You are on page 1of 10

GEOGRAFI DAN CARA PANDANG GEOGRAFI DALAM PENYELESAIAN

PERMASALAHAN LINGKUNGAN**)
Oleh: Junun Sartohadi*

Ringkasan
Makalah ini menjelaskan konsep dasar ilmu Geografi, hubungannya dengan cabang ilmu-ilmu
lain di dalam kelompok Ilmu Kebumian (Geo-science), permasalahan lingkungan dan bencana
alam, kebijakan Tata Ruang di Indonesia dan pengurangan risiko bencana, serta studi kasus
kajian geografis. Di dalam setiap sub bab diberikan penjelasan serba singkat mengenai
pendekatan dan cara pandang geografi terhadap permasalahan lingkungan secara umum.
Penjelasan mengenai beberapa cabang ilmu di dalam Geografi yang dicirikan oleh obyek
material yang lebih spesifik juga diberikan untuk dapat menjelaskan fenomena permasalahan
yang dicontohkan. Konsep aplikasi Geografi untuk Tata Ruang dan permasalahan praktis pada
proses penyusunan dan produk-produk Tata Ruang juga diberikan. Contoh penerapan kajian
Geografis untuk menyelesaikan permasalahan lingkungan diberikan pada bagian akhir
makalah ini dengan mengangkat kasus di Daerah Lampuuk Nanggroe Aceh Darussalam
(NAD). Setelah membaca dan mengikuti penjelasan pada saat presentasi makalah ini
diharapkan para pembaca dan pengikut seminar mendapatkan peningkatan pemahaman
mengenai ilmu Geografi dan terapannya dalam penyelesaian permasalahan lingkungan. Ilmu
Geografi perlu dipahami bagi semua orang untuk memahami dan mengerti kondisi fisik-sosial
lingkungan di sekitar sehingga semua orang akan merasa bertanggung jawab terhadap
permasalahan-permasalahan lingkungan yang ada. Tindakan yang selalu menyalahkan
kebijakan pemerintah apabila terjadi permasalahan lingkungan dan atau bencana alam bukan
merupakan tindakan yang arif sebab permasalahan lingkungan adalah tanggung jawab segenap
lapisan masyarakat.
Kata kunci: Geografi, Lingkungan, Bencana Alam

Ilmu Geografi dan Keterkaitannya dengan Cabang-Cabang Ilmu Kebumian


Geografi adalah salah satu cabang ilmu kebumian yang relatif paling tua dibanding cabang
ilmu kebumian yang lain seperti Geologi, Geofisika, Geodesi, Klimatologi, dan Ilmu Tanah
(Soil Science). Geografi untuk selanjutnya lebih terfokus pada kajian mengenai fenomena fisik
permukaan bumi yang berpengaruh langsung terhadap kehidupan manusia (Strahler and
Strahler, 1996). Seiring dengan bertambahnya keragaman permasalahan kehidupan manusia
maka kajian-kajian mengenai unsur manusia menjadi semakin menarik bagi studi geografi.
Studi mengenai unsur manusia di dalam ilmu geografi untuk selanjutnya berkembang menjadi
studi Geografi Manusia. Pada negara-negara maju kajian ilmu Geografi Manusia menjadi
sangat penting dan fital mendasari ilmu-ilmu sosial yang lain seperti Sosiologi, Sosiatri, dan
Ekonomi. Permasalahan sosial-ekonomi-budaya yang timbul akhir-akhir ini tidak dapat
*) Dr. Rer.nat. Junun Sartohadi, M.Sc. adalah dosen di Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada
**) Makalah disampaikan pada Acara Seminar dalam rangka Olimpiade Geografi tahun 2006

dipecahkan dari sudut ilmu sosial saja namun lebih jauh lagi memerlukan kajian yang
mendalam mengenai keterkaitannya dengan fenomena fisik.
Obyek kajian Geografi mencakup seluruh komponen geosfera yang terdiri dari Lithosfer,
Hidrosfer, Atmosfer, Pedosfer, Biosfer, dan Antroposfer. Dalam melakukan kajian geosfera,
geografi menggunakan pendekatan keruangan, kewilayahan dan kelingkungan yang
berorientasi pada kepentingan manusia. Seringkali kajian geografi dirumuskan sebagai
jawaban secara integral dari pertanyaan-pertanyaan mengenai fenomena geosfera: apa (what),
dimana (where), kapan (when), siapa/oleh siapa (who/whom), mengapa (why), and bagimana
(how). Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut jelas bahwa apapun fenomena geosfera yang
dikaji di dalam Geografi selalu terkait dengan lokasi, waktu, siapa yang terkena akibat/siapa
yang mengakibatkan, serta penjelasan mengapa sebuah peristiwa dapat terjadi dan
pemecahannya (Bintarto dan Hadisumarno, 1979).
Geografi memerlukan ilmu Geologi sebagai dasar pemahaman mengenai material penyusun
permukaan bumi. Permukaan bumi sendiri mempunyai bentuk-bentuk yang khas yang untuk
selanjutnya disebut sebagai bentuklahan (landform) sebagai hasil interaksi yang kompleks
antara batuan dasar dan proses-proses permukaan (untuk selanjutnya disebut sebagai proses
geomorfologi). Proses geomorfologi sendiri diartikan sebagai semua proses yang cenderung
mengubah konfigurasi permukaan bumi. Tenaga yang menyebabkan berjalannya proses
geomorfologi dapat berasal dari: bawah permukaan bumi (tenaga endogen), permukaan bumi
(tenaga eksogen), luar angkasa (tenaga ekstraterestrial) dan aktivitas manusia (tenaga
antropogenik).
Proses geomorfologi yang cenderung mengubah konfigurasi permukaan bumi selalu
bersinggungan dengan tanah sebagai meterial gembur yang menyelimuti permukaan bumi.
Proses erosi, longsor, banjir, dan sedimentasi selalu melibatkan unsur tanah sebagai material
yang terpindahkan (redeposition materials). Lebih jauh lagi segala aktivitas manusia hampir
selalu berlangsung di permukaan bumi yang terselimuti material tanah dan atau tanah, dan
relatif jarang aktivitas manusia dilakukan di atas batuan keras, lapisan es abadi, dan tubuh air.
Oleh karena itu studi geografi juga tidak dapat lepas dari ilmu tanah sebagai salah satu
dasarnya.
Untuk dapat mengkaji fenomena proses geomorfologi tentu tidak dapat lepas dari pengetahuan
iklim dan cuaca. Proses-proses erosi, longsor, banjir, sedimentasi yang tentunya menimbulkan
perubahan konfigurasi permukaan bumi erat kaitannya dengan iklim. Lebih jauh lagi
perubahan iklim yang saat ini sering dibicarakan tentu tidak lepas dari pengaruh aktifitas
manusia dan perubahan fisik lingkungan di bagian-bagian tertentu permukaan bumi. Kajian
perubahan iklim global dan regional serta lokal saat ini telah mendapat banyak perhatian dari
ilmuwan geografi yang mengkhususkan diri pada kajian fenomena fisik (geografi fisik).

Kehidupan manusia tidak dapat lepas dari kebutuhan dasarnya yang terkait dengan
ketersediaan air. Semua makhluk hidup, tidak terkecuali manusia membutuhkan air baik
sebagai unsur dasar dalam setiap metabolisme maupun untuk aktivitas kegiatan yang lain.
Geografi mengkaji ketersediaan air (sumberdaya = resources) baik itu sebagai sebuah kajian
murni geografi fisik maupun dalam kaitannya dengan kehidupan makhluk hidup. Dengan
demikian Geografi tidak dapat dilepaskan dari ilmu Hidrologi.
Interaksi antara batuan dengan air, pelapukan batuan menjadi tanah, dan lain-lain interaksi
permukaan bumi dengan tenaga-tenaga geomorfik membutuhkan pemahaman mengenai ilmu
fisika dan kimia. Kajian mengenai sifat-sifat fisik bumi adalah merupakan cabang ilmu
tersendiri, yaitu Geofisika. Sifat-sifat geofisik bumi diperlukan sebagai dasar pemahaman
mengenai berbagai teknik penelitian yang terkait dengan pencarian air tanah, mekanisme
pelongsoran, mekanisme pengikisan dan pengendapan. Pengetahuan kimia terutama kimia
batuan, kimia tanah, dan kimia air diperlukan di dalam Geografi untuk mendasari pengetahuan
mengenai keberadaan dan proses persebaran mineral berharga, pemahaman mengenai
kesesuaian tanah dan air untuk berbagai peruntukan.
Kajian mengenai fenomena fisik dan manusia tidak dapat lepas dari teknik-teknik pengukuran
yang kemudian disajikan dalam bentuk informasi. Semua informasi permukaan bumi mutlak
perlu dilengkapi dengan ukuran-ukuran yang akurat baik mengenai posisinya maupun bentuk
dan luasnya. Penyajian informasi permukaan bumi yang akurat selalu mempertimbangkan
kelengkungan dan konfigurasi permukaan bumi. Teknik-teknik pengukuran permukaan bumi
merupakan bidang ilmu sendiri, yaitu Geodesi. Untuk itu maka Geografi juga tidak dapat
dilepaskan secara tegas dari Geodesi. Perkembangan lebih lanjut dari Geografi lebih memusat
pada pembuatan dan penyusunan peta-peta tematik dan Geodesi lebih memusat pada
pembuatan dan penyusunan peta dasar dengan isu pokok pada permasalahan akurasi.
Fenomena fisik dan manusia di permukaan bumi untuk selanjutnya perlu disajikan dalam
bentuk informasi baik itu sebagai data tabular, grafis, ataupun peta. Sudah sejak lama Geografi
dipandang sebagai ilmu tentang peta karena geografi berkompeten menyajikan informasi fisik
dan manusia beserta lokasi-lokasinya di permukaan bumi. Untuk itu maka penyajian informasi
dalam bentuk peta dianggap paling efisien dan efektif. Permasalahan kehidupan yang selalu
berkembang dan bahkan berubah dengan cepat maka saat ini pengkajian fenomena fisik dan
manusia memerlukan teknik penyadapan informasi permukaan bumi yang efisien dan efektif.
Seiring dengan berkembangnya teknik penyadapan informasi permukaan bumi, teknik
penyimpanan data, penyajian data, dan interpretasi data juga berkembang. Teknik yang
berkembang di dalam ilmu Geografi ini untuk selanjutnya dikenal dengan Kartografi (ilmu
perpetaan), Penginderaan Jauh (teknik penyadapan informasi permukaan bumi), Sistem
Informasi Geografi (database yang terintegrasi dengan informasi mengenai lokasi), dan Global
Positioning Systems (teknik pengukuran posisi di permukaan bumi).

Permasalahan Lingkungan dan Bencana Alam


Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa permasalahan lingkungan saat ini terus
bertambah kompleks seiring dengan pertumbuhan jumlah dan aktivitas manusia. Permasalahan
lingkungan mungkin dapat berasal dari kondisik fisik yang memang kurang mendukung untuk
jenis peruntukan terntentu namun juga dapat berasal dari pemanfaatan potensi lingkungan
yang berlebihan. Pengetahuan ataupun kajian mengenai potensi wilayah, kesesuaian lahan,
degradasi lingkungan, daya dukung lingkungan, telah lama menjadi tema-tema penelitian di
Geografi. Permasalahan yang harus dijawab dari tema-tema penelitian tersebut sungguh terkait
langsung dengan permasalahan nyata pada kehidupan manusia. Pemanfaatan sumberdaya alam
yang tidak sesuai dengan potensinya dan pemanfaatan sumberdaya alam yang melebihi daya
dukungnya cenderung menimbulkan permasalahan penurunan kualitas dan bahkan kerusakan
lingkungan. Contoh kasus dari pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak disesuaikan dengan
potensi dan kesesuaiannya adalah: (1) pembuangan limbah cair maupun padatan di tubuh
perairan yang telah menimbulkan kematian pada hewan air. Tubuh air di alam sebenarnya
mempunyai kemampuan membersihkan dirinya sendiri (self purification), namun karena
jumlah limbah yang dibuang telah melebihi ambang batas kemampuan self purification maka
menimbulkan akibat pada kematian biota perairan; (2) peristiwa longsor pada wilayah
perbukitan dan pegunungan akibat pemanfaatan lahan yang tidak sesuai (Sartohadi dan
Purwaningsih, 2004). Wilayah perbukitan dan pegunungan bukan selalu merupakan wilayah
yang harus selalu tertutup untuk kegiatan produksi namun bukan berarti kegiatan produksi
harus merupakan kegiatan pengolahan tanah untuk pertanian.
Setiap wilayah di permukaan bumi mempunyai potensi yang khas dan berbeda antara satu
wilayah dengan wilayah yang lain. Setiap potensi wilayah tentu dapat dimanfaatkan untuk
kehidupan manusia. Permasalahan yang timbul adalah macam pemanfaatan yang bagimanakah
yang sesuai untuk setiap potensi wilayah tertentu, yang tentunya membutuhkan jawaban yang
sesuai oleh ahli Geografi. Dalam mengevaluasi potensi wilayah untuk peruntukan tertentu,
Ahli Geografi memerlukan kerjasama dengan berbagai macam Ilmuwan yang lain, seperti:
pertanian, kehutanan, teknik/rekayasa, ekonomi, dll. Sumbangan ilmuwan yang lain ini
terutama pada penentuan kriteria/persyaratan untuk jenis peruntukan tertentu.
Salah satu bagian dari kajian Geografi adalah bentuklahan yang menjadi obyek matrial dari
studi Geomorfologi. Dalam mengkaji bentuklahan, geomorfologi menekankan pada
perkembangan bentuklahan. Untuk dapat melakukan kajian tentang bentuklahan maka
pemahaman proses-proses geomorfologi (telah dikemukakan pada bagian sebelumnya) dan
interaksinya dengan batuan dasar sehingga menghasilkan morfologi permukaan lahan tertentu
menjadi bersifat mutlak. Proses-proses geomorfologi seperti letusan gunungapi, amblesan
(subsidence), pengangkatan (up-lifting), gempa bumi, pelongsoran, banjir, erosi, sedimentasi,
angin ribut, gelombang dan tsunami adalah telah sangat dikenal oleh masyarakat umumnya
karena dampaknya terhadap kehidupan sangat nyata. Semua proses tersebut tentu
menyebabkan perubahan konfigurasi permukaan bumi yang tercermin pada bentuklahan.

Dengan demikian maka mengkaji bentuklahan tidak dapat dilepaskan dari peristiwa-peristiwa
alam (proses geomorfologi) baik yang terjadi dengan intensitas rendah maupun tinggi. Proses
geomorfologi yang berlangsung dengan intesitas tinggi dikenal sebagai bencana alam karena
dampaknya merugikan kehidupan manusia (Sutikno,1995; Fajar dkk, 2005).
Berlangsungnya sebuah proses geomorfologi pada permukaan bumi baik yang berlangsung
dengan intensitas rendah maupun tinggi tentu menghasilkan konfigurasi yang khas pada
bentuklahan. Pengenalan dan pencirian bentuklahan dapat diartikan sebagai pengenalan dan
pencirian proses-proses yang telah pernah dan sedang berlangsung. Berlangsungnya proses
geomorfologi bersifat terus menerus dari waktu ke waktu walupun dengan intensitas yang
berubah-ubah menurut waktu (Thornbury, 1965). Hal ini berarti bahwa sebuah bentuklahan
yang terbentuk karena proses banjir akan terus mengalami proses bajir, dan demikian pula
dengan bentuklahan-bentuklahan lain yang terbentuk karena proses-proses yang berbeda.
Pertumbuhan penduduk berakibat pada peningkatan kebutuhan akan papan, pangan, sandang,
dan lain-lain fasilitas untuk sebuah kehidupan yang layak. Luas lahan permukiman dan lahan
pertanian menjadi semakin luas sementara luas lahan hutan dan peruntukan lainnya menjadi
bertambah sempit. Dinamika perubahan penggunaan lahan ini telah banyak menggusur lahanlahan yang mestinya kurang sesuai untuk permukiman dan pertanian terpaksa digunakan.
Pemanfaatan lahan yang kurang sesuai dengan peruntukkannya semestinya diikuti dengan
tindakan penaggulangan risiko (counter measures) yang sesuai. Untuk menentukan jenis
tindakan penggulangan risiko yang sesuai tentu diperlukan informasi data fisik dan sosial yang
akurat. Pemanfaatan lahan dengan tindakan penanggulangan risiko yang kurang sesuai atau
tanpa tindakan penanggulangan risiko yang sesuai akan mengakibatkan penurunan kualitas
dan atau kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan yang parah akan cenderung
menimbulkan kejadian bencana bagi kehidupan (Sartohadi, 2005).
Melalui pendekatan keruangan dan kewilayahan yang digunakan di Geografi serta anlisis
temporal telah membawa geografi tidak hanya mampu diterapkan untuk menganalisis sebuah
kejadian bencana alam pada suatu wilayah tertentu. Geografi juga mampu diterapkan untuk
menganalisis apakah sebuah kejadian bencana pada suatu wilayah tertentu telah menyebabkan
kejadian-kejadian bencana pada wilayah lain dan atau pada waktu yang berbeda. Analisis
sebab yang saat ini banyak diterapkan di dalam menganalisis permasalahan lingkungan
sebenarnya telah sejak lama diterapkan di dalam ilmu Geografi. Analisis sebab ini
diperuntukkan mencari sebab atau asal mula sebuah permasalahan sehingga diharapkan
sebuah permasalahan dapat diselesaikan secara tuntas dan menyeluruh (comprehensive
solving).
Kebijakan Tata Ruang di Indonesia dan Pengurangan Risiko Bencana
Beberapa produk perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tata ruang sudah cukup
banyak dan berjenjang mulai dari tingkat nasional hingga tingkat kabupaten. Beberapa produk

perundang-undangan tersebut antara lain PP No. 10 tahun 2000 tentang Tingkat Ketelitian
Peta Untuk Penataan Ruang Wilayah, Kepres RI No. 62 tahun 2000 tentang Koordinasi
Penataan Ruang Nasional, Kep Men Permukian dan Prasarana Wilayah No.
327/KPTS/M/2002 tentang tentang Penetapan Enam Pedoman Bidang Penataan Ruang, dan
lain-lain produk perundang-undangan yang lebih rinci beserta atura-aturan penjelasannya. Di
dalam penjelasan PP No. 10 tahun 2000 bahkan telah diatur mengenai skala peta yang
digunakan sebagai masukan penyusunan Tata Ruang. Berdasarkan banyaknya jumlah produk
perundang-undangan yang mengatur secara berjenjang mulai dari tingkat nasional hingga
daerah maka tata ruang merupakan komponen penting di dalam menjalankan jalannya roda
pemerintahan. Produk Tata Ruang yang sudah diundang-undangkan bersifat mutlak secara
hukum untuk diikuti dan ditaati oleh semua orang yang bertempat di suatu wilayah. Begitu
pentingnya Tata Ruang sehingga menjadi materi utama di dalam uji kelayakan (fit and proper
test) calon kepala pemerintahan baik tingkat provinsi maupun kabupaten bersama-sama
dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Rencana Pembangunan Jangka
Pendek (RPJP). RPJM dan RPJP merupakan janji calon kepala daerah yang pelaksanaannya
menurut Tata Ruang yang telah diundang-undangkan.
Geografi mengkaji feonomena geosfera dengan pendekatan keruangan (spatial), kewilayahan,
dan kelingkungan. Memperhatikan obyek material geografi dan pendekatan yang digunakan
dalam ilmu geografi, maka sebenarnya aplikasi dari ilmu geografi di pemerintahan adalah Tata
Ruang. Kajian-kajian geografis sebenarnya dapat dijadikan masukan yang sangat penting di
dalam produk-produk Tata Ruang baik pada tingkat nasional hingga kecamatan. Produk kajian
geografis berupa pewilayahan daerah-daerah yang potensial untuk peruntukan tertentu dan
juga pewilayahan daerah-daerah rawan bencana yang kesemuanya itu umumnya disajikan
dalam bentuk peta. Apabila Tata Ruang dibuat dengan menggunakan masukan kajian-kajian
geografis baik yang bersifat sosial dan fisik maka sebenarnya akan menghasilkan Tata Ruang
yang secara fisik sesuai untuk peruntukan tertentu, secara fisik tidak/kurang terancam bencana
alam, dan secara sosial sesuai. Tata Ruang yang disusun dengan menggunakan masukan
kajian-kajian geografis secara menyeluruh dapat diartikan sebagai sebuah usaha untuk
meminimalkan risiko terhadap bencana dan mengoptimalkan produktivitas wilayah.
Unsur-unsur yang menjadi masukan (input) pada proses pembuatan Tata Ruang sebenarnya
telah memperhatikan obyek-obyek kajian geografis secara material. Namun karena pada
pelaksanaannya Tata Ruang sering dipandang sebagai produk politis maka obyek-obyek kajian
geografis yang menjadi masukan pada proses penyusunan Tata Ruang tidak dilakukan secara
utuh menyeluruh. Proses penyusunan Tata Ruang lebih banyak dilakukan oleh ahli-ahli ilmu
lain yang kurang atau bahkan tidak memahami sama sekali kajian geografis. Kurangnya
pengetahuan akan proses penyusunan Tata Ruang dan pemahaman makna Tata Ruang sering
menimbulkan keputusan politis yang kurang tepat antara lain berupa minimumnya pendanaan
untuk penyusunan Tata Ruang dan tidak disiplinnya pelaksanaan Tata Ruang. Penyusunan
Tata Ruang dengan minimumnya pendanaan telah mengakibatkan tidak dimungkinkannya
pelaksanaan kajian geografis secara menyeluruh sebagai masukan utama. Akibatnya produk

Tata Ruang lebih sering tidak sesuai secara fisik maupun sosial sehingga kurang layak secara
material untuk dijadikan pedoman dalam pelaksanaan pembangunan.
Contoh Kajian Geografis di Daerah Lampuuk, Aceh Besar NAD
Penelitian di Lampuuk dilakukan pasca kejadian Gempa Bumi dan Tsunami pada tanggal 26
Desember 2004. Daerah penelitian telah mengalami kerusakan lingkungan yang sangat parah
akibat bencana tersebut di atas. Dalam rangka pemulihan pasca bencana di daerah penelitian
mengalami permasalahan ketersediaan air bersih dikarenakan sumber-sumber air yang
biasanya dimanfaatkan penduduk telah tercemar air dan lumpur laut. Untuk itu, maka
penelitian ini bertujuan: (1) melakukan studi geomorfologi-tanah daerah Lampuuk dan
sekitarnya; (2) melakukan studi kualitas air di daerah Lampuuk dan sekitarnya; (3) melakukan
studi potensi air tanah di daerah Lampuuk dan sekitarnya; dan (4) menyusun rekomendasi
penyediaan air domestik bagi daerah Lampuuk
Metode yang digunakan di dalam penelitian di daerah Lampuuk adalah metode survei
lapangan yang dilakukan lintasan yang dibuat tegak lurus garis pantai. Ada 4 buah lintasan
yang dibuat yang ditujukan untuk pengamatan dan pengambilan contoh air dan tanah. Contoh
air dan dan tanah untuk selanjutnya dianalisis di laboratorium untuk tujuan penggunaan
sebagai air minum dan tanah untuk pertanian. Contoh air dan tanah diambil sebanyak 2 kali
masing-masing pada bulan Agustus 2005 dan Januari 2006. Studi potensi air tanah didasarkan
kepada pendugaan geolistrik dan pengamatan atas sumber-sumber air tanah dangkal pada
sumur-sumur yang telah ada.
Geomorfologi daerah Lampuuk tersusun atas bentuklahan asal proses gelombang, proses
angin, dan proses struktural. Bentuklahan asal proses gelombang terdiri dari rataan gelombang
(platform), beting gisik (beach ridge) muda, dewasa, dan tua, cekungan antara beting gisik
(swale) dan laguna (lagoon); bentuklahan asal proses angin terdiri dari gumuk pasir (sand
dunes) muda, dewasa dan tua yang letaknya menyatu dengan beting gisik dan tidak dapat
dipisahkan satu sama lain pada skala peta yang digunakan (lihat Gambar 1). Gumuk pasir
dapat dibedakan dengan beting gisik melalui pengamatan di lapangan atas dasar ciri
ketinggiannya (3 5 meter lebih tinggi dari sekitarnya), bentuk lonjong dan orientasinya
relatif tegak lurus garis pantai. Pada wilayah gumuk pasir tua dan perbukitan hampir tidak
mengalami kerusakan oleh karena gelombang Tsunami. Wilayah yang terkena dampak sangat
kuat oleh Tsunami adalah pada bentuklahan rataan gelombang; beting gisik muda, dewasa,
dan tua; cekungan antar beting gisik dan laguna.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas air permukaan telah tercemar berat oleh air laut
dengan ditunjukkan dengan daya hantar listrik yang masih lebih tinggi dari 10000 mikro mohs.
Kualitas air permukaan ini berpengaruh kuat kepada air tanah dangkal yang masih mempunyai
daya hantar listrik yang masih lebih tinggi dari 7000 mikro mohs. Kondisi morfologi
permukaan daerah penelitian yang berupa dataran dengan wilayah sekitar garis pantai yang

sedikit lebih tinggi (1 5 m dpal) dibandingkan dengan wilayah daratan di belakangnya telah
membuat genangan bekas Tsunami tidak dapat mengalir kembali ke laut. Klasifikasi gradien
hidraulik menurut Walton, 1962 terhadap air tanah
dangkal daerah penelitian tergolong sangat kecil (yaitu sebesar 0,001) sehingga air tanah
mengalir sangat lambat ke laut. Apabila kondisi yang demikian dibiarkan dalam kondisi alami,
maka proses pemuliah kualitas air tanah seperti sebelum Tsunami menjadi sangat lama (> 7
tahun). Atas dasar pengamatan lapangan melalui analisis geomorfologi daerah penelitian maka
disarankan agar genangan air bekas Tsunami dialirkan ke laut melalui dua saluran buatan yang
posisinya dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Bentuklahan di Daerah Lampuuk


Pendugaan potensi air tanah dalam melalui teknik geolistrik menunjukkan bahwa di daerah
penelitian tersusun atas batuan-batuan hasil endapan sungai dan gelombang dengan struktur
silang siur. Pada wilayah dengan kondisi batuan yang demikian potensi air tanahnya secara
kuantitas sangat tinggi, namun secara kualitas kurang baik karena hampir seluruh lapisan
batuan mengandung air payau. Kemungkinan memanfaatkan air tanah dalam pada satuan
bentuklahan beting gisik muda, dewasa, dan tua; cekungan antar beting gisik dan laguna
menjadi sangat kecil. Sumber air yang ada di sekitar Lampuuk dan memenuhi persyaratan air
minum hanya terdapat pada air tanah dangkal pada bentuklahan gumuk pasir tua yang
cadangannya terbatas. Pemanfaatan air hujan menjadi satu-satunya sumber air yang dapat

dikonsumsi yang relatif ekonomis dibandingkan apabila daerah Lampuuk harus dilakukan
dropping air selama > 7 tahun.
Berdasarkan atas studi kasus di daerah Lampuuk, maka jelas dapat dimengerti bahwa Geografi
dapat diterapkan untuk membantu penyelesaian permasalahan lingkungan pasca Tsunami pada
tanggal 26 Desember 2004 di NAD. Geografi tidak hanya dapat untuk membantu penyelesaian
masalah yang terkait dengan penyediaan air bersih saja, namun juga dapat membantu mencari
daerah-daerah aman dari Tsunami berdasarkan analisis genesis bentuklahan. Proses yang telah
pernah terjadi pada masa lalu akan terus berlangsung pada masa sekarang dan masa yang akan
datang meskipun dengan intensitas yang berbeda. Tsunami di Aceh tidak hanya terjadi pada
akhir tahun 2004 yang lalu namun berdasarkan analisis Karbon dan Argon yang dilakukan
oleh tim Tsunarisque menunjukkan bahwa +1400 tahun yang lalu pernah terjadi bencana
Tsunami serupa. Pengembangan permukiman di Lampuuk di masa yang akan datang
semestinya tidak menempati wilayah yang pada masa sebelum kejadian Tsunami terakhir
menjadi wilayah permukiman. Wilayah permukiman baru atau pengembangannya semestinya
menempati bentuklahan Gumuk Pasir Tua atau Lereng Kaki Perbukitan. Pengembangan
permukiman di wilayah permukiman yang lama harus disertai dengan pembangunan tempattempat evakuasi sementara yang dirancang khusus berdasarkan data ketinggian gelombang
pada saat Tsunami 2004 dan jarak dari permukiman. Sistem peringatan dini dan sosialisasi
mengenai proses terjadinya dan tanda-tanda akan terjadinya Tsunami harus terus dilakukan
kepada seluruh masyarakat yang tinggal di wilayah rawan bencana. Besarnya jumlah korban
pada kejadian Tsunami 2004 di Aceh banyak disebabkan karena masyarakat tidak
mengetahui/menyadari bahwa wilayahnya rawan bencana sehingga permukiman dengan
segala infrastrukturnya tidak dirancang untuk menghadapi bencana Tsunami.

Ucapan Terima Kasih


Pertama-tama penulis mengucapkan terima kasih kepada panitia Olimpiade Geografi Nasional
Tingkat SMA 2007 yang telah memberi kesempatan penulisan dan penyampaian makalah ini
di dalam sebuah seminar sebagai sebuah rangkaian tak terpisahkan dari Olimpiade Geografi.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh anggota tim
survei di Aceh dalam rangka penelitian Tsunarisque yang dibiayai oleh CNRS-Perancis yang
salah satu bagiannya dijadikan contoh kasus pada makalah ini.

Pustaka Acuan
Bintarto dan S. Hadisumarno, 1979. Metode Analisa Geografi. LP3ES. Jakarta
Fajar, G., J. Sartohadi, dan Soetoto, 2005. Pendekatan Geomorfologi untuk Karakterisasi
Gerakan Massa di Daerah Aliran Sungai Tinalah Kabupaten Kulonprogo Daerah
Istimewa Yogyakarta. Tekno Sains Journal S2 UGM, Januari 2005

Sartohadi, J., dan R. Purwaningsih, 2004. Korelasi Spasial Antara Tingkat Perkembangan
Tanah Dengan Tingkat Kerawanan Gerakan Massa Di DAS Kayangan, Kabupaten
Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Forum Geografi Indonesia, 2004
Sartohadi, J., 2005. Pemanfaatan Informasi Kerawanan Gerakan Massa Untuk Penilaian
Kemampuan Lahan Di Sub-DAS Maetan, Daerah Aliran Sungai Luk Ula, Propinsi
Jawa Tengah. Majalah Geografi Indonesia Edisi Maret 2005
Strahler, A.H., and A.N. Strahler, 1996. Geography and Mans Environment. John Willey &
Sons, Toronto.
Sutikno, 1995. Geomorfologi dan Prospeknya di Indonesia. Pidato Pengukuhan Jabatan
Gurubesar di Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Thornbury, W.D., 1965. Principles of Geomorphology. John Willey and Sons, New York
Walton, W. C. 1962. Selected Analytical Methods for Well and Aquifer Evaluation. Illinois
State Water Survey. Bulletin No. 49.

You might also like