You are on page 1of 30

Buku Pelayanan Pastoral bagi OMK

KATA PENGANTAR
Komisi Kepemudaan Keuskuapan Agung Makassar (Komkep KAMS) merupakan
Komisi yang dibentuk untuk memberikan pelayanan pastoral bagi OMK dalam
wilayah Keuskupan Agung Makassar. Komkep Kams juga adalah bagian dari Komisi
Kepemudaan KWI. Oleh karena itu arah pelayanan dan program dari Komisi
Kepemudaan KAMS sesuai dan searah dari visi pastoral dan program yang telah
dibuat dan diprogramkan Komisi Kepemudan KWI. Untuk visi pastoral
Pendampingan OMK, Komkep Kams berpedoman pada Buku Pedoman Pastoral
Karya Orang Muda (PPKM) yang diterbitkan Komkep KWI.

Setelah rapat pleno dari Komisi Kepemudaan KWI yang dihadiri oleh seluruh
KOMKEP dari seluruh Indonesia, disepakati bersama untuk melaksanakan 4
program yang akan ditindaklanjuti di seluruh Indonesia sejak tahun 2011 baik di
tingkat regional maupun di Keuskupan masing masing. Adapun ke empat
program itu adalah:
1. Pelatihan Pendidikan Nilai
2. Pelatihan Training For Trainers (TFT)
3. Pelatihan Pendidikan Politik
4. Pelatihan Kewirausahaan OMK

Untuk melaksankan dan menindaklanjuti program tersebut, Komkep KAMS sesuai


dengan sumber daya dan sumber dana yang ada serta adanya kebutuhan dari
lapangan, mengadakan salah satu dari program itu, yaitu Pelatihan Training for
Trainers (TFT) dimana yang menjadi sasaran dari program pelatihan ini adalah Seksi
Kepemudaan Paroki (SKP) dan Para Pendamping OMK atau mungkin juga calon
pendamping OMK. Bahan dan materi yang disajikan selama pelatihan berasal dari:
Buku PPKM, pengalaman dalam memberi Training, bahan yang disharingkan dari
Trainers Komkep dari Keuskupan lain dan sumber sumber yang ada di Komkep KWI.

Pelayanan pastoral bagi OMK telah dilaksanakan oleh Komkep Kams


bersama Tim, yang terdiri atas 4 orang. Tim ini telah bekerja bersama-sama untuk
memberikan pelayanan bagi OMK diwilayah Keuskupan Makassar sejak tahun 2008
sampai sekarang. Masing masing dengan latar belakang berbeda dan pengalaman

berbeda secara sukarela bersedia memberikan pikiran, waktu, tenaga untuk


melayani OMK . Ke 4 Tim kepemudaan KAMs yaitu:
1. P. Yulius Malli, Pr
2. Henny Maria Anastasia, S.Pd
3. Joanna Fredericka Manurip, A.Md
4. Thonny Iwan, S.Si
Besar harapan kami, pelatihan dan materi yang disajikan dan terlebih sharing dari
peserta yang hadir semakin memperkarya pengetahuan, ketrampilan, motivasi dan
spitiualitas kita untuk memberi apa yang terbaik bagi OMK di tempat kita masing
masing.

I.

ORANG MUDA KATOLIK (OMK)

Yang dimaksud dengan OMK menurut Pedoman Karya Pastoral Kaum Muda
(PKPKM) yang dikeluarkan Komisi Kepemudaan KWI adalah mereka yang berusia 13
s.d. 35 tahun dan belum menikah, sambil tetap memperhatikan situasi dan
kebiasaan masing-masing daerah. OMK mencakup jenjang usia remaja, taruna dan
pemuda.

Kaum muda (youth, bhs. Ing) adalah kata kolektif untuk orang yang berada pada
rentang umur 11-25 tahun37. Sedangkan Komisi Kepemudaan mengambil batas 1335 tahun. Rentang umur ini merujuk pada buku Pendidikan Politik Bagi Generasi
Muda dan Keputusan Badan Koordinasi Penyelenggaraan Pembinaan dan
Pengembangan Generasi Muda No. 01/BK tahun 1982 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Pendidikan Politik Bagi Generasi Muda yang dikeluarkan oleh Kantor Menpora
tahun 1985.

Rentang umur tersebut menunjukkan bahwa kaum muda terdiri atas usia remaja
sampai dengan dewasa awal. Rentang umur tersebut dikategorisasi lebih rinci demi
efektivitas pendampingan . Kategorisasi tersebut sebagai berikut:
1. Kelompok usia remaja (13 - 15 tahun)
2. Kelompok usia taruna (16 - 19 tahun)
3. Kelompok usia madya (20 - 24 tahun)
4. Kelompok usia karya (25 - 35 tahun)

Dalam pendampingan OMK harus dipandang sebagai pribadi yang sedang


berkembang. Mereka memiliki ciri khas dan keunikan yang tak tergantikan,
kualitas, bakat dan minat yang perlu dihargai. Mereka mempunyai perasaan, pola
pikir, tata nilai dan pengalaman tertentu, serta masalah dan kebutuhan yang perlu
dipahami. Mereka memiliki hak dan kewajiban, tanggung jawab dan peran tersendiri
yang perlu diberi tempat. Semua itu merupakan potensi untuk dikembangkan dalam
proses pembinaan, sehingga kaum muda dapat berperan aktif-positif dalam
kehidupan Keluarga, Gereja dan Masyarakatnya.

Hendaknya OMK diberi kemungkinan, kesempatan, kepercayaan dan tanggung


jawab sebagai subyek dan pelaku utama proses bina diri dan saling bina. Mereka
bukan lagi bejana kosong yang perlu diisi atau lilin yang harus dibentuk menurut
selera para pembina. Dengan demikian, segala bentuk pembinaan yang sifatnya
menggiring, mendikte, mengobyekkan dan memperalat kaum muda demi suatu
kepentingan di luar perkembangan diri mereka dan peran serta tersebut di atas
haruslah dihindari dan dihilangkan. Hakekat pembinaan kaum muda, sebagai karya
pastoral, adalah pelayanan dan pendampingan.

Secara teritorial OMK, sebagai umat muda dalam suatu paroki adalah OMK paroki
22, walaupun mereka dapat juga menjadi anggota pelbagai
wadah/kelompok/organisasi/gerakan kategorial sesuai minat, bakat dan keinginan
mereka. Dengan demikian, dimanapun mereka aktif dan melibatkan diri, bahkan
juga bila sama sekali belum aktif, secara teritorial merupakan warga paroki
setempat dengan OMK paroki sebagai home base (pangkalan induk) mereka23.
Oleh karena itu, OMK haruslah menjadi basis pembinaan serta sumber inspirasi dan
motivasi untuk keterlibatan dalam berbagai wadah/ kelompok/organisasi/gerakan
kategorial, baik intern maupun ekstern gerejawi. Apabila konsep akomodatif OMK ini
dipahami, maka pelbagai wadah/kelompok/organisasi/gerakan kaum muda katolik

dalam berbagai tingkatan tidak perlu saling menganggap sebagai pesaing apalagi
ancaman, melainkan justru sebagai kekayaan dan kekuatan OMK.

II.

SEKSI KEPEMUDAAN PAROKI (SKP)

Seksi Kepemudaan Paroki adalah bagian dari Dewan Pastoral Paroki yang
bertanggungjawab untuk memberikan pelayanan pastoral OMK di Paroki. Ketua SKP
adalah Pengurus Inti Dewan Pastoral Paroki. SKP adalah media antara OMK dengan
Depas. Program-program dan usul usul dari OMK yang hendak disampaikan kepada
Paroki disalurkan melalui SKP. SKP mempunyai wewenang untuk membentuk
kepengurusan OMK paroki. OMK Paroki bertanggungjawab kepada SKP paroki.
Seksi Kepemudaan Paroki bertugas dan bertanggung jawab untuk:
Memikirkan dan mengkoordinir kegiatan karya pastoral OMK baik di jalur teritorial
(stasi, wilayah, lingkungan) maupun kategorial dalam Paroki.
Mengusahakan adanya pendamping dan penggerak kelompok serta peningkatan
mutu para pendamping di tingkat teritorial maupun kategorial dalam Paroki.
Mengupayakan kesinambungan pembinaan kaum muda di Paroki dalam hal
kesatuan visi dan program serta tenaga yang diperlukan.
Mengusahakan sarana dan dana yang menunjang kelancaran pembinaan kaum
muda di Paroki.
Menjadi penghubung antara Paroki dengan Tim Kepemudaan di tingkat Kevikepan/
Dekenat dan Komisi Kepemudaan Keuskupan.

III.

PENDAMPING OMK

Pengertian
Yang dimaksud dengan pendamping adalah pembimbing yang dipilih dan diberi
kepercayaan, wewenang, tanggung jawab dan tugas untuk
mendampingi/membimbing kelompok serta memandu kegiatannya secara tetap
selama waktu yang telah ditentukan

Jenis Jenis Pendamping:

Pendamping Tetap: Yaitu pendamping terus-menerus mendampingi OMK dan


berupaya semakin mahir dalam pendekatan dan metode-metode pembinaan kaum
muda.
Pendamping Tidak Tetap: yaitu pendamping atau narasumber yang sekali-sekali
mengisi kegiatan OMK
Pemerhati OMK: yaitu pihak yang senantiasa mendukung berbagai program
kegiatan dan pendamping kaum muda dengan pelbagai cara.

Syarat-syarat Pendamping OMK:


Berkepribadian matang dan menarik, bersikap terbuka dan dapat bekerja sama
Memiliki suara hati yang jernih, penghayatan iman serta hidup rohani yang baik
Mempunnyai visi, hati, minat dan bakat dasar sebagai pembina dengan fungsi
tersebut di atas
Bersedia dengan sukarela meluangkan waktu dan memberikan diri bagi tugas
pelayanan kaum muda yang dipercayakan oleh Gereja kepadanya.

Pengangkatan Pendamping:
Para pendamping OMK di paroki sebaiknya dipilih dan diusulkan oleh kelompok OMK
untuk ditetapkan oleh Pastor/ Dewan Paroki dengan masa bakti terbatas yang dapat
diperpanjang.

Posisi dan Fungsi Pendamping:

a.

Sebagai SAHABAT

1.
Ia menempatkan diri bukan di atas (sebagai atasan dan bos), melainkan di
antara para anggota kelompok.
2.
Ia berada bersama mereka, memperhatikan mereka secara pribadi, tetapi
tetap tahu membatasi diri di mana perlu.
3.
Ia bergaul dengan mereka dan menyelami dunia mereka, tetapi tidak ikutikutan bertingkah laku seperti mereka.

4.
Ia mengenal mereka, mengerti gejolak mereka, tetapi tidak boleh
memanfaatkan dan memperalat mereka.
5.
Ia menghargai dan menerima mereka sebagaimana adanya, tetapi sekaligus
tahu menuntut mereka untuk bergerak maju dan tidak membiarkan sikap mudah
menyerah.
6.
Ia berusaha memahami kebutuhan riil mereka, tetapi tidak begitu saja
mengikuti keinginan mereka.

b.

Sebagai PENDAMPING:

Ia menempatkan diri bukan di tengah (untuk menjadi pusat perhatian) melainkan di


samping kelompoknya.
Ia berjalan bersama dan di samping mereka, sebagai teman seperjalanan dan rekan
sepenanggungan, tetapi tidak menggiring mereka ke arah yang disukainya sendiri.
Ia memungkinkan terciptanya komunikasi dan interaksi yang mengarah dan
berpusat pada kelompok, bukan pada dirinya sendiri.
Ia merangkul dan mempersatukan mereka, mendamaikan perselisihan, tetapi tanpa
niat menonjolkan diri, peran dan kepentingannya.
Ia berani bersikap tegas, mengoreksi dan mengarahkan mereka, tetapi tidak
memaksakan dan mendikte mereka dengan pendapatnya.
Ia punya prinsip dan berpegang teguh pada prinsip, tetapi bersikap luwes dan tidak
kaku dalam cara penerapannya.
Ia membimbing dan membantu mereka menghadapi masalah dan kendala, tetapi
tidak memanjakan dan mengambil alih tanggung jawab mereka.

c. Sebagai PENDORONG
Ia tidak menempatkan diri di depan (sebagai pemuka dan orang penting) melainkan
di belakang.
Di saat-saat sulit dan genting, ia mungkin harus tampil mengambil prakarsa awal,
tetapi lalu harus lebih banyak memberi kepercayaan dan kesempatan kepada
kelompok untuk meneruskannya dan bahkan menemukan jalannya sendiri.
Dengan kreativitasnya, ia merangsang kelompok menjadi kreatif dan inovatif,
bukannya membungkam kreativitas mereka dan membiarkan mereka menjadi
sekedar pengikut dan pengekor.

Dengan kelebihan dalam pengalaman, keluasan dalam pandangan dan keunggulan


dalam keteladanan, ia menggerakkan mereka untuk maju, meraih prestasi
kelompok, dan semakin mandiri, bukannya menciptakan ketergantungan kelompok
pada pembina.
Dengan kesungguhan dan sikap wajar, ia memuji mereka untuk suatu prestasi
sekecil apapun, juga untuk hal-hal yang belum sempurna; bukannya serba mencela
dan mempersalahkan mereka.
Ia harus menampilkan kelompok ke depan dan ke atas panggung, bukannya
menampilkan dan menonjolkan dirinya sendiri; ia tahu kapan harus menarik diri ke
belakang panggung. (bdk. Mk. 2:1-5 dan Yoh 3:30).

d. Sebagai PEMANDU:
Dalam proses kegiatan bina kelompok, seorang pembina tidak menempatkan diri
sebagai guru yang mengajari, melainkan sebagai fasilitator yang menciptakan iklim
partisipatif dan suportif, dalam mana setiap peserta bebas dan berani
mengungkapkan diri, mengutarakan pendapat, mengemukakan tanggapan.
Ia mempersiapkan diri tidak dengan bekal jawaban yang tepat, melainkan dengan
pertanyaan yang tepat dan metode yang tepat.
Ia tidak memaksakan hasil akhir (yang sering sudah disiapkan), melainkan
menumbuhkan sikap kritis dan menemukan sendiri.
Ia mengarahkan pembicaraan pada relnya, mencegah penyimpangan, tetapi tidak
menggiring mereka ke arah rumusan-rumusan yang dikehendakinya atau menurut
seleranya sendiri.
Ia tidak mempersalahkan peserta atas jawaban yang belum sempurna, melainkan
mendorong mereka untuk mencari yang lebih sempurna.
Ia tidak tergesa-gesa memberi jawaban atas setiap pertanyaan, melainkan memberi
kesempatan kepada kelompok untuk saling menolong dan saling menanggapi.
Ia memberi kesempatan yang sama dan merata kepada setiap anggota kelompok,
memberanikan si rendah diri untuk bicara, dan tidak tergoda untuk pilih kasih dan
menonjolkan si pintar.
Ia menyimpulkan pendapat kelompok secara tepat dan meyakinkan, menambahkan
dan menyempurnakan di mana perlu, meluruskan
dan mengoreksi pendapat
yang keliru dan menyimpang.
IV.

PENGURUS OMK

Yang dimaksud dengan pengurus OMK adalah pengurus yang dipilih untuk
menjalankan kepengurusan omk yang umumnya terdiri atas: Ketua, Sekretaris dan
Bendahara dalam jangka waktu tertentu.
Adapun tugas dari pengurus OMK adalah:
Menjalankan seluruh fungsi teknis-organisatoris dalam kelompok, misalnya:
mengundang rapat, memimpin rapat, melaksanakan keputusan rapat, melancarkan
jalannya setiap kegiatan dan program kelompok.
Menggiatkan, menyemangati dan menggerakkan partisipasi kelompok dalam setiap
kegiatan dan pembinaan secara optimal.
Menyerap dan menampung setiap masalah dan aspirasi anggota kelompok untuk
kemudian disalurkan secara benar, tepat dan bijaksana.
Menjalin kebersamaan dan kerjasama dengan kelompok/organisasi/instansi lain,
terutama yang punya kaitan dengan program kelompok.
Menyusun program kerja (tahunan, tengah tahunan) yang menjawabi masalah dan
kebutuhan kelompok, melaksanakannya dan mengevaluasinya

V.

VISI, DASAR SERTA TUJUAN KEGIATAN OMK

VISI DASAR

OMK yang sepenuh-penuhnya setia kepada Yesus Kristus dan seutuh- utuhnya
berjiwa Pancasila sehingga mampu mengembang panggilan Kristiani dan tugas
kebangsaan dalam hidup menggereja, bermasyarakat dan bernegara.
LANDASAN
Dengan demikian, kegiatan OMK sebagai karya pastoral, berlandaskan iman Katolik
dan Pancasila.
Berlandaskan iman Katolik berarti menempatkan iman Katolik sebagai pusat dan
dasar, serta sumber motivasi dan inspirasi dalam seluruh karya pelayanan pastoral
OMK. OMK diarahkan pada penghayatan iman sebagai hubungan pribadi dengan
Allah, yang diungkapkan dalam kesatuan dengan iman Gerejawi yang satu dan
rasuli, serta diwujudkan lewat kesaksian hidup di tengah masyarakat.
Berlandaskan Pancasila berarti menjadikan Pancasila sebagai azas karya pembinaan

yang mengarahkan kaum muda untuk memahami, menghayati, mengamalkan,


membela dan mem- pertahankan, serta mengembangkan nilai-nilai luhur budaya
bangsa sebagaimana dirumuskan dan terkandung di dalam Pancasila.
TUJUAN DAN SASARAN
Tujuan kegiatan OMK adalah berkembangnya diri OMK sebagai manusia dan sebagai
orang Katolik Indonesia yang tangguh, tanggap, dan terlibat dalam hidup
menggereja, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sasaran Kegiatan OMK

Kualitas OMK yang ingin dicapai sebagai sasaran kegiatan OMK:


1.
Berkepribadian kuat dan memiliki keyakinan diri yang kokoh, suara hati yang
jernih, kebebasan dan tanggung jawab pribadi yang berdaya cipta dan membangun,
serta kemauan untuk belajar terus-menerus.
2.
Beriman teguh dan tangguh dalam hidup berdampingan, berdialog dan
berintegrasi dengan sesama warganegara yang berkeyakinan lain.
3.
Memiliki kepekaan dan kepedulian sosial, serta solidaritas terhadap sesama,
khususnya yang lemah dan menderita serta keberanian menyuarakan kebenaran,
keadilan, keyakinan berdasarkan nilai, suara hati dan kesejahteraan umum.
4.
Memiliki semangat berorganisasi yang didukung oleh jiwa kepemimpinan dan
kepeloporan.
5.
Memiliki profesionalitas untuk terlibat serta berperan aktif dalam hidup
menggereja, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

VI.

LANGKAH-LANGKAH MENGELOLAH KEGIATAN

Mengelola kegiatan orang muda saat ini seharusnya memperhatikan kebutuhan dan
permasalahan yang mereka hadapi sejalan dengan pola pengelolaan program
modern yang sudah banyak diterapkan pada sektor pemerintahan/badan pelayanan
publik, perusahaan/sektor bisnis, dan organisasi non-pemerintah (Ornop) atau
organisasi nir-laba. Istilah kunci yang sering dijadikan prinsip pengelolaan program

kegiatan tersebut adalah pengelolaan program berbasis kebutuhan dan masalah


(needs and problems based program management).
Untuk itu, perlu kegiatan orang muda dikelolah dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
Pertama, mengidentifikasi kebutuhan dan permasalahan orang muda.
Kedua, merumuskan tujuan dan target kegiatan yang jelas (memenuhi kebutuhan
atau memecahkan permasalahan pada langkah pertama). Perumusan tujuan dan
target ini bisa dilengkapi dengan perumusan indikator atau tolok ukur keberhasilan,
sebagai panduan langkah berikutnya dan pedoman evaluasi.
Ketiga, memilih kelompok sasaran yang tepat dan diprioritaskan, jika suatu kegiatan
sejak awal ditujukan bukan untuk diikuti seluruh orang muda secara umum/massal
(sesuai rumusan identifikasi kebutuhan dan masalah pada langkah pertama, serta
tujuan, target, dan indikator keberhasilan pada langkah kedua).
Keempat, memilih bentuk dan metode kegiatan yang tepat (mampu memenuhi
kebutuhan atau memecahkan masalah dan mampu menciptakan situasi tercapainya
tujuan dan target berdasarkan indikator keberhasilan yang sudah dirumuskan
secara jelas pada kelompok sasaran yang spesifik).
Kelima, mengelola tenaga yang melaksanakan kegiatan (mencari orang yang setuju
dan paham pada kebutuhan/permasalahan yang mendasari kegiatan, tujuan dan
target serta metode yang dipilih, serta berkomitmen/setia secara serius).
Keenam, mengelola sumber daya yang dibutuhkan (meliputi perencanaan
perangkat/fasilitas dan dana yang dibutuhkan untuk berkegiatan, sesuai langkah
pertama hingga kelima).
Ketujuh, mengelola waktu yang tersedia (biasa disebut penjadwalan tahap-tahap
kerja secara masuk akal dengan memperhatikan langkah pertama hingga keenam).
Kedelapan, melakukan monitoring (memperhatikan bersama secara serius pada
perkembangan dan hambatan di setiap tahap-tahap kerja melalui komunikasi
intensif, pada langkah pertama hingga ketujuh).
Kesembilan, melakukan evaluasi (menilai pencapaian tujuan dan target sesuai
rumusan indikator keberhasilan, menemukan kelebihan/kekuatan dan
kekurangan/kelemahan secara umum maupun pada setiap langkah, dari langkah
pertama hingga kedelapan) dan refleksi (menemukan pelajaran-pelajaran penting
yang diperoleh tim pelaksana kegiatan sepanjang proses pengelolaan).
Kesepuluh, melaksanakan tindak lanjut (suatu kegiatan lanjutan yang perlu
dilakukan jika pada saat evaluasi disimpulkan bahwa tujuan dan target program

belum terpenuhi). Kegiatan tindak lanjut untuk mencapai tujuan dan target yang
belum tercapai/terpenuhi ini biasa disebut program penguat (booster program).
Unsur pertama hingga ketujuh harus dilaksanakan secara urut, jangan sampai
terbolak-balik. Langkah kedelapan dan kesembilan dilaksanakan di setiap
pelaksanaan langkah pertama hingga ketujuh. Sedangkan langkah kesepuluh
dilaksanakan setelah mempertimbangkan evaluasi masih ada tujuan dan target
yang belum tercapai, dan pengelolaan kegiatan tindak lanjut tersebut dilakukan
dalam langkah-langkah pertama hingga kesepuluh.

VII.

KEBUTUHAN DAN PERMASALAHAN ORANG MUDA

Dalam pendampingan formal kelompok/komunitas orang muda, pendamping mau


tak mau ikut bertanggung jawab atas kegiatan-kegiatan kolektif yang mereka
adakan. Artinya, pendamping tak sekadar hadir dalam pelaksanaan kegiatankegiatan, tapi sebaiknya berpartisipasi aktif dalam tahap-tahap pengelolaan
kegiatan-kegiatan itu (perencanaan, persiapan, pelaksanaan, evaluasi-refleksi,
tindak lanjut). Padahal, faktanya sampai saat ini, mendampingi orang muda dalam
mengelola kegiatan mereka bukanlah hal yang mudah dilakukan.

Mungkin banyak orang akan menolak anggapan tersebut. Alasannya, toh masih
banyak juga kegiatan orang muda diselenggarakan. Lagi pula, banyak orang muda
masih antusias mengikutinya. Namun yang harus dicermati, di satu sisi banyak
kegiatan diselenggarakan dan banyak fasilitas (termasuk dana) disediakan untuk
itu, sementara di sisi lain banyak kebutuhan orang muda yang belum terjawab dan
banyak masalah mereka yang belum terselesaikan. Seolah-olah terjadi keterpisahan
antara peyelenggaraan kegiatan di satu sisi, dan pemenuhan kebutuhan serta
pemecahan masalah orang muda di sisi lain. Padahal kedua sisi tersebut
seharusnya terkait-terhubung secara erat.

Untuk itu, pendamping orang muda dalam kelompok/komunitas perlu memahami


pentingnya kebutuhan dan permasalahan orang muda sebagai salah satu dasar
penyelenggaraan setiap kegiatan orang muda yang mereka dampingi.

Memahami Kebutuhan Orang Muda


Sering terjadi banyak pendamping dan pengurus kelompok/ komunitas orang muda
memiliki pemahaman yang simpang siur tentang kebutuhan. Banyak kegiatan

mereka usulkan, rencanakan, dan laksanakan katanya atas dasar kebutuhan


orang muda, namun biasanya kurang dilengkapi dengan penjelasan yang memadai
tentang kebutuhan macam apa yang akan difasilitasi, mengapa kebutuhan itu
muncul, pertimbangan dan parameter (alat ukur) apa yang dipakai untuk
menentukan bahwa itu benar-benar kebutuhan.
Sebuah situs internet ChangingMinds.org (www.changingminds.org)
mendeskripsikan kebutuhan sebagai berikut.
In the absolute sense, needs are things without which we cannot survive. We
need air, food and water. We also have needs in negotiations and persuasions. For
example, when I am buying a house, I need three bedrooms because we have two
children. The practical effect of needs is that they define the walk-away
position. Needs are sometimes also called 'Musts', because they are things we
must have.
( Secara absolut/mutlak, kebutuhan adalah segala sesuatu yang tanpanya kita tak
bisa bertahan hidup. Kita perlu udara, makanan dan air. Kita juga memiliki
kebutuhan untuk bernegosiasi dan berpersuasi. Sebagai contoh, saat saya membeli
rumah saya membutuhkan 3 kamar tidur karena memiliki 2 anak. Efek-efek
praktis dari kebutuhan tersebut adalah bahwa kebutuhan berada dalam walkaway position, sesuatu yang tak bisa dihindari. Kebutuhan seringkali juga
diartikan sebagai keharusan, karena kebutuhan adalah segala sesuatu yang harus
kita miliki.)
Dari deskripsi kebutuhan tersebut di atas, bisa disimpulkan bahwa kebutuhan
memiliki karakteristik: absolut/mutlak, tanpanya kita tidak bisa bertahan hidup, tak
bisa dihindari, dan sering juga diartikan sebagai suatu keharusan atau sesuatu yang
harus kita miliki.
Sedangkan menurut Teori Hirarki Kebutuhan-nya Abraham Maslow (1908-1970)
seorang PhsycologistAmerika dalam buku Motivation and Personality (1943) (bdk.
George Boeree, 2006), kebutuhan manusia terdiri dari beberapa ragam yang harus
dipenuhi secara bertingkat (hirarkis), yakni
kebutuhan fisiologis (physiological needs), yakni kebutuhan-kebutuhan dasar
dalam kehidupan manusia seperti makanan (pangan), pakaian (sandang), tempat
tinggal (papan), dan sex. Bahkan George Boeree (2006) dan George Norwood
(2006) menyebutkan lebih banyak unsur yang lebih detail seperti oksigen, air,
protein, garam, gula, kalsium, udara, kehangatan (suhu), dan sebagainya yang
dibutuhkan tubuh.
kebutuhan akan rasa aman (security needs), mencakup kebutuhan akan suasana
aman, stabil (tidak mudah bergejolak) dan aturan-aturan dalam bentuk struktur,
perintah dan sejumlah batasan (a need for structure, order, some limits) yang
mendukung rasa aman itu sendiri.

kebutuhan sosial (social needs), misalnya kebutuhan akan relasi dalam keluarga,
relasi dengan teman, relasi dalam kelompok sebaya (peer group), kelompok
kegiatan, masyarakat, lingkungan pendidikan/ pekerjaan, pendampingan hidup,
pemakluman ketika mengalami kesalahan.
kebutuhan penghargaan pada diri sendiri (self esteem needs), terdiri dari
kebutuhan akan penghargaan dan penghormatan dari orang lain (respect of others,
appreciation), status sosial, kebutuhan untuk dikenal (popularitas, fame),
kemenangan dalam persaingan (glory), pengakuan atas keberadaan diri
(recognition), perhatian dari orang lain (attention), perasaan lebih dominan dari
orang lain (dominance), sesuatu yang bisa dibanggakan (reputasi), kemampuan
dalam bidang tertentu (competence), prestasi (achievement), kebebasan (freedom),
daya kritis dalam mengambil keputusan.
kebutuhan aktualisasi diri (self actualization needs), misalnya kebutuhan akan
kemampuan mengekspresikan diri, wadah untuk berekspresi, dan perkembangan
potensi/talenta/bakat.
Pada perkembangan

berikutnya, George Norwood (2006) menambahkan kebutuhan spiritual (spiritual


needs)pada tingkat keenam dalam Hirarki Kebutuhan Maslow tersebut. Kebutuhan
spiritual ini misalnya kebutuhan akan kedekatan relasi dengan Tuhan,
pertumbuhan/perkembangan iman, peneguhan/penguatan iman dan wadah
penumbuhan/pengembangan iman. Dengan demikian, teori Hirarki Kebutuhan
tersebut digambarkan dalam skema berikut.
Skema Hirarki Kebutuhan Abraham Maslow

(setelah dimodifikasi oleh George

Norwood, 2006)

Skema di atas menggambarkan proses pemenuhan kebutuhan manusia yang


bergerak ke atas, dari kebutuhan fisiologis di dasar piramida hingga kebutuhan
spiritual di puncak paramida. Terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan di dasar paramida
menentukan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan lain di puncak paramida. Artinya,
terpenuhinya kebutuhan fisiologis menjadi syarat pemenuhan kebutuhan akan rasa
aman. Terpenuhinya kebutuhan fisiologis dan rasa aman mendorong pemenuhan
kebutuhan sosial, dst. Jika kebutuhan fisiologis belum terpenuhi, maka manusia sulit
memenuhi kebutuhan rasa aman, kebutuhan sosial, dst. Jika kebutuhan akan
makanan, pakaian, dan tempat tinggal saja belum memadai, maka manusia
cenderung kurang memperhatikan kebutuhan rasa aman, sosial, penghargaan pada
diri sendiri, hingga kebutuhan spiritualnya.
Dengan menggunakan kerangka teoritis tersebut, para pendamping bisa
memahami kebutuhan orang muda secara lebih sistematis. Pendamping bisa
mengumpulkan data tentang kondisi pemenuhan kebutuhan orang muda dengan
melakukan observasi atau pengamatan kehidupan mereka sehari-hari, dengan
bantuan pertanyaan-pertanyaan alternatif seperti berikut.

Apakah orang muda yang didampingi telah tercukupi kebutuhan makanan dan
pakaian mereka secara layak? Apakah mereka bermukim dalam tempat tinggal
yang sehat?
Apakah orang muda sudah cukup merasa aman dalam kehidupan sehari-hari
mereka? Apakah situasi sosial di sekitar mereka cukup stabil? Apakah mereka masih
membutuhkan sejumlah aturan atau batasan yang mendukung rasa aman tersebut?

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu bisa dilanjutkan untuk mencermati kondisi


pemenuhan kebutuhan-kebutuhan orang muda hingga kebutuhan spiritual mereka.
Selain melakukan observasi, para pendamping bisa juga melakukan pengumpulan
data dengan penyebaran kuesioner, wawancara mendalam, atau diskusi kelompok
terfokus (focus group discussion). Pelaksanaan penelitian semacam itu akan penulis
jelaskan dalam kerangka metodologi Riset Aksi Partisipatoris pada bagian
selanjutnya.
Antara Kebutuhan dan Keinginan
Kesimpangsiuran pemahaman banyak pendamping orang muda tentang kebutuhan
diperparah dengan campur aduknya pemahaman tentang kebutuhan (need) dan
keinginan (want). Padahal kedua hal itu jelas-jelas berbeda. Banyak pendamping
menyangka apa saja yang sedang diinginkan orang muda sebagai kebutuhan
mereka. Keinginan-keinginan yang disangka sebagai kebutuhan ini dijadikan dasar
pelaksanaan kegiatan-kegiatan. Akibatnya, kegiatan-kegiatan itu memang
memuaskan keinginan orang muda, tapi belum tentu memenuhi kebutuhan mereka.
Sebagai contoh, pendamping menyangka bahwa orang muda membutuhkan
kegiatan yang melibatkan banyak orang muda secara massal, karena mereka
membutuhkan rasa kebersamaan dan peneguhan agar tidak selalu merasa sebagai
kelompok minoritas. Untuk itu muncul kecenderungan untuk berkegiatan massal
seperti temu akbar atau konser musik. Memang sebagian besar orang muda
menginginkan kegiatan semacam itu, dan mereka senang menghadirinya. Namun,
sungguhkah kebutuhan mereka dipahami secara jelas dalam kasus tersebut?
Sementara itu, dengan menggunakan pendekatan lain, bisa jadi kebutuhan orang
muda yang perlu dipenuhi bukan kegiatan massal untuk menciptakan rasa
kebersamaan dan peneguhan sebagai kelompok minoritas, melainkan kebutuhan
rasa aman sebagai warga masyarakat berhadapan dengan segala bentuk
diskriminasi (termasuk diskriminasi terhadap kelompok minoritas, seperti dalam
kasus-kasus perijinan beribadat, penghargaan prestasi kerja untuk jenjang karir
yang lebih baik di BUMN, dsb.), kebutuhan sosial untuk lebih nyaman berelasi dalam
masyarakat yang majemuk/plural, kebutuhan akan penghargaan atas pewujudan
potensi dalam kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat. Orang muda,

sebagaimana kelompok masyarakat mana pun, membutuhkan penghargaan pada


hak-hak mereka tanpa diskriminasi, misalnya untuk menempuh pendidikan,
mencari pekerjaan, meningkatkan karir, membuka usaha ekonomi, terlibat dalam
bidang politik secara praktis, dsb.
Jika diskriminasi terjadi terhadap mereka, kebutuhan-kebutuhan semacam itu tidak
cukup dipenuhi dengan cara mengumpulkan mereka yang sama-sama mengalami
diskriminasi agar merasa nyaman sebagai sesama korban, melainkan memecahkan
akar permasalahan diskriminasi itu sendiri. Dalam tingkat struktural, perlu upayaupaya mendesakkan agenda perumusan dan penegakan hukum yang bebas
diskriminasi. Sedangkan dalam tingkat komunal dan personal, butuh upaya-upaya
pemberdayaan masyarakat warga (tak terkecuali orang muda) agar semakin kritis
dan berani memperjuangkan hak-hak mereka berhadapan dengan setiap tindak
diskriminasi.
Kecenderungan untuk ingin selalu merasakan suasana nyaman berkumpul bersama
dalam massa orang muda yang homogen (seiman, seminat, dsb.) bisa jadi didasari
belum terpenuhinya kebutuhan sosial dalam berelasi dengan orang lain dalam
masyarakat yang majemuk dan kesulitan mengaktualisasikan diri di dalamnya.
Maka, mengumpulkan orang muda dalam kegiatan akbar sesaat tidak cukup
memenuhi kebutuhan semacam itu. Perlu upaya-upaya melatih ketrampilan hidup
berelasi di tengah masyarakat majemuk, mengambil peran dalam kehidupan
bersama, hingga mereka mampu mengaktualisasikan diri di dalamnya sekaligus
mendapat penghargaan sosial atau merasa dihargai sebagai warga masyarakat.
Mungkin pendamping orang muda tak mampu melakukan hal-hal tersebut
sendirian. Untuk itu, mereka perlu menjalin komunikasi dan kerja sama dengan
pihak-pihak lain, misalnya pendamping umat/orang muda dari agama-agama lain,
organisasi non-pemerintah (Ornop) atau non-government organization (NGO),
organisasi ikatan profesi, lembaga bantuan hukum, media massa, dsb.
Membedakan kebutuhan dengan keinginan biasanya mudah dipikirkan, tapi sulit
dilaksanakan. Biasanya keinginan lebih dominan mempengaruhi kita dibandingkan
kebutuhan. Hasrat untuk mewujudkan keinginan telah dipengaruhi oleh lebih
banyak hal dibandingkan hasrat untuk memenuhi kebutuhan. Jika kegiatan orang
muda diawali dengan kesalahan membedakan, meneliti dan menentukan antara
kebutuhan dan keinginan, maka semakin banyak kegiatan itu dilaksanakan hanya
berdasar keinginan dibandingkan kebutuhan. Sehingga banyak kegiatan menyedot
banyak pemikiran, tenaga, waktu dan dana demi keinginan, tapi kebutuhankebutuhan orang muda justru tidak terpenuhi.

Memperhatikan Permasalahan Orang Muda

Selain berdasarkan kebutuhan, setiap kegiatan perlu memperhatikan permasalahan


tertentu yang sedang terjadi dan dihadapi orang muda. Permasalahan biasanya
terlihat sebagai suatu kejadian atau situasi yang telanjur terjadi dan menimbulkan
kerugian-kerugian tertentu (bukan melulu kerugian dalam arti ekonomi). Selain itu,
suatu permasalahan perlu juga dilihat apakah ia mendesak (akan semakin
merugikan jika tidak segera diatasi), atau ia mendasar (tak kentara namun
menjadi penyebab dasar atau akar masalah atas munculnya masalah-masalah lain
dan kerugian-kerugian yang yang diakibatkannya). Oleh karena itu kita perlu
mengidentifikasi prioritas masalah baik yang mendesak maupun yang mendasar.
Permasalahan biasanya terjadi karena manusia dalam kondisi tidak terpenuhi
kebutuhan-kebutuhannya. Padahal kebutuhan mengandung keharusan untuk
dipenuhi. Kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan tersebut bisa disebabkan
keterbatasan setiap manusia dalam memanfaatkan sumber daya di sekitarnya
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya sendiri. Namun, selain itu, tidak
terpenuhinya kebutuhan bisa jadi disebabkan adanya pengaruh-pengaruh tertentu
yang membatasi kapasitas diri seseorang untuk memenuhi kebutuhan itu sendiri.
Sumber pengaruh-pengaruh tersebut bisa dari sistim dan struktur yang
diberlakukan dalam masyarakat oleh kuasa negara, sektor bisnis atau perusahaan,
atau kelompok sosial tertentu (misalnya partai politik, organisasi kemasyarakatan,
lembaga agama, dsb.).
Kemampuan mengidentifikasi dan menganalisis permasalahan semacam itu, lalu
menyertakannya dalam perencanaan kegiatan-kegiatan orang muda perlu dikuasai
pendamping. Tentu saja kegiatan-kegiatan orang muda tidak selalu ditujukan untuk
memecahkan masalah-masalah tersebut. Namun, peran pendamping yang lebih
penting adalah membuka kesadaran orang muda terhadap permasalahan yang
mereka hadapi dan mewarnai kegiatan-kegiatan mereka dengan hal-hal yang
mengarahkan kontribusi orang muda pada upaya memecahkan masalah-masalah
tersebut.
Sebagai contoh, setelah mempertimbangkan masalah-masalah , pendamping bisa
menawarkan warna lain kegiatan orang muda yang memuat unsur-unsur pendidikan
nilai tanggung jawab (agar orang muda berani menghadapi atau tak mudah lari dari
persoalan hidup), nilai kesetiaan pada proses (agar orang muda tidak cenderung
instan dan ingin segera mengharapkan hasil), ketrampilan wirausaha dan
pemberdayaan ekonomi mikro (agar orang muda tertarik dan mampu merintis
usaha-usaha ekonomi mikro sehingga membuka lapangan kerja baru), diskusi
masalah kemasyarakatan seperti kemiskinan, pengangguran, tata kota, kebijakan
pemerintah, dsb. (agar kerangka berpikir orang muda menghasilkan gagasangagasan konstruktif-alternatif pemecahan masalah-masalah kemasyarakatan
tersebut), dsb.
Sayangnya, banyak orang muda dan para pendampingnya kurang terbiasa untuk
mengalami proses (yang sering tidak mudah dan kurang praktis) untuk

mengidentifikasi kebutuhan dan permasalahan di atas. Akibatnya, banyak orang


mendukung dan menyetujui diadakannya kegiatan hanya atas dasar banyak orang
yang menginginkannya. Sebaliknya, sedikit orang yang bersedia untuk
mengidentifikasi dan menilai kebutuhan dan permasalahan dengan jeli dan kritis
terlebih dahulu sebelum menyelenggarakan suatu kegiatan. Apalagi jika hal terakhir
tersebut biasanya mengandung risiko munculnya reaksi-reaksi tidak setuju bahkan
tidak suka pada usaha tersebut.

VIII.

BEKERJA SEBAGAI TEAM

TAK SEORANGPUN YANG BISA JADI SUPERMAN


Almarhum Christopher Reeve menjadi sangat terkenal ketika ia memerankan tokoh
Superman. Superman tokoh fantasi idola anak-anak sedunia karena kehebatan dan
kekuatannya yang tak terkalahkan. Ia digambarkan senang menolong dan selalu
menang atas berbagai kejahatan.
Namun, di akhir hidupnya Reeve mengalami kecelakaan hebat yang mengakibatkan
ia lumpuh total. Namun, semangatnya tak terpadamkan. Dengan bantuan istri,
keluarga, rekan-rekan dan peralatan medis, ia sanggup menjadi sutradara film. Apa
yang dapat kita simak dari peristiwa ini? Sungguh tak seorangpun yang benar-benar
bisa menjadi superman. Kita semua ternyata saling membutuhkan. Sebuah
kekuatan dan kehebatan terletak dari kerja sama dan sinergi yang harmonis.
KEGAGALAN THE LONE RANGER
Memang benar ada orang yang memiliki banyak talenta dan sanggup mengerjakan
berbagai pekerjaan sekaligus (multitasking), namun ia tidak memiliki segalanya. Ia
tetap membutuhkan orang lain. Untuk sementara ia kelihatan unggul, tapi
sesungguhnya ia tak akan mampu ber-saing menghadapi kekuatan sebuah tim.
Pernah ada seorang pemilik perusahaan yang bermaksud mencari rekanan untuk
jasa training di kantornya. Ia menghubungi sebuah perusahaan training dan
melakukan interview pada sang trainer. Si pengusaha menanyakan perihal
kompetensi sang trainer. Dengan bangga sang trainer menjawab bahwa ia sanggup
mengajarkan semua bidang keahlian yang diinginkan pemilik perusahaan.
Harapannya, ia pasti memperoleh pekerjaan tersebut. Namun ia harus kecewa,
karena ternyata si bos mencari trainer yang expert pada bidang tertentu dan bukan
yang bisa segalanya.
DI TENGAH ERA GLOBALISASI, KITA MEMERLUKAN SPESIALISASI
Apa yang dilakukan Yesus ketika Ia siap memulai pelayanan? Yesus tidak sekadar
berkhotbah, melakukan mukjizat, dan mengajar orang banyak. Tapi, Ia juga
memanggil murid-murid-Nya yang pertama. Yesus membangun teamwork. Ia

menyadari tugas mahapenting yang harus dilakukan, karena tidak untuk selamalamanya Ia berada di dunia ini.
Ada hal yang menarik ketika Yesus memanggil para rasul-Nya. Yang merupakan
prinsip-prinsip utama dari sebuah teamwork :
Spesifik Mereka berasal dari latar belakang dan profesi yang berbeda. Yesus
memanggil nelayan, pemungut cukai, dokter, pejuang kaum Zelot, dan lain-lainnya
untuk menjadi rasul-rasul. Keragaman memperkaya khazanah dan kompetensi
teamwork.
Network Mereka dipanggil untuk menjadi penjala bukan pemancing.Sebuah jala
berbeda dengan pancing. Pancing adalah usaha perorangan. Sedangkan jala
berbicara tentang kerja sama. Saling mengisi, mendukung, dan menolong satu
sama lain.
Delegasi Mereka dipercayai melakukan tanggung jawab masing-masing. Secara
mendadak murid-murid pernah diperintahkan untuk memberi makan 5.000 orang.
Filipus segera menghitung anggaran biaya. Andreas bagian humas menemukan
seorang anak dengan bekal roti dan ikan. Yesus memberkati dan murid-murid
membagikannya. Mukjizat dan kuasa ada pada Yesus, namun teamwork yang ada
selalu berfungsi sebagai pelaksana andal.
MEMBIASAKAN DIRI BEKERJA SECARA TEAM WORK
Tidak banyak yang memiliki bakat alamiah sebagai pemimpin. Namun sebagian
besar pemimpin sulit mendele-gasikan atau bekerja sama dengan orang lain. Ego
yang kuat dan sulit memercayai merupakan halangan terbesar dalam teamwork.
Namun hal ini dapat dikelola dan dilatih agar kita tidak terjebak dalam kegagalan
the lone ranger.
Seperti halnya seorang pemimpin tidak dilahirkan, melainkan dibentuk. Demikian
pula sebuah teamwork harus dibangun dengan melewati berbagai proses
pembentukan. Diawali dengan tahap pengenalan pribadi dan sesama anggota, lalu
ada tahap konflik dan perbedaan pendapat. Kemudian terjadi proses saling
memahami dan penyesuaian pribadi yang dilanjutkan dengan kemampuan untuk
saling mengisi dan sinergi. Ketika seorang merasa lemah, maka anggota tim yang
lain akan dapat menolong. Itulah keunggulan sebuah sinergi teamwork.
IX.

TEKNIK MEMFASILITASI PERMAINAN (GAME)

Oleh: Felix Iwan WiJayanto

PERMAINAN
Permainan (game) menjadi salah satu metode favorit yang digunakan dalam
program-program pendidikan dewasa ini. Mengapa? Tak lain tak bukan karena sifat
aktivitasnya yang menyenangkan untuk diikuti. Hal ini didasari hakekat manusia
sebagai makhluk bermain (homo ludens). Dengan ungkapan lain, tak ada
permainan yang tidak menyenangkan, atau jika ada suatu aktivitas yang tidak
menyenangkan, pasti itu bukan permainan.

JENIS-JENIS PERMAINAN
Dalam program pendidikan, permainan dibagi-bagi menjadi beberapa jenis:
1.
a.

menurut pesertanya
permainan individu

adalah permainan yang dilakukan secara perorangan, biarpun semua peserta


melakukan aktivitas permainan yang sama namun masing-masing berlaku sebagai
pemain yang berdin sendiri.
b. permainan kelompok
adalah permainan yang dilakukan secara berkelompok/beregu; tiap kelompok
melakukan aktivitas bermain yang sama; biasanya digunakan untuk
membandingkan cara tiap kelompok memainkannya atau untuk perlombaan.
c.

permainan massal

adalah permainan yang dilakukan semua peserta secara keseluruhan pada saat
yang bersamaan; terjadi interaksi antar peserta selama permainan; peserta tidak
bermain secara individu tapi bersama seluruh peserta lain.
2.
a.

menurut tujuannya
permainan pengakraban (ingrouping game)

adalah permainan yang bertujuan mendorong peserta untuk saling mengenal dan
mengakrabkan din' satu sama lain; biasanya dilakukan di awal proses program
pendidikan.
b. permainan penyegaran/penambah semangat (energizing game)
adalah permainan yang bertujuan menyegarkan dan menyemangati peserta ketika
kondisi din mereka (secara umum) belum/sudah tak lagi terlalu
bersemangat/bergairah dalam mengikuti proses program pendidikan.

c.

permainan pemecah kebekuan suasana (icebreaking game)

adalah permainan yang bertujuan menetralisir suasana kaku/beku dalam proses


program pendidikan, entah disebabkan terjadinya ketegangan antar peserta, antara
peserta dan fasilitator atau antara pesertaJfasilitator dengan pihak lain dan luar
arena program pendidikan.
d. permainan bertema (thematic game)
adalah permainan yang bertujuan menyampaikan, menggali, mengolah tema
materi tertentu untuk memudahkan peserta menyadari, memahami atau sekedar
memicu ketertarikan/minat/motivasi mereka untuk mempelajari lebih lanjut dengan
metode lain berikutnya.

Catatan:
Ada kalanya semua jenis permainan bisa mengakrabkan, bisa menyegarkan dan
menambah semangat peserta, bisa memecahkan kebekuan suasana bahkan(!)
sekaligus mengandung tema materi tertentu. Tapi alangkah baiknya permainan
dipilih dan ditentukan secara persis sesuai tujuannya, tidak asal pakai, demi
mendapatkan hasil yang maksimal.

Selain itu, banyak permainan dicipta tanpa tujuan yang spesifik sejak awal,
sehingga ia memiliki peluang dimanfaatkan untuk mencapai tujuan apapun. Bahkan
mungkin ada pula permainan yang dicipta untuk memenuhi keempat tujuan di atas
sekaligus(!). Tapi tetap saja kita harus mempertimbangkan apa tujuan utama yang
dipilih dan bisa dicapai lebih maksimal dibandingkan dengan tujuan yang lain.

3.
a.

menurut penggunaan alat bantu


permainan tanpa alat bantu

adalah permainan yang hanya mengandalkan anggota tubuh peserta, entah


memang untuk mengoptimalkan fungsi alat tubuh atau memang karena tidak
tersedianya alat bantu.
b. permainan dengan alat bantu
adalah permainan yang menggunakan alat bantu (di luar anggota tubuh) seperti
tali, tongkat, kotak, bola, kertas, alat tubs, dsb.

SYARAT-SYARAT PERMAINAN

1.
permainan harus menarik dan menyenangkan peserta (indikator:
senyum/tawa)
2.
permainan harus mempunyai tujuan tertentu (dalam konteks program
pendidikan)
3.
permainan harus menggerakkan potensi tubuh (fisik/psikis atau keduanya
sekaligus)
4.

ruang dan waktu yang tersedia cukup/memadai

5.

jelas kapan mulai dan kapan berakhir (ditentukan oleh waktu dan tanda)

6.
kejelasan aturan main dan instruksi yang pasti (fix), tidak ambigu atau
membuka penafsiran lain (semakin memiliki aturan ketat dan dilombakan, jangan
sampai aturan main/instruksi memiliki celah tertentu yang bisa dimanfaatkan
peserta untuk mengendalikan permainan)
7.
semua peserta berpartisipasi/ikut bermain, tanpa kecuali (tidak ada peserta
yang menjadi observer/penonton kecuali sebab tertentu, misalnya sedang sakit)
8.
untuk permainan yang dilombakan harus ada pemenang dan (kalau perlu)
hadiah sedangkan di sisi lain harus ada pihak yang kalah clan (kalau perlu)
"hukuman yang menghibur"
9.

resiko rendah (tidak mengundang bahaya)

10.

murah, tidak perlu dengan biaya malial atau pengorbanan yang besar

11.

"single focus", fokus perhatian pada hal tunggal, tidak rumit/kompleks

TIPS KHUSUS (SESUAI JENIS PERMAINAN)


Selain memiliki syarat-syarat umum di atas, terdapat sejumlah tips mencipta,
mengembangkan dan memfasilitasi Jenis-jenis permainan berikut:

1.
a.

permainan individu
dikerjakan secara individu, tidak berpasangan

b.
berisi kegiatan yang hams dikerjakan, tidak terlalu mudah tapi bisa
diselesaikan tanpa bantuan orang lain

c.
lebih bagus jika permainan itu mampu mengundang ketertarikan, keinginan
mencoba dan menyelesalkan (rasa penasaran) tapi tetap percaya pada kemampuan
diri sendiri
d.
pembatasan waktu perlu diumumkan di awal permainan dan setiap periode
waktu tertentu diumumkan kepada peserta (misalnya waktu yang tersedia tinggal
15 menit, 10 menit, 5 menit, hingga hitungan mundur 10-selesai)
2.

permainan kelompok

a.
dikerjakan secara kelompok (berpasangan/kelompok dengan anggota lebih
besar; tapi jelas ada lebih dari 1 kelompok dari seluruh peserta)
b.
3.

mengandalkan kerja sama antar anggota kelompok


permainan massal

a.
membutuhkan keserempakan dan kesamaan kegiatan yang dilakukan
seluruh peserta
4.

permainan pengakraban (ingrouping game)

a.
ada kegiatan interaksi antar peserta secara langsung (misalnya kontak fisik);
berarti permainan pengakraban tidak mungkin dilakukan secara individual, tapi
berkelompok atau massal (meskipun bisa diawali kegiatan individu seperti
menuliskan nama atau mencari simbol yang mencenninkan diri sendiri).
b.
pahami bahwa ada beberapa hal yang mampu mendukung munculnya
keakraban antar peserta sekaligus fasilitator jika tiap peserta:
Mengenal identitas diri peserta lain: nama (lengkap/panggilan/julukan),
tempat/tanggal lahir, pendidikan/pekerjaan, jumlah saudara dalam keluarga/anak
ke-berapa dari berapa bersaudara, pekerjaan orang tua, sudah berkeluarga/masih
lajang/punya pacar, dsb.
Melihat kondisi diri peserta lain: tinggi/berat/gemuk/kurusnya badan, jenis
rambut (lurus, ikal, kerning, keribo), panjang rambut, warm dasar pakaian, dsb.
Mengetahut hobi/kegemaran dan minat: membaca, mendengarkan/memainkan
musik, menonton TV/film, mendaki perjalanan, i gunung, menempuh pe jalanan,
berdiskusi, dsb.
Memahami motivasi, harapan, kecemasan peserta lain: ingin mencan kawan
baru, mengisi waktu Luang, menambah pengalaman/wawasan, meningkatkan
ketrampilan, mencemaskan kesulitan menyerap materi, mengkhawatirkan proses
menjenuhkan, dsb.
c.

permainan bisa memanfaatkan hat-hat di atas sebagai materinya; misalnya:

Mencari kesamaan (jumlah huruf/abjad pertama nama panggilan, tinggi badan,


jenis rambut, hobi, motivasi, dsb.)
Membentuk barisan menurut urutan (jumlah kata nama lengkap,
tanggal/bulan/tahun lahir, panjang rambut, dsb.)
Membentuk kelompok menurut kesamaan (warna dasar pakaian, motivasii
terdalam, hobi, dsb.)
5.

permainan penyegaran/penambah semangat (energizing game)

a.
ada bagian-bagian tubuh tertentu yang digerakkan (baik pusat kelesuan atau
ketidaksegaran terjadi atau bagian tubuh yang berpengaruh pada penyegaran
tubuh secara umum/penambah semangat)
b.
seringkali akan lebih efektif jika dibarengi eksplorasi suara peserta atau
iringan musik dinamis (irama bersemangat, syair lagu gembira/riang)
c.
perlu konfirmasi kepada peserta sebelum permainan diakhiri apakah peserta
merasa lebih segar/bersemangat atau belum (jika belum, permainan bisa diteruskan
atau berganti permainan baru tapi sejenis)
6.

permainan pemecah kebekuan suasana (icebreaking game)

a.
isi permainan tidak perlu atau bahkan(!) jangan sampai dikait-kaitkan
dengan penyebab kebekuan suasana. (misalnya pertentangan ide, kesenjangan
pengalaman, dsb) karena beresiko memperburuk keadaan, tapi sebaiknya berisi
aktivitas yang tidak ada hubungannya sama sekall dengan penyebab kebekuan
suasana tersebut.
b.
usahakan aktivitas permainan mampu membuat peserta mengabaikan atau
melupakan (untuk sementara) materi dan suasana proses program pendidikan yang
baru saja terjadi (beku/kaku).
c.
Biasanya permainan pemecah kebekuan lebih efektif bila dilakukan
bersama-sama dalam bentuk permainan massal (lihat jenis permainan berdasarkan
pesertanya di atas). Selain lebih mudah dislapkan dan difasilitasi, permainan massal
juga mudah dlikuti karena seluruh peserta melakukan kegiatan yang sama
bersama-sama.
7.

permainan bertema (thematic game)

a.
permainan yang dipilih pasti memiliki tema dan tujuan tertentu yang relevan
dengan materi yang ingin ngin disampaikan/diolah melalui "pintu masuk"
permainan itu.
b.
perlu diikuti dengan penggalian/pencarian makna di balik aktivitas
permainan yang dilakukan peserta karena inti permainan terletak pada maknanya.

Makna itulah yang nantinya dijadikan kunci masuk ke dalam


pembahasan/pengolahan materi yang ingin dituju berikutnya.
c.
Antara aktivitas permainan dengan makna yang mungkin tergali. dari
permainan itu diusahakan tidak terlalu senjang/berjarak jauh, sehingga tidak
menyulitkan peserta menggali makna yang diharapkan muncul.
d.
Untuk itu aktivitas yang dilakukan dalam permainan hendaknya diusahakan
memiliki kemiripan-kemiripan dengan kondisi konkret yang terjadi dalam situasi lain
yang mengandung makna yang sama.
8.

permainan tanpa alat bantu

a.
mengandalkan potensi gerak sebanyak mungkin anggota tubuh (anggota
tubuh, sendi, kelenturan/keluwesan, sentuhan dan tepukan, suara yang dihasilkan,
dsb.)
b.
semakin membuat peserta mampu menggerakkan anggota tubuh yang
jarang digerakkannya, semakin balk permainan ini (biasanya dikaitkan dengan
aktivitas peserta yang rutin/berhubungan dengan peker aan sehari-hari, dsb).
9.

permainan dengan alat bantu

a.
yang d1utamakan dalam permainan adalah tubuh; alat bantu hanya
berfungsi pembantu/pendukung, jadi bukan yang utama dalam permainan.
b.
usahakan memilih dan menggunakan alat bantu sesederhana mungkin (karena
semakin kompleks, sulit diadakan dan mahal alat bantunya, semakin sulit
permainan ini dikembangkan, mengalihkan perhatian fasilitator dan peserta kepada
alat bantunya dan menciptakan ketergantungan permainan pada alat bantu).
c.
jika permainan dengan alat bantu sekaligus merupakan permainan bertema,
waspadailah jangan sampai pemaknaan permainan tertuju pada alat bantunya,
melainkan aktivitas permainannya.

PENTINGNYA MENCIPTA PERMAINAN

Selama ini banyak orang percaya bahwa proses penciptaan (penemuan?) apapun di
dunia ini bergantung pada talenta (talent) atau karunia khusus yang sudah dari
sononya (taken for granted, tinggal diterima karena. semau-mauNya Tuhan),
sehingga sudah menjadi bakat, tidak bisa dipelajari, bahkan tidak selalu bisa
diwariskan. Namun, terobosan-terobosan baru dalam dunia pendidikan terutama
menyangkut paradigma/kerangka berpikir-nya, perihal mencipta permainan menjadi
kegiatan yang bisa/mungkin dipelajari, bisa ditularkan/disebarluaskan, dan bisa

dilatih. sehingga, terciptanya permainan baru bukan barang mustahil bagi


seseorang yang (bahkan!) sama sekali belum pernah melakukannya, asalkan dia
tekun mempelajari dan mencoba terus-menerus.

Dalam konteks program pendidikan orang muda Katolik, adalah suatu keprihatinan
tersendiri bahwa ada banyak permainan yang telah ditemukan di masa lalu tetap
dipergunakan hingga bertahun-tahun lamanya seolah-olah tanpa ada permainan
baru yang bisa menggantikannya (bahkan dengan tujuan yang sama persis
sekalipun). Yang lebih menjijikkan lagi, bahkan upaya memodifikasinya pun tidak
ada, sehingga permainan itu-itu juga yang digunakan dari acara ke acara, dari
tahun ke tahun, bahkan untuk peserta yang kurang lebih sama dan telah sering
melakukan permainan yang sama.

Meskipun sebenamya, menjadi tak kalah menarik jika permainan itu disajikan dalam
aturan-aturan dan langkah-langkah yang kompleks, bertingkat-tingkat, sehingga
detail aktivitas yang akan dialami peserta (jika peserta itu pernah melakukannya
akan melakukannya lagi) dan hasilnya sungguh-sungguh belum bisa ditebak (mirip
permainan olah raga internasional seperti sepak bola atau bola sodok/bilyar).
Namun tetap saja penggunaan permainan yang selalu sama di setiap kesempatan
(apalagi dilakukan oleh peserta yang pernah, sering dan selalu mengalaminya) akan
beresiko menciptakan suasana pendidikan yang tidak menarik, dan bertolak
belakang dengan sifat serta hakekat permainan itu sendiri (bahwa permainan
seharusnya selalu menarik dan menyenangkan).
Selain itu, mencipta permainan baru berarti membuka peluang ditemukannya
metode permainan yang lebih aktual (sejalan dengan perkembangan situasi jaman),
lebih kontekstual (sejalan dengan perkembangan kebutuhan dan situasi peserta),
dan lebih banyak menemukan pelajaran (lesson learned) penting untuk digali
(terutama untuk permainan tematis).

TEKNIK MENCIPTA PERMAINAN

Berikut ini disajikan squmlah langkah alternatif jika kita ingin mencipta permainan
baru untuk dilakukan sebagai metode dalam program pendidikan (bukan sekedar
permainan atau bukan permainan asal-asalan). Penciptaan permainan bertolak dari
tujuan/maksud tertentu yang sudah jelas dibutuhkan dalam proses program
pendidikan:

1.
Pahami dan pastilian tepat-tidaknya metode permainan digunakan dalam
materi/proses tertentu yang dimaksud.
a. Apakah permainan menjadi metode paling tepat? Mengapa? Apa saja
pertimbangannya?
b.

Apakah mencapai seluruh/sebagian tujuan materi/proses? Seberapa efektif?

c.

Apakah ada metode lain vang lebih tepat?

2.
a.

Tentukan tujuan permainan yang relevan dengan kebutuhan materi/proses.


Apakah untuk mengakrabkan peserta? (ingrouping game)

Jika ingin mencipta permainan pengakraban:


i.

Pilihlah hal-hal yang bisa dijadikan materi permainan (lihat tips di atas)

ii.
Tentukan aktivitas berkelompok yang perlu dan mungkin dilakukan peserta
hingga menciptakan suasana akrab satu sama lain (lihat tips di atas tentang hal-hal
yang mengakrabkan peserta) misalnya:
Memperkenalkan diri (identitas singkat, identitas lengkap)
Membentuk kelompok (sesuai kesamaan/perbedaan, membuat bangunan dari
tubuh manusia, dsb.)
Membentuk barisan (urutan, garis panjang, dsb.)
Berlomba antar kelompok (adu cepat, adu panjang/pendek, adu tinggi, dsb.)
iii. Tuliskan ide urutan aktivitas permainan sembari mencoba melakukannya,
ajaklah orang lain sebagai partner.
iv. Alangkah bagusnya jika permainan diuji coba efektivitasnya (tingkat
keberhasilannya mengakrabkan) sebelum diterapkan dalam program pendidikan.
b.

Apakah untuk menyemangati peserta? (energizing game)

Jika ingin mencipta permainan penyemangat:


i.
Pilihlah bagian-bagian tubuh tertentu yang menjadi penyebab kurang
bersemangatnya peserta (lihat tips di atas)
ii.
Tentukan bagian-bagian tubuh tertentu yang akan digerakkan untuk
menghilangkan/mengurangi kurang bersemangatnya peserta (lihat tips di atas)

iii. Tentukan bagaimana gerak bagian-bagian tubuh tersebut (perhatikan dasardasar gerak: gerak lurus, gerak lengkung, gerak bersambung, gerak patah-patah,
gerak berputar, gerak naik/turun, dsb)
iv. Jika dimainkan secara berkelompok, tentukan bagaimana gerak peserta secara
individual bisa menjadi gerak secara kelompok; perhatikan kemungkinankemungkinan:
gerak serempak
gerak bersentuhan misalnya sentuhan bahu peserta dengan bahu peserta lain,
tepuk tangan peserta dengan tangan peserta lain
gerak berkaitan misalnya dengan berpegangan/berkaitan tangan, dsb.)
v.
Tuliskan ide urutan aktivitas permainan sembari mencoba melakukannya
(untuk aktivitas permainan berkelompok, ajaklah orang lain sebagai partner).
vi. Alangkah bagusnya jika permainan diuji coba efektivitasnya (tingkat
keberhasilannya menambah semangat) sebelum diterapkan dalam program
pendidikan.
c.

Apakah untuk memecahkan kebekuan suasana? (icebreaking game)

Jika ingin mencipta permainan pemecah kebekuan suasana:


i.
Carilah kegiatan-kegiatan sehari-hari yang menyenangkan (dan sama sekali
tidak berkaitan dengan materi/proses yang baru saja diikuti peserta), misalnya:
menyanyi, menari, menceritakan dan mendengarkan kisah lucu, memecahkan tekateki, dsb.
ii.
Ubahlah kegiatan-kegiatan menyenangkan itu dalam format permainan
terutama yang melibatkan peserta secara keseluruhan (massal). Misalnya:
iii.
Menyanyi dan menari bersama (lagu bersyair pendek, mudah dihafal dalam
waktu singkat, sebaiknya diiringi muik dn dibarengi gerak tubuh/tarian
peserta). Catatan: permainan yang dilakukan dengan menyanyi dan menari tidak
sama dengan sekedar menyanyi atau menari sehari-hari. Karena unsur utamanya
bukan menyanyi atau menari itu sendiri, tapi bermain. Jadi, tidak semua lagu (yang
bisa dinyanyikan sehari-hari) dan tidak semua tarian (yang bisa ditarikan seharihari) bisa begitu saja berubah menjadi permainan pemecah kebekuan suasana.
Carilah lagu (yang jika dinyanyikan) dan carilah tarian/gerak tubuh (yang jika
dilakukan) bisa menyebabkan peserta merasakan sedang bermain, bukan menyanyi
atau menari. Misalnya, jangan nyanyikan lagu pop, tapi lagu yang isi syairnya
menggerakkan tubuh untuk menari (biarpun lagu itu lagu anak-anak seperti
menyanyikan "Potong Bebek Angsa" sambil berjalan seperti bebek atau "Aku Anak

Sehat" sambil membuat bahasa isyarat setiap kata kunci syairnya: aku-sehat-tubuhkuat-ibu-rajin/cermat-bayi-asi(!)-dst.
d. Apakah untuk menyampaikan, menggali, mengolah tema materi
tertentu? (thematic game)
Jika ingin mencipta pennainan bertema:
i.
Tentukan tujuan, tema dan makna yang diharapkan dari permainan yang
akan diciptakan.
ii.
Carilah aktivitas kehidupan sehari-hari yang mengandung tujuan, tema atau
makna tersebut (sebagai inspirasi permainan). Misalnya:
Tema "pentingnya kerja sama" terlihat dalam aktivitas kenek Metromini
yang mei-nandu si sopir memarkir Metromini atau lomba panjat pinang.
Tema "komunikasi efektif'tercermin dalam kegiatan menelepon, berbahasa
isyarat atau berkirim surat.
Tema "persaingan" terlihat dalam perlombaan renang atau menari telur paskah.
Tema "berstrategi" bisa dicermati dari komandan perang mengatur serangan
atau manajer tiro sepak bola mengatur fon-nasi pemain-pemainnya.
iii.
Cermati inti dari aktivitas atau kegiatan sehari-hari yang sesuai tujuan, tema
atau makna tertentu itu. Misalnya:
Inti kerja sama kenek dan sopir adalah saling menutup keterbatasan orang lain
untuk menyelesaikan pekeriaan.
Inti keberhasilan menelepon adalah kesepahaman pesan antar orang yang
berkomunikasi lewat telepon.
Inti persaingan menari telur paskah adalah mengumpulkan telur sebanyakbanyaknya dan secepat mungkin sebelum diambil orang lain.
Inti berstrategi yang dilakukan komandan perang adalah mengatur kekuatan
untuk mengalahkan lawan.
iv.

Ciptakan aktivitas lain yang sesuai dengan inti aktivitas tersebut, misalnya:

"saling menutupi keterbatasan orang lain untuk menyelesaikan pekerjaan" bisa


dilakukan oleh 2 orang yang harus menyelesaikan tugas tertentu yang tak mungkin
diselesaikan 1 orang saja karena masing-masing punya keterbatasan; tugas hanya
bisa diselesaikan jika keterbatasan orang pertama ditutupi oleh orang kedua dan
begitu pula sebaliknya.

"mengatur kekuatan untuk mengalahkan lawan" bisa dilakukan oleh 2 kelompok


yang harus saling mengalahkan (misalnya dengan memasuki daerah lawan), namun
masing-masing memiliki kekuatan terbatas (misalnya sebagian ditutup matanya,
sebagian lagi diikat kakinya).
v.
Tuliskan ide urutan aktivitas permainan sembari mencoba melakukannya
(untuk aktivitas permainan berkelompok, ajaklah orang lain sebagai partner).
vi.
Alangkah bagusnya jika permainan diuji coba efektivitasnya (tingkat
keberhasilannya menambah semangat) sebelum diterapkan dalam program
pendidikan.

You might also like