You are on page 1of 4

Ambisi swasembada pangan yang mencemaskan

Oleh: Dwi Munthaha

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menargetkan swasembada pangan dalam 3 tahun


ke depan. Bagi sebuah negara, pencapaian tersebut adalah kondisi ideal yang
diidamkan. Secara monumental di tahun 1986, Soeharto presiden saat itu,
pernah mendapatkan penghargaan dari FAO (Food dan Agriculture Organization)
karena prestasi swasembada beras. Alih-alih menuju swasembada pangan,
prestasi tersebut terus menerus melorot. Indonesia yang dikenal sebagai negeri
agraris dengan tanahnya yang subur, sekarang termasuk negara pengimpor
beras terbesar di dunia. Dari data yang dilansir Badan Pusat Statistik (BPS)
tahun 2014, angka impor pangan dalam 10 tahun terakhir melonjak dari sebesar
US$ 3,34 miliar, di tahun 2003 menjadi US$ 14,90 miliar di tahun 2013.
Mengapa hal ini dapat terjadi?
Utama yang harus dipahami, petani adalah subyek penting dalam pertanian.
Sejak Indonesia merdeka, rezim seakan memiliki empati yang tinggi terhadap
petani. Petani dianggap entitas yang tertindas dan harus ditolong. Kisah
petani subsisten Marhaen, menginspirasi Soekarno merumuskan marhenisme
sebagai sebuah ideologi perjuangan. Sayangnya saat berkuasa hingga akhir
kekuasaaanya, dia tak sempat mendetailkan marhaenisme menjadi praksis
gerakan yang mampu mengangkat derajat petani. Presiden Soeharto yang
mengidentifikasi dirinya sebagai wong ndeso, juga menunjukkan
keberpihakannya pada petani. Secara kongkret program-program untuk petani
dan pedesaan mendapat porsi utama di awal kekuasaannya. Konteks pangan
dan kesejahteraan petani dengan tegas termaktub dalam naskah Rencana
Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) I. Selandjutnja, peningkatan produksi
pangan akan meningkatkan pendapatan petani-petani pangan. Ini akan
meningkatkan taraf penghidupan para petani jang telah sekian lamanja hidup
dalam serba kesengsaraan dan kemiskinan. (Penjelasan REPELITA I tahun
1969/70 -1973/74).
Akrobat swasembada
Politik Soekarno yang menyatakan go to hell with your aid pada blok barat,
dikubur ketika Soeharto berkuasa. Dampaknya, Indonesia mudah mengakses
pinjaman dari lembaga-lembaga keuangan internasional. Kemudahan tersebut
dimanfaatkan Soeharto untuk mewujudkan ambisi swasembada pangan.
Rentang waktu 1970an 1980an dilakukan pembangunan mega proyek
infrastruktur puluhan waduk, bendungan serta jaringan irigasi.
Untuk memacu percepatan produksi, dibentuk lembaga-lembaga pendukung
semisal Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi dan Balai Benih yang
menghasilkan varietas unggulan. Salah satu yang sangat dikenal saat itu

Direktur Bhuminara Institute, Praktisi Pendidikan Pertanian Berkelanjutan

Varietas Unggul Tahan Wereng. Industri sarana produksi (saprodi) seperti pupuk,
pestisida dan benih dibangun untuk memuluskan rencana tersebut. Koperasikoperasi unit desa juga didirikan untuk mempermudah petani mendapatkan
saprodi. Dukungan ini berbanding lurus dengan produksi. Petani yang
sebelumnya hanya menanam padi satu kali mampu meningkat menjadi 2-3 kali
dalam setahun.
Tapi apa yang terjadi setelah itu? Sekembali Presiden Soeharto menerima
penghargaan swasembada beras dari FAO di Roma, 1986, secara masif terjadi
ledakan wereng coklat yang berakibat gagal panen di seluruh wilayah sentra
tanaman padi.
Keterasingan petani dari pertanian
Sedikitnya, ada dua faktor yang diabaikan oleh pemerintahan, pertama faktor
kultural yang mengaitkan petani dengan budaya pertanian dan kedua faktor
ekologis. Pertanian bagi masyarakat petani bukan semata aktivitas tanam
menanam. Saat modernisasi masuk ke lahan pertanian, petani justru terasing
dengan dunianya sendiri. Petani direduksi menjadi sebatas orang yang bekerja
di lahan pertanian. Banyak aktivitas yang dulunya dilakukan, sulit ditemui saat
ini, misalnya pemuliaan tanaman. Pemuliaan tanaman telah menjadi domain
peneliti. Petani cendrung menunggu bantuan benih atau membelinya dengan
berbagai konsekuensi (mahal dan palsu ).
Di masa lalu petani Indonesia hampir tak bermasalah dengan benih, karena
lebih dari 5 ribu varietas padi kita miliki. Target swasembada beras, mewajibkan
petani menggunakan varietas-varietas unggulan berikut paket teknologi
penerapannya. Awalnya, sempat terjadi penolakkan dari petani. Militer
digunakan untuk mengawasi, jika ada yang membangkang, tanamannya dicabuti
dan bahkan dituduh komunis. Trauma kekerasan berhasil menaklukkan petani.
Ambisi produktivitas dengan modernisasi dan mekanisasi di lahan pertanian,
berdampak pada kerusakan ekologis. Ledakan wereng saat itu, tidak terjadi
dengan sendirinya. Penggunaan insektisida berspektrum luas (organofosfat,
organoklorin dll) serta matinya musuh alaminya (predator) berakibat pada
pertumbuhan wereng coklat tak terkendali. Serangan hama dan penyakit
semakin intensif dan beragam rupanya. Penggunaan pupuk kimia pabrikan
untuk memicu kesuburan tanaman, pada kenyataannya justru semakin merusak
kesuburan tanah. Pola pertanian ini membuat biaya produksi menjadi tinggi dan
kerap tidak sebanding dengan hasil diperoleh. Di sisi lain infrastruktur yang dulu
dibangun, daya dukungnya semakin berkurang.
Faktor-faktor tersebutlah yang menurunkan minat orang di sektor ini . Dalam
rentang 10 tahun terakhir terjadi penyusutan keluarga petani hingga 500 ribu
keluarga per tahun. Sementara lahan pertanian terkonversi sebanyak 100 ribu110 ribu hektar per tahun (Sensus Pertanian 2013).
Revolusi mental pertanian

Revolusi Mental yang dicanangkan Presiden Jokowi, membersitkan harapan baru


untuk sektor ini. Dalam visi misi dan program aksinya saat kampanye pemilihan
presiden, dijanjikan antara lain akan ada: 1000 desa mandiri benih, 1000 desa
organik, reforma agraria, perlindungan lahan pertanian pangan dan membuat
role model sikap dan perilaku merawat alam dan sebagainya. Persoalan
pertanian tidak hanya dilihat dari masalah infrastruktur yang tidak mendukung,
tetapi lebih holistic dan ekologis. Istilah ketahanan pangan, diganti menjadi
kedaulatan pangan. Namun, perkembangan hingga saat ini wajar untuk
dicemaskan. Kementerian Pertanian lebih menyukai bekerjasama dengan
perusahaan multi nasional maupun konglomerat lokal ketimbang
memberdayakan petani.
Untuk mencapai revolusi mental di sektor ini, dibutuhkan kesepakatan bersama
tentang visi pertanian, metode penerapan, posisi petani, tanggung jawab dan
hak mereka. Mengutamakan petani sebagai subyek utama untuk menjalankan
pertanian berkelanjutan adalah agenda besar yang harus dilakukan. Mega
proyek infrastruktur, modernisasi dan mekanisasi serta berbagai bantuan
alsintan dan saprodi, adalah jalan yang pernah ditempuh oleh Soeharto. Pada
akhirnya cara itu justru membawa bencana bagi petani, pertanian dan
lingkungan. Belajar dari pengalaman masa lalu, keberhasilan yang
sesungguhnya bukanlah capaian yang diperoleh saat ini, tetapi akankah anak
cucu kita juga mengalaminya atau justru mereka akan menjadi korban.

Bio Data Penulis


Nama : Dwi Munthaha
Lembaga: Bhuminara Institute
Alamat rumah : Perum Beji Permai, Jl. Kenanga I F13, Tanah
Baru, Beji, Depok
No Hp : 0818256601
Email: imoenx@gmail.com
Nomor Rekening : An. Dwi Munthaha, Bank Niaga JKT- IBCFalatehan 003-01-26883-14-5
NPWP: 25.858.785.6-412.000
Publikasi Buku:
Menulis Buku:
- Buku Rantai Padi, Hutang pada Petani, Hivos, KRKP (Koalisi Rakyat untuk
Kedaulatan Pangan) , 2011
- Hak Petani atas Benih di Indonesia, FIELD, Pedigrea, Hivos, KEHATI, 2010
- Percaya Pada Rakyat,
Memaknai Partisipasi Masyarakat dalam
Pembangunan Daerah, European Commission, IPPHTI, FIELD, 2006
- Gerakan Masyarakat untuk Kedaulatan Pangan, PANAP (Pesticide Action
Net Work Asia-Pacific),FIELD 2004
- Kami Peneliti di Lahan Sendiri, Budidaya Padi Metode SRI, FIELD 2003
- Mengembalikan Hak-hak Petani, FIELD 2003
- Aspirasi, Bangkitnya Peran Masyarakat Sipil Pedesaan, Partnership,
FIELD, 2003

Editor Buku: Desmond Tutu


Ciscore, 2001

Tiada Masa Depan tanpa Pengampunan,

You might also like