You are on page 1of 44

1

STATUS PASIEN
1.1

Identitas Penderita
Nama penderita

: MA

Jenis kelamin

: laki-laki

Umur

: 2 tahun

Berat badan

: 17 kg

Anak Ke

:5

Tanggal Pemeriksaan

: 7 November 2014

Nomor CM

: 1-02-58-65

Identitas orang tua/wali


AYAH

Nama
: Tn. M Yunus
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Swasta
Alamat

IBU

Nama
: Ny.
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat

1.2

: Aceh Utara

: Aceh Utara

Anamnesa
Kiriman dari
: RSUD Bireuen
Dengan diagnosa
: Retinoblastoma
Anamnesis dengan
: Orang Tua
1. Keluhan Utama
: mata membesar
2. Keluhan Tambahan : mata merah
3. Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang ke RSUD Zainoel Abidin dengan rujukan dari ahli mata
RSU Fauziah Bireuen dengan diagnosa Retinoblastoma sinistra diantar oleh orang

tuanya dengan keluhan mata kiri semakin lama semakin membesar sejak 2
minggu yang lalu.
awalnya pasien mengeluhkan mata kiri merah sejak 2 bulan yang lalu,
mata merah yang dirasakan terus menerus, dan memberat sejak 2 minggu. pasien
juga mengeluhkan mata berair terus menerus tanpa disertai kotoran mata.
sebelumnya, pasien sudah berobat ke klinik ahli mata dan diberi obat tetes
mata, tetapi keluhan yang dialami pasien semakin memberat
Riwayat penyakit dahulu :
Riwayat diare berulang disangkal
4. Riwayat Kehamilan, Kelahiran, dan Tumbuh kembang

Pasien merupakan anak pertama


Pasien lahir spontan, cukup bulan, dibantu bidan, berat lahir 3200

gram, panjang lahir 49 cm

Riwayat tumbuh kembang kesan baik

5. Riwayat imunisasi

: Tidak lengkap

1.3 Status Internus


1.
2.
3.
4.
5.
6.
1.4

Keadaan Umum
Kesadaran
Nadi
Pernafasan
Suhu
Keadaan Gizi

: Pasien tampak kesakitan


: E4 M6 V5
: 128 kali/ menit
: 40 kali/menit
: 38,20C
: Gizi sedang

Pemeriksaan Fisik
a. Kulit
1. Warna

: Sawo matang

2. Turgor

: Kembali lambat

3. Sianosis

: Tidak ada

4. Ikterus

: Tidak ada

5. Oedema

: Tidak ada

6. Anemia

: Tidak ada

b. Kepala
1. Rambut

: Hitam, sukar dicabut

2. Wajah

: Simetris, edema (-), deformitas(-)

3. Mata

: Conjunctiva pucat (-/-), ikterik (-/-)

a. Pupil bulat isokor 3 mm/3 mm


b. Refleks cahaya langsung (+/+), dan
c. Refleks cahaya tidak langsung (+/+)
4. Telinga

: Serumen (-/-)

5. Hidung

: Sekret (-/-), hiperemis (-/-)

6. MulutBibir

: Bibir pucat (-), Mukosa Basah (+), sianosis (-)

c. Leher
1. Inspeksi

: Simetris

2. Pembesaran KGB : Tidak ada


d. Thorax
Paru

: Sonor, vesikuler, tidak ada rhonki, tidak ada


wheezing

Jantung

: Bunyi jantung I-II normal, tidak ada murmur


dan gallop

e. Abdomen

1. Inspeksi

: Membuncit, kontur usus tidak

terlihat, gambaran peristaltik tidak terlihat


2. Palpasi
: Tegang, hati dan lien sulit
dinilai, tidak ada defans muskular, tidak teraba
massa
: Timpani
: Bising usus menurun

3. Perkusi
4. Auskultasi
f. Genitalia

: Tidak diperiksa

g. Anus

: Tidak diperiksa

i. Kelenjar Limfe

: Pembesaran KGB (-)

j. Ekstremitas

: Akral hangat

Sianosi
s
Oedem
a
Fraktur
1.5

Superior
Kanan

Kiri

Inferior
Kanan

Kiri

Pemeriksaan Penunjang

A. Pemeriksaan Laboratorium
Hematologi
Darah Rutin
Hemoglobin
Hematokrit
Eritrosit
Leukosit
Trombosit
Hitung jenis :
Eosinofil
Basofil
Netrofil segmen

Hasil

Nilai Normal

11,9 g/dL
36 %
4,7.104/mm3
19,7.103/mm3
391.103U/L

10,5-12,9 g/dL
53-63 %
4,4-5,8.104/mm3
5,0-19,5.103/mm3
150-450.103U/L

0%
0%
71%

0-6%
0-2%
50-70%

Limfosit
Monosit
Kimia Klinik
Hati & Empedu
Protein Total
Albumin
Globulin
Elektrolit
Natrium ( Na)
Kalium (K)
Klorida (Cl)
B.

Pemeriksaan Radiologi
Foto Abdomen 2 Posisi

21%
8%

20-40%
2-8%

3,8 g/dL
2,20 g/dL
1,60 g/dL
117 mg/dL
137 mmol/L
2,7 mmol/L
109 mmol/L

6,4-8,3 g/dL
3,5-5,2 g/dL
<200 mg/dL
135-145 mmol/L
3,5-4,5 mmol/L
90-110 mmol/L

Gambar 1.1 Proyeksi supine

Gambar 1.2 Proyeksi Lateral Decubitus

Gambar 1.3 Gambaran USG abdomen

10

Foto Abdomen 2 Posisi :

Bayangan gas usus tampak meningkat


Tampak gambaran coiled spring dan hearing bone appearance
Bayangan hepar dan lien kesan tak membesar
Contour kedua ginjal tak tampak jelas
Corpus vertebrae, pedicle dan spatium intervertebralis tampak normal
Psoas shadow tak tampak jelas
Tak tampak bayangan radioopaque di sepanjang traktus urinarius

LLD :
Tampak step ladder
Tak tampak udara bebas di kavum abdomen
Kesimpulan: Suspect ileus obstruksi
USG
1. USG GINJAL
USG Ren kanan dan kiri:
Ren dextra : Ukuran normal, intensitas echo baik, tak tampak batu, system
pelviocalyceal normal, tak tampak kista atau massa, batas sinus
cortex baik.
Ren sinistra : Ukuran normal intensitas echo baik, tak tampak batu, system
pelviocalyceal normal, tak tampak kista atau massa, batas sinus
cortex baik.
Kesimpulan : USG ginjal normal
2. USG HEPAR/GB/LIEN
USG hepar/GB/Lien :
Hepar

: Ukuran normal, intensitas echo baik, vena porta dan hepatica


normal, system bilier normal, tak tampak massa solid atau
kistik, tak tampak abses.

11

GB

: Ukuran normal, tak tampak batu, dinding tak menebal

Lien

: Ukuran normal, intensitas echo baik, tak tampak massa solid


atau kistik.

Tampak dilatasi di usus dengan gambaran doughnut sign serta sosis sign di
iliaca dextra
Kesimpulan : GB/Hepar/Lien normal, Suspect invaginasi di iliocolocolical
3. USG PANCREAS/SYSTEM BILIER
USG pancreas dan system bilier :
Pancreas

: Ukuran normal, intensitas echo baik , tak tampak massa solid


atau kistik System bilier intra dan extra hepatic tampak normal.

Kesimpulan : USG pancreas dan system bilier normal.


4. USG VESICA URINARIA
USG vesica urinaria :
Vesica urinaria ukuran normal,dinding tak menebal, tak tampak batu
Kesimpulan : Vesica urinaria normal
1.6 Diagnosa
Diagnosa Klinis
1.7

: Ileus Obstruksi

Terapi

IVFD 4:1 600 cc/24jam

Inj. Ceftriaxone 350mg/12jam

Drip Metronidazole 60mg/8jam

Inj. Antrain 100mg/8jam

NGT

12

1.9

Catheter
Edukasi
Penjelasan mengenai keadaan pasien dan penjelasan mengenai faktor yang

memperberat gejala, agar faktor resiko tersebut dikurangi, jika memungkinkan


dihentikan serta menganjurkan pemberian ASI ekslusif selama 6 bulan.
1.10

Prognosa
Qou ad vitam
Quo ad functionam
Quo ad sanactionam

: Dubia ad bonam
: Dubia ad bonam
: Dubia ad bonam

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Intususepsi adalah proses dimana suatu segmen usus bagian proksimal

masuk ke dalam lumen usus bagian distalnya sehingga menyebabkan obstruksi

13

usus dan dapat menjadi strangulasi kemudian mengalami komplikasi yang


berujung pada sepsis dan kematian. Intususepsi merupakan salah satu kegawat
daruratan yang umum pada anak. Kelainan ini harus dikenali dengan cepat dan
tepat

serta

memerlukan

penanganan

segera

karena

misdiagnosis

atau

keterlambatan diagnosis akan meningkatkan angka morbiditas.1


Intususepsi pertama kali digambarkan oleh Paul Barbette di Amsterdam
pada tahun 1674. Jonathan Hutchinson melaporkan operasi pertama intususepsi
yang berjalan sukses terhadap anakusia 2 tahun pada tahun 1873.2 Literatur lain
menyebutkan Wilson merupakan yang pertama sukses dalam melakukan terapi
pembedahan intususepsi pada tahun 1831.3 Di tahun 1876, Harald Hirschprung
menggambarkan pendekatan sistematik dengan reduksi hidrostatik. Di Amerika
Serikat, Ravitch mempopulerkan penggunaan reduksi barium enema untuk
mengatasi intususepsi.2
Estimasi insidensi akurat dari intususepsi tidak tersedia untuk sebagian
besar negara berkembang, demikian juga di banyak negara maju. Irish (2011)
menyebutkan insiden intususepsi adalah 1,5-4 kasus per 1000 kelahiran hidup.
Berdasarkan usia, intususepsi paling banyak dialami oleh anak usia kurang dari 1
tahun dengan puncak usia 4-8 bulan. Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki paling
banyak mengalami intususepsi dengan rasio yang berbeda di masing-masing
wilayah dimana rasio laki-laki dan perempuan untuk wilayah Asia adalah 9:1.
Berdasarkan keterkaitan kejadian intususepsi dengan musim, didapatkan hasil
penelitian yang bervariasi di masing-masing wilayah di dunia. Intususepsi
dilaporkan sebagai suatu kejadian musiman dengan puncak pada musim semi,

14

musim panas,

dan

pertengahan

musim

dingin.

Berdasarkan

penelitian

epidemiologi intususepsi di Singapura tahun 1997-2004, insidensi intususepsi


mengalami penurunan dan tidak terkait dengan musim.3,4,5
Gejala klasik yang paling umum (85%) dari intususepsi adalah nyeri perut
yang sifatnya muncul secara tibatiba, kolik, intermiten, berlangsung hanya
selama beberapa menit. Gejala awal lain yang sering dikeluhkan yaitu muntah.
Kerusakan usus berupa nekrosis hingga perforasi usus dapat terjadi antara hari ke
2-5 dengan puncaknya pada hari ke 3 setelah gejala klinis terjadi. Hal tersebut
akan memperberat gejala obstruksi yang ditimbulkan oleh intususepsi dan akan
meningkatkan morbiditas dan mortalitas.3,5
Di negara maju, outcome dari pasien dengan intususepsi memiliki
prognosis yang lebih baik karena diagnosis yang tegak secara dini diikuti dengan
prosedur terapi yang kurang invasif seperti reduksi barium enema. Sebaliknya, di
negara berkembang, banyak anak dengan intususepsi dilaporkan mengalami
keterlambatan untuk mendapatkan terapi definitif. Tertundanya diagnosis yang
berlanjut menjadi nekrosis usus, diikuti dengan terapi reduksi operasi, memiliki
angka fatalitas yang tinggi, misalnya 18% di Nigeria, 20% di Indonesia dan
hingga 54% di Ethiopia.5,6,7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Anatomi Abdomen

2.1.1

Regio Abdomen

1. Hypochondrica sin/dex

15

2. Epigastrica
3. Umbilicalis
4. Para umbilicalis sin/dex
5. Hypogastrica
6. Inguinalis sin / dex

16

2.1.2

Organ Intra peritoneal


Organ yang

seluruh/hampir seluruh permukaan nya di selimuti oleh

peritoneum viscerale
1. Gaster
2. Jejenum
3. Ileum
4. Lien
5. Hepar
6. Colon sigmoid
2.1.3

Organ retroperitoneal
Hanya sebagian/tidak ada permukaan nya yang diselimuti oleh peritoneum

viscerale
1. Pancreas
2. Duodenum
3. Colon ascenden
4. Colon Descenden
5. Ren
GASTER
o

Kantong tempat mknan berkumpul

Jk kosong bentuk huruf J, jk penuh akan melengkung ke bawah


(GASTROPTOSIS)

Btknya sgt dipengaruhi oleh :


Jlh makanan

17

Gerakan peristaltik
Tekanan organ lain
Gerakan respirasi
Postur tubuh
o

Terletak di regio hypochondrium kiri & epigastrium abdomen

Terltk sejajar Vertebra Th7-L3

INTESTINUM TENNUE

Tdd : Duodenum, Jejunum, Ilium

Berawal dari Pylorus dan berakhir pada sambungan Ilium dg Caecum


(usus besar) disebut ILIO- CAECAL JUNCTION

Tempat pencernaan & absorbsi lengkap

18

.
Beda Jejenum dan Ileum
Jejenum
Mempunyai Mesenterium

Ileum
Lebih panjang ( 2 - 2,5 m) dari

lengkap

Jejunum & terletak dlm rongga

Panjang 50 cm, penampang

pelvis,lumen 25 mm, ke caudal

25-35 mm

makin sempit

Berkelok-kelok, berada di
bawah Colon Transversum,

Mempunyai mesenterium
lengkap

ditutupi Omentum Mayus


INTESTINUM CRASSUM

Membentang dari Ileocaecal Junction sampai ke anus (p. 1,5 m)

Tdd : Caecum, Appendix Vermiformis, Colon Ascendens, Colon


Transversum, Colon Descendens, Colon Sigmoid

Berfungsi merubah kandungan cairan pd Ilium mjd feces setengah padat


dg absorbsi cairan & elektrolit

Ciri Ciri bagian luar Intestinum Crassum:

Haustra ( mengantong )

Appendix Epiploica ( lipatan peritoneum yang berisi lemak )

19

Taenia( pita memanjang : serabut longitudinal colon ) :


a. Taenia Libera ( Anterior )
b. Taenia Omentalis ( Lateralis )
c.

Taenia Mesocolica ( Medialis )

Ke-3 nya bertemu pd ujung Caecum

Rectum tidak punya Haustra, Appendix Epiploica, Taenia & Peritonium


yang lengkap

RECTUM

Membentang dari Colon Sigmoid sampai ke Canalis Analis

Sepertiga Proximal sisi anterior & sepertiga tengah sisi bgn depan

20

dibungkus Peritoneum

Panjang 13 cm

ANUS

Hubungan rektum dg dunia luar

Terletak di dasar pelvis

Dindingnya diperkuat oleh 3 sfingter, yaitu:

Sfingter ani internus (sebelah atas), bekerja tdk menurut


kehendak

2.2

Sfingter levator ani, bekerja juga tidak menurut kehendak

Sfingter ani externus, bekerja menurut kehendak

Definisi Intususepsi
Intususepsi adalah proses dimana suatu segmen usus bagian proksimal

masuk ke dalam lumen usus bagian distalnya sehingga menyebabkan obstruksi


usus dan dapat berakhir dengan strangulasi. Umumnya bagian yang proksimal
atau disebut intususeptum masuk ke bagian distal atau disebut intussussipien.8,9
2.3

Epidemiologi
Estimasi insidensi akurat dari intususepsi tidak tersedia untuk sebagian

besar negara berkembang, demikian juga di banyak negara maju. Di Asia dalam
hal ini Taiwan dan Cina, dilaporkan insidens dari intususepsi adalah 0,77 per 1000
kelahiran hidup. Di India, angka kejadiannya dilaporkan berkisar 1,9-54,4 per
tahun. Tidak ada data yang menyebutkan tentang insidensi per kelahiran hidup. Di
Malaysia lebih kurang 10,4 bayi dan anak dirawat di RS Umum Kuala Lumpur
karena intususepsi per tahun. Di Indonesia, angka kejadian intususepsi di RS

21

wilayah pedesaan dan perkotaan didapatkan angka yang berbeda, yaitu masingmasing 5,8 dan 17,2 per tahun. Irish (2011) menyebutkan insiden intususepsi
adalah 1,5-4 kasus per 1000 kelahiran hidup. Intususepsi umumnya ditemukan
pada anak-anak di bawah 1 tahun dan frekuensinya menurun dengan
bertambahnya usia anak. Di Asia, insiden puncak antara usia 4-8 bulan.3,4,10
Umumnya intususepsi ditemukan lebih sering pada anak laki-laki. Di
Afrika, tepatnya di Tunisia, rasio laki-laki dibandingkan perempuan adalah 8:1. Di
Asia, rasio perbandingannya adalah 9:1. Di Timur Tengah, perbandingan antara
laki-laki dan perempuan berkisar antara 1,4:1 sampai 4:1.4
Berdasarkan keterkaitan kejadian intususepsi dengan musim, didapatkan
hasil penelitian yang bervariasi di masing-masing wilayah di dunia. Intususepsi
dilaporkan sebagai suatu kejadian musiman dengan puncak pada musim semi,
musim panas, dan pertengahan musim dingin. Periode ini berhubungan dengan
puncak munculnya gastroenteritis musiman dan infeksi saluran napas atas. Di
Asia, salah satunya Thailand insidens intususepsi meningkat antara bulan
September dan Januari dan kemudian April. Peningkatan ini bersamaan dengan
musim dingin dan panas yang merupakan puncak dari insidens infeksi saluran
napas atas dan gastroenteritis. Di Malaysia tidak ditemukan adanya perbedaan
musim terkait dengan intususepsi.3,4
2.4

Etiologi 11
Etiologi dari intususepsi terbagi menjadi 2, yaitu idiopatik dan kausal

1. Idiopatik

22

Menurut kepustakaan, 90-95 % intususepsi pada anak di bawah umur satu


tahun

tidak

dijumpai

sebagai infantile

penyebab

idiophatic

yang

spesifik

intussusceptions(13).

sehingga

digolongkan

Kepustakaan

lain

menyebutkan di Asia, etiologi idiopatik dari intususepsi berkisar antara 42-100%.


Definisi dari istilah intususepsi idiopatik bervariasi di antara penelitian
terkait intususepsi. Sebagian besar peneliti menggunakan istilah idiopatik untuk
menggambarkan kasus dimana tidak ada abnormalitas spesifik dari usus yang
diketahui dapat menyebabkan intususepsi seperti diverticulum meckel atau polip
yang dapat diidentifikasi saat pembedahan.
Intususepsi idiopatik memiliki etiologi yang tidak jelas. Salah satu teori
untuk menjelaskan kemungkinan etiologi intususepsi idiopatik adalah bahwa hal
itu terjadi karena Peyer patch yang membesar; hipotesis ini berasal dari 3
pengamatan: (1) penyakit ini sering didahului oleh infeksi saluran pernapasan
atas, (2) wilayah ileokolika memiliki konsentrasi tertinggi dari kelenjar getah
bening di mesenterium, dan (3) pembesaran kelenjar getah bening sering dijumpai
pada pasien yang memerlukan operasi. Apakah Peyer patch yang membesar
adalah reaksi terhadap intususepsi atau sebagai penyebab intususepsi, masih tidak
jelas.
2. Kausal
Pada penderita intususepsi yang lebih besar (lebih dua tahun), adanya
kelainan usus dapat menjadi penyebab intususepsi seperti: inverted Meckels
diverticulum, polip usus, leiomioma, leiosarkoma, hemangioma, blue rubber blep
nevi, lymphoma dan duplikasi usus(13). Divertikulum Meckel adalah penyebab

23

paling utama, diikuti dengan polip seperti peutz-jeghers syndrom, dan duplikasi
intestinal. Lead point lain diantaranya lymphangiectasias, perdarahan submukosa
dengan Henoch-Schnlein purpura, trichobezoars dengan Rapunzel syndrome,
caseating granulomas yang berhubungan dengan tuberkulosis abdominal.
Intususepsi dapat juga terjadi setelah laparotomi, yang biasanya timbul
setelah dua minggu pasca bedah, hal ini terjadi akibat gangguan peristaltik usus,
disebabkan manipulasi usus yang kasar dan lama, diseksi retroperitoneal yang luas
dan hipoksia lokal.
2.5

Patogenesis
Patogenesis

dari

intususepsi

diyakini

akibat

sekunder

dari

ketidakseimbangan pada dorongan longitudinal sepanjang dinding intestinal.


Ketidakseimbangan ini dapat disebabkan oleh adanya massa yang bertindak
sebagai pencetus atau oleh pola yang tidak teratur dari peristalsis (contohnya,
ileus pasca operasi). Gangguan elektrolit berhubungan dengan berbagai masalah
kesehatan yang dapat mengakibatkan motilitas intestinal yang abnormal, dan
mengarah pada terjadinya invaginasi. Beberapa penelitian terbaru pada binatang
menunjukkan pelepasan nitrit oksida pada usus, suatu neurotransmitter
penghambat, menyebabkan relaksasi dari katub ileocaecal dan mempredisposisi
intususepsi

ileocaecal.

Penelitian

lain

telah

mendemonstrasikan

bahwa

penggunaan dari beberapa antibiotik tertentu dapat menyebabkan hiperplasia


limfoid ileal dan dismotilitas intestinal dengan intususepsi.1
Sebagai hasil dari ketidakseimbangan, area dari dinding usus terinvaginasi
ke dalam lumen. Proses ini terus berjalan, dengan diikuti area proximal dari

24

intestinal, dan mengakibatkan intususeptum berproses sepanjang lumen dari


intususipiens. Apabila terjadi obstruksi sistem limfatik dan vena mesenterial,
akibat penyakit berjalan progresif dimana ileum dan mesenterium masuk ke dalam
caecum dan colon, akan dijumpai mukosa intussusseptum menjadi oedem dan
kaku. Mengakibatkan obstruksi yang pada akhirnya akan dijumpai keadaan
strangulasi dan perforasi usus.1,11
Pembuluh darah mesenterium dari bagian yang terjepit mengakibatkan
gangguan venous return sehingga terjadi kongesti, oedem, hiperfungsi goblet sel
serta laserasi mukosa usus. Hal inilah yang mendasari terjadinya salah satu
manifestasi klinis intususepsi yaitu BAB darah lendir yang disebut juga red
currant jelly stool.1,3,11

Gambar 2.1 Ilustrasi Patogenesis Intususepsi


2.6

Faktor-faktor yang dihubungkan dengan terjadinya intususepsi

25

Penyakit ini sering terjadi pada umur 3-12 bulan, dimana pada saat itu
terjadi perubahan diet makanan dari cair ke padat, perubahan pemberian makanan
ini dicurigai sebagai penyebab terjadi intususepsi. Intususepsi kadang-kadang
terjadi setelah/selama enteritis akut, sehingga dicurigai akibat peningkatan
peristaltik usus. Gastroenteritis akut yang dijumpai pada bayi, ternyata ditemukan
kuman rotavirus menjadi agen penyebabnya, dimana pengamatan 30 kasus
intususepsi bayi ditemukan virus ini dalam feses sebanyak 37%. Pada beberapa
penelitian terakhir ini didapati peninggian insidens adenovirus dalam feses
penderita intususepsi.11
2.7

Jenis Intususepsi
Jenis intususepsi dapat dibagi menurut lokasinya pada bagian usus mana

yang terlibat, pada ileum dikenal sebagai jenis ileo-ileal.Pada kolon dikenal
dengan jenis colo-colica dan sekitar ileo-caecal disebut ileocaecal, jenis-jenis
yang disebutkan di atas dikenal dengan intususepsi tunggal dimana dindingnya
terdiri dari tiga lapisan.
Jika dijumpai dinding yang terdiri dari lima lapisan, hal ini sering pada
keadaan yang lebih lanjut disebut jenis intususepsi ganda, sebagai contoh adalah
jenis ileo-ileo-colica atau colo-colica. Suwandi J.Wijayanto E. di Semarang
selama 3 tahun (1981-1983) pada pengamatannya mendapatkan jenis intususepsi
sebagai berikut: Ileo-ileal 25%, ileo-colica 22,5%, ileo-ileo-colica 50% dan colocolica 22,5%.

26

Gambar 2.2 Gambaran Intraoperatif intususepsi ileolica

Gambar 2.3 Gambaran intraoperatif intususepsi ileoileal


2.8

Gambaran klinis
Secara klasik perjalanan suatu intususepsi memperlihatkan gambaran

sebagai berikut:
Anak atau bayi yang semula sehat dan biasanya dengan keadaan gizi yang
baik, tiba-tiba menangis kesakitan, terlihat kedua kakinya terangkat ke atas,
penderita tampak seperti kejang dan pucat menahan sakit, serangan nyeri perut
seperti ini berlangsung dalam beberapa menit. Di luar serangan, anak/bayi

27

kelihatan seperti normal kembali. Pada waktu itu sudah terjadi proses intususepsi.
Serangan nyeri perut datangnya berulang-ulang dengan jarak waktu 15-20 menit
dengan lama serangan 2-3 menit. Pada umumnya selama serangan nyeri perut itu
diikuti dengan muntah berisi cairan dan makanan yang ada di lambung.3,11
Sesudah beberapa kali serangan dan setiap kalinya memerlukan tenaga,
maka di luar serangan si penderita terlihat lelah dan lesu dan tertidur sampai
datang serangan kembali. Proses intususepsi pada mulanya belum terjadi
gangguan pasase isi usus secara total, anak masih dapat defekasi berupa feses
biasa, kemudian feses bercampur darah segar dan lendir, kemudian defekasi hanya
berupa darah segar bercampur lendir tanpa feses. BAB darah dan lendir (red
currant jelly stool) baru dijumpai sesudah 6-8 jam serangan sakit yang pertama
kali, kadang-kadang sesudah 12 jam. BAB darah lendir ini bervariasi jumlahnya
dari kasus per kasus, ada juga yang dijumpai hanya pada saat melakukan colok
dubur.

28

Gambar 2.4 Red currant jelly stool


Karena sumbatan belum total, perut belum kembung dan tidak tegang,
dengan demikian mudah teraba gumpalan usus yang terlibat intususepsi sebagai
suatu massa tumor berbentuk curved sausage di dalam perut di bagian kanan atas,
kanan bawah, atas tengah atau kiri bawah. Tumor lebih mudah teraba pada waktu
terdapat peristaltik, sedangkan pada perut bagian kanan bawah teraba kosong yang
disebut dances sign. Hal ini akibat caecum dan kolon naik ke atas, ikut proses
intususepsi.1,2,8,11
Sesudah 18-24 jam serangan sakit yang pertama, usus yang tadinya
tersumbat partial berubah menjadi sumbatan total, diikuti proses oedem yang
semakin bertambah, sehingga pada pasien dijumpai tanda-tanda obstruksi, seperti
perut kembung dengan gambaran peristaltik usus yang jelas, muntah warna hijau
dan dehidrasi.
Oleh karena perut kembung maka massa tumor tidak dapat diraba lagi dan
defekasi hanya berupa darah dan lendir. Apabila keadaan ini berlanjut terus akan
dijumpai muntah feses, dengan demam tinggi, asidosis, toksis dan terganggunya

29

aliran pembuluh darah arteri. Pada segmen yang terlibat menyebabkan nekrosis
usus, gangren, perforasi, peritonitis umum, shock dan kematian.
Pada pemeriksaan colok dubur didapati :

Tonus sphincter melemah, mungkin invaginat dapat diraba berupa massa


seperti portio bila jari ditarik, keluar darah bercampur lendir.
Perlu perhatian bahwa untuk penderita malnutrisi, gejala-gejala intususepsi

tidak khas. Tanda-tanda obstruksi usus baru timbul dalam beberapa hari. Pada
penderita ini tidak jelas tanda adanya sakit berat. Pada defekasi tidak ada darah.
Intususepsi dapat mengalami prolaps melewati anus. Hal ini mungkin disebabkan
pada pasien malnutrisi, memiliki tonus yang melemah, sehingga obstruksi tidak
cepat timbul.
2.9

Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis intususepsi didasarkan pada anamnesis,

pemeriksaan fisik, laboratorium dan radiologi.


Gejala klinis yang menonjol dari intususepsi adalah suatu trias gejala yang
terdiri dari:
1. Nyeri perut yang datangnya secara tiba-tiba, nyeri bersifat hilang timbul.
Nyeri menghilang selama 10-20 menit, kemudian timbul lagi serangan baru.
2. Teraba massa tumor di perut bentuk curved sausage pada bagian kanan atas,
kanan bawah, atas tengah, kiri bawah atau kiri atas.
3. Buang air besar campur darah dan lendir yang disebut red currant jelly
stool.

30

Bila penderita terlambat memeriksakan diri, maka sukar untuk meraba


adanya tumor, oleh karena itu untuk kepentingan diagnosis harus berpegang
kepada gejala trias intususepsi. Mengingat intususepsi sering terjadi pada anak
berumur di bawah satu tahun, sedangkan penyakit disentri umumnya terjadi pada
anak-anak yang mulai berjalan dan mulai bermain sendiri maka apabila ada pasien
datang berumur di bawah satu tahun, sakit perut yang bersifat kolik sehingga anak
menjadi rewel sepanjang hari/malam, ada muntah, buang air besar campur darah
dan lendir maka pikirkanlah kemungkinan intususepsi.
The Brighton Collaboration Intussuseption Working Group mendirikan
sebuah diagnosis klinis menggunakan campuran dari kriteria minor dan mayor.
Strasifikasi ini membantu untuk membuat keputusan berdasarkan tiga level dari
pembuktian untuk membuktikan apakah kasus tersebut adalah intususepsi.
Kriteria Mayor:
1. Adanya bukti dari obstruksi usus berupa adanya riwayat muntah hijau,
diikuti dengan distensi abdomen dan bising usus yang abnormal atau tidak
ada sama sekali.
2. Adanya gambaran dari invaginasi usus, dimana setidaknya tercakup hal-hal
berikut ini: massa abdomen, massa rectum atau prolaps rectum, terlihat pada
gambaran foto abdomen, USG maupun CT Scan.
3. Bukti adanya gangguan vaskularisasi usus dengan manifestasi perdarahan
rectum atau gambaran feses red currant jelly pada pemeriksaan Rectal
Toucher.
Kriteria Minor:

31

1. Bayi laki-laki kurang dari 1 tahun


2. Nyeri abdomen
3. Muntah
4. Lethargi
5. Pucat
6. Syok hipovolemi
7. Foto abdomen yang menunjukkan abnormalitas tidak spesifik.
Berikut ini adalah pengelompokkan berdasarkan tingkat pembuktian, yaitu
:
Level 1 Definite (ditemukannya satu kriteria di bawah ini):
-

Kriteria Pembedahan Invaginasi usus yang ditemukan saat pembedahan

Kriteria Radiologi Air enema atau liquid contrast enema menunjukkan


invaginasi dengan manifestasi spesifik yang bisa dibuktikan dapat direduksi
oleh enema tersebut.

Kriteria Autopsi Invagination dari usus

Level 2 Probable (salah satu kriteria di bawah):


-

Dua kriteria mayor

Satu kriteria mayor dan tiga kriteria minor

Level 3 Possible:
-

Empat atau lebih kriteria minor

2.10Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium11,12

32

Meskipun hasil laboratorium tidak spesifik untuk menegakkan diagnosis


intususepsi, sebagai proses dari progresivitas, akan didapatkan abnormalitas
elektrolityang berhubungan dengan dehidrasi, anemia dan atau peningkatan
jumlah leukosit (leukositosis >10.000/mm3).
Pemeriksaan Radiologi
Foto polos abdomen
Didapatkan distribusi udara di dalam usus tidak merata, usus terdesak ke
kiri atas, bila telah lanjut terlihat tanda-tanda obstruksi usus dengan gambaran air
fluid level. Dapat terlihat free air bila terjadi perforasi.

Gambar 2.5 Gambaran radiologi usus terdesak ke kiri atas


Literatur lain menyebutkan bahwa foto polos hanya memiliki akurasi
diagnostik

45%

untuk

menegakkan

diagnosis

intususepsi

sehingga

penggunaannya tidak diindikasikan jika ada fasilitas USG. Berdasarkan penelitian


yang dilakukan Hooker et al tahun 2008 dalam Radiographic Evaluation of

33

Intussusception, tampilan foto polos abdomen dengan posisi left side down
decubitus meningkatkan kemampuan untuk diagnosis atau menyingkirkan
intususepsi.8,13

Gambar 2.6 Foto polos abdomen; tampak bayangan massa (tanda panah)
merupakan bagian usus yang masuk ke lumen usus proksimal

Gambar 2.7 Foto polos abdomen tampak adanya Hearing Bone Appearance

34

Gambar 2.8 Gambaran foto polos abdomen anak usia 3 tahun dengan intususepsi
pada caecum. Posisi decubitus memperlihatkan colon ascenden lebih jelas (tanda
panah). Setelah dikonfirmasi dengan barium enema, maka anak ini diketahui
mengalami intususepsi caecal

Gambar 2.9 Gambaran radiologi Colied spring appearance pada intususepsi

35

Barium enema
Dikerjakan untuk tujuan diagnosis dan terapi, untuk diagnosis dikerjakan
bila gejala-gejala klinik meragukan. Pada barium enema akan tampak
gambaran cupping,coiled spring appearance.

Gambar 2.10 Colon in loop pada intussusception di daerah colon


ascenden.
Ultrasonografi Abdomen
Pada tampilan transversal USG, tampak konfigurasi usus berbentuk
target atau donat yang terdiri dari dua cincinechogenisitas rendah yang
dipisahkan oleh cincin hiperekoik, tidak ada gerakan pada donat tersebut dan
ketebalan tepi lebih dari 0,6 cm. Ketebalan tepi luar lebih dari 1,6 cm
menunjukkan perlunya intervensi pembedahan. Pada tampilan logitudinal
tampak pseudokidney sign yang timbul sebagai tumpukan lapisan hipoekoik dan
hiperekoik.

36

Pemeriksaan USG selain sebagai diagnostik, juga dapat digunakan untuk


membantu mendiferensiasikan tipe dari intususepsi. Park et al (2007) melaporkan
bahwa intususepsi transien dari usus kecil lebih sering terlokalisir pada kuadran
kanan bawah atau region periumbilikal, memiliki diameter anteroposterior yang
lebih kecil (1,38 cm vs 2,53 cm), memiliki garis luar yang lebih tipis (0,26 cm vs
0,53 cm), dan tidak memiliki nodus limfatikus, dimana berbanding terbalik
dengan intususepsi ileocolic.
Sebuah studi oleh Munden et al (2007) mendukung penemuan ini, dengan
diameter anteroposterior rata-rata adalah 1,5 cm pada intususepsi ileoileal dan 3,7
cm pada intususepsi ileocolic dan panjang rata-ratanya berkisar 2,5 cm dan 8,2 cm
secara respektif.

Gambar 2.11 (a) Gambaran radiologi target sign (b) pseudokidney sign pada USG

37

Gambar 2.12 (A). Irisan melintang dan (B), irisan memanjang dari invaginasi
pada USG

CT Scan
Intususepsi yang digambarkan pada CT scan merupakan gambaran klasik
seperti pada USG yaitu target sign. Intususepsi temporer dari usus halus dapat
terlihat pada CT maupun USG, dimana sebagian besar kasus ini secara klinis tidak
signifikan.

Gambar 2.13 Gambaran radiologi target sign pada CT scan

38

2.11

Diagnosis Banding

1. Gastroenteritis, bila diikuti dengan intususepsi dapat ditandai jika dijumpai


perubahan rasa sakit, muntah dan perdarahan.
2. Divertikulum Meckel, dengan perdarahan, biasanya tidak ada rasa nyeri.
3. Disentri amoeba, disini diare mengandung lendir dan darah, serta adanya
obstipasi, bila disentri berat disertai adanya nyeri di perut, tenesmus dan
demam.
4. Enterokolitis, tidak dijumpai adanya nyeri di perut yang hebat.
5. Prolapsus recti atau Rectal prolaps, dimana biasanya terjadi berulang kali
dan pada colok dubur didapati hubungan antara mukosa dengan kulit
perianal, sedangkan pada intususepsi didapati adanya celah.
2.12

Penatalaksanaan
Pada bayi maupun anak yang dicurigai intususepsi atau invaginasi,

penatalaksanaan lini pertama sangat penting dilakukan untuk mencegah


komplikasi yang lebih lanjut. Selang lambung (Nasogastric tube) harus dipasang
sebagai tindakan kompresi pada pasien dengan distensi abdomen sehingga bisa
dievaluasi produksi cairannya. Setelah itu, rehidrasi cairan yang adekuat
dilakukan untuk menghindari kondisi dehidrasi dan pemasangan selang catheter
untuk memantau ouput dari cairan. Pemeriksaan darah lengkap dan elektrolit
darah dapat dilakukan.
Pneumatic atau kontras enema masih menjadi pilihan utama untuk
diagnosa maupun terapi reduksi lini pertama pada intususepsi di banyak pusat
kesehatan. Namun untuk meminimalisir komplikasi, tindakan ini harus dilakukan

39

dengan memperhatikan beberapa panduan. Salah satunya adalah menyingkirkan


kemungkinan adanya peritonitis, perforasi ataupun gangrene pada usus. Semakin
lama riwayat perjalanan penyakitnya, semakin besar kemungkinan kegagalan dari
terapi reduksi tersebut.

Tindakan Non Operatif


A. Hydrostatic Reduction
Metode reduksi hidrostatik tidak mengalami perubahan signifikan sejak
dideskripsikan pertama kali pada tahun 1876. Meskipun reduksi hidrostatik
dengan menggunakan barium di bawah panduan fluoroskopi telah menjadi
metode yang dikenal sejak pertengahan 1980-an, kebanyakan pusat pediatrik
menggunakan kontras cairan saline (isootonik) karena barium memiliki potensi
peritonitis yang berbahaya pada perforasi intestinal.
Berikut ini adalah tahapan pelaksanaannya:
1. Masukkan kateter yang telah dilubrikasi ke dalam rectum dan difiksasi kuat
diantara pertengahan bokong.
2. Pengembangan balon kateter kebanyakan dihindari oleh para radiologis
sehubungan dengan risiko perforasi dan obstruksi loop tertutup.
3. Pelaksanaannya memperhatikan Rule of three yang terdiri atas: (1)
reduksi hidrostatik dilakukan setinggi 3 kaki di atas pasien; (2) tidak boleh
lebih dari 3 kali percobaan; (3) tiap percobaan masing-masing tidak boleh
lebih dari 3 menit.

40

4. Pengisian dari usus dipantau dengan fluoroskopi dan tekanan hidrostatik


konstan dipertahankan sepanjang reduksi berlangsung.
5. Reduksi hidrostatik telah sempurna jika media kontras mengalir bebas
melalui katup ileocaecal ke ileum terminal. Reduksi berhasil pada rentang
45-95% dengan kasus tanpa komplikasi.
Selain penggunaan fluoroskopi sebagai pemandu, saat ini juga dikenal
reduksi menggunakan air (dilusi antara air dan kontras soluble dengan
perbandingan 9:1) dengan panduan USG. Keberhasilannya mencapai 90%, namun
sangat tergantung pada kemampuan expertise USG dari pelakunya.
Teknik non pembedahan ini memiliki beberapa keuntungan dibandingkan
dengan reduksi secara operatif. Diantaranya yaitu: penurunan angka morbiditas,
biaya, dan waktu perawatan di rumah sakit.
B. Pneumatic Reduction
Prosedur ini dimonitor secara fluroskopi sejak udara dimasukkan ke dalam
rectum. Tekanan udara maksimum yang aman adalah 80 mmHg untuk bayi dan
110-120 mmHg untuk anak. Penganut dari model reduksi ini meyakini bahwa
metode ini lebih cepat, lebih aman dan menurunkan waktu paparan dari radiasi.
Pengukuran tekanan yang akurat dapat dilakukan, dan tingkat reduksi lebih tinggi
daripada reduksi hidrostatik. Berikut ini adalah langkah-langkah pemeriksaannya:
1. Sebuah kateter yang telah dilubrikasi ditempatkan ke dalam rectum dan
direkatkan dengan kuat.
2. Sebuah manometer dan manset tekanan darah dihubungkan dengan kateter,
dan udara dinaikkan perlahan hingga mencapai tekanan 70-80 mmHg

41

(maksimum 120 mmHg) dan diikuti dengan fluoroskopi. Kolum udara akan
berhenti pada bagian intususepsi, dan dilakukan sebuah foto polos.
3. Jika tidak terdapat intususepsi atau reduksinya berhasil, udara akan teramati
melewati usus kecil dengan cepat. Foto lain selanjutnya dibuat pada sesi ini,
dan udara akan dikeluarkan duluan sebelum kateter dilepas.
4. Untuk

melengkapi

prosedur

ini,

foto

post

reduksi

(supine

dan decubitus/upright views) harus dilakukan untuk mengkonfirmasi


ketiadaan udara bebas.
5. Reduksi yang sulit membutuhkan beberapa usaha lebih. Penggunaan
glucagon (0.5 mg/kg) untuk memfasilitasi relaksasi dari usus memiliki hasil
yang beragam dan tidak rutin dikerjakan.

Tindakan Operatif
Apabila diagnosis intususepsi yang telah dikonfirmasi oleh x-ray,
mengalami kegagalan dengan terapi reduksi hidrostatik maupun pneumatik,
ataupun ada bukti nyata akan peritonitis difusa, maka penanganan operatif harus
segera dilakukan.
2.12

Komplikasi
Intususepsi dapat menyebabkan terjadinya obstruksi usus. Komplikasi lain

yang dapat terjadi adalah dehidrasi dan aspirasi dari emesis yang terjadi. Iskemia
dan nekrosis usus dapat menyebabkan perforasi dan sepsis. Nekrosis yang
signifikan pada usus dapat menyebabkan komplikasi yang berhubungan
dengan short bowel syndrome. Meskipun diterapi dengan reduksi operatif

42

maupun radiografik, striktur dapat muncul dalam 4-8 minggu pada usus yang
terlibat.
2.13Prognosis
Kematian disebabkan oleh intususepsi idiopatik akut pada bayi dan anakanak sekarang jarang di negara maju. Sebaliknya, kematian terkait dengan
intususepsi tetap tinggi di beberapa negara berkembang. Pasien di negara
berkembang cenderung untuk datang ke pusat kesehatan terlambat, yaitu lebih
dari 24 jam setelah timbulnya gejala, dan memiliki tingkat intervensi bedah,
reseksi usus dan mortalitas lebih tinggi.
Mortalitas secara signifikan lebih tinggi (lebih dari sepuluh kali lipat
dalam kebanyakan studi) pada bayi yang ditangani 48 jam setelah timbulnya
gejala daripada bayi yang ditangani dalam waktu 24 jam setelah onset pertama.
Angka rekurensi dari intususepsi untuk reduksi nonoperatif dan operatif masingmasing rata-rata 5% dan 1-4%.

43

DAFTAR PUSTAKA
1. Blanco FC. Intussusception. Medscape Reference [serial online] 2012 Jan
13

[disitasi

tanggal

2013

Des

25];

dapat

diakses

pada

URL: http://emedicine.medscape.com/article/930708-overview#showall
2. Fallan ME. Intussusception in Pediatric Surgery, Ashcraft KW, Holder TM
(eds). 4th ed. Philadelphia: WB Saunders Company, 2005.
3. Irish MS. Pediatric intussusception surgery. Medscape Reference [serial
online] 2011 Apr 14 [disitasi pada 2013 Des 25]; dapat diakses pada :
URL: http://emedicine.medscape.com/article/937730-overview#showall
4. Bines J, Ivanoff B. Acute Intussusception in Infants and Children:
Incidence, Clinical Presentation and Management: A Global Perspective.
Geneva, Switzerland: World Health Organization, 2002.
5. Boudville IC, Phua KB, Quak SH, Lee BW, Han HH, Verstraeten T, et al.
The epidemiology of Paediatric Inturssusception in Singapore: 1997 to
2004. Ann Acad Med Singapore 2006;35:674-9.e
6. Ekenze SO, Mgbor SO. Childhood intussusception: The implications of
delayed presentation. Afr J Paediatr Surg 2011;8:15-8.
7. Van Heek NT, Aronson DC, Halimun EM, Soewarno R, Molenaar JC, Vos
A. Intussusception in a tropical country: comparison among patient
populations

in

Jakarta,

Jogyakarta,

Gastroenterol Nutr 1999;29:402-5.

and

Amsterdam.

Pediatr

44

8. Ramachandran P. Intussusception in pediatric surgery diagnosis and


management. Puri P, Hollwarth M editors. Spinger: Dordrecht Heidelberg.
2009.
9. Pendergast LA & Wilson M. Intussusception: a sonographers perspective.
JDMS 19:231-238. Jul-Aug. 2003.
10. http://www.netterimages.com/images/vpv/000/000/006/671005500475.jpg
11. Santoso MIJ, Yosodiharjo A, Erfan F. Hubungan antara lama timbulnya
gejala klinis awal hingga tindakan operasi dengan lama rawatan pada
penderita invaginasi yang dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan.
Universitas Sumatera Utara: Medan. 2011.
12. Ignacio RC, Fallat ME. Intussusception. In: Holcomb GW. III, Murphy
JM, eds. Ashcrafts Pediatric Surgery. Philadelphia, PA: Elsevier,
2010.p.508.
13. Hooker RL, Schulman MH, Yu Chang, Kan JH. Radiographic evaluation
of intussusception: utility of left side down decubitus view. RSNA
2008;248:3.

You might also like