You are on page 1of 11

Workshop Nasional Biokonversi Limbah 11-12 April 2006 Univ.

Brawijaya Malang

TEKNOLOGI DAN PENGELOLAAN SAMPAH KOTA


DI INDONESIA
oleh : Prof. Dr. Enri Damanhuri
Teknik Lingkungan - FTSL ITB
Potret Persampahan di Daerah Urban di Indonesia
Penanganan sampah khususnya di kota-kota besar di Indonesia merupakan salah
satu permasalahan perkotaan yang sampai saat ini merupakan tantangan bagi pengelola
kota. Pertambahan penduduk dan peningkatan aktivitas yang demikian pesat di kota-kota
besar, telah mengakibatkan meningkatnya jumlah sampah disertai permasalahannya.
Diprakirakan rata-rata hanya sekitar 40% - 50% yang dapat terangkut ke Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) oleh institusi yang bertanggung jawab atas masalah sampah
dan kebersihan, seperti Dinas Kebersihan.
Kemampuan pengelola kota menangani sampahnya dalam 10 tahun terakhir
cenderung menurun, antara lain karena era otonomi dan kemampuan pembiayaan yang
rendah. Berdasarkan Laporan Kementerian Lingkungan Hidup (2004), pada tahun 2001
diperkirakan pengelola sampah kota hanya mampu melayani sekitar 32% penduduk kota,
dari 384 kota di Indonesia. Hanya sekitar 40% dari sampah yang dihasilkan oleh daerah
urban yang dapat diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPS). Sisanya ditangani oleh
penghasil sampah dengan berbagai cara, seperti dibakar (35%), ditimbun dalam tanah
(7,5%), dikomposkan (1,61%), dan beragam upaya, termasuk daur-ulang, atau dibuang di
mana saja seperti di tanah kososng, drainase atau badan air lainnya.
Paradigma umum yang dijumpai sampai saat ini dalam pengelolaan sampah kota
di Indonesia adalah kumpul angkut buang. Seiring dengan pertambahan penduduk,
tambah lama akan tambah banyak jumlah sampah yang harus ditangani. Defisit anggaran
dalam penanganan sampah kota merupakan hal yang biasa terdengar, sehingga agak sulit
bagi pengelola sampah untuk berfikir ke depan dalam upaya pengembangan. Prasarana
yang tersedia tambah lama akan tambah tua dan tambah terbatas kemampuannya.
Disamping itu, sebagian besar PEMDA sampai saat ini menganggap bahwa penanganan
sampah belum menjadi prioritas yang penting, apalagi dengan kondisi ekonomi yang
sulit. Dengan demikian beban pengelola sampah kota menjadi tambah berat, kecuali bila

Enri Damanhuri - TL ITB 1

Workshop Nasional Biokonversi Limbah 11-12 April 2006 Univ. Brawijaya Malang

cara pandang dalam pengelolaan sampah diperbaiki. Perbaikan ini tidak dapat dilakukan
dalam waktu sekejap, karena menyangkut pula cara pandang masyarakat penghasil
sampah, dan yang juga penting adalah cara pandang pengambil keputusan baik eksekutif
maupun legislatif.
Sampai saat ini andalan utama sebuah kota dalam menyelesaikan masalah
sampahnya adalah pemusnahan dengan landfilling pada sebuah TPA. Biasanya pengelola
kota cenderung kurang memberikan perhatian yang serius pada TPA tersebut, sehingga
muncullah kasus TPA Bantar Gebang di Bekasi, TPA Keputih di Surabaya, TPA
Leuwigajah di Cimahi-Bandung, dan TPA-TPA lain yang terungkap di mass media.
Aktivitas utama pemusnahan sampah di TPA adalah dengan landfilling. Beragam tingkat
teknologi landfilling, diantaranya yang paling sering disebut adalah sanitary landfill.
Dapat dipastikan bahwa yang digunakan di Indonesia adalah bukan landfilling yang baik,
karena hampir seluruh TPA di kota-kota di Indonesia hanya menerapkan apa yang
dikenal sebagai open-dumping, yang sebetulnya tidak layak disebut sebagai sebuah
bentuk teknologi penanganan sampah.
Minimasi Sampah yang Diangkut ke TPA
Reduce-ReuseRecycling (3-R) merupakan konsep yang digunakan dalam Draft
RUU sampah yang sedang disiapkan oleh Pemerintah Indonesia. Konsep ini merupakan
pendekatan yang telah lama diperkenalkan di Indonesia dalam upaya mengurangi sampah
mulai dari sumbernya sampai di akhir pemusnahannya. Kerhasilan konsep ini
membutuhkan kemauan politis pengelola kota, disertai keterpaduan dengan sistem
penanganan sampah secara keseluruhan. Berdasarkan pengalaman di negara maju, upaya
pengurangan sampah dengan 3-R ini belum dapat menghilangkan sampah secara
keseluruhan.
Pengurangan (reduksi) sampah menjadi prioritas utama dalam mengurangi
timbulnya sampah, dan ini hanya dapat dilakukan bila penghasil sampah itu sendiri
menyadarinya. Salah satu penyebab tambah banyaknya timbulan sampah adalah karena
pola konsumsi masyarakat itu sendiri. Tambah banyak bahan dikonsumsi, akan tambah
banyak pula sampah yang akan dihasilkan. Perubahan pola hidup yang mendunia juga
membawa permasalahan persampahan. Sebagian besar sampah yang terlihat mengotori
Enri Damanhuri - TL ITB 2

Workshop Nasional Biokonversi Limbah 11-12 April 2006 Univ. Brawijaya Malang

kota adalah pengemas atau pembungkus (packaging). Hal yang sudah rutin telihat adalah
ketergantungan masyarakat kota akan pengemas, yang umumnya berupa plastik berbagai
jenis yang menghasilkan sampah yang biasanya dibuang di mana saja. Minimasi
pembungkus, pengurangan penggunaan bahan terbuang, pengembangan pembungkus
baru, penerapan penggunaan label bahan yang dapat didaur-ulang dan yang paling
penting adalah pemisahan sampah berdasarkan jenisnya sejak awal, merupakan upaya
yang umum dijumpai di negara-negara maju.
Langkah kedua dalam penanganan sampah adalah penggalakan recovery sampah
untuk didaur-ulang. Upaya recovery bahan terbuang ini harus dimulai sejak awal sampai
ke titik akhir dalam penanganan sampah. Keberadaan aktivitas ini perlu dimasukkan
dalam kebijakan penanganan sampah kota, dan merupakan bagian dari sistem
pengelolaan yang perlu diterapkan di sebuah kota. Upaya penggalakan daur-ulang
sampah perlu

dipertimbangkan dalam pengelolaan sampah di Indonesia, guna

mengurangi jumlah sampah yang harus diangkut di sebuah TPA. Upaya-upaya ini
sebetulnya telah dikenal, khususnya di kota-kota besar di Indonesia yang melibatkan
sektor informal. Secara teoritis banyaknya sampah yang dapat didaur-ulang dengan cara
ini, termasuk yang ada di TPA, paling banyak adalah 10 %. Namun pemantauan yang ada
di Jakarta dan Bandung ternyata besaran ini tidak sampai mencapai 5 %.
Dilihat dari komposisi sampah, maka sebagian besar sampah kota di Indonesia
adalah tergolong sampah hayati, atau secara umum dikenal sebagai sampah organik.
Sampah yang tergolong hayati ini untuk kota-kota besar bisa mencapai 70 % (volume)
dari total sampah, dan sekitar 28 % adalah sampah non-hayati yang menjadi obyek
aktivitas pemulung yang cukup potensial. Sisanya (sekitar 2%) tergolong macam-macam,
termasuk limbah berkatagori B3 yang perlu dikelola tersendiri. Berdasarkan hal itulah di
sekitar tahun 1980-an Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) ITB memperkenalkan
konsep Kawasan Industri Sampah (KIS) dengan sasaran meminimalkan sampah yang
akan diangkut ke TPA,

dengan melibatkan swadaya masyarakat dalam daur-ulang

sampah. Konsep sejenis sudah dikembangkan di Jakarta yaitu Usaha Daur-ulang dan
Produksi Kompos (UDPK) yang dimulai sekitar tahun 1991. Tetapi seperti biasa, konsep
ini tidak berjalan lancar karena konsep ini membutuhkan kesiapan semua fihak untuk
merubah cara fikir dan cara pandang dalam penanganan sampah, termasuk cara pandang
Enri Damanhuri - TL ITB 3

Workshop Nasional Biokonversi Limbah 11-12 April 2006 Univ. Brawijaya Malang

Pemerintah Daerah. Pendekatan yang sejenis akhir-akhir ini diperkenalkan di Indonesia


oleh BPPT dengan konsep

zero-waste nya. Sejak terjadinya lonsor pada TPA

Leuwuigajah pada bulan 21 Februari 2005 lalu, konsep ini mulai diterapkan di Kota
Cimahi, yang mentargetkan sebagai kota kompos, dimana aktivitas dan daur-ulang
kompos didorong untuk dilaksanakan di tingkat RW secara swadaya.
Konsep penanganan sampah di sumber seperti dibahas di atas memang sangat
dianjurkan, khususnya bila sampah dianggap sebagai bahan yang dapat dimanfaatkan
kembali, atau sebagai bahan yang dapat dipakai kembali maupun sebagai sumber enersi.
Keberhasilan cara ini banyak tergantung pada bagaimana memilah dan memisahkan
sampah seawal mungkin. Tanpa upaya ini, dapat dipastikan usaha ini kurang begitu
efisien. Di negara, maju teknologi pemisahan dan pemilahan sampah telah banyak
diterapkan pada unit-unit daur-ulang, seperti pemilahan dengan menggunakan prinsip
perbedaan densitas fluida dan perbedaan ukuran butiran, perbedaan sifat magnetis, atau
berdasarkan perbedaan sifat optik dsb.
Tambah ke hilir alur perjalanan sampah, maka akan tambah sulit dan tambah
kompleks penanganan sampah. Sampah yang baru dihasilkan di dapur, akan lebih
sederhana karakaternya, lebih segar dan lebih homogen karena belum bercampur dengan
yang lain, dibandingkan dengan sampah yang telah berada di bak sampah di depan
rumah. Sampah yang diangkut oleh petugas pada gerobak sampah, mempunyai karakter
yang lebih rumit dan lebih bermasalah dibandingkan sampah di bak sampah di rumah.
Sampah di Tempat Penampungan Sementara (TPS) yang menerima sampah secara
bercampur dari berbagai sumber yang berbeda dari berbagai penjuru, yang dibiarkan
terbuka berhari-hari, akan mempunyai karakter yang sudah jauh berbeda bila
dibandingkan dengan sampah di rumah. Penanganan sampah di titik ini tidaklah semudah
penanganan sampah di rumah. Keberhasilan cara penanganan sampah di tingkat rumah,
dapat dikatakan sulit diharapkan untuk mempunyai hasil yang sama bila diterapkan di
tingkat TPS, apalagi di TPA. Oleh karenanya, pemilahan dan pengolahan sampah di hulu
merupakan kunci keberhasilan upaya 3R.

Sampah sebagai Sumber Daya dan Enersi


Enri Damanhuri - TL ITB 4

Workshop Nasional Biokonversi Limbah 11-12 April 2006 Univ. Brawijaya Malang

Berdasarkan data dari berbagai Dinas Kebersihan seperti di Jakarta, Bandung dan
lain-lain tempat, terdapat beberapa MOU yang telah ditandatangani oleh Pemda sedjak
awal tahun 2000 dengan fihak swasta seperti pembuatan ethyl alkohol dengan teknologi
pirolisa dan bio-oxidation, pembuatan kompos, pembuatan pupuk cair dan pupuk padat
dengan teknologi fermentasi, konversi sampah menjadi enersi. Namun sampai saat ini,
belum satupun terlihat realisasinya, karena berbagai alasan dan hambatan, baik teknis
maupun birokrasi, khususnya finansial.
Melihat komposisi sampah di Indonesia yang sebagian besar adalah sisa-sisa
makanan, khususnya sampah dapur, maka sampah jenis ini akan cepat membusuk, atau
terdegradasi oleh mikroorganisme yang berlimpah di alam ini. Cara inilah yang
sebetulnya dikembangkan oleh manusia dalam bentuk pengomposan dan biogasifikasi.
Di Indonesia, dengan kondisi kelembaban dan temperatur udara yang relatif tinggi, maka
kecepatan mikroorganisme dalam memakan sampah yang bersifat hayati ini akan lebih
cepat pula.
Pengomposan merupakan salah satu teknik pengolahan limbah organik yang
mudah membusuk. Teknik ini sudah dikenal sejak lama di khususnya di daerah pedesaan.
Pengomposan merupakan salah satu alternatif yang selalu dianjurkan untuk digunakan
untuk menangani sampah kota. Tetapi permasalahan utamanya adalah belum adanya
sinkronisasi antara pengelola pengomposan dengan program kebersihan yang dilakukan
Pemerintah Daerah. Kementerian Lingkungan Hidup dengan bantuan Bank Dunia sejak
beberapa tahun yang lalu memperkenalkan subsidi kompos yang dihasilkan, untuk
merangsang pertumbuhan penanganan sampah melalui pengomposan.
Pengomposan yang sering dilakukan adalah secara aerobik (tersedia oksigen
dalam prosesnya), karena berbagai kelebihan, seperti tidak menimbulkan bau, waktu
lebih cepat, bertemperatur tinggi sehingga dapat membunuh bakteri patogen dan telur
lalat sehingga kompos yang dihasilkan higienis. Pengomposan sampah kota bersasaran
ganda, yaitu memusnahkan sampah kota dan sekaligus memperoleh bahan yang
bermanfaat. Bila berbicara tentang kompos sampah kota, maka perlu mendapat perhatian:
Sumber sampah : bila langsung dari rumah, atau dari sumber yang sejenis, maka akan
jauh lebih mudah ditangani dibandingkan bila telah berada di TPS

Enri Damanhuri - TL ITB 5

Workshop Nasional Biokonversi Limbah 11-12 April 2006 Univ. Brawijaya Malang

Upaya pemilahan : khususnya pemilahan antara bagian sampah yang biodegradabel


dengan bagian sampah yang non-degradabel, juga antara bagian sampah biodegradabel
yang kurang baik sebagai bahan kompos dengan bagian sampah yang mudah
terdegradasi.
Waktu menunggu pengangkutan : sampah yang sudah lebih dari 2-3 hari dibiarkan dan
kekurangan udara segar, akan menghasilkan asam-asam organik yang menimbulkan
bau. Pada kondisi ini, upaya pengomposan akan menghasilkan keluhan bagi
masyarakat sekitar, bila tidak ditangani secara tepat untuk mengembalikan posisi
pengomposan dalam kondisi yang sehat.
Kualitas kompos : komposisi sampah kota sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat
yang lain, dan dari waktu ke waktu, dsb maka sangat berlebihan bila mengharap
kompos yang dihasilkan dari sampah kota akan mempunyai kualitas sebaik kompos
dari sumber yang lebih homogen, seperti dari limbah pertanian.
Berdasarkan hal tersebut, akan menimbulkan harapan yang berlebihan bila pengomposan
sampah

kota

diposisikan

sebagai

penambah

penghasilan

pemerintah

daerah.

Pengomposan sampah kota hendaknya diposisikan sebagai upaya untuk menangani


sampah kota agar lebih baik dari sekedar hanya dibuang di sebuah open dumping, dan
bila dilakukan di hulu, akan mengurangi biaya transportasi pengelolaan persampahan.
Produk kompos dihasilkan tetap bermanfaat, dan diposisikan sebagai nilai lebih dalam
pengelolaan sampah kota.
Pengomposan secara aerob melibatkan aktivitas mikroba aerobik. Pengomposan
aerob ditandai dengan temperatur tinggi, relatif tidak menimbulkan bau dan lebih cepat
dibanding anaerob. Guna mempercepat proses, dikenal pula pengomposan cepat
(accelerated composting) yang banyak diterapkan di negara industri dalam bentuk highly
mechanized composting, yaitu dengan cara mempercepat pembuatan kompos setengah
matang, misalnya dengan suplai udara, kelembaban, pengaturan temperatur, dsb.
Pengomposan yang diterapkan di Indonesia dapat dikatakan masih sederhana, seperti
dengan cara diangin-angin (windrow), atau pembalikan tumpukan kompos secara manual.
Beberapa upaya untuk mempengaruhi percepatan biodegradasi, seperti penambahan
miro-organisme/enzym seperti EM (effective microorganisme), termasuk dengan
memasukkan bakteri pengurai bau (seperti Acetobacter) banyak dilakukan. Tetapi pada
Enri Damanhuri - TL ITB 6

Workshop Nasional Biokonversi Limbah 11-12 April 2006 Univ. Brawijaya Malang

dasarnya, alam sudah menyediakan mikrorganisme yang berlimpah pada sampah, dan
bila proses pengomposan telah berjalan baik, sistem tersebut akan menyediakan secara
terus menerus mikro-organisme yang dibutuhkan.
Sampah juga merupakan sumber biomas sebagai pakan ternak atau sebagai pakan
cacing. Sayur-sayuran, sisa buah-buahan dan sisa makanan lainnya sangat cocok untuk
makanan cacing. Beberapa jenis cacing yang biasa digunakan adalah seperti halnya
budidaya cacing, seperti dari jenis Lumbricus. Namun cacing sensitif terhadap faktor
lingkungan, seperti pH, kelembaban dan predator lain yang mungkin tumbuh dalam
sampah. Dari upaya ini akan dihasilkan vermi-kompos yang berasal dari casting-nya serta
bioamassa cacing yang kaya akan protein untuk makanan ternak serta kegunaan lain.
Yang menjadi sasaran dari pengomposanvermi adalah memusnahkan sampah, sehingga
hasil yang diharapkan adalah kascing. Pengalaman ITB pada pembuatan vermi-kompos
berkapasitas 20 m3/hari pada tahun 1999 dari sampah yang telah bercampur di TPS
menyimpulkan :

Metode rak merupakan metode paling cocok untuk dilaksanakan pada skala sebuah
kawasan permukiman untuk penanganan sampah kota, karena memiliki daya tampung
yang cukup besar, biaya relatif murah, dan mudah dilakukan pengontrolan. 1 m2 cara
ini memiliki kapasitas cacing 7,5 kg.

Kriteria tambahan untuk air yang digunakan :


-

Bila pH air > 8, perlu penurunan nilai tersebut, misalnya dengan penambahan asam
lemah, atau mencampur dengan air hujan

Lindi dapat digunakan untuk kegiatan penyiraman sampah yang akan dilapukkan, atau
dalam proses perendaman

Komponen sampah yang dapat digunakan adalah semua sampah hayati, termasuk kulit jeruk,
sisa daging, sisa ikan. Umur sampah tidak lebih dari 2 hari sejak dibuang.

Suhu media perlu dipertahankan antara 20-25 oC. Untuk menjaga kestabilan suhu media,
perlu dilakukan pembalikan dan penyiraman. Suhu media ini berpengaruh pada pengomposan
vermi, sedang suhu lingkungan tidak banyak berpengaruh.

Dalam vermi kultur (budi daya cacing), makanan yang diberikan pada cacing relatif terpilih
sehingga pertumbuhan cacing sesuai dengan yang diharapkan. Sedang dalam pengomposan

Enri Damanhuri - TL ITB 7

Workshop Nasional Biokonversi Limbah 11-12 April 2006 Univ. Brawijaya Malang

vermi dengan sampah, kuantitas serta kualitas cacing tidaklah sebaik dalam vermi-kultur
karena makanan yang diberikan adalah sesuai dengan kualitas sampah yang ada..

Pertumbuhan cacing adalalah relatif kecil, yaitu 1,5 kali, dengan konsumsi sampah seberat
0,725 kg per berat cacing. Sedang dalam vermi-kultur, pertumbuhan bisa mencapai 4 sampai
20 kali dengan konsumsi berat sampah adalah 1 kg/kg cacing.

Jenis cacing yang dapat digunakan adalah Lumbricus rubellus sp, Eisenia foetida,
Pheretima asiatica sp dan Perionyx excavatus sp
Sampah yang terbuang, sebetulnya menyimpan enersi yang dapat dimanfaatkan.

Pemanfaatan enersi sampah dapat dilakukan dengan cara (a) menangkap gasbio hasil
proses degradasi secara anaerobik pada sebuah reaktor (digestor) atau (b) menangkap gas
bio yang terbentuk dari sebuah landfill, dan (c) menangkap panas yang keluar akibat
pembakaran, misalnya melalui insinerasi, yang telah diterapkan di beberapa negara
industri. Generasi terbaru dari teknologi ini dikenal sebagai waste-to-energy. Penelitian
lain khususnya di negara industri seperti Amerika Serikat adalah pembuatan alkohol dari
sampah organik ini.
Produk akhir dari proses anaerob bila kondisinya menunjang adalah menuju
pembentukan gas metan (CH4). Bila proses ini terjadi pada timbunan sampah di sebuah
landfill, akan menyebabkan lindi (leachate) dari timbunan tersebut bercirikan COD atau
BOD yang tinggi dengan pH yang rendah, serta penyebab timbulnya bau khas sampah
yang membusuk. Bila tahap ini dipersingkat dengan mengkonversi segera asam-asam
tersebut menjadi metan, maka beban organik dalam lindi akan menjadi berkurang.
Konsep inilah yang digunakan dalam accelerated landfilling.
Dari 1 m3 gas bio yang mengadung gas metan 50%, akan terkandung enersi sekitar
5500 Kcal, yang kira-kira ekuivalen dengan 0,58 liter bensin atau ekivalen dengan 5,80
kWH listrik. Dari digestor skala komersial di Valorga (Perancis) yaitu pilot metanisasi
sampah kota skala industri, diperoleh produksi biogas sebesar 140 L/kg-kering sampah
dengan 65% metan.
Adanya gas metan tidak dapat dihindari dalam suatu proses biodegradasi secara
anaerob, yang merupakan hasil akhir dari proses tersebut. Timbulnya gas tersebut dapat
menimbulkan dampak negatif bila tidak ditangani secara baik karena akan menimbulkan
ledakan bila berada di udara terbuka dengan konsentrasi sekitar 15%. Dari pengalaman di
Enri Damanhuri - TL ITB 8

Workshop Nasional Biokonversi Limbah 11-12 April 2006 Univ. Brawijaya Malang

negara industri, produksi gas bio pada landfill

yaitu antara 20-25 ml/kg kering

sampah/hari. Timbulnya gas metan dapat pula dianggap sebagai nilai tambah dari sebuah
landfill, dengan memanfaatkan gas terbentuk sebagai sumber enersi. Upaya konversi CH4
menjadi CO2, karena CH4 dinilai mempunyai efek rumah kaca lebih dari 20 kali yang
ditimbulkan CO2, merupakan salah satu subyek menarik dalam Clean Development
Mechanism (CDM) sesuai dengan Kyoto Protocol, dan merupakan potensi besar bagi
Indonesia dalam perdagangan CO2. Secara teoritis, potensi biogas dari timbunan sampah
di Indonesia relatif cukup tinggi dibandingkan di negara industri yang umumnya terletak
di daerah beriklim dingin. Potensi tersebut menonjol terutama bila dilihat dari sudut
temperatur udara, komposisi sampah dan kelembaban. Tetapi permasalahan umum pada
TPA di Indonesia adalah landfill tersebut umumnya dioperasikan secara open dumping
atau paling jauh dengan cara controlled landfill, yang dapat mengakibatkan gas tidak
terfokus menuju titik-titik pengumpul.
Salah satu jenis pengolah sampah yang sering digunakan sebagai alternatif
penanganan sampah adalah insinerator. Untuk sampah kota, sebuah insinerator akan
dianggap layak bila selama pembakarannya tidak dibutuhkan subsidi enersi dari luar.
Sampah tersebut harus terbakar dengan sendirinya. Sampah akan disebut layak untuk
insinerator, bila mempunyai paling tidak nilai kalor sebesar 1500 Kcal/kg kering. Untuk
sampah kota di Indonesia, angka ini umumnya merupakan ambang tertinggi. Sampah
kota di Indonesia dikenal mempunyai kadar air yang tinggi (sekitar 60%), sehingga akan
mempersulit agar terbakar dengan sendirinya. Hambatan utama penggunaan insinerator
adalah kekhawatiran akan pencemaran udara.
Insinerasi modular juga sering disebut-sebut sebagai alternatif dalam mengurangi
massa sampah yang akan diangkut ke TPA. Biasanya insinerator jenis ini belum
dilengkapi dengan sarana pengendali pencemaran udara yang timbul. Persoalan yang
timbul adalah bagaimana mencari lokasi yang cocok, dan yang paling penting adalah
mengoperasikan dengan temperatur yang sesuai serta bagaimana mengurangi dampak
negatif dari pencemaran udara. Dari sekian banyak jenis pencemaran udara yang
mungkin timbul, maka tampaknya yang paling dikhawatirkan adalah munculnya Dioxin.
Enersi panas dari sebuah insinerator di negara industri sudah banyak yang
dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, seperti untuk pemanas kota di musim dingin,
Enri Damanhuri - TL ITB 9

Workshop Nasional Biokonversi Limbah 11-12 April 2006 Univ. Brawijaya Malang

pembangkit tenaga listrik. Pemanfaatan enersi ini tentu saja membutuhkan kesiapan yang
matang, seperti pasar yang akan membeli dan sebagainya, sebab biaya investasinya akan
lebih mahal dibandingkan insinerator biasa. Dengan nilai kalor sebesar 1000 Kcal/kg,
sebetulnya akan diperoleh overall efficiency sampai menjadi listrik kurang dari 5%, yang
besarnya kira-kira 6000 kw untuk 1000 ton sampah. Jenis sampah yang dianggap baik
untuk dikonversi menjadi listrik biasanya bila mempunyai overall efficiency paling tidak
10 %. Pemanfaatan enersi panas dari sebuah insinerator sampah kota biasanya dibatasi
untuk skala insinerator 100 ton/hari ke atas.
Penutup
Pengelolaan sampah pada masyarakat perkotaan bertambah lama bertambah
kompleks sejalan dengan kekomplekan masyarakat itu sendiri. Dibutuhkan keterlibatan
beragam teknologi dan beragam disiplin ilmu, termasuk di dalamnya teknologi-teknologi
yang terkait dengan bagaimana mengontrol timbulan (generation), pengumpulan
(collection), pemindahan (transfer), pengangkutan (transportation), pemerosesan
(processing), pembuangan akhir (final disposal) sampah yang dihasilkan pada
masyarakat tersebut. Pendekatannya tidak lagi sesederhana menghadapi masyarakat di
perdesaan. Seluruh proses tersebut perlu diselesaikan dalam rangka bagaimana
melindungi kesehatan masyarakat, pelestarian lingkungan hidup, namun secara estetika
dan juga secara ekonomi dapat diterima. Beragam pertimbangan perlu dimasukkan,
seperti aspek adminsitratif, finansial, legal, arsitektural, planning, kerekayasaan.
Pengelolaan sampah yang hanya mengandalkan proses kumpul-angkut-buang
menyisakan banyak permasalahan antara lain ketersediaan lahan untuk pembuangan
akhirnya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi beban penanganan
sampah adalah dengan reduksi volume sampah yang harus ditangani. Konsep daur ulang
sampah merupakan salah satu solusi yang dapat dipertimbangkan, sehingga nilai
ekonomis yang masih terkandung di dalam sampah dapat lebih dimanfaatkan. Saat ini
pengelolaan sampah di kota-kota di Indonesia biasanya bukanlah merupakan prioritas
penting dari sekian banyak permasalahyan kota yang harus ditangani. Tugas pengelola
persampahan bukanlah menjadi ringan di masa datang. Diperlukan sebuah kebijakan
yang bersifat menyeluruh dan konsisten dalam penanganan sampah, sehingga arah
Enri Damanhuri - TL ITB 10

Workshop Nasional Biokonversi Limbah 11-12 April 2006 Univ. Brawijaya Malang

penanganan sampah tidak bersifat temporer semata. Pengembangan teknologi yang


sesuai dengan kondisi Indonesia perlu digalakkan, khususnya yang mudah beradaptasi
dengan kondisi sosio-ekonomi masyarakat Indonesia. Teknologi yang berbasis pada
peran serta masyarakat tampaknya perlu mendapat prioritas, agar keterlibatan mereka
menjadi lebih berarti dan terarah dalam penanganana sampah.
Bahan Referensi :
Enri Damanhuri and Tri Padmi : Reuse and recycling as a solution of urban solid waste problem
in Indonesia, Proceedings of the International Symposium and Exhibition on Waste Management
in Asian Cities, Hong Kong 23-26 October 2000
Enri Damanhuri : Minimasi sampah terangkut dan optimasi TPA, Workshop sehari tentang
pengelolaan sampah di kawasan metropolitan khususnya DKI Jakarta, Dept. Kimpraswil
Jakarta, 15 Desember 2001
Enri Damanhuri : Pengelolaan sampah dan air limbah perkotaan - Isu strategis, konsep dasar
dan peluang investasi, Seminar BPPT : Kebijakan Pengelolaan Pembangunan Perkotaan
Jakarta, 16 Oktober 2002
Enri Damanhuri : Paradigma baru pengelolaan sampah kota - Minimasi sampah terangkut dan
optimasi TPA, Lokakarya Peningkatan Kapasitas Daerah dalam Pengelolaan Sampah,
Kementerian LH, Januari 2003
Enri Damanhuri and Tri Padmi : Landfill as a final disposal method for municipal solid waste in
Indonesia - the current practiced and research of development, Proceedings of the COE Joint
Symposium on Environmental Engineering between Hokkaido University, Chungbuk National
University and Institut Teknologi Bandung, Sapporo, Japan, 2-nd Feb. 2005
Enri Damanhuri : Some principal issues on municipal solid waste management in Indonesia,
Expert Meeting on Waste Management in Asia-Pacific Islands, Tokyo Oct 27-29, 2005

Enri Damanhuri - TL ITB 11

You might also like