You are on page 1of 12

ACARA II

BOIDEGRADABLE FILM
A. Pendahuluan
1. Latar belakang
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, budaya dan
teknologi, kemasan pangan tidak hanya dipandang sebagai suatu cara
atau metode untuk melindungi produk pangan, tetapi juga sarana
promosi, informasi, dan estetika. Agar berfungsi dengan benar sebagai
pengemas idealnya pengemas harus memenuhi beberapa persyaratan
diantaranya seperti : tidak beracun, dapat melindungi bahan pangan dari
kotaminasi biologi, mikroorganisme, dan debu.
Konsep edible film dan coating merupakan inovasi untuk membuat
kemasan baru dari bahan alami. Hal ini karena edible film dan coating
tersedia dengan berbagai sifat yang dapat membantu untuk meringankan
banyak masalah yang dihadapi dengan makanan. Usaha untuk
memperbaiki kualitas edible film sebagai kemasan primer terus dilakukan
seperti pemilihan bahan baku dan penambahan aditif tertentu. Gliserol
memberi peran memperbaiki elastisitas film dan kemudahan film
dikelim/di-seal. Dengan demikian film diharapkan mempunyai sifat fisis
mekanis dan permeabilitas yang memadai sebagai kemasan primer. Sifat
fisik-mekanis

dan

permeabilitas

film

kitosan

ini

selanjutnya

dibandingkan dengan kemasan plastik polipropilena (PP) untuk


memberikan gambaran performa film.
2. Tujuan
Tujuan dari praktikum acara 2 praktikum Teknologi Pengemasan
dan Penyimpanan adalah:
1. Membuat Biodegradable film dari berbagai jenis polimer.

B. Tinjuan Pustaka
Edible film aktif merupakan salah satu teknologi non-termal yang
dapat memberikan jaminan kualitas produk pangan yang dikemas. Edible

film

adalah

bahan

pengemas organik

yang

terbuat

dari

senyawa

hidrokoloid dan lemak, atau kombinasi keduanya. Senyawa hidrokoloid


yang dapat digunakan adalah protein dan karbohidrat, sedangkan lemak yang
dapat

digunakan

adalah

lilin/wax,

gliserol

dan

asam lemak

(Warkoyo, 2014).
Konsep edible film dan coating merupakan inovasi untuk membuat
kemasan baru dari bahan alami. Hal ini karena edible film dan coating
tersedia dengan berbagai sifat yang dapat membantu untuk meringankan
banyak masalah yang dihadapi dengan makanan. Edible film dapat diproduksi
dari bahan dengan film membentuk kemampuan. Komponen digunakan untuk
pembuatan edible film dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori:
hidrokoloid, lipid dan komposit. Film hidrokoloid memiliki baik sifat
penghalang terhadap oksigen, karbon dioksida, dan lipid tetapi tidak untuk
uap air. kebanyakan hidrokoloid film juga memiliki sifat mekanik yang luar
biasa, yang cukup berguna untuk produk makanan tidak tahan lama. Namun,
potensi fungsi dan aplikasi dari film dan coating menjamin peningkatan
pertimbangan. Penelitian yang luas masih diperlukan pada metode
pembentukan film dan metode untuk meningkatkan Film sifat dan potensi
aplikasi (Bourtoom, 2008).
Edible film adalah suatu lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang dapat
dimakan, dibentuk untuk melapisi makanan (coating) atau diletakkan di
antara komponen makanan (film) yang berfungsi sebagai penghalang
terhadap perpindahan massa (misalnya kelembaban, oksigen, cahaya, lipid,
zat terlarut) dan atau sebagai pembawa aditif serta untuk meningkatkan
penanganan

suatu

makanan.

Komponen

penyusun

edile

packaging

mempengaruhi secara langsung bentuk morfologi maupun karakteristik


pengemas yang dihasilkan. Komponen utama penyusun edible film
dikelompokkan mejadi tiga yaitu hidrokoloid, lipida dan komposit.
Hidrokoloid banyak diperoleh dari protein utuh, selulosa dan turunannya,
alginate, pektin dan pati. Dari kelompok lipida yang sering digunakan adalah
lilin dan gliserol dan asam lemak. Komposit adalah bahan yang didasarkan
pada campuran hidrokoloid dan lipida (Harris, 2001).

Pelapis dimakan dan film tidak untuk menggantikan bahan kemasan


tradisional tetapi untuk memberikan tambahan faktor tekanan yang akan
diterapkan untuk pengawetan makanan. Edible film juga bisa membantu
mengurangi biaya dan juga jumlah kemasan tradisional yang digunakan.
Edible film dapat mengontrol kelembaban, gas, dan migrasi lipid dan dapat
pendukung aditif dan nutrisi. Untuk formulasi edible film, bisa digunakan
polisakarida, protein, dan lipid dan edible film harus mengakibatkan netral
terhadap warna dan rasa. Komponen penting adalah plasticizer yang
meningkatkan fleksibilitas dan diperpanjang.

Edible film

dimaksudkan

untuk memperpanjang umur simpan dan juga untuk menanggapi permintaan


konsumen untuk produk bahkan lebih alami dan untuk kontaminasi rendah
dari lingkungan (Campos et al., 2010).
Edible film yang film tipis dibuat dari bahan yang dapat dimakan
bertindak sebagai penghalang untuk unsur eksternal (faktor-faktor seperti
kelembaban, minyak, gas dan uap) dan dengan demikian melindungi produk,
memperpanjang umur simpan dan meningkatkan kualitas. Edible film dapat
mengontrol kelembaban, oksigen, karbon dioksida, rasa dan aroma
perpindahan antar komponen makanan atau suasana di sekitar makanan.
Umumnya, sebuah edible film didefinisikan sebagai lapisan tipis atau
lembaran padat dimakan bahan ditempatkan pada atau antara komponen
makanan. Edible film dapat digunakan sebagai membungkus Film atau
kantong untuk makanan. Berbeda bahan makanan, yang berasal dari daging,
sereal, kacang-kacangan, buah-buahan dan sayuran, yang digunakan untuk
memproduksi film untuk dimakan strip dan kantong. Film-film ini bertindak
sebagai sistem kemasan baru dan mengontrol pelepasan senyawa aktif seperti
antioksidan, rasa dan agen antimikroba. Penggunaan edible film dalam
perlindungan dan pelestarian makanan memiliki baru-baru ini meningkat
karena mereka menawarkan beberapa keunggulan dibandingkan bahan
sintetis, seperti menjadi biodegradable dan ramah lingkungan. Sebuah
penekanan lebih besar pada fitur keselamatan yang berhubungan dengan

penambahan alami agen antimikroba adalah daerah berikutnya untuk


pembangunan di film dimakan teknologi (Xian-Du et al., 2011).
Pembentukan film plastik dari pati, pada prinsipnya merupakan
gelatinasi molekul pati. Pembuatan film berbasis pati pada dasarnya
menggunakan prinsip gelatinasi. Dengan adanya penambahan sejumlah air
dan dipanaskan pada suhu yang tinggi maka akan terjadi gelatinasi. Gelatinasi
mengakibatkan ikatan amilosa akan cenderung saling berdekatan karena
adanya ikatan hidrogen. Proses pengeringan akan mengakibatkan penyusutan
sebagai akibat lepasnya air sehingga gel akan membentuk film yang stabil.
Karakteristik

film

yang

dapat

diuji

adalah

karakteristik

mekanik,

permeabilitas dan nilai biodegradabilitasnya (Anita, 2013).


Pelarutan film adalah teknik yang paling digunakan untuk membentuk
hidrokoloid edible film. Selama pengeringan film, penguapan pelarut
menyebabkan

penurunan

kelarutan

polimer

sampai

rantai

polimer

menyesuaikan diri untuk membentuk film. Pemilihan substrat penting untuk


mendapatkan film, yang dapat dengan mudah dikupas tanpa kerusakan
setelah pelarut diuapkan. Umumnya, film yang dikeringkan selama beberapa
jam dalam oven berventilasi Struktur film tergantung pada kondisi
pengeringan (suhu dan kelembaban relatif), ketebalan lapisan basah serta
komposisi urutan larutan (Dhanapal, 2012).
Edible film adalah pelapis bahan organik yang dapat dimakan, biasanya
terbuat dari senyawa polisakarida dan turunan lemak. Bahan yang digunakan
antara lain polisakarida yang berasal dari rumput laut, polisakarida pati,
amiloa film, gelatin, gum arabik, dan turunan monogliserida. Contoh
penggunaan edible film adalah pada sosis, permen, kapsul minyak ikan
(Murniyati, 2013).
Pembuatan karaginan sebagai edible film merupakan salah satu upaya
untuk meningkatkan pemanfaatan karaginan.Edible fim merupakan lapisan
tipis yang berfungsi sebagai pengemas sehingga memberikan efek
pengawetan.Edible film dapat menjadi barrier terhadap oksigen, mengurangi
penguapan air, dan memperbaiki penampilan produk. Karaginan juga telah

dimanfaatkan sebagai bahan pengental pada saus tomat dengan konsentrasi


yang terbaik sebesar 0,25% (Peranginangin, 2013).
Pengemas adalah aktivitas merancang dan memroduksi kemasan atau
pembungkus untuk mewadahi produk. Kemasan termasuk wadah utama dari
produk dan juga kemasan yang kedua yang membungkus sebuahproduk.
Setelah pembungkus utamanya, pembungkus tersebut mungkin dibuang saat
produk tersebut mungkin dibuang pada saat produk telah digunakan
(Rangkuti, 2009).
Secara umum, fungsi kemasan adalah sebagai berikut: 1) Sebagai
wadah bagi produk yang bersangkutan. 2) Melindungi produk, 3)
Mengamankan produk, 4) Menjaga keawetan produk, 5) Memuat informasi
mengenai produk yang bersangkutan. 6) Memudahkan distribusi dan
memudahkan konsumen dalam membeli, membawa dan menikmatinya
(Sutarminingsih, 2005).
C. Metodologi
1. Alat
a. Gelas beker 100 ml
b. Gelas beker 250 ml
c. Nampan
d. Neraca analitik
e. Oven
f. Pengaduk
g. Petridish
2. Bahan
a. Aquadest
b. Gliserol
5 gram tepung
c. KCL
d. Tepung komposit
e. Tepung maizena
f. Tepung
tapiokadalam campuran aquadest dan gliserol
Dilarutkan
3. Cara kerja

dipanaskan di atas hotplate sampai mendidih (100oC)

dituangkan di atas mika

dikeringkan pada cabinet dryer pada suhu 600C selama 10 jam

Dilepas lapisan film yang sudah terbentuk

D. Hasil dan Pembahasan


Meningkatnya

pola

hidup

masyarakat

yang

konsumtif

ikut

meningkatkan inovasi dalam pembuatan kemasan yang lebih baik. Hal ini
dibuktikan dengan dikembangkannya edible film, suatu kemasan primer yang
ramah lingkungan, berfungsi untuk mengemas dan melindungi pangan, dan
dapat menampakkan produk pangan karena bersifat transparan, serta dapat
langsung dimakan berama produk yang dikemas karena terbuat dari bahan
pangan tertentu.
Edible film adalah kemasan berupa lapisan yang dapat didegradasi oleh
mikroba dan reaksi kimia serta terbuat dari bahan yang dapat diperbaharui.
Bahan baku utama pembuatan edible film adalah hidrokoloid, lipida dan
komposit. Selain itu edible film memberikan perlindungan yang unik dengan
mengurangi transmisi uap air, aroma, dan lemak dari bahan pangan yang
dikemas, hal tersebut merupakan karakteristik edible film yang tidak
didapatkan pada kemasan konvensional.
Perkembangan penelitian tentang edible film dan aplikasinya pada
produk pangan di Indonesia kini cukup baik. Berbagai macam penelitian
dilakukan untuk mendapatkan edible film dengan modifikasi untuk
mendapatkan hasil yang lebih baik. Modifikasi juga dilakukan pada bahan
dasar, seperti protein atau pati hingga penambahan bahan lain atau dengan
perlakuan - perlakuan khusus (Anita, 2013).
Menurut definisinya, edible film merupakan lapisan tipis yang dapat
dimakan dan ditempatkan di atas atau di antara komponen makanan. Dalam
produk pangan, lapisan tipis ini berfungsi untuk penghambat perpindahan uap

air, menghambat pertukaran gas, mencegah kehilangan aroma, mencegah


perpindahan lemak, meningkatkan karakteristik fisik, dan sebagai pembawa
zat aditif. Bahan dasar pembentuk edible film dapat terdiri hidrokoloid, lipida,
dan komposit. Hidrokoloid yang cocok antara lain senyawa protein, turunan
selulosa, alginat, pektin, pati dan polisakarida lainnya. Lipida yang biasa
digunakan waxes, asilgliserol, dan asam lemak. Sedangkan komposit
merupakan gabungan lipida dengan hidrokoloid.
Pembuatan edible film sering menggunakan metode casting dan pada
pembuatannya menggunakan prinsip gelatinisasi. Pada metode ini protein
atau polisakarida didispersikan pada campuran air dan plasticizer, yang
kemudian diaduk lalu dilakukan pengaturan pH, dan kemudian sesegera
mungkin campuran tadi dipanaskan dalam beberapa waktu lalu dituangkan
pada casting plate. Setelah dituangkan kemudian dibiarkan mengering dengan
sendirinya pada kondisi lingkungan dan waktu tertentu. Film yang telah
mengering dilepaskan dari cetakan (casting plate) dan kemudian dapat
dilakukan pengujian terhadap karakteristik yang dihasilkan.
Gelatinisasi pati merupakan proses penggelembungan dan disorganisasi
granula pati. Peristiwa ini disebut sebagai retrogradasi yang ditandai dengan
pembentukan gel oleh amilopektin secara lebih lambat dan gel yang terbentuk
lebih lunak. Besarnya protein pembentuk gluten dalam tepung sangat
menentukan sifat adonan dan produk yang dihasilkan. Gelatinisasi terjadi
karena adanya penambahan sejumlah air dan pemanasan yang akan
mengakibatkan ikatan amilosa akan cenderung saling berdekatan karena
adanya ikatan hidrogen (Harris, 2001).
Waktu gelatinisasi adalah waktu terjadinya gelatinisasi sampai
gelatinisasi maksimal yang menunjukkan sifat tanak. Suhu terjadinya
gelatinisasi pada tepung tapioka, adalah pada 52 64 oC. Suhu gelatinisasi
tepung maizena adalah 62-80oC. sedangkan suhu gelatinisasi tepung komposit
(tapioca+maizena) adalah 75-80oC (Campos et al, 2010).
Tapioka adalah pati yang diekstrak dari ubi kayu segar. Tapioka
tersusun dari dua macam karbohidrat yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa

memberikan sifat keras (pera) sedangkan amilopektin menyebabkan sifat


lengket. Menurut Dhanapal (2012) bahwa dalam pembuatan biodegradable
film, tapioka digunakan untuk meningkatkan kehalusan permukaan,
menambah kecerahan, dan meningkatkan kemampuan daya cetak lembaran.
Bourtoom (2008) juga menambahkan bahwa pembuatan edible film dari pati
tapioka memiliki karakteristik yang cukup baik walaupun laju transmisi
terhadap uap air cukup tinggi.
Maizena merupakan tepung yang diperoleh dari jagung. Zein dalam
maizena mempunyai komposisi asam amino penyusun yang sebagian besar
berupa asam amino non polar seperti leusin, prolin, dan alanin, kandungan
inilah yang diharapkan mampu menurunkan laju transmisi uap air dari edible
film yang dihasilkan. Teori Krochta et al., (1994) berkata bahwa tepung
maizena dapat digunakan untuk membuat edible film yang kuat namun tetap
ulet atau elastis, serta mempunyai sifat penghambat yang bagus terhadap uap
air. Zein juga mempunyai sifat thermoplastik dan hidrofobisitas yang unik.
Bila zein dipanaskan dengan pati pada suhu lebih besar 60C campuran
tersebut akan menjadi suatu adonan dan mempunyai sifat viscolatil.
Tepung komposit yang terdiri dari tapioka dan maizena juga digunakan
dalam pembuatan biodegradable film. Menurut teori dari Warkoyo (2014)
yang menggunakan bahan berupa glukomanan, maizena serta karaginan,
penambahan komponen lain yang bersifat hidrofobik, seperti maizena dapat
meningkatkan presentase kelarutan film dan viskositas, sehingga film yang
dihasilkan dapat bersifat elastis.
Gliserol merupakan plasticizer yang bersifat hidrofobik, sehingga cocok
untuk bahan pembentuk film yang bersifat hidrofobik seperti pati. Peran
gliserol sebagai plasticizer dan konsentrasinya dapat meningkatkan
fleksibilitas film (Xian Du, 2011). Karena plasticizer mampu mengurangi
ikatan hidrogen internal yang dapat meningkatkan jarak antar molekul
sehingga dapat mengurangi kerapuhan film yang dihasilkan. Saat terjadi
gelatinisasi, granula pati pecah dan molekul-molekul amilosa dan amilopektin
terlarut ke dalam larutan. Molekul-molekul amilosa dan amilopektin saling

berhubungan sebagian besar melalui ikatan hidrogen. Menurut Liu dan Han
(2005), tanpa plasticizer amilosa dan amilopektin akan membentuk suatu film
dan suatu struktur dimana satu daerah kaya amilosa dan amilopektin.
Interaksi-interaksi

antara

molekul-molekul

amilosa

dan

amilopektin

mendukung formasi film, menjadikan film pati menjadi rapuh dan kaku.
Keberadaan dari plasticizer di dalam film pati bisa menyela pembentukan
double helices dari amilosa dengan cabang amilopektin, lalu mengurangi
interaksi antara molekul-molekul amilosa dan amilopektin, sehingga
meningkatkan fleksibilitas film pati.
Pada praktikum kali ini menggunakan formulasi tepung yang berbedabeda pada pembuatan edible film. Kelompok 6 menggunakan tepung 5 gram,
kelompok 7 menggunakan tepung maizena 5 gram, kelompok 8
menggunakan tepung tapioka 2,5 gram + tepung maizena 2,5 gram, kelompok
9 menggunakan tepung tapioka 3,75 gram +

maizena 1,25 gram, dan

kelompok 10 menggunakan formulasi tepung tapioka 1,25 gram + tepung


maizena 3,75 gram.
Dari parktikum, formulasi antara tepung tapioka dan tepung maizena
yang menghasilkan edible film paling baik yaitu komposit 50% tepung
tapioka dan 50% tepung maizena. Menurut Harris (2001) Komposit memiliki
karakteristik fisik yang lebih baik daripada formulasi tepung lainnya.
Komposit memiliki sifat daya tarik yang kuat, tebal, dan kelarutan dalam air
yang baik. Ketebalan film akan mempengaruhi laju migrasi uap air, gas dan
senyawa volatile dan sifat kelarutan film akan menentukan aplikasi film yang
dihasilkan, hal tersebut telah sesuai dengan teori Harris (2001) bahwa
komposit merupakan gabungan dari hidrokoloid dan lipida. Kelebihan edible
film yang dibuat dari hidrokoloid diantaranya memiliki kemampuan yang
lebih baik untuk melindungi produk terhadap oksigen, karbondioksida, dan
lipid serta memberikan sifat mekanis yang diinginkan meningkatkan kesatuan
structural produk akan tetapi kelemahannya adalah kurang bagus untuk
digunakan mengatur migrasi uap air.

Terdapat

beberapa

faktor

yang

dapat

mempengaruhi

kualitas

biodegradable film, antara lain suhu, konsentrasi polimer dan plasticizer.


Perlakuan suhu diperlukan untuk membentuk edible film yang utuh. Tanpa
adanya perlakuan panas kemungkinan terjadinya interaksi molekuler
sangatlah kecil, sehingga pada saat film dikeringkan akan menjadi retak dan
berubah menjadi potongan-potongan kecil. Perlakuan panas diperlukan untuk
membuat pati tergelatinisasi, sehingga terbentuk pasta pati yang merupakan
bentuk awal dari edible film. Kisaran suhu gelatinisasi pati rata-rata 64,5 oC
70oC (Mc Hugh dan Krochta, 1994).
Konsentrasi pati pun sangat berpengaruh, terutama pada sifat fisik serta
sifat pasta dari film yang dihasilkan. Menurut Krochta dan Johnson (1997),
semakin besar konsentrasi pati maka jumlah polimer penyusun matrik film
semakin banyak sehingga dihasilkan film yang tebal. Sedangkan plasticizer
yang mempunyai titik didih tinggi juga berperan sangat penting dalam
mengatasi sifat rapuh film yang disebabkan oleh kekuatan intermolekuler
ekstensif (Gotard et al., 1993). Menurut Krochta dan Jonhson (1997),
plasticizer polyol yang sering digunakan yakni seperti gliserol dan sorbitol.
Konsentrasi gliserol 1 - 2 % dapat memperbaiki karakteristik film.
Faktor faktor yang mempengaruhi pembuatan edible film dalam
praktikum adalah suhu dan jenis tepung yang digunakan. Tidak semua sampel
yang telah dibuat berhasil, ada juga yang gagal. Ini disebabkan karena suhu
yang kurang optimal sehingga edible film masih lengket pada Loyang dan
menyebabkan kerusakan ketika akan dikelupas.
E. Kesimpulan
Dari praktikum yang telah dilakukan, didapatkan beberapa kesimpulan

sebagai berikut :
1. Edible film merupakan lapisan tipis yang berfungsi sebagai pengemas
atau pelapis makanan yang sekaligus dapat dimakan bersama dengan
produk yang dikemas.

2. Pemanfaatan Edible Film dalam produk pangan adalah untuk pelapis dan
pembungkus berbagai makanan untuk memperpanjang umur simpan
produk, yang mungkin dimakan bersama-sama dengan makanan.
3. Gelatinisasi merupakan peristiwa pembentukan gel yang dimulai dengan
hidasi, yaitu proses penyerapan molekul-molekul air oleh molekul pati.
4. faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan Edible Film diantaranya
adalah jenis bahan, suhu dan Plasticizer.
5. Dari parktikum, formulasi antara tepung tapioka dan tepung maizena

yang menghasilkan edible film paling baik yaitu komposit 50% tepung
tapioka dan 50% tepung maizena. Sedang dengan karakteristik terendah
diperoleh Edible Film dengan bahan maizena.

DAFTAR PUSTAKA
Anita, Zulisma. 2013. Pengaruh Penambahan Gliserol Terhadap Sifat Mekanik
Film Plastik Biodegradasi Dari Pati Kulit Singkong. Jurnal Teknik Kimia
USU, Vol. 2, No. 2.
Bourtoom, T. 2008. Edible films and coatings: characteristics and properties
International Food Research Journal 15(3): ?-? (2008) Department of
Material Product Technology, Prince of Songkla University, Hat Yai,
Songkhla, 90112, Thailand.
Campos, Carmen A, La N. Gerschenson, Silvia K. Flores. 2010. Development Of
Edible Films And Coatings With Antimicrobial Activity. Food Bioprocess
Technol.
Dhanapal, Aruna. 2012. Edible films from Polysaccharides Food Science and
Quality Management www.iiste.org ISSN 2224-6088 (Paper) ISSN 22250557 (Online) Vol 3, 2012 Department of Food Processing and Preservation
Technology, Avinashilingam University for women,Faculty of
Engineering,Coimbatore.
Harris, helmi. 2001. Kemungkinan Penggunaan Edible film dari Pati Tapioka
untuk Pengemas Lempuk. Vol. 3. No. 2.
Murniyati., Th. Dwi S, Ijah Muljanah. 2013. Membuat Filet Lele & Produk
Olahannya. Penebar Swadaya. Jakarta.

Peranginangin, Rosmawaty., Ellya S, Muhamad D. 2013. Memproduksi


Karaginan dari Rumput Lain. Penebar Swadaya, Jakarta.
Rangkuti, Freddy. 2009. Strategi Promosi yang Kreatif & Analisis Kasus
Integrated Marketing Communication. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Sutarminingsih, Lilies Ch. 2005. Peluang Usaha Nata De Coco. Kanisius. Jakarta.
Warkoyo, Rahardjo, budi, dkk. 2014. Sifat Fisik, Mekanik Dan Barrier Edible
film Berbasis Pati Umbi Kimpul ( Xanthosoma Sagittifolium) Yang
Diinkorporasi Dengan Kalium Sorbat. Vol. 34. No. 1.
Xian Du, Wen., Roberto J. Avena-Bustillos, Sui Sheng T. Hua And Tara H.
Mchugh. 2011. Antimicrobial Volatile Essential Oils In Edible Films For
Food Safety. Formatex

You might also like