You are on page 1of 30

LAPORAN PRAKTIKUM

TEKNOLOGI PENGAWETAN PANGAN

Disusun Oleh:
KELOMPOK 18
Desi Dwi Rahayu

NIM H0912035

Diah Nur Anggita

NIM H0912038

Katut Kompi Y.

NIM H0912071

Mona Trahsuhita K.

NIM H0912077

Praditya Agustin W.

NIM N0912099

Rosyid Khoirul A.

NIM H0912115

Shafa Farrasanti

NIM H0912122

ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2014

ACARA IV
PENGALENGAN WORTEL DAN NANAS

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Buah dan sayur termasuk produk hortikultura yang sangat
dibutuhkan oleh manusia untuk pemenuhan gizi yang seimbang. Buahbuahan dan sayuran yang telah dipanen umumnya akan mengalami proses
kerusakan yang cukup cepat yang disebabkan oleh beberapa faktor, mulai
dari reaksi kimia yang terjadi, reaksi pencoklatan enzimatis, hingga proses
pembusukan. Untuk mencegah kerusakan yang terjadi pada buah, maka
dilakukan usaha untuk menjaga keawetan buah dan sayur.
Pengalengan sudah mulai digunakan sejak tahun 1800-an di
Perancis,

termasuk

dengan

cara

pengalengan

atau

pembotolan.

Pembotolan merupakan metode pengawetan dengan prinsip pengawetan


menggunakan proses thermal, kemasan hermitis (kedap air, udara, dan
mikrobia), dan perlakuan lain yang bersifat mengawetkan. Dalam proses
pembotolan, makanan diisikan ke dalam kaleng atau botol kemudian
ditutup rapat dan dipanaskan pada suhu dan selama waktu tertentu.
Dengan cara ini semua jasad renik yang semula terdapat pada bahan baku
dihancurkan, enzim-enzim dihentikan atau dicegah kegiatannya dan
penularan kembali oleh jasad renik dari luar dihindari.
Nanas adalah komoditas hortikultura yang sangat potensial dan
penting di dunia. Di Indonesia, nanas merupakan produk hortikultura
urutan ke tiga yang paling banyak diproduksi. Pada tahun 2011
produksinya mencapai 1.540.626 ton dan pada tahun 2012 meningkat
menjadi 1.781.899 ton (BPS, 2014). Selain nanas, wortel juga merupakan
produk hortikultura yang produksinya relatif tinggi. Berdasarkan data
BPS (2014), pada tahun 2012 produksinya mencapai 465.534 ton dan
meningkat menjadi 512.112 pada tahun 2013. Untuk menghambat proses
kerusakan pada buah-buahan dan sayuran khususnya buah nanas dan
wortel maka perlu dilakukan usaha pengawetan seperti proses

pengalengan. Bahan yang dikemas dalam kaleng akan terhambat proses


kerusakannya serta dapat membuat umur simpan buah dan sayur menjadi
lebih lama.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah yang dapat
diambil yaitu:
a. Bagaimana pengaruh perbedaan metode pengisian (rawpacking dan
hotpacking) terhadap kualitas fisik dan mikrobiologi wortel dan
nanas?
b. Bagaimana pengaruh perbedaan lama sterilisasi terhadap kualitas fisik
dan mikrobiologi wortel dan nanas?
c. Bagaimana pengaruh perbedaan lama penyimpanan terhadap kualitas
fisik dan mikrobiologi wortel dan nanas?
d. Bagaimana pengaruh metode pengisian dan lama sterilisasi yang tepat
untuk pengalengan wortel dan nanas?
3. Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah:
a. Mengetahui pengaruh perbedaan metode pengisisan (rawpacking dan
hotpacking) terhadap kualitas fisik dan mikrobiologi wortel dan
nanas.
b. Mengetahu pengaruh perbedaan lama sterilisasi terhadap kualitas
fisik dan mikrobiologi wortel dan nanas.
c. Mengetahui pengaruh perbedaan lama penyimpanan terhadap kualitas
fisik dan mikrobiologi wortel dan nanas.
d. Mengetahui pengaruh metode pengisian dan lama sterilisasi yang
tepat untuk pengalengan wortel dan nanas.
B. TINJAUAN PUSTAKA
Penanganan yang kurang baik menyebabkan produk hortikultura
terutama sayuran dan buah-buahan banyak kehilangan nilai ekonominya.
Perlakuan yang cermat pada komoditi segar akan menambah shelf life-time
(masa kesegaran) komoditi tersebut. Wortel termasuk kedalam jenis sayuran
akar. Berbeda dengan kubis dan bawang daun, wortel lebih mudah dalam
penanganan (Koswara, 2009).

Pengalengan merupakan metode dasar bagi sterilisasi bahan


makanan yang telah dipakai selama kurang lebih 170 tahun. Pada tahun 1810,
seorang Perancis bernama Nicholas Appert telah menguraikan mengenai
risetnya yang berhasil dalam pengawetan pangan dan dalam tahun yang sama,
Peter Durand juga menguraikan pemanfaatan wadah dari timah (kaleng)
untuk pengawetan pangan (Irianto, 2002).
Pengalengan merupakan metode utama pengawetan yang mana
makanan diawetkan dengan perlakuan panas. Pengawetan dikembangkan dari
metode pembotolan, dan secara umum, kedua proses tersebut adalah sama
atau tidak jauh berbeda. Prinsipnya sangat sederhana yakni makanan ditutup
rapat dalam sebuah kaleng yang kemudian dipanaskan hingga suhu tertentu
yang akan memusnahkan mikroorganisme dan spora yang berbahaya yang
mampu tumbuh selama penyimpanan dalam kaleng pada suhu normal.
Karena tidak ada mikroorganisme yang mendapatkan akses ke makanan
ketika kaleng dalam keadaan tertutup rapat, maka kerusakan diharapkan tidak
akan terjadi (Lean, 2006).
Pengalengan adalah suatu cara pengawetan makanan di dalam suatu
wadah yang tertutup rapat yang dipanaskan dengan menggunakan uap panas
sebagai usaha mencegah kebusukkan. Pengalengan pada umumnya dilakukan
di dalam kaleng yang terbuat dari lembaran baja berlapis timah (Sn) atau
dilakukan di dalam gelas. Kerusakan produk pangan yang dikalengkan dapat
dibagi menjadi 2 tipe yaitu microbial spoilage (true spoilage) yang
disebabkan oleh kontaminasi mikrobia dan non microbial spoilage (apparent
spoilage) yaitu kerusakan non mikrobial. Resiko paling fatal dari kontaminasi
suatu produk pangan adalah keracunan botulisme yang disebabkan oleh
adanya pertumbuhan kuman Clostridium botulinumi (Winarno, 2004).
Penerapan teknologi dalam pengembangan pangan tradisional akan
dapat meningkatkan mutu dan keamanan produk. Aplikasi pengalengan yang
dilakukan pada suhu tinggi yaitu lebih dari 1000C. Proses termal yang
diterapkan pada produk sayuran sebaiknya menjaga mutu gizi dan sensori
produk berdasarkan desain proses yang optimum dan tingkat keamanan yang
cukup (Vaclavik dan Christian, 2003 dalam Khusnayaini, 2011).

Pengertian

pengalengan

bukan

hanya

terbatas

pada

proses

pengalengan konvensional menggunakan kemasan kaleng, tetapi dapat juga


menggunakan kemasan non-kaleng, seperti retort pouch, tetrapack, kaleng
alumunium, glass jar, kemasan plastik, dan sebagainya. Syarat utama wadah
yang dapat digunakan untuk pengalengan pangan adalah tertutup rapat, tidak
dapat dimasuki udara, uap air, atau pun mikroba (Hariyadi et al, 2006 dalam
Khusnayaini, 2011). Ada dua metode pengisian bahan ke pengalengan wadah,
yaitu raw packing dan hot packing. Untuk raw packing, bahan dimasukkan ke
wadah yang sudah dipanaskan. Buah-buahan dan sayuran yang paling harus
dikemas rapat karena mereka akan menyusut selama pemanasan. Untuk hot
packing, bahan dimasak sampai mendidih sebelum dikemas dalam wadah.
Hal ini harus dikemas dengan tidak terlalu rapat (Kennedy, 1982).
Sedangkan raw packing adalah menambahkan bahan makanan
mentah langsung ke dalam gelas, kemudian menuangkan air mendidih di atas
produk. Bahan makanan mentah yang dikalengkan kemudian ditutup secara
rapat karena terjadi penyusutan setelah produk mendingin. Selain perbedaan
dalam pengisian bahan, metode tersebut juga berbeda dalam suhu pemanasan
awal air. Untuk hot packing air dipanaskan hingga mencapai suhu 140F dan
untuk raw packing air dipanaskan hingga mencapai suhu 180F
(Landry, 2012).
Secara umum tahapan proses pengalengan adalah persiapan bahan,
pengisian ke dalam kaleng, pengisian medium, exhausting, penutupan kaleng,
sterilisasi, pendinginan, dan penyimpanan. Persiapan dilakukan dengan
memilih bahan-bahan yang akan dikalengkan, mencuci, memotong, dan
melakukan pengolahan selanjutnya terhadap bahan. Khusnayaini (2011)
menyatakan mengatakan bahwa pencucian bertujuan memisahkan bahan dari
material asing yang tidak diinginkan, seperti kotoran, minyak, tanah, dan
sebagainya, serta diharapkan dapat mengurangi jumlah mikroba awal yang
sangat berguna dalam efektivitas proses sterilisasi.
Pengisian bahan pangan ke dalam wadah harus memperhatikan
ruangan pada bagian dalam atas kaleng (headspace). Headspace adalah ruang
kosong antara permukaan produk dengan tutup yang berfungsi sebagai ruang

cadangan untuk pengembangan produk selama disterilisasi, agar tidak


menekan wadah karena akan menyebabkan kaleng menjadi menggelembung.
Besarnya headspace bervariasi tergantung jenis produk dan jenis wadah.
Umumnya untuk produk cair dalam kaleng, tingginya headspace adalah
sekitar 0.25 inci, sedangkan bila wadah yang digunakan adalah gelas jar,
direkomendasikan headspace yang lebih besar. Bila dalam pengalengan
tersebut ditambahkan medium pengalengan, tinggi headspace tidak boleh
kurang dari 0.25 inci, tetapi bila produk dikalengkan tanpa penambahan
medium, diperkenankan produk diisikan sampai hampir penuh dengan
meninggalkan sedikit ruang headspace. Penghampaan udara (exhausting)
adalah proses pengeluaran sebagian besar oksigen dan gas-gas lain dari dalam
wadah agar tidak bereaksi dengan produk sehingga dapat mempengaruhi
mutu, nilai gizi, dan umur simpan produk kalengan. Exhausting juga
dilakukan untuk memberikan ruang bagi pengembangan produk selama
proses sterilisasi sehingga kerusakan wadah akibat tekanan dapat dihindari
dan untuk meningkatkan suhu produk di dalam wadah sampai mencapai suhu
awal (initial temperature) (Muchtadi, 1994 dalam Utama, 2012).
Blanching adalah perlakuan panas pada bahan dengan cara merendam
bahan dalam air panas atau memberikan uap panas. Blanching bertujuan untuk
menonaktifkan enzim terutama katalase dan peroksidase, melembekkan bahan,
dan menghilangkan gas-gas yang ada dalam sel serta jaringan sehingga
kualitas akhir bahan meningkat. Blanching juga menyebabkan bahan menjadi
bersih, mengurangi populasi bakteri, serta mempertajam aroma dan warna.
Biasanya aroma bahan yang tidak disukai dapat dihilangkan dan warna asli
bahan dan sayuran yang berwarna hijau dan kuning akan tampak lebih tajam
(Astuti, 2006).
Buah dapat dikalengkan dengan metode boiling water bath karena
mengandung kadar asam yang cukup tinggi untuk mencegah pertumbuhan
spora Clostridium botulinum dan produksi toksin botulisme. Selain itu, ketika
buah dikalengkan, maka proses pemanasan pada kaleng akan cukup lama dan
dilakukan pada suhu yang cukup tinggi untuk mencegah pembusukan yang
disebabkan oleh mikroorganisme. Water bath canner dapat berupa wadah

logam besar dengan tutup dipasang cukup dalam untuk menyesuaikan rak di
bagian bawah. Pada metode rawpacking, buah dimasukkan ke dalam jar
kemudian disiram dengan sirup panas, jus, atau air. Ditutup dengan rapat
karena buah segar dapat menyusut selama pemrosesan. Buah segar dengan
perlakuan raw packing akan terlihat mengambang. Sedangkan hot packing,
buah segar dimasukkan ke dalam air mendidih kemudian ditempatkan dalam
jar (Kendle, 2008).
Proses blanching merupakan perlakuan pendahuluan untuk beberapa
jenis sayuran dan buah-buahan dengan tujuan mendapatkan mutu produk yang
dikeringkan, dikalengkan, dan dibekukan dengan kualitas baik. Proses
blanching termasuk dalam proses thermal dan umumnya membutuhkan suhu
berkisar 75-95C selama 1-10 menit. Ada empat dasar metode blanching yaitu
blanching dengan air panas, blanching dengan uap air, blanching dengan
udara, dan blanching dengan gelombang mikro atau konduksi elektrik. Pada
dasarnya, proses blanching bertujuan untuk menginaktifkan enzim-enzim
yang menyebabkan perubahan kualitas bahan pangan. Fungsi blanching yang
lain adalah mengurangi gas antar sel. Pengurangan kadar oksigen antar sel
penting dilakukan untuk mengurangi perubahan oksidatif dan mendapatkan
kondisi headspace yang vakum pada proses pengalengan (Estiasih, 2009).
Berbagai bahan tambahan pangan telah digunakan untuk memperbaiki
warna dan tekstur makanan kaleng. Gula seperti sukrosa pada konsentrasi
tinggi mencegah perkembangan mikroorganisme dengan mengurangi
aktivitas air. Pada konsentrasi rendah, seperti yang digunakan dalam makanan
kaleng

dapat

meningkatkan

warna,

memberikan

ketegasan

dan

mempromosikan rasa asam yang ringan. Dalam makanan kaleng, pH harus


dikontrol. Jika tingkat keasaman lebih besar daripada 4,5, makanan kaleng
harus disterilkan, dan jika tingkat pH kurang dari 4,5 maka harus
dipasteurisasi (Czaikoski et al., 2013).
Proses termal merupakan salah satu teknik pengawetan makanan utama
yang bermaksud untuk menjamin kualitas akhir produk terhadap kesehatan
konsumen. Sterilisasi termal makanan kaleng menggunakan peralatan retort
telah menjadi salah satu teknik pengawetan yang paling dimanfaatkan untuk

200 tahun terakhir. Proses ini adalah metode yang penting dari pengawetan
makanan dalam pembuatan makanan kaleng dan telah menjadi landasan
industri makanan olahan selama lebih dari satu abad. Namun, pengolahan
yang berlebihan harus dihindari karena proses termal juga memiliki efek yang
merugikan pada kualitas (faktor gizi dan sensorik) dari makanan. Dalam
makanan berasam tinggi resistensi panas pada Lactobacilli, ragi, dan jamur
lebih rendah dibandingkan enzim yang tahan panas seperti peroksidase,
pektin, esterase, dan polifenol oksidase dalam makanan yang menyebabkan
perubahan

yang

tidak

diinginkan

kecuali

dinonaktifkan

(El-Samahy et al., 2008). Pengolahan termal sering dikaitkan dengan


pengalengan, perlakuan blanching sebelum pembekuan sangat merusak
nutrisi yang sensitif terhadap panas seperti asam askorbat (vitamin C) dan
thiamin. Ketika digunakan sebelum pengalengan, blanching berfungsi untuk
mengusir udara di jaringan dan meningkatkan konduktivitas termal dan
pengepakan ke dalam wadah. Tujuan utama dari blanching adalah untuk
menonaktifkan enzim alami yang masih mungkin aktif dalam produk.
Blanching merupakan langkah pengawetan penting dalam proses pengalengan
dan pembekuan berbagai sayuran (Rickman, 2007).
Panas yang dibutuhkan dalam proses pengalengan buah-buahan yang
termasuk klasifikasi asam yaitu 2120F. Dengan suhu ini bakteri thermofil dari
kelompok Streptococus sp., Lactobacillus sp. dan Clostridium sp. akan
terhambat pertumbuhannya. Proses pengalengan buah ialah pengupasan kulit,
pembelahan daging buah, blanching, penambahan air gula, filling, exhausting,
seaming, pemanasan, pendinginan dan karantina (Kurniadi, 2005).
Bahan yang dikalengkan memiliki nilai pH yang lebih rendah setelah
penyimpanan. Pengolahan panas selama pengalengan mungkin telah memberi
kontribusi pada penurunan nilai pH. Selama pengolahan buah, terjadi
perubahan senyawa yang mungkin terjadi. Menurunnya pH mungkin telah
disebabkan oleh perubahan kimia karena degradasi termal, reaksi Maillard
atau oksidasi disebabkan oleh pemanasan (Hafizah et al., 2012).

Jar yang digunakan dalam praktikum kali ini dibuat dari bahan gelas
atau kaca. Kemasan ini didefinisikan sebagai suatu larutan silikat yang cocok
dibentuk dengan pemanasan dan fusi, dengan pendinginan untuk mencegah
terjadinya kristalisasi (Desrosier, 2008).
Kerusakan produk dalam kaleng memang sukar terlihat, tetapi dapat
terdeteksi dengan adanya kerusakan pada badan kaleng itu sendiri.
Penyimpangan pada kaleng misalnya adalah berkarat. Kaleng yang berkarat
dapat menandakan waktu penyimpanan yang lama, selain itu kondisi
penyimpanannya juga mungkin tidak sesuai, misalnya udara yang terlalu
lembab. Kaleng yang berkarat pada bagian luarnya mungkin juga telah
berkarat bagian dalamnya. Reaksinya secara umum menghasilkan perubahan
warna pada bahan pangan. Kaleng yang gembung menandakan adanya
potensi bahaya mikrobiologis (Astawan, 2012).
Selain terjadi proses penurunan keasaman atau pH, bahan yang
dikalengkan dengan cara raw packing terbentuk mikrobia-mikrobia
pembusuk yang ditandai dengan bau yang tidak sedap. Pada makanan hasil
pengalengan, terutama bahan makanan yang bersifat asam rendah, mikrobia
yang sering muncul adalah Clostridium botulinum yang merupakan mikrobia
mesofil anaerob pembentuk spora. Sedangkan untuk bahan makanan
berbentuk sayuran, seperti wortel, mikrobia yang sering muncul selain C.
botulinum, Penicillium, Rhizopus, Lactobacilli, Bacilli, Achromobacter,
Pseudomonas dan Flavobacterium (Desrosier, 2008).
Buah-buahan dan sayur-sayuran biasanya rentan terhadap infeksi oleh
bakteri, cendawan, dan virus. Beberapa mikroorganisme menyerang ke dalam
jaringan tanaman sehingga terjadi pada berbagai stadia perkembangan buah
dan sayuran tersebut, dan bergantung kepada luasnya jaringan yang terserang,
maka kemungkinan terjadinya kerusakan akan bertambah. Faktor kedua yang
memungkinkan terjadinya pencemaran oleh mikroba ialah penanganannya
setelah panen (Irianto, 2002).

Pengalengan buah-buahan biasanya menggunakan tambahan gula atau


sirup gula dalam prosesnya. Tujuan penambahan sirup gula adalah untuk
mempertahankan bentuk, warna dan perisa dari buah yang dikalengkan.
Penggunaan pemanis dalam pengalengan buah ini ada berbagai macam,
antara lain sirup gula, gula jagung, perisa madu. Gula merah, tetes tebu, atau
bahan pemanis yang memiliki flavor kuat tidak direkomendasikan untuk
digunakan karena dapat mempengaruhi perisa dari buah kaleng, selain itu
bahan-bahan ini mungkin menyebabkan perubahan warna menjadi gelap pada
produk (USDA, 1994).
C. METODOLOGI
1. Tempat dan Waktu Praktikum
Praktikum ini dilakukan di Laboratorium Rekayasa Proses
Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian, Program Studi Ilmu dan
Teknologi Pangan, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret,
Surakarta yang dilaksanakan pada tanggal 18 sampai 25 November 2014.
2. Bahan dan Alat
a. Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum adalah:
1. Air
2. Garam dapur
3. Gula pasir
4. Nanas
5. Wortel
b. Alat-alat yang digunakan dalam praktikum adalah:
1. Jar
2. Kompor
3. Panci
4. Penjepit kayu
5. pH meter
6. Pisau
7. Sendok
8. Termometer
9. Water bath
10. Stopwatch
11. Talenan
12. Baskom
3. Cara Kerja
a. Preparasi Jar

Jar

Pencucian dengan sabun sampai bersih

Pemasukan jar dan tutup ke dalam plastik lalu diikat

sterilisasi dengan boiling water canner

b. Persiapan wortel dan nanas, blanching, pengisian, exhausting dan


penutupan
Nanas atau wortel
Pengupasan
Pencucian
Pemotongan
Potongan buah dan sayur

Raw Packing

Hot Packing

Pengisian ke dalam jar

Perebusan di lar. gula 10%/ lar.


garam 3% selama 3 menit

Penuangan lar. gula/garam


setelah dipanaskan hingga 3/4
inchi di bawah permukaan jar
atau 90% dari volume jar

Penuangan larutan gula/lart


nanas beserta bahan hingga
3/4 inchi di bawah
permukaan jar atau 90%
dari volume gelas

Exhausting pada water bath T=800C, 30 menit

Penutupan

c. Sterilisasi dengan boiling water canner dan pendinginan

Pengisian air sampai 1/2 volume panci

Panci
Pemanasan awal sampai suhu air 82C untuk hot
packing dan 62C untuk raw packing
Gelas berisi sayur dan buah

Pemasukan ke dalam panci


Air mendidih

Penambahan sampai ketinggian 1 inchi di atas


permukaan gelas
Penyalaan api pada api paling besar

Pengecilan api untuk mendidihkan air dan isinya

Pematian api setelah 15 dan 30 menit

Pendinginan pada suhu ruang

Pengamatan pada hari ke-0, ke-3 dan ke-6 (ph,


kekeruhan, warna, tekstur, dan mikrobia yang tumbuh

4. Rancangan percobaan
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dengan menggunakan tiga faktor yaitu, metode blanching dan filling,

variasi lamanya sterilisasi dan variasi lamanya penyimpanan. Metode


blanching dan filling yang digunakan ada dua metode yaitu raw packing
dan hot packing, sedangkan variasi lamanya sterilisasi yaitu 15 menit dan
30 menit. Proses sterilisasi menggunakan boiling water canner. Tiap
sampel pada dua metode tersebut diamati selama enam hari yaitu pada
hari ke 0, 3 dan 6. Parameter yang diuji antara lain kekeruhan, pH, warna,
tekstur dan mikroba yang tumbuh.
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengalengan adalah cara pengawetan bahan pangan dalam wadah
yang tertutup rapat (hermetis) dan disterilisasi dengan panas (Utami, 2012).
Lean (2006) melaporkan bahwa pengalengan, yang merupakan metode utama
yang didalamnya makanan diawetkan dengan perlakuan panas, dikembangkan
dari proses pembotolan, dan esensinya, kedua proses tersebut adalah sama.
Prinsipnya sangat sederhana yakni makanan dimasukkan dan ditutup rapat
dalam sebuah kaleng kemudian dipanaskan hingga suhu tertentu yang akan
memusnahkan mikroorganisme dan spora yang berbahaya yang mampu
tumbuh selama penyimpanan dalam kaleng pada suhu normal. Karena tidak
ada mikroorganisme yang mendapatkan akses ke makanan ketika kaleng
dalam keadaan tertutup rapat, maka kerusakan tidak akan terjadi.
Pengertian

pengalengan

bukan

hanya

terbatas

pada

proses

pengalengan konvensional menggunakan kemasan kaleng, tetapi dapat juga


menggunakan kemasan non-kaleng, seperti retort pouch, tetrapack, kaleng
alumunium, glass jar, kemasan plastik, dan sebagainya. Syarat utama wadah
yang dapat digunakan untuk pengalengan pangan adalah tertutup rapat, tidak
dapat dimasuki udara, uap air, atau pun mikroba (Hariyadi et al, 2006 dalam
Khusnayaini, 2011). Jar yang digunakan dalam praktikum kali ini dibuat dari
bahan gelas atau kaca. Kemasan ini didefinisikan sebagai suatu larutan silikat
yang cocok dibentuk dengan pemanasan dan fusi, dengan pendinginan untuk
mencegah terjadinya kristalisasi (Desrosier, 2008).
Kemudian menurut Irianto (2002) buah-buahan dan sayur-sayuran
biasanya rentan terhadap infeksi oleh bakteri, cendawan, dan virus. Beberapa

mikroorganisme yang menyerang ke dalam jaringan tanaman dapat terjadi


pada berbagai stadia perkembangan buah dan sayuran tersebut, dan
bergantung kepada luasnya jaringan yang terserang, maka kemungkinan
terjadinya kerusakan akan bertambah. Faktor kedua yang memungkinkan
terjadinya pencemaran oleh mikroba ialah penanganannya setelah panen.
Berdasarkan praktikum, tahapan yang harus dilakukan pertama kali
ialah persiapan bahan yakni wortel dan nanas, yang mana wortel dan nanas
dipilih yang baik, kemudian dicuci bersih. Hal ini dimaksudkan agar
didapatkan bahan yang tidak rusak dan masih fresh. Kemudian wortel dan
nanas dikupas dan dilakukan pengecilan ukuran berbentuk dadu kecil agar
dapat dimasukkan ke dalam jar. Ada 2 perlakuan metode blanching dan filling
untuk proses pengalengan, yakni hot packing dan raw packing. Untuk raw
packing, setelah dilakukan pengecilan ukuran, maka nanas dan wortel
langsung dimasukkan ke dalam jar kemudian dituangkan larutan garam 3%
atau larutan gula 10% hingga ketinggian inci di bawah permukaan botol
atau ketinggian 90% dari volume gelas, kemudian jar ditutup secepat
mungkin agar bebas kontaminan.
Sementara itu, untuk perlakuan hot packing, setelah dilakukan
pengecilan ukuran, maka nanas dan wortel direbus dahulu dalam larutan
selama 3-5 menit, selanjutnya nanas dan wortel beserta larutan garam 3% atau
larutan gula 10% dituang ke dalam jar hingga ketinggian inci di bawah
permukaan botol atau ketinggian 90% dari volume gelas. Setelah itu
dilakukan exhausting pada water bath pada suhu 800C selama 30 menit
kemudian

jar ditutup secepat mungkin. Setelah jar ditutup, langkah

selanjutnya yaitu dilakukan sterilisasi yang sebelumnya dilakukan pemanasan


awal pada suhu 820C untuk hot packing dan 620C untuk raw packing. setelah
itu, jar yang berisi wortel/nanas dimasukkan ke dalam panci lalu ditambahkan
air mendidih hingga ketinggian 1 inchi di atas permukaan jar. Api dinyalakan
pada posisi yang paling besar dan setelah mendidih api dikecilkan dan
dimatikan setelah 15 atau 30 menit. Setelah itu jar didinginkan pada suhu
ruang.

Sedangkan menurut Khusnayaini (2011), secara umum tahapan proses


pengalengan adalah persiapan bahan, pengisian ke dalam kaleng, pengisian
medium, exhausting, penutupan kaleng, sterilisasi, pendinginan, dan
penyimpanan. Persiapan dilakukan dengan memilih bahan-bahan yang akan
dikalengkan, mencuci, memotong, dan melakukan pengolahan selanjutnya
terhadap bahan. Pencucian bertujuan memisahkan bahan dari material asing
yang tidak diinginkan, seperti kotoran, minyak, tanah, dan sebagainya, serta
diharapkan dapat mengurangi jumlah mikroba awal yang sangat berguna
dalam efektivitas proses sterilisasi.
Pengalengan buah-buahan biasanya menggunakan tambahan gula atau
sirup gula dalam prosesnya. Tujuan penambahan sirup gula adalah untuk
mempertahankan bentuk, warna dan perisa dari buah yang dikalengkan.
Penggunaan pemanis dalam pengalengan buah ini ada berbagai macam, antara
lain sirup gula, gula jagung, perisa madu. Gula merah, tetes tebu, atau bahan
pemanis yang memiliki flavor kuat tidak direkomendasikan untuk digunakan
karena dapat mempengaruhi perisa dari buah kaleng, selain itu bahan-bahan
ini mungkin menyebabkan perubahan warna menjadi gelap pada produk
(USDA, 1994).

Tabel 4.1 Pengaruh Pengalengan Wortel dengan Metode Raw Packing dan
Hot Packing terhadap Kekeruhan, pH, Warna, Tekstur dan
Mikrobia yang Tumbuh
Ke
l
1

Har
i
ke0

Sampe
l

Perlakuan

Kekeruha
n

pH

Warna

Tekstu
r

Wortel

Rawpackin
g 15 menit

5,5
2

Jingga
benin
g

++

Mikrobi
a yang
tumbuh
-

Rawpackin
g 30 menit

5,4
7

Hotpacking
15 menit

5,5
1

10

Hotpacking
30 menit

5,4
6

Rawpackin
g 15 menit
Rawpackin
g 30 menit
Hotpacking
15 menit
Hotpacking
30 menit
Rawpackin
g 15 menit
Rawpackin
g 30 menit
Hotpacking
15 menit
Hotpacking
30 menit

+++

5,6
9
5,4
2
5,5
0
5,7
7
4,8
3
4,2
2
5,1
3
5,1
2

5
8
11
3
6
9
12

+++
+++
+++
+++
+++
+++
+++

Jingga
benin
g
Jingga
benin
g
Jingga
benin
g
Jingga
keruh
Jingga
keruh
Jingga
keruh
Jingga
keruh
Jingga
keruh
Jingga
keruh
Jingga
keruh
Jingga
keruh

++

++

++

+++

+++

+++

+++

++

++

++

+++

++++

++

Sumber: Laporan sementara


Sumber: Laporan sementara
Keterangan:
Tingkat Kekeruhan
+
: tidak keruh
++
: sedikit keruh
+++
: keruh
+++
: sangat keruh
Keterangan mikroba yang tumbuh
- : tidak ada mikroba
+ : sedikit mikroba
++ : banyak mikroba

Keterangan tekstur
+
: keras
++
: sedikit keras
+++
: lembek
++++ : sangat lembek

Diketahui pada sampel wortel pada Tabel 4.1 pada hari ke-6 untuk
raw packing 15 menit, diketahui bahwa tingkat kekeruhannya berada pada
level keruh, pH sebesar 4,83 dan berwarna jingga keruh, dimana teksturnya

sedikit keras namun tidak terdapat mikrobia. Kemudian untuk raw packing 30
menit tingkat kekeruhannya berada pada level keruh, nilai pH 4,22 kemudian
warnanya juga jingga keruh lalu teksturnya sedikit keras dan terdapat banyak
mikrobia. Sedangkan pada sampel wortel pada hari ke-6 untuk hot packing 15
menit, diketahui bahwa kekeruhannya juga berada pada level keruh, pH
sebesar 5,13, berwarna jingga keruh, dan teksturnya lembek dan tidak terdapat
mikrobia. Kemudian untuk hot packing 30 menit cukup keruh tingkat
kekeruhannya, pH 5,12 kemudian warnanya juga jingga keruh, teksturnya
sangat lembek dan terdapat sedikit mikrobia.
Warna pada wortel yang dikalengkan baik dengan perlakuan raw
packing maupun hot packing, warnanya berubah menjadi lebih gelap yaitu
dari jingga bening menjadi jingga keruh setelah 6 hari penyimpanan. Hal ini
dikarenakan adanya perubahan pigmen warna pada sampel wortel seperti yang
disampaikan Estiasih dan Ahmadi (2009), bahwa kombinasi suhu dan lama
sterilisasi pada sayur dan buah-buahan yang dikalengkan akan mengubah
klorofil menjadi faeofitin, karotenoid berisomerisasi dari 5,6 epoksida menjadi
5,8 epoksida yang mempunyai intensitas warna lebih rendah, serta antosianin
didegradasi menjadi berwarna coklat. Selain itu, tekstur sampel juga berubah
menadi lebih lembek. Perubahan tekstur dan viskositas pada sayur dan buah
yang dikalengkan menurut Estiasih dan Ahmadi (2009), dikarenakan
terjadinya pelunakan yang disebabkan oleh hidrolisis senyawa-senyawa
pektin, gelatinisasi, pelarutan parsial hemiselulosa yang dikombinasikan
dengan penurunan turgor sel.

Tabel 4.2 Pengaruh Pengalengan Nanas dengan Metode Raw Packing dan
Hot Packing terhadap Kekeruhan, pH, Warna, Tekstur dan
Mikrobia yang Tumbuh
Ke
l
13

Har
i
ke0

Sampe
l

Perlakuan

Kekeruha
n

pH

Warna

Tekstu
r

Nanas

Rawpackin

4,1

Kuning

++

Mikrobi
a yang
tumbuh
-

16
22
19
14

17
23
20
15

g 15 menit
Rawpackin
g 30 menit
Hotpackin
g 15 menit
Hotpackin
g 30 menit
Rawpackin
g 15 menit
Rawpackin
g 30 menit
Hotpackin
g 15 menit
Hotpackin
g 30 menit
Rawpackin
g 15 menit

++
++
++
+
+
+
+++
+

4
4,0
2
4,1
3
4,2
8
4,2
3
4,2
0
4,2
0
4,2
8
4,2
5

18

Rawpackin
g 30 menit

4,1
6

24

Hotpackin
g 15 menit

++

4,3
0

21

Hotpackin
g 30 menit

++

4,2
4

Kuning

++

Kuning

++

Kuning
muda
Kuning
bening
Kuning
bening
Kuning
bening
Kuning
bening
Kuning
kecoklata
n
Kuning
kecoklata
n
Kuning
kecoklata
n
Kuning
kecoklata
n

++

+++

+++

++

++

+++

++

+++

++

+++

Sumber: Laporan sementara


Keterangan:
Tingkat Kekeruhan
Keterangan tekstur
+
: tidak keruh
+
: keras
++
: sedikit keruh
++
: sedikit keras
+++
: keruh
+++ : lembek
+++
: sangat keruh
++++ : sangat lembek
Keterangan mikroba yang tumbuh
- : tidak ada mikroba
+ : sedikit mikroba
++ : banyak mikroba

Pada sampel nanas dalam Tabel 4.2 untuk raw packing 15 menit pada
hari ke 6 tingkat kekeruhannya tidak keruh, nilai pH sebesar 4,25 dengan

warna kuning kecoklatan dengan tekstur lembek dan sedikit mikrobia. Lalu
pada raw packing 30 menit hasilnya tidak keruh, lalu pH sebesar 4,16 dengan
warna kuning kecoklatan bertekstur lembek namun tidak terdapat mikrobia.
Warna buah nanas yang dikalengkan, warnanya berubah menjadi lebih gelap
yaitu dari kuning menjadi kuning kecoklatan setelah 6 hari penyimpanan. Hal
ini dikarenakan adanya perubahan pigmen warna pada buah seperti yang
disampaikan Estiasih dan Ahmadi (2009), bahwa kombinasi suhu dan lama
sterilisasi pada sayur dan buah-buahan yang dikalengkan akan mengubah
klorofil menjadi faeofitin, karotenoid berisomerisasi dari 5,6 epoksida menjadi
5,8 epoksida yang mempunyai intensitas warna lebih rendah, serta antosianin
didegradasi menjadi berwarna coklat.
Kemudian pada sampel nanas dalam Tabel 4.2 untuk hot packing 15
menit pada pengamtan hari ke 6, tingkat kekeruhannya sedikit keruh, nilai pH
sebesar 4,30 dengan warna kuning kecoklatan, tekstur sedikit keras dan
terdapat sedikit mikrobia. Lalu pada hot packing 30 menit hasilnya sedikit
keruh, pH sebesar 4,24 dengan warna kuning kecoklatan, bertekstur lembek
dan tidak terdapat mikrobia. Perubahan tekstur buah nanas yang dikalengkan
pada hari ke 6 baik dengan pamasan 15 menit dan 30 menit mengalami
perubahan tekstur menjadi lebih lembek. Perubahan tekstur pada perlakuan
pemanasan 30 menit lebih lembek dibandingkan dengan perlakuan pemanasan
15 menit. Perubahan tekstur dan viskositas pada sayur dan buah menurut
Estiasih dan Ahmadi (2009) dikarenakan terjadinya pelunakan yang
disebabkan oleh hidrolisis senyawa-senyawa pektin, gelatinisasi, pelarutan
parsial hemiselulosa yang dikombinasikan dengan penurunan turgor sel.
Semakin lama proses pemanasan, maka akan semakin lunak bahan yang
dipanaskan.
Perubahan warna pada sampel wortel maupun nanas dengan metode
hot packing menghasilkan ketahan warna yang lebih baik dibandingkan
dengan metode raw packing. Hal ini sesuai dengan Landry (2012), yang
menyatakan bahwa, warna bahan makanan dengan metode hot packing pada
awalnya mungkin tidak lebih baik dari raw packing, tapi dalam jangka waktu
penyimpanan yang pendek, baik warna dan rasa makanan hot packing akan

lebih baik dari raw packing. Tingkat pencemaran mikrobia yang tumbuh pada
raw packing maupun hot packing baik pada sampel nanas maupun wortel
menunjukkan bahwa semakin lama waktu pemanasan atau sterilisasi, mikrobia
yang tumbuh semakin sedikit. Hal ini sesuai dengan Estiasih dan Ahmadi
(2009) yang menyatakan bahwa sterilisasi dapat mempengaruhi umur simpan
karena jika waktu yang diberikan tidak cukup, masih akan memungkinkan
adanya pertumbuhan mikroba pada produk yang dikalengkan.
Menurut Landry (2012), dengan cara metode raw packing, makanan
seperti buah, akan mengapung dalam gelas. Udara terperangkap di dalam dan
sekitar makanan sehingga dapat menyebabkan perubahan warna dalam waktu
2 sampai 3 bulan penyimpanan. Raw packing lebih cocok untuk
mengalengkan makanan yang diproses dengan bantuan tekanan. Sebagai
contoh produk makanan yang dikalengkan dengan menggunakan metode raw
packing adalah bahan pangan yang tidak memerlukan proses pemanasan yang
berlebihan, sebagai contoh adalah buah-buahan atau jus tomat. Selain terjadi
proses penurunan keasaman atau pH, bahan yang dikalengkan dengan cara
raw packing terbentuk mikrobia-mikrobia pembusuk yang ditandai dengan
bau yang tidak sedap. Pada makanan hasil pengalengan, terutama bahan
makanan yang bersifat asam rendah, mikrobia yang sering muncul adalah
Clostridium botulinum yang merupakan mikrobia mesofil anaerob pembentuk
spora. Mikrobia yang sering muncul selain C. botulinum menurut Desrosier
(2008), adalah Penicillium, Rhizopus, Lactobacilli, Bacilli, Achromobacter,
Pseudomonas dan Flavobacterium. Selain itu, pada raw packing tingkat
kekeruhan pada jar sangatlah tinggi. Sehingga, menurut Landry (2012) hot
packing adalah cara terbaik untuk menghilangkan udara dan merupakan
metode pengalengan makanan dengan cara pemanasan. Pada awalnya, warna
bahan makanan mungkin tidak lebih baik dari raw packing, tapi dalam jangka
waktu penyimpanan yang pendek, baik warna dan rasa makanan hot packing
akan lebih baik.
Produk kaleng harus disimpan di tempat yang sejuk dan kering dengan
suhu antara 500F sampai 700F maka produk kaleng akan bertahan selama satu

tahun. Produk pengalengan disimpan di tempat sejuk, gelap dan kering.


Paparan panas, suhu beku, cahaya, atau kelembaban akan menurunkan
kualitas dan umur simpan makanan hasil pengalengan (Powers, 2012).
Sterilisasi

merupakan

salah

satu

metode

untuk

mematikan

mikroorganisme yang tidak diinginkan dalam suau bahan atau produk.


Sterilisasi termal merupakan unit pengolahan yaitu produk pangan diberi
perlakuan panas menggunakan suhu tinggi dan waktu tertentu untuk
mendestruksi mikroba dan aktivitas enzim (Estiasih dan Ahmadi, 2009). Pada
penelitian ini menggunakan metode sterilisasi dengan boiling water canner.
Ada dua cara yang umum dilakukan untuk pembotolan skala rumah tangga
yaitu pengalengan dengan boiling water canner (pemanas dengan air
mendidih) dan presure canner (pemanas disertai tekanan). Pada prinsipnya,
kedua

alat

tersebut

merupakan

alat

yang

digunakan

untuk

sterilisasi/pasteurisasi. Menurut Andress (2011), boiling water canner ialah


pemanas dengan air mendidih yang dilakukan di dalam wadah yang cukup
dalam sehingga jar terendam di dalam air mendidih minimal 1 inchi di atas
tutup jar.
Pemanasan awal pada proses sterilisasi pada sampel diberi perlakuan
yang berbeda yaitu 15 menit dan 30 menit. Hal ini akan mempengaruhi
lamanya umur simpan produk dan juga akan mempengaruhi tingkat kualitas
sensori dari produk yang disterilisasi. Sterilisasi dapat mempengaruhi umur
simpan karena jika waktu yang diberikan tidak cukup, masih akan
memungkinkan adanya pertumbuhan mikroba pada produk yang dikalengkan.
Selain itu dapat mempengaruhi kualitas sensori karena jika waktu sterilisasi
yang cukup lama pada suhu yang tinggi produk yang dikalengkan akan
mengalami overcooked (Estiasih dan Ahmadi, 2009).
Pemanasan awal pada raw packing dan hot packing diberikan
perlakuan suhu yang berbeda, yaitu 620C untuk raw packing dan 820C untuk
hot packing. Raw packing diberi perlakuan suhu yang lebih rendah
dikarenakan menurut Landry (2012), produk makanan yang dikalengkan
dengan menggunakan metode raw packing adalah bahan pangan yang tidak

memerlukan proses pemanasan yang berlebihan. Raw packing lebih cocok


untuk mengalengkan makanan yang diproses dengan bantuan tekanan.
Menurut Sukmanji (1988) dalam Kurniadi (2005), kondisi sterilisasi
tergantung pada bahan yang dikalengkan berdasarkan pada tingkat keasaman.
Bahan makanan dengan tingkat keasaman tinggi yaitu di bawah pH 4,5
termasuk buah dan sayuran umumnya dikalengkan dengan suhu pemanasan
2000F atau lebih rendah. Sedangkan bahan makanan yang mempunyai pH di
atas 4,5 meliputi daging dan ikan serta sebagian sayuran dipanaskan pada suhu
yang lebih tinggi atau pada tekanan uap air tertentu.
Sterilisasi

berpengaruh

terhadap

karakteristik

produk

pangan

diantaranya terjadinya perubahan warna, perubahan bau dan cita rasa,


perubahan tekstur dan viskositas serta perubahan nilai gizi. Menurut Estiasih
dan Ahmadi (2009), kombinasi suhu dan lama sterilisasi pada sayur dan buahbuahan yang dikalengkan akan mengubah klorofil menjadi faeofitin,
karotenoid berisomerisasi dari 5,6 epoksida menjadi 5,8 epoksida yang
mempunyai intensitas warna lebih rendah, serta antosianin didegradasi
menjadi berwarna coklat. Selain itu, pada proses penyimpanan juga dapat
terjadi perubahan warna pada produk pangan yang dikalengkan. Hal ini
disebabkan karena adanya reaksi antara besi atau timah dari kemasan dengan
antosianin yang membentuk pigmen berwarna ungu. Perubahan bau dan cita
rasa pada sayuran dan buah-buahan terjadi akibat adanya reaksi komplek yang
mencakup degradasi, rekombinasi dan volatilisasi aldehid, keton, gula, lakton,
asam amino dan asam-asam organik. Perubahan tekstur dan viskositas pada
sayur dan buah yaitu terjadinya pelunakan yang disebabkan oleh hidrolisis
senyawa-senyawa pektin, gelatinisasi, pelarutan parsial hemiselulosa yang
dikombinasikan dengan penurunan turgor sel. Sedangkan perubahan nilai gizi
terjadi karena adanya hidrolisis karbohidrat dan lipid, terkoagulasinya protein
dan penurunan asam amino. Pada sayur dan buah-buahan kaleng, penurunan
vitamin terjadi pada hampir semua vitamin larut air terutama asam askorbat.
Pada sejumlah produk, vitamin larut dalam sirup atau medium lain yang juga
dikonsumsi sehingga tidak terjadi penurunan (Estiasih dan Ahmadi, 2009).

Secara umum jenis kontaminasi yang sering ditemui pada sayuran


adalah kontaminasi berupa fisik, biologis dan bahan kimia (pestisida, formalin
dan logam). Sayuran dikatakan terkontaminasi biasanya ditandai dengan
adanya bau busuk, terdapat kotoran (kerikil, potongan kayu atau kaca) dan
adanya belatung ataupun mikroba (virus, baktri yang mengeluarkan racun)
yang kesemuanya dapat menyebabkan penurunan kualitas sayuran dan
keamanannya dikonsumsi (Ardiansyah, 2005).
Menurut

Rahmawati

(2013), buah sangat

mudah mengalami

kerusakan. Buah mengandung air dalam jumlah yang banyak dan nutrisi
yang

sangat baik bagi pertumbuhan mikroorganisme. Mikroorganisme

pembusuk yang menyebabkan susut pascapanen buah dan sayuran secara


umum disebabkan oleh jamur dan bakteri. Infeksi awal dapat terjadi
selama

pertumbuhan dan

perkembangan

produk

tersebut

masih

di

lapangan akibat adanya kerusakan mekanis selama pemanenan, atau


melalui kerusakan fisiologis akibat dari kondisi penyimpanan yang tidak
baik. Pembusukan pada buah-buahan umumnya sebagai akibat infeksi
jamur terutama kapang

sedangkan pada

sayur-sayuran

lebih banyak

diakibatkan oleh bakteri. Hal ini diperkirakan disebabkan oleh pH yang


rendah

(kurang

dari

4,5) atau keasamannya yang tinggi dibandingkan

dengan sayuran dengan rata-rata pH lebih besar

dari 5. Mikroorganisme

seperti bakteri pembusuk, seperti Erwinia carotovora dan Pseudomonas


marginalis

(penyebab penyakit

busuk

lunak)

pada

sayuran

mampu

menghasilkan enzim yang mampu melunakkan jaringan dan setelah


jaringan tersebut lunak baru infeksi dilakukannya. Moryadee & Pathom
(2008) meyatakan bahwa bakteri termotoleran asam asetat ditemukan pada
buah apel, nanas, rambutan, mangga, cheri dan longan. Jenis bakteri
yang

ditemukan

termasuk

genus Acetobacter

dan

Gluconobacter.

Sedangkan menurut Kim & Beuchat (2005), E. sakazakii tumbuh

pada

potongan buah apel segar, melon, wortel, ketimun, dan tomat.


Bahan makanan yang dikalengkan dapat terjadi berbagai kerusakan.
Menurut Winarno (2004), kerusakan produk pangan yang dikalengkan dapat

dibagi menjadi 2 golongan yaitu microbial spoilage (true spoilage) yang


disebabkan oleh kontaminasi mikrobia dan non microbial spoilage (apparent
spoilage) yaitu kerusakan non mikrobial. Resiko paling fatal dari kontaminasi
suatu produk pangan adalah keracunan botulisme yang disebabkan oleh
adanya pertumbuhan kuman Clostridium botulinum. Oleh karena itu, setiap
kaleng/wadah yang menunjukkan tanda-tanda penggembungan, hilangnya
kevakuman atau adanya kebocoran harus diwaspadai sebagai kontaminasi oleh
Clostridium botulinum. Kecurigaan terhadap adanya kontaminasi makanan
kaleng dapat diperoleh bila ada tanda-tanda seperti adanya bau busuk dan
asam, berselimut lendir dan berair, perubahan warna, penggembungan keleng
atau jar (botol retak), kebocoran atau hilangnya kevakuman dan label kotor
atau tercemar.
Faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan pengalengan antara lain
sebagai berikut :
a. Resistensi mikroorganisme dan enzim terhadap panas
b. Kondisi pemanasan
c. pH bahan
pH atau tingkat keasaman menentukan apakah proses harus menggunakan
pasteurisasi atau sterilisasi.
d. Ukuran wadah/kemasan yang disterilkan
Untuk kaleng yang berdiameter lebih besar, efektifitas transfer panas lebih
rendah dibandingkan kaleng dengan ukuran diameter yang lebih kecil,
karena penetrasi panas lebih cepat.
e. Keadaan fisik bahan (Nugraha, 2010).

E. KESIMPULAN DAN SARAN


1. Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang dilakukan, maka dapat disimpulkan:
a. Metode pengisian dengan hot packing pada wortel dan nanas
memberikan kenampakan warna yang lebih baik setelah 6 hari
penyimpanan dibandingkan dengan metode raw packing.

b. Semakin lama sterilisasi maka tekstur wortel dan nanas yang


dikalengkan menjadi semakin lembek dan jumlah mikrobia yang
tumbuh semakin sedikit.
c. Semakin lama waktu penyimpanan maka pH semakin meningkat,
tingkat kekeruhannya semakin tinggi, dan juga mikrobia yang
tumbuh semakin banyak.
2. Saran
Berdasarkan praktikum yang dilakukan, maka saran yang perlu
diberikan yaitu:
a. Sebaiknya sampel yang digunakan untuk pengamatan hari ke 0, 3 dan
6 merupakan sampel yang sama sehingga data hasil pengamatan yang
diperoleh tidak rancu.
b. Sebaiknya data hasil pengamatan pada hari ke 0 dan ke 3 disimpan
dengan baik sehingga pada pengamatan hari ke 6 data yang diperoleh
sesuai.

DAFTAR PUSTAKA
Andress, E. 2011. Preserving Food: Using Boiling Water Canners. Athens,
GA: University of Georgia, Cooperative Extension.
Astawan, Made. 2012. Jangan Takut Makan Enak. Jakarta: Penerbit
Kompas.
Astuti, Sri Mulya. 2006. Teknik Pelaksanaan Percobaan Pengaruh
Konsentrasi Garam dan Blanching Terhadap Mutu Acar Buncis.

Buletin Teknik Pertanian Vol. 11 No. 2 balai Penelitian Tanaman


Sayuran. Lembang.
Czaikoski K, Rodrigo S, Jos M, Mercedes C, Josemeyre B, Elza I. 2013.
Canning of Vegetable-Type Soybean In Acidified Brine: Effect of
The Addition of Sucrose and Pasteurisation Time on Color and
Other Characteristics. Journal Industrial Crops and Products 45
(472 476).
Desrosier, Norman W. 2008. Teknologi Pengawetan Pangan. Universitas
Indonesia Press. Jakarta.
El-Samahy S, El-Mansy, Bahlol, El-Desouky, Ahmed. 2008. Thermal
Process Time and Sensory Evaluation for Canned Cactus Pear Nectar.
Journal PACD (85-87).
Estiasih T dan Ahmadi K. 2009. Teknologi Pengolahan Pangan. Jakarta:
Bumi Aksara.
Hafizahn, Maskat M, Wan A, Maaruf A. 2012. Properties of Canned
Mengkudu (Morinda Citrifolia L.) Extract During Storage.
International Food Research Journal 19 (3): 1211-1215.
Hariyadi, P. 2009. Prinsip Dan Pengertian Proses Termal. Hand Book
Pengolahan Pangan.
Irianto, Koes. 2002. Mikrobiologi Menguak Dunia Mikroorganisme.
Bandung: Yrama Widya.
Kendle and Khatarine. 2008. Basics for Canning Fruit. The Dhio State
University. USA.
Kennedy, Sharon Davis. 1982. Home Canning Of Fruits And Vegetables.
Department Of Food Science And Human Nutrition. Michigan State
University.
Khusnayaini, Anna Amaria. 2011. Pengaruh Tingkat Sterilitas Pada Proses
Pengalengan Terhadap Sifat Fisik Gudeg Yang Dihasilkan. Skripsi.
Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor
Kim,

H, and L.R. Beuchat. 2005. Survival and Growth of


Enterobacter Sakazakii on Fresh-Cut Fruits and Vegetables and In
Unpasteurized Juice as Affected by Storage Temperature.

Koswara, S. 2009. Teknologi Pengolahan Sayuran Dan Buah-Buahan


(Teori Dan Praktek). Ebook Pangan.
Kurniadi M. 2005. Aplikasi Teknik Hot Filling Dalam Pengalengan Salak.
UPT Balai Pengembangan Proses Dan Teknologi Kimia LIPI
Yogyakarta.

Landry, Warren L., et al. 2012. Home Canning, Guide 1 Principles of Home
Canning. United States Departement of Agriculture. National Institude
of Food and Agriculture.
Lean, Michael J., 2013. Ilmu Pangan, Gizi dan Kesehatan Edisi ke-7.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Moryadee, A. and W. Pathorn-Aree. 2008. Isolation of Thermotolerant
Acetic Acid Bacteria From Fruits For Vinegar Production.
Research Journal of Microbiology: 3(3): 209-212.
Nugraha, Aditya Putra. 2008. Kuliah: Buah Sayur Gula.
http://sudarmantosastro.wordpress.com/. Diakses pada 29 November
2014.
Rahmawati, Anna. 2013. Mikroorganisme Kontaminan Pada Buah. Jurdik
Biologi FMIPA UNY.
Rickman, Joy C, Diane M Barrett And Christine M Bruhn. Review :
Nutritional Comparison Of Fresh, Frozen And Canned Fruits And
Vegetables. Part 1 Vitamins C And B And Phenolic Compounds.
Journal Of The Science Of Food And Agriculture 00225142 (2007).
USDA. 1994. Home Canning Guide 1. Principles of Home Canning. United
States Department of Agriculture.
Utami, Rahma. 2012. Karakteristik Pemanasan Pada Proses Pengalengan
Gel Cincau Hitam (Mesona Palustris). Skripsi. Fakultas Teknologi
Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Winarno FG. 2004. Sterilisasi Pangan. Bogor: M-Brio Press.

LAMPIRAN
DOKUMENTASI PRAKTIKUM

Gambar 4.1 Wortel segar

Gambar 4.2 Wortel yang


telah dipotong

Gambar 4.3 Pengisian wortel ke dalam jar

Gambar 4.4 Pengisian larutan


garam/larutan gula ke dalam
jar (raw packing)

Gambar 4.4 Pemasakan wortel dalam


larutan gula/larutan garam (hot packing)

Gambar 4.1 Jar yang telah disterilisasi

Gambar 4.5 Proses exhausting

You might also like