You are on page 1of 4

AMBIGUITAS KALIMAT DALAM KARYA SASTRA

NOVEL REMAJA
Lia Fissamawati Nur Rohmah
H3114056/ Teknologi Hasil Pertanian
Abstrak
Novel merupakan salah satu cerita fiksi yang memiliki unsur seni yang terkandung dalam
rangkaian kalimatnya. Namun tidak jarang rangkaian kalimat yang disusun menimbulkan kesan
ganda. Kesengajaan maupun ketidaksengajaan penulis dalam terbentuknya kalimat ambigu
berpengaruh pada pemahaman pembaca mengenai karya seni. Novel remaja sebagai salah satu
karya sastra yang digemari oleh kalangan muda tak jarang mengandung unsur ambiguitas/
ketaksaan dalam susunan kalimatnya. Faktor yang menyebabkan ketaksaan suatu kalimat,
diantaranya: (1) polivalensi dalam homonimi dan polisemi; (2) ciri genetik kata yang
mengandung berbagai fitur semantik berbeda-beda; (3) ketidakjelasan batas kata yang memiliki
makna umum dan makna khusus; (4) bentuk metaforis; (5) pemaknaan bentuk pinjaman yang
masih kabur; (6) kolokasi dan sinonimi; (7) ekuivokasi; (8) amfiboli; (9) aksentuasi; (10)
komposisi; (11) devisi. Sedangkan pengelompokan ketaksaan sebagai berikut: (1) ketaksaan
fonetik, (2) ketaksaan gramatikal, (3) ketaksaan leksikal.

Keyword: Ketaksaan, novel


1. Pendahuluan
Novel merupakan karya sastra fiksi yang ditulis secara naratif dalam bentuk
cerita yang panjang. Menurut Mauludiyah (dalam Abrams (dalam Nurgiyantoro,
1995:2)) karya fiksi adalah cerita khayalan yang tidak mengacu pada kebenaran,
sebagaimana non fiksi. Sebagai karya sastra fiksi, menurut (Ekawati, 2012) novel
diciptakan sebagai pengembang kreativitas dan imajinasi manusia. Dalam membaca
novel, diperlukan pemahaman yang mendalam, karena novel juga menjadi alat
pendewasaan manusia untuk lebih tanggap mengenai peristiwa di sekitarnya. Hal
ini selaras dengan pendapat Ekawati (dalam Sangidu, 2004) yang menyatakan
bahwa sastra sebagai bentuk gejala sosial dan (dalam Darmono, 2003) yang
berpendapat bahwa karya sastra hanya dapat dipahami apabila dikaitkan dengan
lingkungan, kebudayaan, serta peradaban.
Menurut Ekawati (dalam Zulfahnur, 1996), sastra merupakan suatu karya seni
yang memiliki keindahan. Bahasa memiliki peranan penting dalam penciptaan
estetika tersebut. Dalam karya sastra novel, nilai seni mampu didapat dari
pengolahan kata dan rangkaian kalimat yang tepat, sehingga mampu membangun
suasana yang berbeda bila dibandingkan dengan karya sastra non fiksi. Diksi yang
tepat dalam penciptaan seni kalimat dapat menjadi sarana pengungkapan sebuah
pesan (Ekawati, 2012).
Dalam penciptaan nilai seni dalam karya sastra, ada kalanya tidak sesuai
dengan arti yang diharapkan. Menurut (Restiasih, 2010), makna kata lambat laun
akan berubah. Hal ini karena beberapa faktor seperti perkembangan IPTEK, sosial
budaya, perkembangan pemakaian kata, pertukaran tanggapan indera, dan adanya

asosiasi. Sehingga terkadang maksud yang penulis sampaikan tidak sejalan dengan
pemikiran pembaca. Oleh karena itu menurut (Nordin, 2014), bahasa yang betul
dan bahasa yang salah harus dilihat dari sudut pandang yang tepat.
Untuk menjadi karya sastra yang baik dan mampu tersampaikan apa yang
menjadi pesan utamanya, perlu dihindari kesalahan yang ada. Hal yang perlu
diperhatikan bahwa apa yang ditulis harus sesuai logika. Bila tidak, akan
menimbulkan persepsi makna yang berbeda-beda. Berdasarkan hal tersebut, tulisan
ini akan mengantarkan kita pada kajian semantik sering muncul dalam karya sastra
novel remaja, yaitu ambiguitas.
2. Pembahasan
Ambiguitas atau ketaksaan sering diartikan sebagai penggandaan sebuah
makna. Dalam hal ini ambiguitas mengacu pada penggandaan makna dalam suatu
kalimat. Mungkin ada unsur kesengajaan dalam kalimat ambigu, namun perlu
diperhatikan bahwa pemakaian kalimat yang bermakna ganda akan menimbulkan
persepsi yang berbeda-beda bagi setiap orang. Hal tersebut akan mendorong
kesalahpahaman yang menjadikan maksud/ pesan dari suatu karya sastra tidak
tersampaikan.
Ambiguitas dapat menjadi tolak ukur seberapa tinggi tingkat kepekaan
seseorang. Unsur kesengajaan penulis dalam menyembunyikan makna kalimat
melalui ambiguitas, secara tidak langsung akan memperlihatkan seberapa besar
nilai afektif yang dimiliki seseorang. Baik buruknya makna yang ditangkap
menunjukkan seperti itulah watak orang.
Dalam bahasa tulis, penafsiran ganda dapat terjadi apabila penandaan ejaanejaan tidak diberikan. Sebagai contoh adalah Alis Danny terangkat heran. (novel
Spring in London karya Ilana Tan). Jika dibaca berulang-ulang, kalimat tersebut
memiliki makna ganda. Dapat berarti alis Danny heran atau Danny heran.
Maka dari itu pemenggalan kata dalam suatu kalimat memiliki peran yang besar.
Menurut Restiasih (dalam Aminudin, 2009), terdapat sebelas faktor yang
menyebabkan ketaksaan suatu kalimat, diantaranya: (1) polivalensi dalam
homonimi dan polisemi; (2) ciri genetik kata yang mengandung berbagai fitur
semantik berbeda-beda; (3) ketidakjelasan batas kata yang memiliki makna umum
dan makna khusus; (4) bentuk metaforis; (5) pemaknaan bentuk pinjaman yang
masih kabur; (6) kolokasi dan sinonimi; (7) ekuivokasi; (8) amfiboli; (9)
aksentuasi; (10) komposisi; (11) devisi.
Homonimi dan polisemi menjadi salah satu faktor ketaksaan dalam suatu
kalimat. Homonimi berasal dari dua kata, sementara polisemi berasal dari satu kata.
Meskipun begitu, diantara keduanya tetaplah mengandung makna ganda. Seperti
yang diutarakan Usman (2009) bahwa homonimi adalah dua ujaran dalam bentuk
kata yang sama lafalnya atau sama ejaan/ulisannya. Homonimi dapat dibedakan
berdasarkan lafal dan tulisannya. Dua ujaran dalam bentuk kata yang sama lafalnya
disebut homofon (misal: bang, bank). Dua ujaran dalam bentuk yang sama ejaannya

namun beda lafalnya disebut homograf (misal: teras). Menurut Usman (2009) pula,
polisemi adalah keanekaragaman makna karena pergeseran makna atau tafsiran
yang berbeda.
Menurut Nirmala (2012), Metafora merupakan hasil abstraksi konsep yang
terkandung dalam ungkapan metaforis. Ungkapan metaforis adalah ungkapan yang
menunjukkan konseptualisasi dan mengindikasikan pemahaman atas suatu konsep
dengan konsep lain. Bentuk metaforis dapat menjadi faktor ketaksaan suatu
kalimat yang ditimbulkan oleh adanya unsur perbandingan di antara dua hal yang
memiliki ciri dan makna yang sama.
Kolokasi merupakan hubungan suatu kata dengan kata yang lain. Hal ini
sependapat dengan Usman (2009) yang menyatakan bahwa kolokasi merupakan
kemungkinan hubungan yang muncul dari dua kata atau lebih. Jika suatu kata
muncul dalam klausa lain, maka kemungkinannya untuk muncul pada klausa kedua
dan lainnya sangat besar. Menurut Usman (dalam Kridalaksana yang dikutip
Kushartanti dkk, 2005), kolokasi adalah asosiasi dan pendampingan yang tetap
pada leksem. Sementara sinonimi merupakan hubungan dari persamaan/ sinonim
suatu kata. Seperti yang diungkapkan Nuryadi (2007) bahwa sinonimi adalah relasi
makna antar satuan bahasa yang pelafalannya atau ejaannya berbeda namun
memiliki makna yang sama. Sinonim yang dapat muncul adalah kata asli dan
serapan, antara kata berdasar kolokasi, dan antara dialek dan bahasa umum. Suatu
kontak antar bahasa dapat menimbulkan kata serapan yang bermakna.
Ekuivokasi merupakan kesalahan yang terjadi saat menggunakan kata yang
sama. Hal ini karena pengucapan/ bunyi suatu kalimat diartikan berbeda-beda oleh
setiap orang. Ekuivokasi dapat terjadi dalam satu kalimat, karena tidak ada kalimat
penjelas yang lain, maka akan bermakna banyak.
Amfiboli dapat diartikan sebagai kesalahan berbahasa dalam kekaburan
makna. Pembaca akan merasa bingung, untuk siapa kalimat tersebut yang
ditujukan. Hal ini disebabkan karena subjek terkait dianggap lebih dari satu. Selaras
dengan apa yang Restiasih (2010) ungkapkan bahwa amfiboli merupakan suatu
bentuk kekaburan makna karena ketidakjelasan suatu term dalam struktur kalimat.
Aksentuasi merupakan suatu pemberian tekanan dan tanda baca yang tepat
dan diberikan pada suatu kalimat sehingga kalimat tersebut memiliki makna. Jika
suatu kalimat tidak diberikan aksen, maka akan menimbulkan ambiguitas dan
makna yang sesungguhnya tidak tersampaikan.
Secara garis besar, ketaksaan/ ambiguitas dapat dibagi menjadi tiga jenis,
diantaranya (1) ketaksaan fonetik, (2) ketaksaan gramatikal, (3) ketaksaan leksikal.
Ketaksaan fonetik merupakan ambiguitas yang terjadi pada tingkat fonem.
Ketaksaan ini muncul karena pengucapan/ pelafalan suatu kalimat yang terlalu
cepat atau penyingkatan kata sehingga memungkinkan berbaurnya bunyi-bunyi
yang diucapkan. Makna yang ditimbulkan pun akan ganda. Kecenderungan dalam
penyingkatan kata memang sering terjadi dalam percakapan (Restiasih, 2010).

Ketaksaan gramatikal merupakan ketaksaan/ ambiguitas yang terjadi pada


bentuk susunan kalimat. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Restiasih (2010)
bahwa ketaksaan gramatikal terjadi pada pembentukan satuan bahasa dalam tataran
morfologi maupun pada tataran sintaksis. Sebenarnya setiap kata sudah jelas, hanya
saja perpaduan diantaranya mengakibatkan maknanya ganda. Pada tataran
morfologi, ketaksaan gramatikal meliputi morfem dan kata, sementara pada tataran
sintaksis meliputi frasa, klausa, dan kalimat.
Ketaksaan leksikal terjadi karena kesalahan dalam penafsiran suatu kalimat,
akibatnya terjadi penggandaan makna. Menurut Restiasih (2010), ketaksaan
leksikalmeliputi polovalensi, ketidakjelasan batas makna suatu kata, penggunaan
preposisi, dan penggunaan gaya bahasa. Ketaksaan pada tingkat ini mengakibatkan
kalimat tidak logis karena kalimat kurang lengkap, diksi tidak tepat, dan tidak ada
jeda.
3. Penutup
Ambiguitas/ ketaksaan merupakan penggandaan makna yang terdapat pada suatu
kalimat. Ketaksaan dibagi menjadi tiga jenis yaitu ketaksaan fonetik, ketaksaan
gramatikal, dan ketaksaan leksikal. Ketiga ketaksaan tersebut sama-sama
disebabkan oleh kesalahan dalam penafsiran kalimat. Pelafalan atau pengucapan
suatu kalimat yang terlalu cepat mengakibatkan penyingkatan kata dan berakhir
dengan tafsiran ganda. Ketaksaan dalam penggunaan gaya bahasa juga dapat terjadi
karena diksi tidak tepat, kalimat tidak lengkat, dan pemenggalan kata tidak tepat.
Daftar Pustaka
Ekawati, Dian M S. 2012. Gaya Bahasa dalam Novel Terjemahan Sang Pengejar
Layang-Layang (The Kite Runner) Karya Khaled Hosseini. Basastra Jurnal
Penelitian Bahasa, Sastra Indonesia, dan Pengajarannya. Vol. 1, No. 1.
Mauludiyah, Nur. 2012. Kepribadian Tokoh Roda Savitri Darsono dalam Novel Misteri
Sutra yang Robek Karya S. Mara Gd. Kajian Psikologi Behavioral Tokoh Cerita.
Nirmala, Deli. 2012. Fungsi Pragmatik Metafora Dalam Wacana Surat Pembaca
Berbahasa Indonesia. Litera. Vol. 11, No. 1, April 2012.
Nordin, Muhammad Zin. 2014. Analisis Kesalahan Penggunaan Bahan Papan
Perniagaan. Procedia-Social and Behavioral Sciences. Vol. 134, No. 330-349.
Nuryadi. 2007. Hubungan Makna Suatu Kajian Semantik. Sastra & Bahasa.
Restiasih. 2010. Ketaksaan Makna Dalam Kajian Logika. E-jurnal Dinas Pendidikan
Kota Surakarta. Vol. 1.
Usman, Fajri. 2009. Bentuk Lingual Tawa Pengobatan Tradisional Minangkabau.
Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra. Vol. 5, No. 1, April 2009.

You might also like