You are on page 1of 28

HUKUM BENDA

1. Tentang Benda pada Umumnya


Pengertian yang terluas dari kata benda (zaak) adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki oleh orang. Terkadang
kata benda juga dipakai dalam arti yang sempit, yaitu sebagai barang yang dapat terlihat saja.
Undang-undang membagi benda dalam beberapa macam:
a. Benda yang dapat diganti (contoh: uang) dan benda yang tak dapat diganti (contoh: seekor kuda);
b.

Benda yang dapat diperdagangkan (praktis tiap barang dapat diperdagangkan) dan benda yang tidak dapat

diperdagangkan atau di luar perdagangan (contoh: lapangan umum);


c. Benda yang dapat dibagi (contoh: beras) dan benda yang tidak dapat dibagi (contoh: seekor kuda);
d.

Benda yang bergerak (contoh: perabot rumah tangga) dan benda yang tidak dapat bergerak (contoh: tanah).

2.

Tentang Hak-Hak Kebendaan

Suatu hak kebendaan (zakelijk recht) adalah suatu hak yang memberikan kekuasaan secara langsung atas suatu
benda, yang dapat dipertahankan terhadap tiap orang.
Ilmu hukum dan perundang-undangan, telah lama membagi segala hak-hak manusia atas hak-hak kebendaan
dan hak-hak perseorangan. Suatu kebendaan, memberikan kekuasaan atas benda, sedangkan hak perseorangan
(personlijk recht) memberikan suatu tuntutan atau penagihan terhadap seorang. Suaut hak kebendaan dapat
dipertahankan terhadap tiap orang yang melanggar hak itu, sedangkan suatu hak perseorangan hanyalah dapat
dipertahankan terhadap sementara orang tertentu saja atau terhadap suatu pihak.
a. Bezit
Bezit adalah suatu keadaan lahir, di mana seorang menguasai suatu benda seolah-olah kepunyaannya sendiri,
yang oleh hukum diperlindungi, dengan tidak mempersoalkan hak milik atas benda itu sebenarnya ada pada
siapa. Untuk bezit diharuskan adanya dua unsur, yaitu kekuasaan atas suatu benda dan kemauan untuk memiliki
benda tersebut. Dari bezit harus dibedakan detentie, dimana seorang menguasai suatu benda berdasarkan suatu
hubungan hukum dengan seorang lain, adalah pemilik atau bezitter dari benda itu. Pada seorang detentor,
dianggap bahwa kemauan untuk memiliki benda yang dikuasainya itu tidak ada.
Bezit atas suatu benda yang bergerak, diperoleh secara asli dengan pengambilan barang tersebut dari tempatnya
semula, sehingga secara terang atau tegas dapat terlihat maksud untuk memiliki barang itu.
Mengenai benda yang tidak bergerak, oleh undang-undang ditentukan, bahwa untuk memperoleh bezit dengan
tidak memakai bantuan orang lain. Pengoperan bezit dari suatu benda yang tidak bergerak, dapat terjadi dengan
suatu pernyataan belaka, asal saja orang yang menyatakan itu sendiri adalah bezitter menurut undang-undang
pada waktu mengeluarkan pernyataan tersebut dan selanjutnya tidak menghalang-halangi orang yang
menggantikannya dalam hal melakukan bezitnya.
Pasal 539 B.W. menentukan, bahwa orang yang sakit ingatan tidak dapat memperoleh bezit, tetapi anak yang di
bawah umur dan orang yang telah kawin dapat memperolehnya. Ini disebabkan karena pada orang yang sakit
ingatan dianggap tidak mungkin adanya unsur kemauan untuk memiliki.

Perolehan bezit dengan perantara orang lain adalah memungkinkan, asal saja menurut hukum orang itu
mempunyai hak untuk mewakili dan ia dengan secara nyata-nyata menguasai benda yang diperoleh itu.
Selanjutnya, perolehan bezit mungkin pula melalui jalan warisan. Menurut pasal 541 B.W. yang menentukan,
bahwa segala sesuatu yang merupakan bezit seorang yang telah meninggal, berpindah sejak hari meninggalnya
kepada ahli warisnya, dengan segala sifat-sifat dan cacat-cacatnya.
Bezit atas suatu benda yang tidak bergerak memberikan hak-hak sebagai berikut:
1)

Seorang bezitter tidak dapat begitu saja diusir oleh si pemilik, tetapi harus digugat di depan hakim.

2)

Jika bezitter itu jujur, ia berhak untuk mendapat semua penghasilan dari benda yang dikuasainya pada

waktu ia digugat di depan hakim dan ia tidak usah mengembalikan penghasilan itu, meskipun ia akhirnya
dikalahkan.
3)

Seorang bezitter yang jujur, lama-kelamaan karena lewatnya waktu, dapat memperoleh hak milik atas

benda yang dikuasainya itu.


4)

Jika ia diganggu orang lain, seorang bezitter dapat minta hakim supaya ia dipertahankan dalam

kedudukannya atau supaya dipulihkan keadaan semula, sedangkan ia berhak pula menuntut pembayaran
kerugian.
Pada umumnya, semua hak milik atas suatu barang hanya dapat berpindah secara sah jika seorang
memperolehnya dari orang yang berhak memindahkan hak milik atas barang tersebut, yaitu pemiliknya. Akan
tetapi dapat dimengerti, bahwa kelancaran dalam lalu lintas hukum akan sangat terganggu jika dalam setiap jual
beli barang yang bergerak si pembeli harus menyelidiki dahulu, apakah si penjual sungguh-sungguh
mempunyai hak milik atas barang yang dijualnya. Dalam pasal 1977 dijelaskan mengenai barang yang
bergerak, si penjual dianggap sudah cukup membuktikan hak miliknya dengan mempertunjukkan bahwa ia
menguasai barang itu seperti seorang pemilik, yaitu bahwa menurut keadaan yang nampak luar barang itu
seperti kepunyaan sendiri.
b.

Eigendom

Eigendom adalah hak yang paling sempurna atas suatu benda. Seorang yang mempunyai hak eigendom (milik)
atas suatu benda dapat berbuat apa saja dengan benda itu, asal saja tidak melanggar undang-undang atau hak
orang lain.
Tiap pemilik suatu benda, baik bergerak maupun tidak bergerak, berhak meminta kembali bendanya dari siapa
saja yang menguasainya berdasarkan hak miliknya itu (pasal 574 B.W.).
Permintaan kembali yang berdasarkan pada hak eigendom, dinamakan revindicatie. Baik sebelum perkara
diperiksa di depan hakim, maupun sementara perkara sedang dalam pemeriksaan hakim, penggugat berhak
meminta supaya benda yang diminta kembali disita.
Menurut pasal 584 B.W. eigendom hanyalah dapat diperoleh dengan jalan:
1)

Pengambilan

2)

Natrekking, yaitu jika suatu benda bertambah besar atau berlipat karena perbuatan alam

3)

Lewat waktu

4)

Pewarisan

5)

Penyerahan

Menurut sistem B.W. suatu pemindahan hak terdiri atas dua bagian, pertama obligatoire overeenkomst,
maksudnya tiap perjanjian jual beli atau pertukaran. Kedua, zakelijke overeenkomst, yaitu pemindahan hak itu
sendiri.
c. Hak-Hak Kebendaan diatas Benda Orang Lain
1)

Erfdienstbaarheid atau servituut

Yaitu suatu beban yang diletakkan di atas suatu perkarangan untuk keperluan suatu perkarangan lain yang
berbatasan.
2)

Hak Postal

Yaitu suatu hak untuk memiliki bangunan-bangunan atau tanaman-tanaman di atas tanahnya orang lain (pasal
711 B.W.). hak Postal dapat terhapus karena:
a.) Apabila hak milik atas tanah dan bangunan atau tanaman jatuh dalam satu tangan.
b.)

Apabila ia selama tiga tahun tidak dipergunakan.

c.) Apabila waktu untuk yang diperjanjikan telah lampau.


d.)

Apabila ia diakhiri oleh pemilik tanah.

3)

Hak Efpacht

Yaitu suatu hak kebendaan untuk menarik penghasilan seluas-luasnya untuk waktu yang lama dari sebidang
tanah milik orang lain dengan kewajiban membayar sejumlah uang atau penghasilan tiap-tiap tahun.
4)

Vruchtgebruik

Yaitu suatu hak kebendaan untuk menarik penghasilan dari suatu benda orang lain, seolah-olah benda itu
kepunyaan sendiri, dengan kewajiban menjaga supaya benda tersebut tetap dalam keadaan semula (pasal 756
B.W.).
d.

Pand dan Hypotheek

Kedua hak kebendaan ini memberikan kekuasaan atas suatu benda tidak untuk dipakai, tetapi untuk dijadikan
jaminan bagi hutang seseorang.
1)

Pand recht

Menurut B.W. Pand recht adalah suatu hak kebendaan atas suatu benda yang bergerak kepunyaan orang lain,
yang semata-mata diperjanjikan dengan menyerahkan bezit atas benda tersebut dengan tujuan untuk mengambil
pelunasan suatu hutang dari pendapatan penjualan benda itu, lebih dahulu dari penagih-penagih lainnya (pasal
1150 B.W.).
Pand recht atau hak gadai adalah yang dinamakan suatu hak accessoir artinya adanya hak itu tergantung dari
adanya suatu perjanjian pokok, yaitu perjanjian hutang piutang yang dijamin dengan hak tersebut. Objek dari
hak gadai ini adalah semua benda bergerak yang bukan kepunyaan orang yang menghutangkan itu sendiri.
Oleh undang-undang telah ditentukan bahwa orang yang memberikan tanggungan itu harus cakap untuk
bertindak sendiri menurut hukum.
Adapun hak-hak seorang yang menerima tanggungan adalah sebagai berikut:
a)

Ia berhak untuk menahan barang yang dipertanggungjawabkan sampai pada waktu hutang dilunasi, baik

yang mengenai jumlah pokok maupun bunga.

b)

Ia berhak untuk mengambil pelunasan ini dari pendapatan penjualan barang tersebut, apabila orang yang

berhutang tidak menepati kewajibannya.


c)

Ia berhak untuk meminta ganti biaya-biaya yang telah ia keluarkan untuk menyelamatkan barang

tanggungan itu, apabila hak itu sudah menjadi kebiasaan, seperti halnya dengan penggadaian surat-surat sero
atau obligasi.
Sebaliknya, seorang pemegang gadai mempunyai kewajiban-kewajiban:
a)

Ia bertanggung jawab tentang hilangnya atau kemunduran harga barang tanggungan, jika itu disebabkan

kelalaiannya.
b)

Ia harus memberitahukan pada orang yang berhutang apabila ia hendak menjual barang tanggungannya.

c)

Ia harus memberikan perhitungan tentang pendapatan penjualannya itu dan setelah ia mengambil pelunasan

hutangnya, harus menyerahkan kelebihannya pada si berhutang.


d)

Ia harus mengembalikan barang tanggungan, apabila hutang pokok, bunga dan biaya untuk menyelamatkan

barang tanggungan telah dibayar lunas.


2)

Hypotheek

Menurut pasal 1162 B.W. hypotheek adalah suatu hak kebendaan atas suatu benda yang tidak bergerak,
bertujuan untuk mengambil pelunasan suatu hutang dari benda itu.
Perbedaan antara Pand recht dan hypotheek antara lain:
a)

Pand recht harus disertai dengan penyerahan kekuasaan atas barang yang dijadikan tanggungan, hypotheek

tidak.
b)

Pand recht hapus jika barang yang dijadikan tanggungan berpindah tangan ke orang lain, tetapi hypotheek

tetap terletak sebagai bebang di atas benda yang dijadikan tanggungan meskipun benda ini dipindahkan pada
orang lain.
c)

Pand recht dapat diberikan hanya pada benda yang bergerak, sedangkan hypotheek hanya atas benda yang

tidak bergerak.
d)

Lebih dari satu Pand recht atas satu barang meskipun tidak dilarang oleh undang-undang, di dalam praktek

hampir tidak pernah terjadi, tetapi beberapa hypotheek yang bersama-sama dibebankan di atas satu rumah
adalah suatu keadaan yang biasa.
Hypotheek seperti halnya dengan Pand recht yang bersifat accessoir, artinya diadakan sebagai buntut belaka
dari suatu perjanjian pokok, yaitu perjanjian pinjam uang. Yang dijadikan objek dalam hypotheek adalah benda
yang tidak bergerak dan bukan milik orang yang menghutangkan sendiri.
Perjanjian hypotheek harus diletakkan dalam suatu akta authentik, yaitu akta notaris. Hal ini dilakukan supaya
mempunyai kekuatan terhadap orang pihak ketiga.
Hak-hak yang menurut undang-undang boleh diperjanjikan dalam suatu perjanjian hypotheek adalah:
a)

Hak yang memberikan kuasa pada pemegang hypotheek untuk menjual sendiri persilnya di depan umum

dan mengambil pelunasan dari pendapatan lelangan tersebut, jikalau orang yang berhutang tidak menepati
kewajibannya.
b)

Pembatasan hak pemilik persil untuk menyewakan persilnya.

c)

Pemilik persil berhak menjual persilnya kepada siapa saja dan hypotheek yang terletak di atas persil itu

akan tetap terletak di atasnya. Akan tetapi kepada pembeli, oleh undang-undang diberikan kesempatan untuk
meminta supaya persil itu dibersihkan dari hypotheek-hypotheek yang melebihi jumlah persil itu.
d)

Seorang pemegang hypotheek berhak untuk meminta diperjanjikan bahwa jika terjadi kebakaran

sedangkan rumah yang menjadi tanggungan itu telah diasuransikan, ia akan menerima uang asuransi yang
dibayarkan kepada pemilik rumah.
Setelah kita mengenal hak-hak kebendaan, dapatlah kita simpulkan, bahwa hak-hak kebendaan itu mempunyai
sifat-sifat seperti berikut:
a) Memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda;
b)

Dapat dipertahankan terhadap setiap orang;

c) Mempunyai sifat melekat, yaitu mengikuti benda bila ia dipindah tangankan;


d)

Hak yang lebih tua selalu dimenangkan terhadap yang lebih muda.

Hak kebendaan dapat kita bagi dalam dua golongan, yaitu hak yang diberikan untuk kenikmatan dan hak yang
diberikan untuk jaminan (Pand dan hypotheek).
3.

Piutang-Piutang yang diberikan Keistimewaannya (privilege)

Sebagaimana telah diterangkan, maka menurut pasal 1131 B.W. semua benda dari seseorang yang menjadi
tanggungan untuk semua hutang-hutangnya. Dan menurut pasal 1132 pendapatan penjualan benda-benda itu
harus dibagi di antara para penagih menurut pertimbangan jumlah piutang masing-masing, kecuali jikalau di
antara mereka itu ada sementara yang oleh undang-undang telah diberikan hak untuk mengambil pelunasan
lebih dahulu dari penagih-penagih yang lainnya.
Menurut pasal 1134 B.W. privilege adalah suatu kedudukan istimewa dari seorang penagih yang diberikan oleh
undang-undang melulu berdasarkan sifat piutang.
Pand dan hypotheek mempunyai kedudukan lebih tinggi dari privilege, kecuali jika undang-undang ditentukan
lain. Pand dan hypotheek tidak pernah bertentangan antara satu dengan yang lain, karena Pand hanya dapat
diberikan atas barang-barang yang bergerak, sedangkan hypotheek sebaliknya hanya mungkin atas benda-benda
yang tidak bergerak.
Meskipun privilege mempunyai sifat-sifat menyerupai Pand atau hypotheek, tetapi belum dapat menamakannya
suatu hak kebendaan, karena privilege itu barulah timbul apabila suatu kekayaan yang telah disita ternyata tidak
cukup untuk melunasi semua hutang dan karena privilege itu tidak memberikan sesuatu kekuasaan terhadap
suatu benda.
Menurut undang-undang ada dua macam privilege. Pertama, yang diberikan terhadap suatu benda tertentu.
Kedua, yang diberikan terhadap semua kekayaan orang yang berhutang. Privilege yang pertama memiliki
kedudukan yang lebih tinggi dari pada yang kedua.
Piutang-piutang yang diberikan privilege terhadap barang-barang tertentu adalah:
a.

Biaya-biaya perkara yang telah dikeluarkan untuk penyitaan dan penjualan suatu benda atau yang

dinamakan biaya-biaya eksekusi; harus diambilkan dari pendapatan penjualan tersebut terlebih dahulu dari pada
privilege lainnya, bahkan terlebih dahulu pula daripada Pand dan hypotheek.

b.

Uang-uang sewa dari benda-benda yang tidak bergerak beserta ongkos-ongkos perbaikan yang telah

dikeluarkan si pemilik rumah atau persil, tetapi seharusnya dipikul oleh si penyewa, penagihan uang sewa dan
ongkos perbaikan ini mempunyai privilege terhadap barang-barang perabot rumah yang berada dalam rumah
atau di atas persil tersebut.
c.

Harga barang-barang bergerak yang belum dibayar oleh si pembeli jikalau ini disita, si penjual barang

mendapat privilege atas hasil penjualan barang itu.


d.

Biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu benda, dapat diambilkan terlebih dahulu

dari hasil penjualan benda tersebut, apabila benda itu disita dan dijual.
e.

Biaya-biaya pembikinan suatu benda yang belum dibayar, si pembikin barang ini mendapat privilege atas

pendapatan penjualan barang itu, apabila barang itu disita dan dijual.
Piutang-piutang yang telah diberikan privilege terhadap semua kekayaan orang yang berhutang, adalah:
a. Biaya eksekusi dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan kekayaan yang telah disita.
b.

Ongkos penguburan dan pengobatan selama sakit yang mengakibatkan matinya orang yang berhutang.

c.

Penagihan-penagihan karena pembelian bahan-bahan makanan untuk keperluan orang yang berhutang

beserta keluarganya, selama enam bulan yang paling akhir.


d.

Penagihan-penagihan dari kostscholhouders untuk tahun yang terakhir.

4.

Hak reklame

Jikalau penjualan dilakukan dengan tunai, artinya barang harus dibayar seketika itu juga, maka menurut pasal
1145 B.W., kepada si penjual barang diberikan kekuasaan untuk meminta kembali barangnya, selama barang itu
masih berada di tangan si pembeli, asal saja permintaan kembali ini dilakukan dalam waktu 30 hari setelah
penyerahan barang kepada si pembeli. Hak ini dinamakan hak reklame atau permintaan kembali. Sudah tentu,
permintaan kembali tersebut hanyalah akan ada artinya apabila barangnya masih dalam keadaan semula.
Peraturan yang diberikan B.W. tentang hak reklame hanya dimaksudkan untuk jual beli barang secara kecilkecilan saja, yang biasanya dilakukan tunai, sedangkan peraturan dalam W.v.K. juga dimaksudkan untuk jual
beli barang secara besar-besaran, yang banyak dilakukan atas kredit. Memang hak reklame ini ada miripnya
dengan suatu hak kebendaan. Karena itu diatur dalam buku II B.W.
Dalam hal si pembeli barang telah dinyatakan pailit, maka hak reklame dapat dilakukan:
a. Dengan tidak mengingat apakah jual beli telah dilakukan tunai atau kredit.
b.

Juga apabila barangnya disimpan oleh seorang pihak ketiga.

c.

Dalam waktu 60 hari setelah barangnya ditaruh di rumah orang pihak ketiga tersebut. Juga tentu saja

barang itu harus masih dalam keadaan semula.


Pada hakikatnya, hak reklame itu merupakan sesuatu hak si penjual untuk membatalkan perjanjian jual beli.
5.

UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

Undang-undang ini bermaksud untuk mengadakan hukum agraria nasional yang berdasarkan atas hukum adat
tentang tanah. Dengan demikian telah dihapuskan dari B.W. segala ketentuan atau pasal-pasal yang mengenai

eigendom, dan hak-hak kebendaan lainnya atas tanah dan oleh undang-undang baru itu telah diciptakan hak-hak
yang berikut atas tanah:
a.

Hak milik, adalah hak turun-temurun terkuatkan terpenuh yang dapat dipunyai oleh orang atas tanah,

dengan mengingat bahwa semua hak tanah itu mempunyai fungsi sosial.
b.

Hak guna usaha, adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka

waktu paling lama 25 tahun, waktu mana dapat diperpanjang.


c. Hak pakai bangunan.
d.

Hak pakai, adalah hak untuk menggunakan atau memungut hasil tanah yang dikuasai langsung oleh negara

atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan
pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya,
yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah.
e.

Hak sewa, adalah hak mempergunakan tanah milik orang lain oleh seorang atau suatu badan hukum untuk

keperluan bangunan dengan membayar pada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa.
HUKUM PERJANJIAN
1.

Perihal Perikatan dan Sumber-Sumbernya

Perkataan perikatan memiliki arti yang lebih luas dari perkataan perjanjian. Adapun yang dimaksud dengan
perikatan oleh buku III B.W. adalah suatu hubungan hukum antara dua orang, yang memberi hak pada yang
satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sendangkan orang yang lainnya ini diwajibkan
memenuhi tuntutan itu. Pada buku III mengatur perihal hubungan-hubungan antara orang dengan orang. Pihak
yang berhak menuntut dinamakan pihak yang berpiutang atau kreditur, sedangkan pihak yang wajib memenuhi
tuntutan dinamakan pihak yang berhutang atau debitur. Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan
prestasi, yang menurut undang-undang dapat berupa:
a. Menyerahkan suatu barang;
b.

Melakukan suatu perbuatan;

c. Tidak melakukan suatu perbuatan.


Mengenai sumber perikatan, oleh undang-undang diterangkan, bahwa suatu perikatan dapat lahir dari suatu
persetujuan (perjanjian) atau dari undang-undang. Perikatan yang lahir dari undang-undang dapat dibagi lagi
atas perikatan-perikatan yang lahir dari undang-undang saja dan yang lahir dari undang-undang karena suatu
perbuatan orang. Dalam hukum berlaku suatu asas, orang tidak boleh menjadi hakim sendiri. Seorang
berpiutang yang menghendaki pelaksanaan suatu perjanjian dari seorang berhutang yang tidak memenuhi
kewajibannya, harus meminta perantaraan pengadilan. Akan tetapi di sini ada pengecualian, adapun cara
pelaksanaan suatu putusan yang oleh hakim dikuasakan pada orang yang berpiutang untuk mewujudkan sendiri
apa yang menjadi haknya, dalam B.W. cara pelaksanaan ini diperbolehkan dalam hal-hal berikut:
a. Dalam hal perjanjian-perjanjian yang bertujuan bahwa suatu pihak tidak akan melakukan perbuatan;
b.

Dalam hal perjanjian-perjanjian untuk membikin suatu barang, pihak yang berkepentingan dapat

dikuasakan oleh hakim untuk membikin sendiri atau menyuruh orang lain membikinnya, atas biaya yang harus
dipikul oleh si berhutang.

2.

Macam-Macam Perikatan

Bentuk perikatan yang sederhana, adalah suatu perikatan yang masing-masing pihak hanya ada satu orang dan
satu prestasi yang seketika juga dapat ditagih pembayarannya. Di samping bentuk sederhana tersebut, terdapat
beberapa bentuk perikatan. Diantaranya:
a. Perikatan bersyarat
Perikatan bersyarat adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian di kemudian hari, yang
masih belum tentu akan atau tidak terjadi. Suatu perjanjian yang demikian itu, menggantungkan adanya suatu
perikatan pada suatu syarat yang menunda atau mempertangguhkan.
Oleh undang-undang ditetapkan, bahwa suatu perjanjian sejak semula sudah batal, jika ia mengandung suatu
ikatan yang digantungkan pada suatu syarat yang mengharuskan suatu pihak untuk melakukan suatu perbuatan
yang sama sekali tidak mungkin dilaksanakan atau yang bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan.
b.

Perikatan yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu

Perbedaan antara suatu syarat dengan suatu ketetapan waktu adalah suatu kejadian atau peristiwa yang belum
tentu atau tidak akan terlaksana, sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan datang meskipun
mungkin belum dapat ditentukan kapan datangnya.
c. Perikatan yang membolehkan memilih
Ini adalah suatu perikatan, di mana terdapat dua atau lebih macam prestasi, sedangkan kepada si berhutang
diserahkan yang mana ia akan lakukan.
d.

Perikatan tanggung menanggung

Ini adalah suatu perikatan di mana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang berhadapan
dengan satu orang yang menghutangkan, atau sebaliknya.
Perikatan tanggung-menanggung, lazim diperjanjikan dalam suatu perjanjian. Bagaimanapun juga, perikatan
semacam ini tidak boleh dianggap telah diadakan secara diam-diam, ia harus selalu diperjanjikan secara tegas.
Adakalanya perikatan tanggung-menanggung itu ditetapkan oleh undang-undang, misalnya dalam B.W.
mengenai beberapa orang bersama-sama meminjam satu barang, mengenai satu orang menerima penyuruhan
dari beberapa orang.
e. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi
Pada hakikatnya perikatan bisa dibagi atau tidak, hal itu tergantung antara kedua belah pihak yang membuat
suatu perjanjian tersebut. Pada asasnya, antara pihak-pihak yang semula suatu perikatan tidak boleh dibagibagi, sebab si berpiutang selalu berhak menuntut pemenuhan perjanjian untuk sepenuhnya dan tidak usah ia
menerima baik suatu pembayaran sebagian demi sebagian.
f.

Perikatan dengan penetapan hukuman

Untuk mencegah jangan sampai si berhutang dengan mudah saja melalaikan kewajibannya, dalam praktek
banyak dipakai perjanjian di mana si berhutang dikenakan hukuman apabila ia tidak menepati kewajibannya.
3.

Perikatan-Perikatan yang Lahir dari Undang-Undang

Perikatan berdasarkan undang-undang dapat dibagi lagi atas:


a.

Yang lahir dari undang-undang saja, maksudnya adalah perikatan-perikatan yang timbul oleh hubungan

kekeluargaan.
b.

Yang lahir dari undang-undang karena perbuatan seorang, sedangkan perbuatan orang ini dapat berupa

perbuatan yang diperbolehkan atau yang melanggar hukuman.


Perikatan yang lahir dari undang-undang karena suatu perbuatan yang diperbolehkan adalah pertama timbul
jika seorang melakukan suatu pembayaran yang diwajibkan. Perbuatan yang demikian ini, menerbitkan suatu
perikatan, yaitu memberikan hak kepada orang yang telah membayar itu untuk menuntut kembali apa yang
telah dibayarkan dan meletakkan kewajiban di pihak lain untuk mengembalikan pembayaran-pembayaran itu.
Perikatan ini juga dinamakan zaak waarneming.
Perihal perikatan yang lahir karena undang-undang karena perbuatan seorang yang melanggar hukum, diatur
dalam pasal 1365 B.W. pasal ini menetapkan, bahwa tiap perbuatan yang melanggar hukum mewajibkan orang
yang melakukan perbuatan itu, jika karena kesalahannya telah timbul kerugian, untuk membayar kerugian itu.
Selanjutnya menurut pasal 1367 B.W. seseorang juga dipertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan orang lain
yang berada di bawah pengawasannya atau yang bekerja padanya. Namun, perbuatan tersebut hanya terbatas
pada hubungan dan hal-hal sebagai berikut:
a.

Orang tua atau wali untuk anak yang belum dewasa, yang tinggal pada mereka melakukan kekuasaan orang

tua atau perwalian itu padanya.


b.

Majikan untuk buruhnya, dalam melakukan pekerjaan yang ditugaskan kepada mereka.

c.

Guru sekolah dan kepala tukang untuk murid dan tukangnya selama mereka ini berada di bawah

pengawasan mereka.
4.

Perikatan yang Lahir dari Perjanjian

Untuk suatu perjanjian yang sah harus terpenuhi empat syarat, yaitu:
a. Perizinan yang bebas dari orang-orang yang mengikatkan dirinya;
b.

Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;

c. Suatu hal tertentu yang diperjanjikan;


d.

Suatu sebab yang halal, artinya tidak dilarang.

Kedua belah pihak dalam suatu perjanjian, harus mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri dan
kemauan itu harus dinyatakan. Kemauan yang bebas sebagai syarat pertama untuk suatu perjanjian yang sah
dianggap tidak ada jika perjanjian itu telah terjadi karena paksaan, kekhilafan, atau penipuan.
Paksaan terjadi, jika seorang memberikan persetujuannya karena ia takut pada suatu ancaman.
Kekhilafan dapat terjadi, mengenai orang atau mengenai barang yang menjadi tujuan pihak-pihak yang
mengadakan perjanjian.
Penipuan terjadi, apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang tidak benar,
disertai dengan kelicikan-kelicikan, sehingga pihak lain terbujuk karenanya untuk memberikan perizinan.
Kedua belah pihak harus cakap menurut hukum untuk bertindak sendiri. Sebagaimana telah diterangkan,
beberapa golongan orang oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap untuk melakukan sendiri perbuatan-

perbuatan hukum. Mereka itu, orang di bawah umur, orang di bawah pengawasan, dan perempuan yang telah
kawin.
Yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian, haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atau tertentu.
Syarat ini perlu, untuk dapat menetapkan kewajiban si berhutang jika terjadi perselisihan. Selanjutnya undangundang menghendaki untuk sahnya suatu perjanjian harus ada suatu oorzaak yang diperbolehkan. Secara
letterlijk kata oorzaak berarti sebab, tapi menurut riwayatnya, yang dimaksud oorzaak adalah tujuan. Menurut
pasal 1335, suatu perjanjian yang tidak memakai sautu causa atau dibuat dengan suatu causa yang palsu atau
terlarang tidak mempunyai kekuatan. Adapun causa yang tidak diperbolehkan adalah yang bertentangan
dengan undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum. Suatu perjanjian harus dianggap lahir pada waktu
tercapainya suatu kesepakatan antara kedua belah pihak. Orang yang hendak membuat perjanjian harus
menyatakan kehendaknya dan kesediaannya untuk mengikatkan dirinya. Pernyataan kedua belah pihak harus
bertemu dan sepakat.
Pasal 1338 B.W. menetapkan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
untuk mereka yang membuatnya. Maksudnya adalah bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara sah mengikat
kedua belah pihak.
Dalam pasal 1338 itu pula, ditetapkan bahwa semua perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.
Maksudnya adalah cara menjalankan suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan kepatutan dan keadilan.
Pasal 1339 menetapkan, bahwa suatu perjanjian tidak saja mengikat pada apa yang dicantumkan semata-mata
dalam perjanjian, tetapi juga pada apa yang dikehendaki oleh keadilan, kebiasaan, atau undang-undang.
Selanjutnya pada pasal 1347 menetapkan bahwa hak-hak atau kewajiban-kewajiban yang sudah lazim
diperjanjikan dalam suatu perjanjian, meskipun pada suatu waktu tidak dimasukkan dalam surat perjanjian,
harus juga dianggap tercantum dalam perjanjian.
Pada umumnya, suatu perjanjian hanya berlaku di antara orang-orang yang membuatnya. Asas ini diletakkan
dalam pasal 1315 yang menerangkan, bahwa pada umumnya seorang yang tak dapat menerima kewajibankewajiban atau memperjanjikan hak-hak atas namanya sendiri, kecuali hanya untuk dirinya sendiri. Dalam
ketentuan ini terdapat pengecualian yang termuat dalam pasal 1317 yang membolehkan seseorang jika ia dalam
suatu perjanjian telah minta diperjanjikannya suatu hak, atau jika ia memberikan sesuatu pada orang lain, untuk
meminta pula diperjanjikannya suatu hak untuk orang pihak ketiga. Perjanjian ini tidak dapat ditarik kembali
kalau pihak ketiga ini sudah menyatakan kehendaknya untuk mempergunakan hak itu.
Menurut pasal 1318, jika seorang membuat suatu perjanjian yang ia telah meminta diperjanjikannya sesuatu
hak, dapat dianggap bahwa hak itu untuk dia sendiri atau untuk para ahli warisnya atau orang-orang yang
memperoleh daripadanya, kecuali jika dengan tegas ditetapkan hal yang sebaliknya ataupun jika dari sifat
perjanjian itu dapat disimpulkan hal yang sebaliknya.
5.

Perihal Risiko, Wanprestasi dan Keadaan Memaksa

Kata risiko berarti kewajiban untuk memikul kerugian jikalau ada suatu kejadian di luar kesalahan salah satu
pihak yang menimpa benda yang dimaksudkan dalam perjanjian.

Pasal 1237 menetapkan, bahwa dalam suatu perjanjian mengenai pemberian suatu barang tertentu, sejak
lahirnya perjanjian itu barang tersebut sudah menjadi tanggungan orang yang berhak menagih penyerahannya.
Akan tetapi, menurut pasal tersebut seterusnya, jika si berhutang itu lalai dalam kewajibannya untuk
menyerahkan barangnya, maka sejak itu risiko berpindah di atas pundaknya, meskipun ia masih juga dapat
dibebaskan dari pemikulan risiko itu, jika ia dapat membuktikan bahwa barang tersebut juga akan hapus
seandainya sudah berada di tangan si berpiutang itu sendiri.
Sebagaimana telah diterangkan, seorang debitur yang lalai, yang melakukan wanprestasi, dapat digugat di
depan hakim dan hakim akan menjatuhkan putusan yang merugikan pada tergugat itu. Seorang debitur
dikatakan lalai, apabila ia tidak memenuhi kewajibannya atau terlambat memenuhinya atau memenuhinya
tetapi tidak seperti yang telah diperjanjikan.
Adapun kepada seorang debitur yang lalai adalah si berpiutang dapat memilih antara beberapa kemungkinan.
Pertama, ia dapat meminta pelaksanaan perjanjian, meskipun melaksanakan ini sudah terlambat.
Kedua, ia dapat meminta penggantian kerugian saja, yaitu kerugian yang dideritanya, karena perjanjian tidak
atau terlambat dilaksanakan, atau dilaksanakan tetapi tidak sebagaimana mestinya.
Ketiga, ia dapat menuntut pelaksanaan perjanjian disertai dengan penggantian kerugian yang diderita olehnya
sebagai akibat terlambatnya pelaksanaan perjanjian.
Keempat, dalam hal suatu perjanjian yang meletakkan kewajiban timbal balik, kelalaian satu pihak memberikan
hak kepada pihak yang lain untuk meminta pada hakim supaya perjanjian dibatalkan, disertai dengan
permintaan penggantian kerugian.
Untuk dapat dikatakan suatu keadaan memaksa, selain keadaan itu, di luar kekuasaannya si berhutang dan
memaksa, keadaan yang telah timbul itu juga harus berupa suatu keadaan yang tidak dapat diketahui pada
waktu perjanjian dibuat, setidak-tidaknya tidak dipikul risikonya oleh si berhutang.
Keadaan memaksa ada yang bersifat mutlak, yaitu dalam halnya sama sekali tidak mungkin lagi melaksanakan
perjanjiannya. Tetapi ada juga yang bersifat relatif, yaitu berupa suatu keadaan yang mana perjanjian masih
dapat dilakukan, tetapi dengan pengorbanan-pengorbanan yang sangat besar dari hak si berhutang.
6.

Perihal Hapusnya Perikatan-Perikatan

Undang-undang menyebutkan ada sepuluh macam cara hapusnya perikatan:


a. Karena pembayaran
Yaitu pelaksanaan atau pemenuhan tiap perjanjian secara sukarela, artinya tidak dengan paksaan atau eksekusi.
Barang yang dibayarkan, harus milik orang yang melakukan pembayaran dan orang itu juga harus berhak untuk
memindahkan barang-barang itu ke tangan orang lain. Pembayaran juga harus dilakukan kepada si berpiutang
atau kepada seorang yang dikuasakan olehnya atau oleh undang-undang. Pembayaran harus dilakukan di tempat
yang ditentukan di dalam perjanjian.
b.

Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan

Hal ini merupakan suatu cara untuk menolong si berhutang dalam hal si berpiutang tidak suka menerima
pembayaran. Barang yang hendak dibayarkan itu diantarkan pada si berpiutang atau ia diperingatkan untuk

mengambil barang itu di suatu tempat. Barang itu harus berupa benda bergerak. Penawaran dan peringatan ini
harus dilakukan secara resmi.
c. Pembaharuan hutang
Pembaharuan hutang merupakan suatu pembuatan perjanjian baru yang menghapuskan suatu perikatan lama,
sambil meletakkan suatu perikatan baru.
Dengan adanya suatu pembaharuan hutang, dianggap hutang yang lama telah hapus dengan segala buntutnya.
Tetapi si berpiutang berhak untuk memperjanjikan hak-hak istimewa dan hypotheek yang menjadi tanggungan
dari hutang lama itu tetap dipegangnya.
d.

Kompensasi atau perhitungan hutang timbal balik

Jika seseorang yang berhutang, mempunyai suatu piutang pada si berpiutang, sehingga dua orang itu samasama berhak untuk menagih piutang satu kepada yang lainnya, maka hutang piutang antara mereka itu dapat
diperhitungkan untuk suatu jumlah yang sama.
e. Pencampuran hutang
Pencampuran hutang terjadi misalnya si berhutang kawin dalam percampuran kekayaan dengan si berpiutang
atau jika si berhutang menghentikan hak-hak si berpiutang karena menjadi warisnya atau sebaliknya.
f.

Pembebasan hutang

Pembebasan hutang adalah suatu perjanjian baru di mana si berpiutang dengan sukarela membebaskan si
berhutang dari segala kewajibannya.
g.

Hapusnya barang yang dimaksudkan dalam perjanjian

Menurut pasal 1444, jika suatu barang tertentu yang dimaksudkan dalam perjanjian hapus atau karena suatu
larangan yang dikeluarkan oleh pemerintah, tidak boleh diperdagangkan atau hilang hingga tidak terang
keadaannya, maka perikatan menjadi hapus, asal saja hapus atau hilangnya barang itu sama sekali di luar
kesalahan si berhutang dan sebelumnya ia lalai menyerahkannya.
h.

Pembatalan perjanjian

Perjanjian yang dibuat oleh orang yang menurut undang-undang tidak cakap untuk bertindak sendiri, karena
paksaan, kekhilafan, atau mempunyai sebab yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, atau
ketertiban umum, dapat dibatalkan. Hal ini berakibat, bahwa keadaan antara mereka berdua dikembalikan
seperti pada waktu perjanjian belum dibuat.
7.

Perihal Perjanjian Khusus yang Penting

a. Perjanjian Jual Beli


Maksudnya, suatu perjanjian di mana pihak yang satu menyanggupi alam menyerahkan hak milik atas sesuatu
barang, sedangkan pihak yang lainnya menyanggupi akan membayar sejumlah uang.
b.

Perjanjian sewa-menyewa

Maksudnya adalah suatu perjanjian di mana pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan suatu benda
untuk dipakai selam suatu jangka waktu tertentu, sedangkan pihak lainnya menyanggupi akan membayar harga
yang telah ditetapkan untuk pemakaian itu pada waktu-waktu yang ditentukan.
c. Pemberian atau hibah (schenking)

Pada pasal 1666 B.W. dijelaskan tentang pengertian pemberian, yaitu suatu perjanjian, di mana pihak yang satu
menyanggupi dengan Cuma-Cuma dengan secara mutlak memberikan suatu benda pada pihak yang lainnya.
d.

Persekutuan (maatschap)

Maksudnya adalah suatu perjanjian di mana beberapa orang bermufakat untuk bekerja bersama dalam lapangan
ekonomi, dengan tujuan membagi keuntungan yang akan diperoleh.
e. Penyuruhan (lastgeving)
Maksudnya adalah suatu perjanjian di mana pihak yang satu memberikan perintah kepada pihak yang lain
untuk melakukan suatu perbuatan hukum, perintah mana diterima oleh yang belakangan ini.
f.

Perjanjian Pinjam

Perjanjian pinjam oleh undang-undang dibedakan antara:


1)

Perjanjian pinjam barang yang tak dapat diganti

Hak milik atas barang yang dipinjamkan tetap berada pada pemiliknya, yaitu pihak yang meminjamkan
barangnya. Selama waktu peminjaman si peminjam harus memelihara barang tersebut sebaik-baiknya.
2)

Perjanjian pinjaman barang yang dapat diganti

Dalam hal ini barang yang diserahkan untuk dipinjam itu menjadi miliknya si peminjam, sedangkan pihak yang
meminjamkan memperoleh suatu hak penuntutan terhadap si peminjam untuk mengembalikan sejumlah barang
yang sama jumlah dan kualitasnya.
g.

Penanggungan hutang

Maksudnya adalah suatu perjanjian di mana satu pihak menyanggupi pada pihak yang lainnya, bahwa ia
menanggung pembayaran suatu hutang, apabila si berhutang tidak menepati kewajibannya.
h.

Perjanjian perdamaian

Maksudnya adalah suatu perjanjian di mana dua pihak membuat suatu perdamaian untuk menyingkiri atau
mengakhiri suatu perkara, dalam perjanjian mana masing-masing melepaskan sementara hak-hak atau
tuntutannnya.
i.

Perjanjian kerja

Perjanjian kerja dalam arti yang luas dapat dibagi dalam:


1)

Perjanjian perburuhan yang sejati

Perjanjian perburuhan sejati mempunyai sifat-sifat khusus diantaranya:


a) Ia menerbitkan suatu hubungan diperatas
b)

Selalu diperjanjikan suatu gaji atau upah

c) Ia dibuat untuk suatu waktu tertentu atau sampai diakhiri oleh salah satu pihak.
2)

Pemborongan pekerjaan

Adalah suatu perjanjian, di mana satu pihak menyanggupi untuk keperluan pihak lain, melakukan suatu
pekerjaan tertentu dengan pembayaran upah yang ditentukan pula.

HUKUM PERIKATAN

Hukum perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau
lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum
dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa
hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam
bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law),
dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi(pers onal law).
Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta
kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban
atas sesuatu.
Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo memberikan pengertian
perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar
mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud
dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak
melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu
untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian. Contohnya; perjanjian untuk
tidak mendirikan bangunan yang sangat tinggi sehingga menutupi sinar matahari atau sebuah perjanjian agar
memotong rambut tidak sampai botak.
syarat sahnya perikatan yaitu;
1) Obyeknya harus tertentu.
Syarat ini diperlukan hanya terhap perikatan yang timbul dari perjanjian.
2) Obyeknya harus diperbolehkan.
Artinya tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum.
3) Obyeknya dapat dinilai dengan uang.
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pengertian perikatan
4) Obyeknya harus mungkin.
Yaitu yang mungkin sanggup dilaksanakan dan bukan sesuatu yang mustahil.
Macam-macam perikatan :
1. Perikatan bersyarat
2. Perikatan yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu
3. Perikatan yang membolehkan memilih
4. Perikatan tanggung menanggung
5. Perikatan yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi
6. Perikatan tentang penetapan hukuman
HUKUM PERJANJIAN

Pengertian Perjanjian
Suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal.
Asas Dalam Perjanjian
1.Asas Terbuka
n Hukum Perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan
perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar UU, ketertiban umum dan kesusilaan.
n Sistem terbuka, disimpulkan dalam pasal 1338 (1) : Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai UU bagi mereka yang membuatnya
2.Asas Konsensualitas
n Pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya
kesepakatan. Asas konsensualitas lazim disimpulkan dalam pasal 1320 KUH Perdata.
Asas Konsensualitas
n teori pernyataan
a. perjanjian lahir sejak para pihak mengeluarkan kehendaknya secara lisan. b.perjanjian lahir sejak para pihak
mengeluarkan kehendaknya secara lisan dan tertulis. Sepakat yang diperlukan untuk melahirkan perjanjian
dianggap telah tercapai, apabila pernyataan yang dikeluarkan oleh suatu pihak diterima oleh pihak lain.
n Teori Penawaran bahwa perjanjian lahir pada detik diterimanya suatu penawaran (offerte). Apabila seseorang
melakukan penawaran dan penawaran tersebut diterima oleh orang lain secara tertulis maka perjanjian harus
dianggap lahir pada saat pihak yang melakukan penawaran menerima jawaban secara tertulis dari pihak
lawannya.

HUKUM DAGANG
Hubungan Hukum Perdata dengan Hukum Dagang
Hubungan antara keduannya saling berkaitan seperti yang terdapat dalam Pasal 1 dan Pasal 1 dan Pasal 15
KUHD. Dari kedua pasal ini, dapat kita ketahui pengertian dari KUHD (Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang) adalah hukum yang khusus (lex specialis), sedangkan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)
adalah hukum yang bersifat umum (lex generalis), sehingga antara keduanya berlaku suatu asas yakni Lex

Specialis Derogat Legi Generali yang artinya hukum yang khusus dapat mengesampingkan hukum yang
umum.

Berlakunya Hukum Dagang


Sebelum tahun 1938 Hukum Dagang hanya mengikat para pedagang saja. Kemudian, sejak tahun 1938
pengertian dari perdagangan mengalami perluasan kata menjadi segala kegiatan yang berkaitan dengan usaha.
Jadi sejak saat itulah Hukum Dagang diberlakukan bukan Cuma untuk pedagang melainkan juga untuk semua
orang yang melakukan kegiatan usaha.
Yang dinamakan perusahaan adalah jika memenuhi unsur-unsur dibawah ini, yakni :
1. Terang-terangan
2. Teratur bertindak keluar, dan
3. Bertujuan untuk memperoleh keuntungan materi
Sementara itu, untuk pengertian pengusaha adalah setiap orang atau badan hukum yang langsung
bertanggungjawab dan mengambil risiko di dalam perusahaan dan juga mewakilinya secara sah. Perusahaan
tebagi menjadi tiga jenis, diantaranya :
1. Perusahaan Seorangan
2. Perusahaan Persekutuan (CV)
3. Perusahaan Terbatas (PT)

Hubungan Pengusaha dan Pembantu-Pembantunya


Di dalam menjalankan kegiatan suatu perusahaan tidak mungkin melakukan usahanya seorang diri. Oleh karena
itu, diperlukan bantuan orang/pihak lain untuk membantu melakukan kegiatan-kegiatan tersebut.
Pembantu-pembantu dalam perusahaan dapat dibagi menjadi dua fungsi:
1. Pembantu di dalam perusahaan.
Bersifat sub ordinasi, yaitu hubungan atas dan bawah sehingga berlaku suatu perjanjian perburuhan.
1. Pembantu di luar perusahaan.

bersifat koordinasi, yaitu hubungan yang sejajar, sehingga berlaku suatu perjanjan pemberian kuasa yang akan
memperoleh upah.
Dengan demikian, hubungan antara keduanya dapat bersifat :
1. Hubungan perburuhan (lihat Pasal 1601a KUHP)
2. Hubungan pemberian kuasa (lihat Pasal 1792 KUHP)
3. Hubungan hukum pelayanan berkala (lihat Pasal 1601 KUHP)

HUKUM BENDA DAN PERIKATAN


HUKUM BENDA DAN PERIKATAN
PAPER
Untuk memenuhi tugas Hukum Komersial yang dibina oleh Ibu. Indriati S.H, M.H

Oleh :
Noor Zuhdiyaty (115020100111017)
Melysandi Lahuo ( 115020106111001)
Liyasmi Ika H. (115020107111007)
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
ILMU EKONOMI
Maret 2012
AZAS-AZAS HUKUM PERDATA
A. HUKUM BENDA
1. Pengertian dan Pembagian Benda
1.1. Pengertian Benda
Istilah benda merupakan terjemahan dari kata zaak (Belanda) , Benda dalam arti ilmu pengetahuan hukum
adalah segala sesuatu yang dapat menjadi objek hukm , yaitu sebagai lawan dari subjek hukum. Objek hukum
adalah segala sesuatu yang berguna bagi subjek hukum (Manusia atau badan hukum) dan yang dapat menjadi
pokok (objek) suatu hubungan hukum, Karena sesuatu itu dapat dikuasai oleh objek hukum. Pengertian benda
adalah pertama tama tertuju pada barang yang berwujud yang dapat ditangkap dengan panca indera tetapi
barang yang tidak berwujud termasuk panca indea juga (Sofwan, 1980, hlm. 13).
Dari isi Pasal 499 KUH Perdata/BW dapat pula diketahui pengertian benda yaitu segala sesuatu yang dapat
dimiliki atau yang dapat menjadi objek hak milik. Ketentuan tersebut memberikan gambaran kepada bahwa
segala yang dapat dimiliki oleh manusia itulah benda, dengan demikian yang tidak dapat dimiliki misalnya laut,
bulan, bintang dan sebagainya, bukanlah benda. Tetapi dalam ketentuan Pasal 580, 511 KUH Perdata/BW yang
ada di Indonesia pengertian zaak (benda) sebagai objek hukum tidak hanya meliputi Benda yang berwujud
yang ditangkap dengan panca indera, akan tetapi juga Benda yang tidak berwujud,yakni atas barang hak - hak
atas barang yang berwujud ,contoh : obligasi .
Subekti membagi pengertin benda menjadi 3 yaitu :
(1) Benda dalam arti luas adalah segala sesuatu yang dapat dihaki oleh orang

(2) Benda dalam arti sempit adalah barang yang dapat terlihat saja.
(3) Benda adalah sebagai objek hukum.

1.2. Pembagian Benda


Menurut sistem hukum perdata sebagaimana diatur dalam KUH
Perdata/BW benda dapat dibedakan atas :
(1) Barang barang yang berwujud (lichamelijk) dan barang barang yang tidak berwujud (onlichamelijk).
(2) Barang barang yang bergerak dan barang barang yang tidak bergerak.
(3) Barang barang yang dapat dipakai habis (verbruik baar) dan barang barang yang tidak dapt dipakai habis
(onverbruikbaar).
(4) Barang barang yang sudah ada (tegen woordige zaaken) dan barang-barang yang masih akan nada
(toekomstigezaken).
(5) Barang yang akan ada dibendakan :
a. Barang-barang yang pada suatu saat sama sekali belum ada, misalnya: panen yang akan datang .
b. Barang-barang yang akan ada relative yaitu barang-barang yang pada saat itu sudah ada tetapi bagi orang
orang tertentu belu ada, misalnya barang-barang yang sudah dibeli tetapi belum diserahkan.
(6) Barang-barang yang dalam perdagangan (zaaken in the handel) dan barang-barang yang diluar perdagangan.
(7) Barang-barang yang dapat dibagi dengan barang-barang yang tidak dapat diagi (Sofwan, 1980, hlm, 19).
Perlu diketahui dari berbagai macam pembagian bend tersebut yang paling penting adalah pembedaan benda
menjadi benda yang bergerak dan yang tidak bergerak, Karen apembagian benda ini mempunyai akibat yang
sangat penting dala hukum. Akibat tersebut berkaitan dengan ketentuan-ketentuan khusus yng berlaku bagi
msing-masing jenis benda tersebut berkaitan dengan prbuatan sebagai berikut : penyerahan (levering),
penyitaan (beslag), daluwarsa (lampau waktu / veerjaring), pembebanan (bezwaring), bezit .

2. Hak Kebendaan
Hak kebendaan (zakelij recht) adalah suatu hak yang memberikn kekuasaan langsung atas suatu benda, yan
dapat dipertahankan terhadap tiap orang.
Menurut Buku II BW (Pasal 499-1232) tetang benda (van Zaken), meletakkan dasar-dasar peraturan hukum
yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara seseorang atau badan hukum dengan benda. Hubungan
hukum dengan orang menimbulkan hak kebendaan (Zakelijkreht) yaitu hak yang memberikan kekuasaan

langsung kepada seseorang yang berhak menguasai sesuatu benda dalam tangan siapapun juga bnda itu berada.
Hubungan ini menmbulkan hak kebendaan yang bersifat mutlak (absolut).
Sedangkan buku III KUH Perdata (Pasal 1233-1864) tentang perikatan (van Vebertenissen ), meletakkan dasar
peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara seseorang dengan seseorang (Badan
Hukum). Hubungan ini menimbulkan hak perorangan yang bersifat relative (nisbi).
Hak kebendaan bersifat mutlak/Absolut sebagai lawan dari hak perseorangan/pribadi yang nisbi/relative yang
hanya dapat dipertahankan terhadap pribadi tertentu atau dengan lain perkataan perkataan yang menimbulkan
kewajiban pada pihak tertentu, karena itu dapat juga disebut sebagai hak searah Dengan demikian dapat
diketahui hak kebendaan itu termasuk dala hak keperdataan yang bersifat mutlak/absolute, yang mengandung
benda, sehingga hak seseorang atas sesuatu benda tersebut dapat dipertahankan terhadap siapapun juga, bahkan
tidakk dapat digugat oleh siapapun juga. Seseorang lainnya diwajibkan untuk menghormati kebendaan orang
lain.
Hak kebendaan memberikan kekuasaan atas suatu benda, artinya hak kebendaan itu tetap berhubungan terhadap
bendanya, bahkan sekalipun ada campur tangan dari pihak luar. Sedangkan hak perseorangan memberikan
suatu tuntutan atas peagihan terhadap seseorang dan hanya dapat dipertahankan terhadap sementara orang
tertentu atau terhadap sesuatu pihak.
3. Macam-macam hak kebendaan
Pada dasarnya hak kebendaan dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu: (1) Hak kebendaan yang memberikan
kenikmatan (zakelijk genotsrecht); dan (2) Hak kebendaa yang memberikan jaminan (zakelijk zakerheidsrecht).
a. Hak kebendaan yang memberikan kenikmatan (zakelijk genotsrecht)
Hak kebendaan yang memberikan kenikmatan, yaitu hak dari subyek hukum untuk menikmati suatu benda
secara penuh. Hak kebendaan ini dibagi menjadi dua, yaitu:
(1) Hak kebendaan yang memberika kenikmatan atas bendanya sendiri, contoh: hak eig eigendom (hak milik),
hak bezit (hak menguasai), semuanya itu tunduk pada UUPA.
(2) Hak kebendaan yang memberikan kenikmatan atas benda milik orang lain, contoh: postal, hak erfpacht, hak
pengabdian pekarangan, hak memungut hasil, hak bunga tanah, hak pakai, hak mendiami, semuanya itu juga
tunduk pada UUPA.
b. Hak kebendaan yang memberikan jaminan (zakelijk zakerheidsrecht)
Hak kebendan yang memberikan jaminan yaitu hak yang member kepada yang berhak (kredito) hak
didahulukan untuk mengambil pelunasan dari hasil penjualan barang yang dibebani. Contoh: hak tanggungan
atas tanah dan hak fiducia; Sedangkan menurut KUHPer. Contoh: hak gadai sebagai jaminan adalah benda
bergerak , hipotek sebagai jaminan adalah benda-benda tetap, dan sebagainya.
Hak mutlak terhadap benda dalam lapangan keperdataan, meliputi:
(a). Terhadap benda-benda berwujud, misalnya; Hak Guna Bangunan dan Hak guna atas tanah; hak
eigendom,hak postal, hak erfpah atas benda bergerak/tidak bergerak selain tanah; hak gadai (pand), hak hipotek

danlain-lain
(b). Terhadap benda-benda yang tak berwujud, misalnya hak panenan, hak pengarang atau cipta, hak oktroi, hak
merk, hak kekayaan intelekyual dan lain-lain
B. HUKUM PERIKATAN
1. Pengertian Hukum Perikatan
Istilah perikatan berasal dari bahasa Belanda Verbintenis. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam
liiiterrratur hukum di Indonesia. Perikatan artinya hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain.
Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara orang yang satu dengan urang yang lain karena
perbuatan,peristiwa, atau keadaan. Perikatan mempunyai arti luas yaitu jika terdapat dalam bebrapa bidang
hukum, sedangkan perikatan mempunnyai arti luas yaitu hanya terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan
saja.
Hukum perikatan sendiri diatur dalam Bab III KUHPer. Namun demikian dalam Bab III KUHPer tersebut tidak
ada satu pasalpun yang merumuskan makna tentang perikatan. Menurut Subekti, perkataan perikatan dalam
Buku III KUHPer mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan Perjanjian. Karena dalam buku III itu, diatur
juga perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu
perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perihal
perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan perstujuan
(zaakwaarneming). Tetapi sebagian besar dari BUKU III ditujukan pada perikatan yang timbul dari persetujuan
atau perjanjian.
Dalam Ilmu Pengetahuan Hukum Perdata, Perikatan diartikan sebagai hubungan hukum yang terjadi diantara 2
(dua) orang atau lebih ,yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan, dimanapihak yang satu berhak atas
prestasi dan piah lainnya wajib memenuhi prestasi itu.

2. Sumber-sumber Perikatan
(1) Perjanjian
Menurut ketentuan pasal 1233 KUHPer, perikatan dapat timbul baik karena perjanjian maupun karena undangundang. Dari ketentuan pasal ini dapat diketahui bahwa sumber perikatan itu adalah perjanjian dan undangundang.
Dalam perikatan yang timbul karena perjanjian ini, pihak-pihak dengan sengaja dan bersepakat saling
mengikatkan diri, dalam perikatan mana timbul hak dan kewajiban pihak-pihak yang perlu diwujudkan. Hak
dan kewajiban ini berupa prestasi. Pihak debitur berkewajiban memenuhi prestasi dan pihak kreditur berhak
atas prestasi. Prestasi adalah tujuan pihak-pihak mengadaka perikatan. Contoh; peranjian hibah.

(2) Undang-undang
Selain daripada perjanjian, perikatan itu dapat timbul karena undang-undang. Perikatan yang timbul karena
undang-undang ini dalam pasal 1352 KUHPer diperinci menjadi dua, yaitu perikatan yang timbul semata-mata
karena ditentukan undang-undang, danperikatan yang timbul karena perbuatan orang.
Selanjutnya lagi, dalam pasal 1353 KUHPer ditentukan bahwa perikatan yang timbul karena undang-undang
sebagai akibat perbuatan orang ini diperinci lagi menjadi perikatan yang timbul dari perbuatan menurut
hukum(legal act, lawful act,rechtmatige daad) danperikatan yang timbul dari perbuatan melawan hukum(illegal
act, unlawful act, onrechtmatige daad).
Dalm perikatan yang timbul karena undan-undang, hak dan kewajiban pihak-pihak itu ada, arena ditetapan oleh
undang-undang.
(3) Kesusilaan
Mungkin juga terjadi perikatan bukan Karena diperjanjikn atau bukan karena ketentuan undang-undang,
melainkan perikemanusiaan atau moral/kesusilaan, atau kepatutan. Sumber ini pada hakikatnya adalah sila
kedua Pancasila dasar dan falsafa negara kita. Contoh; kewajiban member nafkah kepada anak yatim piatu yang
terlantar dan belum dewasa.
3. Macam-macam Perikatan
Pada kenyataannya ada beberapa macam perikatan yang dikenal dalam masyarakat. Di dalam Ilmu Pengetahuan
Hukum Perdata, perikatan dapat dibedakan berdasarkan berbagai ukuran-ukuran yang ditentukan oleh pihakpihak, atau menurut jenis yang harus dipenuhi, atau menurut jumlah subyek yang terlihat dalm perikatan.
Pada dasarnya suatu perikatan dapat timbul hak-hak relative atau hak-hak diakui oleh orang-orang yang
berkepentingan saja; misalnya: hak tagihan, hak menyewa hasil dan lain-lain. Adapun macam-macam perikatan
adalah sebagai berikut :
(1) Perikatan untuk memberikan sesuatu
Pasal 1235 KUHPer, menyebutkan:
Dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termaktub kewajiban diberi utang untuk
menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik,
sampai pada saat penyerahan
(2) Perikatan untuk berbuat sesuatu
Berbuat sesuatu artinya melakukan perbuatan seperti yang telah ditetapkan dalam perikatan (perjanjian). Jadi
wujud prestasi disini adalah melakukan perbuatan tertentu, misalnya melakukan perbuatan membongkar
tembok, menggosongkan rumah, membuat lukisan atau patung dan sebagainya.
(3) Perikatan untuk tidak berbuat seuatu
Tidak berbuat sesuatu artinya tidak melakukan perbuatan sperti yang telah tidak melakukan persaingan yang
dapat diperjanjikan, tidak membuat pagar tembok yang lebih tinggi sehingga menghalangi pemandangan
tetangganya, dan lain-lain.

(4) Perikatan bersyarat dan perikatan murni


Perikatan yang timbul dari perjanjian dapat berupa perikatan murni dan perikatan bersyarat. Perikatan murni
adalah perikatan yang pemenuhn prestasinya tidak digantungkan pada suatu syarat (condition). Sedangkan
perikatan bersyarat (conditional obligation) adalah erikatan yang digantungkan pada syarat, yang di maksud
dengan syarat adalah peristiwa yang masih akandatang dan belum tentu akan terjadi . Menurut ketentuan Pasal
1253 tersebut, bahwa perikatan bersyarat dapat digolongkan menjadi dua yaitu: (1) perikatan besyarat yang
menangguhkan; dan (2) perikatan bersyarat yang menghapuskan.
(5) Perikatan dengan ketetap waktu
Maksud syarat ketetapan waktu adalah bahwa pelaksanaan perikatan itu digantungkan pada waktu yang
ditetapakan. Waktu yang dittapkan itu adalah peristiwa yang masih akan terjadi dan terjadinya itu sudah pasti
dapat berupa tanggal yang sudah tetap
(6) Perikatan Alternatif
Dalam perikatan alternative (Alternative Obligation), Obyek prestasinya ada dua macm barang. Dikatakn
alternative karena debitor boleh memenuhi prestasinya dengan memlih salah satu dari dua barang yang
dijadikan obyek perikatan.
(7) Perikatan Tanggung Renteng
Perikatan tanggug renteng (Solidary obligation) dapat terjadi apabila seorang debitor berhadapan dengan
beberapaorang kreditor, atau seorang kreditor berhadapan dengan beberapa orang debitor.
Pada dasarnya perikatan tanggung menanggung meliputi: (1) perikatan tanggung menanngung aktif; dan (2)
perikatan tanggung menanngung pasif. Di atur dalam pasal 1278-1279 KUH Perdata.
(8) Perikatan yang Dapat Dibagi dan Tidak Dapat Dibagi
Suatu perikatan dikatakan dpat atau tidak dapat dibagi (divisible atau indivisible) apabila barang yang menjadi
obyek prestasi dapat atau tidak dapat dibagi menurut imbangan, selain itu pembagian tidak boleh mengurangi
dari prestasi tersebut.
(9) Perikatan dengan Ancaman Hukuman
Pada dasarnya perikatan dengan ancaman hukuman memuat suatu ancaman terhadap debitor apabila ia lalai ,
tidak memenuhi kewajibannya. Ancaman hukuman dalam perikatan sebenarnya tidak lebih hanya sebagai
pendorong debitor untuk memenuhi kewajibannya berprestasi dan untuk membebaskn kreditor dari pembuktian
tentang besarnya ganti kerugian yang telah dideritanya, hal ini dijelaska dalam Pasal 1304 KUH Perdata
4. Risiko, Wanprentasi, dan Keadaan Memaksa
Risiko
Risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi keadaan memaksa yaitu peristiwa bukan karena
kesalahan debitur, yang menimpa benda yang menjadi obyek perikatan atau menghalangi perbuatan debitur
memenuhi prestasi.
Wanprestasi
Wanprestasi berasal dari istilah asliya dalam bahasa Belanda wanprestatie, artinya tidak memenuhi kewajiban
yang telah ditetapkan dalam perikatan , baik periktan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang
timbul karena undang-undang. Tidak dipenuhinya kewajiban ituada dua kemungkinan alasannya yaitu:

(a). Karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian.
(b). Karena keadaan memaksa (force majeure), jadi diluar kemampuan debitur, deitur tidak bersalah.
Keadaan memaksa
Alasan kedua dari wanprestasi adalah keadaan memaksa (overmecht, force majeur). Keadaan memaksa adalah
keadaan tidak dapat dipenuhiya prestasi oleh debitur karena terjadi suatu peristiwa bukan karena kesalahannya,
peristiwa tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga kapan akan terjadi dan membuat perikatan.
5. Hapusnya Perikatan
Hapusnya atau berakhirnya suatu perikatan oleh undang-undang ditentukan dalam pasal 1381 yang menetukan
sepuluh cara berakhirnya perikatan.
Dalam pasal 1381 KUHPer dinyatakan, hapusnya perikatan disebabkan oleh hal-hal:
1. Pembayaran
2. Penawaran pembayaran tunai di ikuti dengan penyimpanan atau penitipan
3. Pembaruan utang
4. Kompensasi atau penjumpaan utang
5. Pencampuran utang
6. Pembebasan utang
7. Musnahnya barang yang terutang
8. Kebatalan atau pembatalan
9. Berlakunya syarat total
10. Terlaluinya waktu atau lampau waktu

Hukum Perikatan
Posted by galihpangestu14 on June 3, 2012

HUKUM PERIKATAN
Disusun oleh ; Elin Eliani (22210333)
Galih Pangestu (22210924)
Harry Farhan (23210157)
Saepudin (26210320)
Tiara Lenggogeni (26210888)
Abstrak
Perikatan dalam bahasa Belanda disebut ver bintenis. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur
hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti ; hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang
lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat
berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya;
letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau letak rumah yang bersusun (rusun).
Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undangundang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi akibat hukum. Dengan demikian, perikatan yang terjadi
antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum.
Pendahuluan
Perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana
pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta
kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain
yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang
hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam
bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi (pers onal law).
Pembahasan
Jika dirumuskan, perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara orang yang satu dengan orang yang lain
karena perbuatan, peristiwa, atau keadaan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam
bidang hukum harta kekayaan (law of property), dalam bidang hukunm keluarga (family law), dalam bidang
hukum waris (law of succession), dalam bidang hukum pribadi (personal law).
Perikatan yang terdapat dalam bidang hukum ini disebut perikatan dalam arti luas.perikatan yang terdapat
dalam bidang- bidang hukum tersebut di atas dapat dikemukakan contohnya sebagai berikut:

a) Dalam bidang hukum kekayaan, misalnya perikatan jual beli, sewa menyewa, wakil tanpa kuasa
(zaakwaarneming), pembayaran tanpa utang, perbuatan melawan hukum yang merugikan orang lain.
b) Dalam bidang hukum keluarga, misalnya perikatan karena perkawinan, karena lahirnya anak dan sebagainya.
c) Dalam bidang hukum waris, misalnya perikatan untuk mawaris karena kematian pewaris, membayar hutang
pewaris dan sebagainya.
d) Dalam bidang hukum pribadi, misalnya perikatan untuk mewakili badan hukum oleh pengurusnya, dan
sebagainya.
Perikatan Dalam arti Sempit.
Perikatan yang dibicarakan dalam buku ini tidak akan meliputi semua perikatan dalam bidang- bidang hukum
tersebut. Melainkan akan dibatasi pada perikatan yang terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan saja,yang
menurut sistematika Kitab Undang- Undang hukum Perdata diatur dalam buku III di bawah judul tentang
Perikatan.
Tetapi menurut sistematika ilmu pengetahuan hukum, hukum harta kekayaanitu meliputi hukukm benda dan
hukum perikatan, yang diatur dalam buku II KUHPdt di bawah judul Tentang Benda. Perikatan dalam bidang
harta kekayaan ini disebut Perikatan dalam arti sempit.
Azas-azas dalam hukum perikatan
Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan
berkontrak dan azas konsensualisme.
Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala
sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya.
Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak
mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas
konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah
1. Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan
diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok
dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
2. Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak
harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
3. Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas
dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap
pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.

4. Suatu sebab yang Halal Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa)
yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum
Wanprestasi dan Akibat-akibatnya
Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Akibat-akibat Wansprestasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi ,
dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni
1. Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni
a. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si
debitor;
c. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh
kreditor.
2. Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.
Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan
sebelum perjanjian diadakan.
3. Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah
satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.
SUBJEK HUKUM PERIKATAN
Kegiatan ekonomi secara umum dapat diartikan sebagai kegiatan usaha yang dijalankan oleh seseorang atau
badan hukum untuk mendapatkan laba atau keuntungan. Dalam hubungan hukum dikenal subjek hukum terdiri
dari manusia dan badan hukum. Dalam perkembangannya manusia tidak mampu melaksanakan kegiatan atau
usaha secara sendirian, maka lahirlah perkumpulan-perkumpulan, asosiasi, dan atau dikenal menggunakan
hukum perikatan dalam kebebasan berkontrak menurut Daeng (2009:7( sebagai berikut:

1. Perusahaan perseorangan
2. Perusahaan persekutuan (pasal 1618 KUH Perdata)
3. Persekutuan Komanditer (pasal 19 sampai 21 KUHD)
4. Perseroan Firma (pasal 16 sampai 18 KUHD)
5. Perseroan Terbatas (UU No. 20 Tahun 2007 tentang PT)
Perusahaan perseroaan adalah perusahaan yang didirikan dan dimiliki oleh seorang pengusaha, dalam
masyarakat umum dikenal dengan nama Usaha Dagang (UD) dan Perusahaan Dagang (PD)
OBJEK HUKUM PERIKATAN
Benda merupakan objek hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan benda. Macam dan jenis
benda dapat kita pelajari dalam kehidupan sehari-hari antara lain: Benda bergerak dan tidak bergerak, benda
yang habis dipakai dan benda yang tidak habis dipakai dan lainnya,. Macam benda yang terpenting dalam
hukum adalah benda bergerak dan tidak bergerak karena perolehannya, penyerahannya, dan jaminan hak
kebendaan menggunakan kebebasan berkontrak dalam Gadai dan hak tanggungan serta fiducia. (Subekti
1984:63)
Daftar Pustaka
Yusmedi Yusuf
2009
Hukum Perikatan
Tangerang

You might also like