Professional Documents
Culture Documents
JUL 11
Posted by Inspirasi
Sudah hampir 10 tahun perjanjian itu ditandatangani. Akan tetapi, sampai implementasi
perjanjian yang mulai diberlakukan pada 1 Januari 2010, hampir tidak ada langkah konkrit dari
pemerintah untuk mempersiapkan kondisi dalam negeri agar dapat bersaing dengan negaranegara lain. Ini salah satunya tercermin dari ketidakmampuan pemerintah mendorong
peningkatan daya saing yang sebenarnya merupakan prasyarat utama untuk meraih manfaat
dari pemberlakuan ACFTA. Amburadulnya infrastruktur, bunga kredit yang relatif tinggi,
birokrasi yang kompleks, masih maraknya pungutan liar, dan peraturan yang tidak pro-bisnis
adalah beberapa bukti pemerintah tidak mampu menciptakan necessary condition untuk
mendorong peningkatan daya saing beragam sektor ekonomi. Alhasil, banyak kalangan bersuara
keras memaksa pemerintah meninjau kembali keterlibatan Indonesia didalam ACFTA.
Kebijakan untuk mengikutsertakan Indonesia dalam ACFTA bisa berpeluang positif dan negatif.
Peningkatan daya saing merupakan langkah konkrit yang harus dilakukan pemerintah saat ini.
Tanpa adanya peningkatan daya saing, kebijakan untuk melibatkan Indonesia dalam ACFTA
hanya merupakan blunder yang justru bisa berdampak negatif terhadap perekonomian
nasional.
ACFTA dan Pertanian
Mencermati pola dan struktur perdagangan Indonesia-China yang selama ini terjadi, sektor
pertanian tampaknya berpeluang mendapatkan manfaat dari pemberlakuan ACFTA. Ekspor
produk pertanian ke China terus mengalami peningkatan, sehingga kontribusi sektor pertanian
didalam total penerimaan ekspor meningkat dengan signifikan. Selain itu, neraca perdagangan
sektor pertanian Indonesia terhadap China menunjukkan posisi yang selalu surplus.
Namun demikian, penting untuk dicermati bahwa didalam sektor pertanian itu sendiri,
komoditas perkebunan mendominasi struktur ekspor sektor pertanian Indonesia. Neraca
perdagangan komoditas pangan dan hortikultura Indonesia dibandingkan China mengalami
defisit. Produk hortikultura, bawang putih, dan buah-buahan yang dikonsumsi masyarakat
Indonesia justru banyak yang harus diimpor dari China. Defisit pertanian tersebut tertutup
besarnya nilai ekspor komoditas perkebunan seperti kakao, CPO, karet, dan kopi. Makanya,
secara keseluruhan neraca perdagangan sektor pertanian masih surplus.
Neraca perdagangan produk perkebunan Indonesia-China pada tahun 2004 hanya surplus 763,63
juta dollar AS, dan naik hampir tiga kali lipat pada tahun 2008 menjadi 2,757 miliar dollar AS.
Komoditas perkebunan yang mendominasi ekspor Indonesia adalah minyak sawit, minyak inti
sawit, karet SIR 20, karet lembaran, minyak kopra, biji cokelat pecah dan setengah pecah,
karet polybutadiene styrene (SBR), margarin bukan kalengan, karet dengan campuran amonia,
karet dengan campuran silika, serta kopi dipanggang tidak mengandung kafein.
Akan tetapi, ekspor produk perkebunan tersebut juga masih terkategori sebagai komoditas
primer yang hanya memberikan manfaat sangat terbatas. Industri hulu-hilir kita terbengkalai,
tidak terbangun dan terintegrasi, sehingga kita kehilangan kesempatan untuk memperoleh nilai
tambah dari produk-produk yang kita hasilkan tersebut. Lebih parahnya lagi, jika kita berkaca
pada komoditi kelapa sawit dan Crude Palm Oil (CPO), ketergantungan pada pasar dan harga
internasional untuk ekspor menyebabkan banyak kerugian pada petani sawit dan produsen
CPO. Pada saat harga jatuh dimana petani serta produsen tidak memiliki kontrol sama sekali
untuk itu, kita harus rela merugi. Hal ini tentunya mengingatkan kita dengan apa yang terjadi
pada era kolonial, ketika Indonesia hanya menjadi daerah pengerukan bahan mentah, kondisi
yang terus dibiarkan hingga hari ini.
Sedikitnya ada tiga langkah besar untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk
pertanian Indonesia. Pertama, meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia dan kelembagaan
petani. Hal ini mutlak dilakukan karena petani sangat rentan terkena dampak dari
perdagangan bebas saat ini. Keterbukaan akses informasi, pengembangan inovasi dan IPTEK
serta perluasan jaringan pemasaran untuk petani pun masih sangat diperlukan.
Kedua, memperbaiki kerangka hukum dan kerangka kebijakan. Singkronisasi kebijakan ini
dilakukan agar kementerian yang ada tidak berjalan sendiri-sendiri. Perlu ada sinkronisasi
kebijakan pengembangan komoditas unggulan di bidang pertanian. Selain itu, juga perlu
menimbang kebijaksanaan dari negara lain. Hal ini dilakukan karena daya saing itu sendiri
tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan resultante dari kebijaksanaan di dalam negeri dan
kebijaksanaan dari negara-negara lain. Oleh karena itu, kita tidak dapat melihat persoalan
daya saing produk pertanian di dalam negeri tanpa memeriksa secara teliti kebijaksanaan
negara lain. Ketiga, perbaikan infrastruktur dan perbaikan rantai pasok (supply chain
management). Sebab, hingga kini belum ada rantai pasok yang stabil dan bisa menjamin
kepastian ketersediaan barang. Dengan demikian produk-produk pertanian Indonesia
diharapkan mampu bersaing dengan produk-produk dari negara lain. Semoga!