You are on page 1of 9

AVIAN INFLUENZA

Kamis, 3 Maret 2016

Disusunoleh:
PPDH gelombang I
kelompok A tahun 2015/2016

Dosen:

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

1. Avian Influenza / AI (Flu Burung)


Saat ini dunia

kembali

dikagetkan dengan merebaknya avian influenza H5N1 yang

pertama kali menyerang dan menewaskan 6 orang penduduk Hongkong pada tahun 1997 dari
18 orang yang terinfeksi. Virus H5N1 lebih patogen daripada subtype lainnya sehingga disebut
dengan Highly Pathogenic H5N1 Avian Influenza (HPAI). Dikenal beberapa subtype avian
influenza, namun demikian selama 6 tahun terakhir

hanya subtipe H5, H7 dan H9 yang

diketahui mampu menyebar dari unggas ke manusia. Virus influenza merupakan virus RNA
family Orthomyxoviridae yang terdiri dari 8 segmen pengkode sekitar11 protein dan mempunyai
spike/ simpai (kompleks protein dan karbohidrat). Virus ini mempunyai spikes (tonjolan) yang
digunakan untuk menempel pada reseptor spesifik pada sel-sel reseptor saat menginfeksi sel.
Terdapat 2 jenis spikes yaitu yang mengandung hemaglutinin dan (HA) dan neuromidase (NA) di
bagian terluar virion. Virus influeza mempunyai 4 jenis atigen yang terdiri dari (i) protein
nukleokapsid (NP), (ii) hemaglutinin (HA), (iii) neuromidase (NA), (iv) protein kapsid ( MP).
Berdasarkan antigen NP dan MP, virus influenza digolongkan dalam virus A, B, dan C). Virus A
sangat pathogen bagi manusia dan hewan serta mudah bermutasi baik berupa antigenic shift
maupn antigenic shift sehingga membentuk varian-varian baru yang lebih pathogen. Virus B
haya menyerang manusia,sedangkan virus C jarang ditemugan dan patogenitasnya rendah baik
pada manusia maupun hewan (Horimoto dan Kawaoka 2001).
2. Epidemilogi dan Patogenesa
Abdel et al. (2007) dalam salah satu penelitiannya mengungkapkan bahwa terdapat
peningkatan faktor resiko pada unggas petelur. Virus H5N1 di unggas menyebar lewat transmisi
faeco-oral. Kotoran, sekreta hidung dan mulut unggas terinfeksi merupakan agen penular flu
burung. Virus yang ada di kotoran akan menyebar mencemari air, peralatan kandang, dan udara
sekitar. Penularan dari hewan ke manusia tidak mudah karena antara hewan dan manusia
memiliki reseptor yang berbeda. Untuk menular ke manusia diperlukan prasyarat tertentu dalam
struktur genom virus flu burung, sehingga sesuai dengan reseptor yang dimiliki manusia. Virus

HPAI subtipe H5N1 mempunyai motif multiple basic asam amino (QRERRRKKR//G) pada
daerah cleavage site (Smith et al. 2006). Virus ini mempunyai suatu furin pada cleavage site
protein hemaglutinin dan biasanya penyakit yang ditimbulkannya bersifat akut dan sistemik.
Penularan virus bersifat

kontak melalui ekskresi feses, lendir, bangkai dan barang tercemar

(Webster et al. 1992). Tidak ada indikasi penularan AI secara vertikal, dari induk kepada
keturunannya. Virus bisa terkandung dalam telur dari ayam induk pembibit yang terinfeksi,
namun embrio akan mati sebelum menetas. Belum ada indikasi pula virus AI menular dari
manusia ke manusia, tetapi tetap harus waspada,karena bisa terjadi perubahan sifat virus secara
antigenic drift dalam tubuh babi sebagai mixing vessel, sehingga virus H5N1 bisa
menginfeksi manusia maupun burung. Kasus manusia terinfeksi AI cukup kecil, hanya terbatas
pada orang-orang yang bersinggungan langsung dengan unggas penderita. Kelompok rawan
terinfeksi, antara lain : pekerja di peternakan ayam atauunggas domestik lain, Rumah Potong
Ayam (RPA), pengangkut (sopir) distribusi ayam.Tidak ada bukti manusia tertular oleh virus AI
karena makan daging atau telur ayam yang telah dimasak, karena virus mati pada pemanasan
jauh di bawah suhu mendidih.
3. Gejala Klinis
Manifestasi subklinik bukan hanya dijumpai pada AI saja, agen patogen berikut ini semua
bisa menunjukkan manifestasi subklinik, bahkan dalam jumlah cukup tinggi dalam populasi
induk semangnya. Manifestasi subklinik AI adalah suatu keadaan

dimana

unggas

tampak

sehat tetapi di dalam tubuhnya dapat dijumpai virus HPAI H5N1. Manifestasi subklinik ini
merupakan bentuk interaksi respon biologik antara virus dan induk semang (host) dalam rangka
masing-masing

mempertahankan

eksistensinya

untuk

hidup

dan

berkembang

dalam

keseimbangan dan meneruskan keturunannya. Beberapa penyebab terjadinya manifestasi


subklinik AI antara lain:
1. Kondisi penyakit AI yang sudah endemik, dalam kondisi ini akan terjadi infeksi virus
HPAI subtipe H5N1 secara alamiah dan menimbulkan respon kebal dengan titer antibodi yang
tidak memadai.
2. Penggunaan bibit vaksin AI yang kurang tepat, yaitu homologi bibit vaksin dan virus
lapangan sangat rendah sehingga tidak terjadi netralisasi virus AI secara sempurna.

3. Aplikasi vaksin yang tidak tepat, misalnya unggas hanya divaksin 1x saja tanpa adanya
vaksinasi yang ke 2 (booster) sehingga terbentuk titer antibody yang tidak memadai.
4. Sifat virus AI yang selalu berubah (antigenic drift dan antigenic shift), sehingga tidak
dikenali secara sempurna oleh antibodi yang timbul akibat vaksinasi.
Gejala klinis yang bisa dikenali pada unggas penderita AI, antara lain jengger dan kulit yang
tidak berbulu berwarna biru (sianosis). Beberapa kasus mati mendadak, tanpa gejala klinis.
Terjadi abnormalitas pada sistim pernapasan, pencernaan dan syaraf serta reproduksi. Pada gejala
awal ditemukan adanya penurunan napsu makan, lemah, penurunan produksi telur, gangguan
pernapasan berupa batuk, bersin, menjulurkan leher, hiperlakrimasi (leleran mata berlebih), bulu
kusam. Terlihat pembengkakan (edema) pada muka dan kaki, terlihat kaki kemerahan, seperti
bekas kerokan. Gejala diare sering juga ditemukan. Gejala-gejala tersebut bisa muncul secara
sendiri atau gabungan (Beard 2003).
4. Diagnosa
Morbiditas dan mortalitas yang ditimbulkan penyakit ini sangat tinggi (75-92%), penyakit
berjalan akut (24-48 jam), dengan gejala klinis yang umum seperti gejala pernapasan, lemah dan
lesu, serta gejala klinik yang unik seperti jengger membiru dan perdarahan pada tungkai (kaki
seperti dikerok). Gejala patologi-anatomik yang ditampilkannya adalah perdarahan hebat di
berbagai organ dan jaringan tubuh (otot kerangka, jantung, ginjal, ovarium, omentum,
pankreas dan lemak visceral). Perubahan pada saluran pernapasan sangat sering menyertai
penyakit ini, yakni pharingitis dan laryngitis (Gambar 1).
Diagnosa penyakit HPAI pada saat itu lebih banyak dilakukan dengan melihat gejala klinis,
pola kesakitan (morbiditas), pola kematian (mortalitas) dan uji serologis (haemagglutination
inhibition test menggunakan serum ND dan agar gel immunodiffusion test). Pengujian
menggunakan reverse transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) dilakukan beberapa
bulan kemudian. Beberapa metode uji cepat (rapid test) dikembangkan untuk mendeteksi
antibodi spesifik H5N1 atau penyakit unggas lainnya menggunakan prinsip koaglutinasi tidak
langsung (Wibawan et al. 2009, Wibawan dan Sunartatie, 2009). Uji serologis dengan Blood
Rapid Test (uji darah cepat) terhadap virus AI, meskipun hasilnyatidak terlalu tepat dan deteksi

antigen melalui HI, IF, atau IFA, deteksi antibodi dengan ELISA yang bisa dilakukan antara hari
ke 7-10 post infeksi. Diagnosis banding penyakit AI antara lain adalah ND, infeksi
paramyxovirus yang lain, coryza, mikoplasmosis (CRD), fowl cholera yang akut.

Gambar 1 Terserang virus HPAI subtipe H5N1, jengger biru, perdarahan pada tungkai (kaki) dan perdarahan
pada berbagai

organ

tubuh (searah

jarum jam) (sumber: kasus lapangan 2003).

Temuan histopatolgi pada kasus avian influenza adalah hiperemia, hemoragi, infiltrasi
limfosit multifokal disertai nekrosis pada laring dan trachea, pada otak adanya kebengkakan
endotel buluh darah, edema, vaskulitis, terbentuk vakuola, nekrosis multifocal folikel limfoid,
hati, limpa, pankreas, jengger, pial, kulit ekstremitas disertai hiperemia dan hemoragi.

Gambar 2. Fokus nekrosa pada beberapa organ pancreas, seka tonsil, limpa, jantung searah jarum jam (Beard,
2003)

Bebek dapat digunakan sebagai indikator biologis untuk mengetahui tingkat kontaminasi
lingkungan oleh virus HPAI. Penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor (FKH IPB) bekerjasama dengan Departemen Pertanian Republik
Indonesia pada tahun 2006 dan penelitian dilakukan oleh Susanti et al. (2007) menegaskan hal

tersebut di atas. Hasil penelitian menunjukkan peran unggas air (bebek, entog dan angsa)
sebagai reservoir virus HPAI subtipe H5N1 yang ideal dan dapat digunakan sebagai indikator
biologis untuk mengetahui derajat kontaminasi lingkungan oleh virus HPAI hasil curahan virus
dari peternakan yang ada di wilayah tersebut.

Gambar 3. Keberadaan virus AI H5N1 isolat FKH/IPB/Duck/NG29 pada sel mukosa usus halus bebek yang
sehat 2 hari setelah infeksi buatan (pembesaran10x40) ( Wibawan et al., 2006b).

4. Pegendalian dan Pengobatan


Pada burung, pengobatan tidak efektif. Upaya pemberian antibiotik dan multivitamin bisa
dilakukan untuk meningkatkan daya tahan tubuh ayam. Penggunaan interferon amantadin pada
kasus influenza pada puyuh dan kalkun di Italia berhasil menurunkan angka kematian hingga 50
persen. Strategi pengendalian AI yang bisa dilakukan adalah:
1. Memberikan kriteria bibit vaksin AI yang tepat sehingga dapat dihasilkan titer antibodi
yang tinggi/ protektif.
2. Memberikan arahan dan pelatihan tentang pelaksanaan biosekuriti/ sanitasi/ desinfeksi
yang baik dan benar untuk mengurangi jumlah virus tantang di lapangan.
3. Mewajibkan kepada sektor industri perunggasan untuk melakukan pemantauan secara
berkala terhadap titer antibodi, untuk peringatan dan respon dini. Hal ini dapat dilakukan

dengan melibatkan partisipasi industri vaksin dan obat hewan sebagai bentuk pelayanan kepada
pelanggannya.
4. Melakukan pemeriksaan antibodi pada ayam sentinel (yang tidak divaksin, sebagai
indikator biologis) yang diletakkan di dalam farm untuk peringatan dan respon dini.
5. Pemerintah bekerjasama dengan industry perunggasan melakukan pemantauan
keberadaan virus AI pada populasi ayam di dalam farm dengan teknik RT PCR untuk peringatan
dan respon dini.
6. Pemerintah secara berkala melakukan pemantauan terhadap dinamika virus AI H5N1
yang bersirkulasi sebagai informasi yang berguna

untuk menetapkan kebijakan

berkaitan dengan vaksinasi AI.


Vaksinasi dilakukan untuk ayam petelur komersial dan ayam kampung menggunakan vaksin
inaktif (killed vaccine). Vaksin yang digunakan adalah vaksin yang tersedia secara komersial
yang terdiri dari vaksin heterolog H5N2 dan H5N9 dan vaksin homolog H5N1.Vaksinasi pada
penelitianayamkampung kurang efektif, maka pemerintah melarang vaksinasi AI pada ayam
kampung yang dipelihara secara umbaran dan lebih menekankan kepada tindakan biosekuriti
(Zaenuddin dan Wibawan 2006).

Daftar Pustaka

Abdel, Ghafar AN et al. 2007. Update on avian influenza A (H5N1) virus infection in
humans [Ulasan]. WWW N Engl J Med 358:261-73. http://www.nejm.org
[3Maret 2016].
Beard

CW. 2003.

Avian

Inflenza

(FowlPlaque)

.Southest

Poultry

Research

Laboratory.Athens GA. j
Horimoto T, Kawaoka Y. 2001. Pandhemic threat post by avian influenza A viruses. Cim
Microbiol Rev. 14: 129- 149.
Smith GJD, Naipospos TSP, Nguyen TD, De Jong MD, Vijayakrishna D, Usman TB, Hassan
SS, Nguyen TV, Dao TV, Bui NA, Leung YH, Cheung CL, Rainer JM, Zhang JX, Zhang
LJ, Poon LL, Li KS, Nguyen VC, Hien TT, Farra J. Webster RG, Chen H, Peiris JS
and Guan Y. 2006. Evolution and adaptation of H5N1 influenza virus in avian and
human hosts in Indonesia and Vietnam. Virology 350(2): 258 268.
Susanti R, Soejoedono RD, Mahardika

IGNK, Wibawan IWT and Suhartono MT. 2007.

Waterfowl potential as resevoirs of high pathogenic avian influenza H5N1 viruses. JITV
12(2): 160-166.
Webster RG, Bean WJ,Gorman OT, Chambers TM and Kawaoka Y. 1992. Evolution and
ecology of influenza A viruses. Microbiol. Rev. 56: 152 179.
Wibawan et al. 2006b. Kajian terhadap karakter virus avian influenza (AI) pada unggas air
sebagai dasar pengendalian AI. Kerjasama antara Departemen Pertanian dengan
Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
Wibawan IWT dan Sunartatie T. 2009. Pembuatan Rapid Test menggunakan koaglutinasi
tidak langsung untuk deteksi antibody flu burung. Prosiding Seminar Hasil-Hasil
Penelitian IPB.
Zainuddin D dan Wibawan, IWT. 2007. Biosekuriti dan manajemen penanganan penyakit
ayam lokal. In Diwyanto, K. & Prijono, S.N, eds. Keanekaragaman Sumberdaya
Hayati Ayam Lokal Indonesia: Manfaat dan Potensi,159-182. Pusat Penelitian Biologi,
LIPI Press, Jakarta.

You might also like