela menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan. Dan
keengganan PT. Lapindo untuk bertanggung jawab membuktikan bahwa PT. Lapindo
lebih memilih untuk melindungi aset-aset mereka daripada melakukan penyelamat
dan perbaikan atas kerusakan lingkungan dan sosial yang mereka timbulkan. Oleh
karena itu, melalui BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo) meminta
4. Jika Anda menjadi salah satu korban semburan lumpur panas di Sidoarjo, tindakan
strategis apa saja yang akan Anda lakukan berkaitan dengan kasus ini?
kami akan menuntut hak hak kami yang hilang akibat bencana lumpur lapindo ,
diantaranya :
memberikan penanganan layak dengan memasukkan korban Lapindo yang selama ini
berada di luar peta terdampak dalam perolehan ganti rugi yang sama seperti dalam
peta terdampak.
Memberikan jaminan sosial atau kompensasi penggantian kerugian material.
Memberikan jaminan kesehatan yang layak.
Memeberikan jaminan keamanan dan keselamatan korban.
Terus mengupayakan secara maksimal menutup/mematikan semburan lumpur.
5. Menurut Anda, apa saja tindakan yang perlu dilakukan pemerintah Indonesia untuk
mencegah peristiwa yang sama terulang di masa mendatang?
Menurut para pakar pertambangan dari beberapa perguruan tinggi ternama di Indonesia
seperti mantan Direktorat Eksplorasi dan Produksi BPPKA-Pertamina Ir Kersam
Sumanta semburan lumpur Lapindo disebabkan oleh adanya unsur kelalaian dalam
proses pengeboran. Seharusnya perusahaan harus merekrut tenaga ahli yang kompeten
dalam bidang pertambangan, terutama dalam hal pengeboran, juga sebelum melakukan
pengeboran, harus dilakukan kajian ilmiah oleh para ahli untuk mengetahui sumur
sumur mana saja yang harus dilakukan pengeboran dan juga membahas bagaimana
antisipasi jika terjadi kecelakaan industri, apa dampak nya. Itu semua harus
diperhitungkan secara matang untuk meminimalisir resiko kecelakaan, baik karena
kelalaian maupun karena ketidaksengajaan.
IV.
KASUS 6
CITYBANK INDONESIA
I. GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN
Bank Indonesia hanya berkaitan dengan kesehatan bank, termasuk hal-hal yang terkait
dengan intermediasi perbankan, seperti pengucuran kredit.
III.
3. Jika Anda menjadi salah satu nasabah Citybank Indonesia yang ditangani oleh
Melinda Dee, tindakan strategis apa saja yang akan Anda lakukan berkaitan
dengan kasus ini?
Saya akan meminta ganti rugi kepada pihak Bank untuk segera mengembalikan
seluruh uang yang telah digunakan oleh Melinda Dee dengan segera. Jika kasus ini
tidak segera ditangani oleh pihak Bank, maka saya akan berhenti menjadi nasabah dan
menuntut Bank tersebut ke pihak berwajib.
4. Bagaimana peran pengawasan Bank Indonesia terhadap kasus Citybank
Indonesia ini?
Bank Indonesia sebagai intuisi pengawasan perbankan, terbukti belum efektif dalam
menjalankan tugasnya. Bank Indonesia memang memiliki keterbatasan. Tidak hanya
keterbatasan teknis tetapi juga terkait dengan konflik kepentingan. Bank Indonesia
juga dihadapkan dua fungsi yang sama-sama sangat penting. Selain sebagai
pengawasa perbankan, bank Indonesia juga sebagai kendali moneter. Dengan kondisi
ini , sementara infrastruktur yang kurang memadai, maka bank Indonesia harus
memilih prioritas dalam menjalankan fungsinya dihadapkan dua kondisi dimana harus
memilih, apakah harus menjalan fungsinya apakah harus mendahulukan aspek
pengawasan atau pengendalian moneter. Hal tersebut membuat ketidakindependenan
BI, hal tersebut didasari kenyataan dalam praktek keseharian, seringkali terdapat
ketidakserasian-bahkan kerancuan antara mengawasi bank di stu pihak dengan upaya
penyelamatan bank dipihak lain. Kondisi inin nampakanya juga dialami BI, dimana
banyak opini yang pada intinya meragukan obyektifitas, independensi dan efektifitas
pengawasan Bank Indonesia, terlebih lagi BI juga dibebani sebagai pengendai
moneter yang tentunya memerlukan perhatian lebih mengingat persoalan moneter
yang komplek.
5. Menurut Anda, apa saja tindakan yang perlu dilakukan oleh pemerintah
Indonesia untuk mencegah peristiwa yang sama terulang di masa mendatang?
Untuk mencegah agar tidak terjadi lagi kasus pembobolan bank, setidaknya ada tiga
hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah (dalam hal ini BI):
memperkuat penegakan hukum. Cara ini memang klise, namun untuk
mewujudkan law enforcement, salah satu prasyarat utamanya adalah
membersihkan aparat penegak hukum. Jika jaksa, polisi, ataupun hakim masih
kotor, maka penegakan hukum sulit diwujudkan.
memperbaiki dua kelemahan mendasar BI: pengawasan dan koordinasi. Dua
hal ini harus terus-menerus diperbaiki karena selama ini dijadikan jalan bagi
pembobol bank untuk beraksi. Sistem perbankan sebenarnya cukup kuat untuk
mencegah pembobolan oleh orang dalam tapi faktanya tidak bisa menjamin
100%.
memperketat proses perekrutan SDM perbankan sehingga yang diterima
benar-benar yang mempunyai kredibilitas tinggi. Tidak hanya dari sisi skill
dan knowledge namun lebih penting dari itu attitude, yang menyangkut
kejujuran dan komitmen tinggi pada profesi bankir. Semuanya harus dipenuhi
guna menjaga keberlangsungan bisnis perbankan mengingat keterkaitannya
dengan kepercayaan nasabah dan dunia usaha.
Selain itu, Kebijakan Manajemen Bank juga dapat mencegah terjadinya hal yang sama
seperti yang dilakukan oleh Melinda Dee. Menurut Lester A. Pratt dalam Bank
Frauds Their Detection and Prevention kebijakan ini dapat dilakukan melalui langkah
berikut:
Kebijakan Personalia. Kebijakan ini meliputi peraturan seleksi, pelatihan,
promosi dan penggajian dari pegawai dan pejabat bank. Program dimaksud
harus dilakukan secara hati-hati untuk mencegah kejahatan. Peraturan tentang
promosi pegawai harus menempatkan dan keahlian seseorang di atas
senioritas. Penggajian pejabat dan pegawai bank harus seiring dengan
meningkatnya
pendapatan
dan
pertumbuhan
institusi
sesuai
dengan
IV.
DAFTAR PUSTAKA
astra-agro.co.id/index.php
http://jejaringwarna.com/blog/index/Prinsip%20Etika%20Bisnis
http://caeciliaajah.wordpress.com/2012/11/07/prinsip-etika-bisnis/
http://stabilitas.co.id/view_articles.php?article_id=42&article_type=0&article_category=4