You are on page 1of 24

ACARA III

PENGARUH JENIS TEPUNG TERIGU TERHADAP KARAKTERISTIK


SENSORIS ROTI KRUMPUL
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Roti adalah makanan yang dibuat dari tepung terigu yang diragikan
dengan ragi roti dan dipanggang. Roti yang berkualitas memiliki
karakteristik eksternal tertentu, di antaranya memiliki volume yang cukup,
warna kulit roti coklat keemasan, pemanggangan merata, bentuk simetris
dan memiliki kulit roti yang tipis. Sedangkan karakteristik internal, di
antaranya warna bagian dalam (crumb) yang cerah, pori-pori seragam
dengan dinding pori yang tipis, tekstur halus ,lembut dan tidak bersifat
remah, aroma khas roti yang segar dan menyenangkan.
Pengembangan volume roti merupakan bagian yang terpenting
terhadap penerimaan konsumen terhadap roti. Roti yang baik memiliki
volume roti yang besar menunjukkan bahwa adonan memiliki adonan baik
dalam mengikat gas CO2 selama fermentasi. Protein terigu glutenin dan
gliadin dalam adonan bila dicampurkan dengan air akan membentuk massa
elastis yang biasa disebut gluten. Sifat fisik gluten yaitu dapat menahan gas
yang memungkinkan produk roti mengembang (Wahyudi (2003) dalam
Justicia (2012)).
Salah satu bahan utama yang mempengaruhi kualitas roti adalah
kandungan gluten pada tepung terigu yang digunakan. Maka dilakukan
penelitian pembuatan roti krumpul untuk menemukan jenis tepung terbaik
dan pengaruhnya terhadap karakteristik sensoris roti krumpul yang disukai
oleh konsumen.

2. Perumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat diperoleh rumusan masalah sebagai
berikut:

a. Apakah jenis tepung yang terbaik yang digunakan untuk pembuatan roti
krumpul?
b. Bagaimana pengaruh jenis tepung terigu terhadap karakteristik sensoris
roti krumpul?
c. Bagaimana karakteristik terbaik roti krumpul yang disukai konsumen?
3. Tujuan
Tujuan dari acara III Pembuatan Roti Krumpul ini adalah:
a. Mampu mengetahui jenis tepung yang terbaik yang digunakan dalam
pembuatan roti krumpul.
b. Mampu mengetahui jenis tepung terigu terhadap karakteristik sensoris
roti krumpul.
c. Mampu mengetahui karakteristik terbaik roti krumpul yang disukai
konsumen.
B. TINJAUAN PUSTAKA
Gandum hampir seluruhnya digunakan dalam industri pangan dalam
bentuk tepung. Kandungan proteinnya antara 816%, selain mengandung
karbohidrat, lemak, mineral (abu) dan serat. Secara fungsional dalam
pengolahan roti ataupun cake, protein gandum terdiri atas protein pembentuk
gluten dan protein bukan pembentuk gluten. Kemampuan daya bentuk struktur
cake ditentukan oleh mutu dan jumlah glutennya. Gluten terbentuk dari gliadin
dan glutenin yang bereaksi dengan air, dipercepat dengan perlakuan mekanis,
membentuk jaringan tiga dimensi yang kontinyu. Gluten mempunyai sifat
lentur atau elastis dan rentang atau ekstensible (Susilo dan Fenny, 2007).
Roti merupakan sumber karbohidrat yang banyak dikonsumsi oleh
masyarakat Indonesia selain nasi. Hal ini disebabkan karena roti merupakan
sumber karbohidrat yang tinggi dan memiliki kandungan gizi yang lebih
unggul jika dibandingkan dengan nasi dan mie. Bahan utama dalam pembuatan
roti adalah tepung terigu. Pada roti mampu meningkatkan kualitas roti seperti
kekalisan adonan, pembentukan adonan, waktu pengadukan yang lebih singkat
dan kelembutan crumb. Penambahan bahan pengemulsi juga dapat
meningkatkan keseragaman pori dan memperbaiki karakteristik roti tawar yang
dihasilkan (Muzaifa, 2012).
Bahan baku pembuat roti dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Bahan pokok yaitu tepung terigu, ragi roti, air dan garam.

2. Bahan penambah rasa yaitu gula, garam, lemak, minyak, susu, dan telur.
3. Bahan tambahan antara lain zat anti basi atau pengawet makanan (Sufi,
1999).
Jenis-jenis tepung terigu:
1. Hard flour: di pasaran lebih dikenal dengan cap cakra. Sangat baik untuk
membuat aneka roti tawar, roti mari, atau adonan pastry.
2. Medium hard flour: di pasaran lebih dikenal dengan sebutan cap segitiga
biru. Cocok untuk pastry, cake , dan mi.
3. Soft flour: di pasaran dikenal dengan cap kunci. Cocok untuk membuat
biskuit, kue kering, dan cake (Sufi, 1999).
Citarasa suatu makanan terdiri atas tiga komponen: rasa, bau, dan tekstur.
Dengan garam, kita boleh meniadakan unsur bau karena baik natrium klorida
maupun kalsium dan magnesium sulfar yang mungkin terkandung dalam
garam laut kurang murni tidak mempunyai bau. Ukuran dan bentuk kristal
tidak ada pengaruhnya ketika garam digunakan dalam memasak. ltu karena
kristal mana pun akhirnya larut dan menghilang seluruhnya dalam cairan
makanan. Dan setelah terlarut, semua perbedaan tekstur menjadi hilang
(Wolke, 2005).
Dalam pembuatan roti untuk mendapatkan volume yang baik digunakan
tepung terigu khusus roti (bread flour atau hard flour) dengan jumlah gluten
kurang lebih 13,5%. Fungsi air dalam pembuatan roti membentuk zat gluten,
memungkinkan yeast melakukan proses fermentasi, melarutkan bahan-bahan
lain serta tepung terigu, mengontrol suhu dan kepadatan adonan. Yeast yang
digunakan biasanya adalah Saccharomyces cerevissiae (Jean, 2007).
Saccharomyces cerevissiae merupakan khamir yang banyak digunakan
dalam industri fermentasi bioetanol sebagai industri modern, khamir terserbut
dalam bioteknologi konvensional telah digunakan untuk memproduksi
beberapa pangan tradisional seperti: bir, anggur, wiski, sake, bahan
pengembang roti, tempe dan sebagainya. Dalam proses pemecahan (cracking)
suatu senyawa (tepung atau pati) dapat ditambahkan bahan tertentu sebagai
katalis untuk mempercepat jalannya reaksi, terutama reaksi yang menggunakan
suhu dan tekanan rendah. Dalam proses pemecahan senyawa (pati atau tepung)
dapat digunakan asam sulfat atau H2SO4 (Asngad dan Triani, 2010).

Volume roti diproses pemanggangan dipengaruhi adanya enzim yang


diperlukan untuk fermentasi maltosa. Banyak dikenal strain ragi
Saccharomyces cerevisiae yang telah digunakan untuk produksi roti ragi
menunjukkan bila ditanam pada molase dimana tidak ada maltosa hadir dan
kemudian diperkenalkan ke dalam adonan penurunan laju pembentukan gas
setelah konsumsi sakarosa dan polimer fruktosa dari tepung. Penurunan
disebabkan perpindahan yang lambat ke maltose oleh kurangnya maltase dan
maltosa permease dalam ragi roti tersebut (Lodder, 1968).
Pengembangan volume roti merupakan bagian yang terpenting terhadap
penerimaan konsumen terhadap roti. Roti yang baik memiliki volume roti yang
besar menunjukkan bahwa adonan memiliki adonan baik dalam mengikat gas
CO2 selama fermentasi. Protein terigu glutenin dan gliadin dalam adonan bila
dicampurkan dengan air akan membentuk massa elastis yang biasa disebut
gluten. Sifat fisik gluten yaitu dapat menahan gas yang memungkinkan produk
roti mengembang (Wahyudi (2003) dalam Justicia (2012)).
Pada dasarnya proses pencampuran merupakan tahapan dalam
pembentukan gluten. Gluten adalah sejenis protein yang tidak larut dalam air
dan memiliki fungsi untuk menahan gas yang terbentuk selama fermentasi atau
peragian. Gluten akan terbentuk jika tepung terigu diberi air dan diaduk.
Tepung terigu yang memiliki kadar protein tinggi akan memerlukan air lebih
banyak agar gluten yang terbentuk dapat menyimpan gas sebanyak-banyaknya.
Protein terigu yang rendah, kapasitas untuk menyimpan gas terbentuk pada
proses peragian juga rendah. Oleh sebab itu untuk membuat roti pada industri
bakery akan memakai tepung terigu dengan protein tinggi untuk mendapatkan
volume yang besar (Sulistyawati, 2007).
Suhu steamer akan memengaruhi hasil roti. Besarnya suhu dipengaruhi
oleh besarnya adonan dan seberapa besar roti yang dibutuhkan. Apabila suhu
yang terlalu besar akan membuat roti akan mengalami tingkat pengembangan
yang sangat besar dan adonan akan pecah. Mesin oven dipengaruhi oleh suhu,
kapasitas, dan pengisian adonan pada loyang. Suhu oven akan memengaruhi
hasil roti yaitu apabila suhu yang terlalu panas akan membuat roti akan
mengalami kegosongan dan pecah walapun roti tersebut mengembang. Suhu

yang baik digunakan adalah 160170oC dengan waktu pengovenan 15 menit


(Suciptawati, 2011).
Reaksi kimia yang terlibat dalam proses ini pada dasarnya reaksi
Maillard dan karamelisasi. Reaksi Maillard disukai dalam makanan dengan
protein tinggi dan kandungan karbohidrat dan kadar air menengah pada suhu di
atas 50C dan pada pH 4-7, menghasilkan perubahan warna (melanoidins), rasa
(aldehida dan keton), sifat fungsional, dan nilai gizi (blocking atau perusakan
lisin). Karamelisasi (degradasi gula) membutuhkan kondisi yang lebih drastis
(suhu diatas 120C, pH < 3 atau pH > 9 dan Aw rendah) (Jimenez, 2000).
Pembuatan roti melibatkan pemanggangan pada suhu 200oC selama 50 menit,
kemudian pemotongan roti kedalam lembaran-lembaran. Lembaran roti dapat
dikonsumsi segar atau dipanggang. Di proses ini, reaksi Maillard dan
karamelisasi dapat berlangsung bersamaan (Ramirez, 2001).
Pembuatan roti melibatkan tiga langkah: pencampuran adonan (tepung,
air, ragi dan garam) fermentasi adonan dan baking. Selama proses
memanggang, pati tergelatinisasi dan protein terdenaturasi pada suhu internal
60-80C dan kemudian adonan mentah berubah menjadi cerah, berpori dan
mudah dicerna. Distribusi kadar air dan suhu memainkan peran penting dalam
mengembangkan karakteristik sensorik dari produk. Selama memanggang,
kadar air pada permukaan roti menjadi lebih rendah daripada dibagian tengah,
dan kombinasi dengan suhu tinggi, merupakan salah satu faktor yang membuat
perbedaan kerak dari remah (Jimenez, 2000).

C. METODOLOGI
1. Tempat dan Waktu Praktikum
Praktikum Teknologi Pengolahan Pangan Acara III Pengaruh Jenis
Tepung Terigu Terhadap Karakteristik Sensoris Roti Krumpul dilaksanakan
pada tanggal 1 Desember 2014 pukul 10.0012.00 WIB di Laboratorium
Rekayasa Proses Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian Fakultas Pertanian
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Alat dan Bahan
a. Alat
1) Agitator
2) Baskom
3) Plastik
4) Oven
5) Steam
6) Pisau
7) Loyang
8) Serbet
b. Bahan
1) Tepung terigu Cakra Kembar I kg
2) Tepung terigu Segitiga Biru 1 kg
3) Gula halus 200 gr
4) Garam 10 gr
5) Susu bubuk 600 gr
6) Mentega 50 gr
7) Margarin 70 gr
8) Susu segar 300 ml
9) Fermipan 2 bungkus
10) Kuning telur 8 butir
11) Keju
12) Selai kacang
13) Messes
3. Cara Kerja
Tepung (sesuai formulasi), gula halus, susu bubuk,
mentega putih, fermipan, margarin dan kuning telur

Susu segar
dingin,
garam, air
dingin

Pencampuran dalam agitator


Pencampuran sampai kalis
Peletakan adonan dalam baskom
Pembuatan bulatan-bulatan diatas plastik, lalu
diletakkan kembali dalam baskom

Pendiaman I (30 menit) ditutup dengan serbet basah


Pemotongan adonan 40-50 gr dengan pisau
Pembuatan adonan kecil-kecil
Peletakan pada loyang
Pendiaman II (15 menit)
Keju, messes
dan selai
kacang

Pengisian
Pengukusan atau steaming selama 30 menit

Susu segar dan


kuning telur

Pemberian glozing
Pengovenan
Penirisan

Uji organoleptik (warna, rasa, aroma, crust dan


Gambar 3.1 Diagram Alir Pembuatan
Roti Krumpul
crumb)
4. Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang dilakukan menggunakan Rancangan Acak
Lengkap (RAL), dengan dua faktor berupa jenis tepung dan variasi
komposisi tepung dalam pembuatan roti krumpul. Formulasi yang
digunakan dalam praktikum adalah sebagai berikut:
a. Formulasi 1 (Tepung Cakra Kembar 1 kg)
b. Formulasi 2 (Tepung Cakra Kembar 0,5 kg dan Tepung Segitiga Biru 0,5
kg)
D. HASIL DAN PEMBAHASAN

Roti merupakan salah satu makanan sumber karbohidrat yang banyak


dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia selain nasi. Hal ini disebabkan karena
roti merupakan sumber karbohidrat yang tinggi dan memiliki kandungan gizi
yang lebih unggul dibandingkan nasi dan mie. Sufi (1999) medefinisikan roti
sebagai makanan yang terbuat dari tepung terigu, air dan ragi yang
pembuatannya melalui tahap pengulenan, fermentasi (pengembangan) dan
pemanggangan dalam oven. Sedangkan roti krumpul atau sering disebut
sebagai roti manis adalah produk bakery yang terbuat dari tepung terigu, ragi
dan bahan-bahan lainnya (mentega, telur, susu dan air) yang diberi isian
sebagai penambah cita rasa manis seperti keju, taburan gula pasir, meses atau
cokelat. Bahan dan proses yang dilaluinya membuat roti memiliki tekstur yang
khas. Dilihat dari cara pengolahan akhirnya, roti dapat dibedakan menjadi tiga
macam, yaitu roti yang dikukus, dipanggang dan digoreng.
Menurut Hui (1991) dalam Jimenez et al., (2000), pembuatan roti
termasuk pada tiga tahapan, yaitu: pencampuran adonan (tepung, air, yeast dan
garam), fermentasi adonan dan pengovenan. Bahan utama dalam pembuatan
roti adalah tepung terigu atau tepung gandum (Astawan (2006) dalam Muzaifa
et al., (2013)). Menurut Susilo dan Fenny (2007), tepung gandum merupakan
olahan dari biji gandum (Triticum vulgare). Gandum termasuk famili
Gramineae dan sub famili Festucoideae. Buckle et al., (1985) dalam Susilo
dan Fenny (2007), mengatakan bahwa gandum digunakan dalam industri
pangan dalam bentuk tepung dengan kandungan proteinnya antara 8-16%, yang
juga mengandung karbohidrat, lemak, mineral (abu) dan serat.
Secara fungsional dalam pengolahan roti ataupun cake, protein gandum
terdiri atas protein pembentuk gluten dan protein bukian pembentuk gluten
(Utami (1992) dalam Susilo dan Fenny (2007)). Menurut Wieser (2003) dalam
Witono et al., (2012), gluten merupakan protein elastis yang umumnya
terkandung pada roti, biskuit, pasta, sereal, mie dan semua jenis makanan yang
terbuat dari tepung terigu. Dalam proses pembuatan roti, gluten bermanfaat
untuk mengikat dan membuat adonan menjadi elastis sehingga mudah
dibentuk. Berikut ini dapat dilihat komposisi penyusun gluten:
Tabel 3.1 Komposisi Gluten

Komponen
Jumlah (%)
Protein
75
Lemak
6
Karbohidrat
15
Abu
0,8
Air
3,2
Sumber: Wieser (2003) dalam Witono et al.,(2012)
Menurut Susilo dan Fenny (2007), gluten terbentuk dari gliadin dan
glutenin yang bereaksi dengan air, dipercepat dengan perlakuan mekanis,
membentuk jaringan tiga dimensi yang kontinyu. Gluten mempunyai sifat
lentur (elastic) dan rentang (ekstensible). Kelenturannya ditentukan oleh
glutenin sedangkan kerentangannya oleh gliadin. Gliadin tersusun oleh
glutamin (-C-NH2) dan asam glutamat, prolin dengan sedikit lisin. Glutenin
tersusun sub unit yang bervariasi berat molekulnya. Masing-masing bagian
dihubungkan satu sama lain melalui ikatan disulfida (S-S). Gabungan gliadin
dan glutenin membentuk lapisan film yang kuat dan lentur. Kelenturan gluten
terjadi setelah terjadi hidrasi protein fibril (Utami (1992) dalam Susilo dan
Fenny (2007)).
Komponen pembentuk gluten mengandung 75-80% protein yang
terbentuk dari gliadin dan glutenin (Gambar 3.2). Gliadin memiliki ikatan
intra-molekuler disulfida, sedangkan glutenin memiliki ikatan inter dan intra
molekuler disulfida (Wrigley and Bietz (1998) dalam Witono et al., (2012)).
Dampaknya, gliadin memiliki struktur molekul padat dan bulat, sedangkan
glutenin cenderung linier. Witono et al., (2012) menambahkan bahwa gliadin
dan glutenin bergabung membentuk gluten sangat lengket. Gliadin dan glutenin
merupakan faktor penting yang menentukan reologi adonan. Gliadin yang
terhidrasi memiliki sifat kurang elastis dan kurang. Komposisi yang tepat
antara gliadin dan glutenin menghasilkan viskositas adonan yang sesuai dengan
kualitas produk akhir yang diinginkan.
Gambar 3.2 Komponen pembentuk gluten

Sumber: Landfood (2010) dalam Witono et al., (2012)


Berdasarkan kandungan glutennya (protein), tepung terigu yang beredar
dipasaran dapat dibedakan menjadi 3 macam sebagai berikut:
1. Hard flour yaitu terigu yang mengandung proteinnya 12-13%. Tepung ini
biasanya digunakan untuk pembuatan roti dan mie berkualitas tinggi.
Contohnya terigu Cakra Kembar. Menurut Nugrahawati (2011), tepung
terigu yang mempunyai kandungan protein tinggi terbuat dari biji gandum
yang mempunyai karakteristik luar yang keras dan tidak mudah pecah.
Gandum ini mudah digiling, menghasilkan tepung kualitas baik,
mengandung protein bermutu tinggi, dengan adonan hasil tepungnya
mempunyai daya serap tinggi, kuat, kenyal dan daya kembang yang baik.
Sedangkan menurut Sufi (1999), hard flour di pasaran lebih dikenal dengan
cap Cakra yang sangat baik untuk membuat aneka roti tawar, roti mari atau
adonan pastry.
2. Medium hard flour, menurut Nugrahawati (2011), terigu jenis ini
mengandung protein 9,5-11%. Tepung ini biasanya digunakan untuk
pembuatan roti, mie dan macam-macam kue serta biskuit. Contohnya terigu
Segitiga Biru. Sufi (1999) juga membenarkan bahwa medium hard flour di
pasaran lebih dikenal dengan sebutan cap Segitiga Biru.
3. Soft Flour yang menurut Astawan (1999) dalam Nugrahawati (2011),
merupakan tepung terigu yang mengandung protein sebesar 7-8,5%.
Penggunaannya cocok sebagai bahan pembuatan kue dan biskuit.
Contohnya terigu Kunci Biru. Menurut Sufi (1999), Soft flour di pasaran
dikenal dengan cap Kunci yang sangat cocok untuk membuat biskuit, kue
kering dan cake.
Pada praktikum pembuatan roti krumpul, langkah kerja yang pertama
adalah pencampuran semua bahan kering yaitu: tepung (sesuai formulasi), 8

butir kuning telur, 70 gram margarin, 50 gram mentega putih, 60 gram susu
bubuk, 2 bungkus fermipan dan 200 gram gula halus. Tepung yang digunakan
untuk formulasi yang pertama adalah 1 kg tepung Cakra Kembar, sedangkan
formulasi lainnya menggunakan campuran antara 0,5 kg tepung Cakra Kembar
dengan 0,5 kg tepung Segitiga Biru. Setelah semua bahan kering tercampur
merata, segera ditambahkan susu segar dingin sebanyak 300 ml dan 10 gram
garam untuk kemudian diaduk perlahan hingga merata. Pengadukan adonan
dilakukan menggunakan agitator, apabila adonan belum kalis, dapat
ditambahkan air dingin. Air dingin yang digunakan untuk menjaga agar suhu
adonan sesuai untuk aktivitas yeast dalam proses pengadukan (Astawan (1999)
dalam Nugrahawati (2011)).
Menurut Sulistiyawati (2007), proses pencampuran merupakan tahapan
dalam pembentukan gluten. Gluten adalah sejenis protein yang tidak larut
dalam air dan memiliki fungsi untuk menahan gas yang terbentuk selama
fermentasi atau peragian. Gluten yang terbentuk dapat menyimpan gas
sebanyak-banyaknya. Protein terigu yang rendah, kapasitas untuk menyimpan
gas terbentuk pada proses peragian yang menyebabkan pengembangan volume
adonan (Sulistyawati, 2007). Tujuannya tentu saja untuk memperoleh volume
adonan. Justicia (2012) mengatakan bahwa roti yang baik memiliki volume roti
yang besar yang menunjukkan bahwa adonan memiliki kemampuan mengikat
gas CO2 yang baik selama fermentasi.
Menurut Sulistiyawati (2007), proses pengadukan dan penambahan air
dingin dimaksudkan untuk mempermudah pembentukan gluten. Dimana air
dingin yang digunakan dalam pembuatan roti berfungsi untuk menjaga agar
suhu adonan sesuai untuk aktivitas yeast dalam proses pengadukan. Astawan
(1999) dalam Nugrahawati (2011) juga mengatakan bahwa air berfungsi
sebagai media gluten dengan karbohidrat, larutan garam dan membentuk sifat
kenyal gluten. Fungsi air dalam pembuatan roti menurut Jean (2008) selain
membentuk zat gluten, air juga memungkinkan yeast atau ragi roti, yaitu
Saccharomyces cereviceae, melakukan proses fermentasi, melarutkan bahanbahan lain beserta tepung terigu, mengontrol suhu dan kepadatan adonan.

Selama peragian atau fermentasi, adonan menjadi lebih besar dan ringan.
Pada adonan langsung, adonan perlu sekali dilipat, ditusuk atau dipukul 1-2
kali selama peragian dan pada akhir peragian. Pemukulan dilakukan agar suhu
adonan rata, gas CO2 hilang, dan udara segar tertarik ke dalam adonan
sehingga rasa asam pada roti dapat hilang (Mudjajanto dan Yulianti (2004)
dalam Nugrahawati (2011)). Jika terlalu banyak pukulan, gas yang keluar dari
adonan terlalu banyak sehingga roti tidak mengembang. Langkah selanjutnya
adalah pembentukan adonan menjadi yang dilakukan diatas meja plastik untuk
mempermudah pembuatan bentuk bulat. Pembulatan adonan bertujuan untuk
memudahkan dalam pembentukan adonan yang diinginkan dan agar didapatkan
pembentukan lapisan film secara seragam berdasarkan porsi yang diinginkan
(Sulistiyawati, 2007).
Setelah itu, adonan kembali diletakkan di dalam baskom dengan ditutup
menggunakan serbet basah dan didiamkan selama 30 menit. Pendiaman selama
30 menit dimaksudkan agar ragi roti atau yeast dapat melakukan fermentasi.
Pengistirahatan atau pendiaman, menurut Sulistiyawati (2007), dilakukan guna
memberikan kesempatan ragi untuk berfermentasi lagi. Untuk mencapai hasil
peragian yang rata, perlu dijaga suhu dengan membiarkan peragian
berlangsung ditempat yang suhunya stabil. Penutupan dengan serbet basah
dimaksudkan untuk memberi suasana lembab namun tetap dalam keadaan yang
aerob, sehingga optimum untuk ragi roti beraktivitas. Peletakan baskom berisi
adonan juga harus pada suhu ruang atau sekitar suhu 27-30oC. Mudjajanto dan
Yulianti (2004) dalam Nugrahawati (2011) mengatakan bahwa agar mikroba
tumbuh baik maka harus diatur oksigen cukup tersedia karena mikroba yang
hidup bersifat aerob dan suhu pengolahan sekitar 30oC.
Setelah pendiaman, adonan kembali dibentuk menjadi bentuk
memanjang lalu dilakukan pemotongan menggunakan pisau dengan ukuran
masing-masing 40-50 gram. Tujuannya adalah untuk mempermudah langkah
berikutnya yaitu pembentukan adonan menjadi bulatan kecil. Adonan
berbentuk bulat selanjutnya didiamkan selama 15 menit untuk memberi
kesempatan ragi roti berfermentasi lagi dalam mengembangkan adonan. Dari

bentuk bulat, adonan dipipihkan untuk kemudian diisi menggunakan messes,


selai kacang atau keju parut sebagai penambah cita rasa roti krumpul.
Langkah berikutnya adalah penyeteaman adonan di steamer selama 30
menit. Fungsinya adalah mengoptimalkan fermentasi yang dilakukan oleh
yeast. Proses ini dilakukan agar roti mengembang, sehingga hasil akhir roti
diperoleh dengan bentuk dan mutu yang baik (Mudjajanto dan Yulianti (2004)
dalam Nugrahawati (2011)). Proses steamer juga dapat berfungsi sebagai final
proofing. Menurut Sulistiyawati (2012), final proof dimaksudkan untuk
mengembangkan adonan hingga mencapai bentuk dan mutu yang baik di dalam
hasil akhir. Dalam proses ini perlu diperhatikan waktu yang digunakan. Faktorfaktor yang mempengaruhi didalamnya antara lain suhu dan penggunaan
tepung terigu. Menurut Suciptawati (2011), suhu steamer akan memengaruhi
hasil roti, semakin besar suhu steamer maka proses fermentasi akan berjalan
lebih cepat namun akan berhenti pada titik tertentu. Besarnya suhu dipengaruhi
oleh besarnya adonan dan seberapa besar roti yang dibutuhkan. Apabila suhu
yang terlalu besar akan membuat roti akan mengalami tingkat pengembangan
yang sangat besar dan adonan akan pecah.
Adonan yang sudah keluar dari steamer diolesi dengan mengunakan
campuran kuning telur dan susu segar. Proses ini biasa disebut dengan glozing.
Menurut Nugrahawati (2011) peranan utama telur atau protein dalam
pengolahan roti adalah memberikan fasilitas terjadinya koagulasi,
pembentukan gel, emulsi dan pembentukan struktur. Penggunaan kuning telur
dan susu segar sebagai bahan glozing adalah untuk memperbaiki tekstur dan
warna pada roti. Kandungan lemak yang tinggi yaitu 11,5 g/100 g telur
(Nugrahawati, 2011), memungkinkan pembentukan kesan oily roti yang
mempengaruhi kelembutan dan kerenyahan roti. Lemak dalam susu yang
tersebar merata dalam bentuk emulsi (Syarief dan Irawati (1988) dalam
Nugrahawati (2011)), juga memberi kesan oily yang memperbaiki tekstur luar
pada roti dan memberikan tambahan flavor manis dan gurih. Penggunaan
lemak dalam pembuatan roti dapat meningkatkan citarasa dan nilai gizi,
keempukan produk dan tidak cepat menjadi keras (Sulistiyo, 2006).

Langkah terakhir adalah proses pemanggangan menggunakan oven


sampai matang. Proses pemanggangan roti merupakan langkah terakhir dan
sangat penting dalam memproduksi roti. Melalui suatu penghantar panas, suatu
massa adonan akan diubah menjadi produk yang ringan dan mudah dicerna.
Menurut Desrosier (1988) dalam Winoto et al., (2012), aktivitas biologis yang
terjadi dalam adonan dihentikan oleh pemanggangan disertai dengan hancurnya
mikrobia dan enzim yang ada. Mesin oven dipengaruhi oleh suhu, kapasitas,
dan pengisian adonan pada loyang. Saat pemanggangan yang perlu
diperhatikan adalah suhu oven yang akan digunakan. Sebaiknya suhu oven
telah mencapai 2000C dengan proses proofing yang optimal (Sulistiyawati,
2007). Suhu oven akan memengaruhi hasil roti yaitu apabila suhu yang terlalu
panas akan membuat roti akan mengalami kegosongan dan pecah walapun roti
tersebut mengembang. Suhu yang baik digunakan adalah 160170oC dengan
waktu pengovenan 15 menit (Suciptawati, 2011).
Bahan utama lainnya dalam pembuatan roti adalah ragi roti atau
Saccharomyces cerevissiae yang merupakan khamir dan telah banyak
digunakan dalam industri fermentasi sebagai industri modern maupun
bioteknologi konvensional seperti: bir, anggur, wiski, sake, pengembangan roti,
tempe dan sebagainya (Asngad dan Triani, 2010). Ragi yang sering digunakan
dalam proses pembuatan roti adalah jenis ragi instant (Instant Dry Yeast)
(Sulistiyawati (2007). Pada praktikum juga digunakan ragi instant dengan
merk dagang fermipan.
Telur adalah sumber makanan zat protein hewani yang bernilai zat gizi
tinggi. Fungsi telur dalam penyelenggaraan gizi kuliner sebagai pengental,
perekat atau pengikat (Sulistiyawati, 2007). Roti yang lunak dapat diperoleh
dengan penggunaan kuning telur yang lebih banyak. Kuning telur banyak
mengandung lesitin (emulsifier). Berbentuk padat dengan kadar air sekitar 50%
(Mudjajanto dan Yulianti (2004) dalam Nugrahawati (2011)). Menurut
Rakhmah (2012), telur dalam pembuatan produk bakeri berfungsi untuk
membentuk suatu kerangka yang bertugas sebagai pembentuk struktur. Telur
juga berfungsi sebagai pelembut dan pengikat. Fungsi lainnya adalah untuk

aerasi, yaitu kemampuan menangkap udara pada saat adonan dikocok sehingga
udara menyebar rata pada adonan. Telur dapat mempengaruhi warna, rasa dan
melembutkan tekstur produk bakeri dengan daya emulsi dari lesitin pada
kuning telur (Indrasti, 2004) dalam Rakhmah (2012).
Pada pembuatan roti, untuk tepung jenis lunak (soft) atau berprotein
rendah, penambahan susu lebih banyak dibandingkan tepung jenis keras (hard)
atau berprotein tinggi. Penambahan susu sebaiknya berupa susu padat.
Alasannya, susu padat menambah penyerapan (absorpsi) air dan memperkuat
adonan. Bahan padat bukan lemak (BPBL) pada susu padat tersebut berfungsi
sebagai bahan penyegar protein tepung sehingga volume roti bertambah
(Mudjajanto dan Yulianti (2004) dalam Nugrahawati (2011)). Sulistiyawati
(2007) mengatakan bahwa tanpa dibubuhi sesuatu apapun, rasa susu sedikit
manis, dengan aroma agak harum serta berbau khas susu. Bau khas susu
tersebut akan berkurang bahkan hilang apabila susu dipanaskan atau dibiarkan
pada tempat yang terkena udara. Dalam susu terdapat berbagai macam mineral,
vitamin, pigmen, dan enzim. Lemak dalam susu tersebar merata dalam bentuk
emulsi.
Lemak merupakan salah satu komponen penting dalam pembuatan
produk bakeri. Lemak yang biasanya digunakan dalam pembuatan produk
bakeri adalah butter (mentega) dan margarin. Mentega adalah lemak hewani
hasil separasi antara fraksi lemak dan non lemak dari susu. Margarin adalah
lemak plastis yang dibuat dari proses hidrogenasi parsial minyak nabati
(Budijanto, et al.,(2000) dalam Nuraini (2012). Shortening merupakan lemak
atau minyak sebagai pelembut cake. Selain itu juga meningkatkan gizi, rasa
lezat dan bahan pengempuk serta membantu pengembangan susunan fisik
adonan yang dibakar. Komponen terbanyak didalamnya lemak, air dan garam
(Hadiwiyoto (1983) dalam Susilo dan Fenny (2007)). Shortening adalah lemak
padat yang memiliki sifat plastis dan kestabilan tertentu, umumnya berwarna
putih sehingga sering disebut mentega putih. Bahan ini diperoleh dari
pencampuran dua atau lebih lemak, atau dengan cara hidrogenase. Mentega
putih ini banyak digunakan dalam bahan pangan terutama dalam pembuatan

cake dan kue yang dipanggang. Fungsinya adalah untuk memperbaiki citarasa,
struktur, tekstur, keempukan dan memperbesar volume roti atau kue (Winarno
(1997) dalam Sulistiyawati (2011).
Gula ditambahkan pada jenis roti tertentu untuk melengkapi karbohidrat
yang ada untuk proses fermentasi dan untuk memberikan rasa manis pada roti.
Akan tetapi gula lebih banyak dipakai dalam pembuatan biskuit dan kue,
dimana selain memberikan rasa manis gula juga mempengaruhi tekstur (Buckle
et al.,(1987) dalam Sulistiyawati (2007)). Gula di dalam pembuatan cake
sangat berperan sebagai pemanis, pengempuk dan pewarna kulit cake. Sebagai
pengempuk, gula membantu menahan air dalam remah dan menghambat
pemampatan adonan. Pewarnaan kulit cake, disebabkan karamelisasi saat
pemanggangan (Desrosier (1988) dalam Susilo dan Fenny (2007)).
Garam berfungi sebagai penambah rasa gurih, pembangkit rasa bahanbahan lainya, pengontrol waktu fermentasi dari adonan beragi, penambah
kekuatan gluten, pengatur warna kulit dan pencegah timbulnya bakteri-bakteri
dalam adonan. Jika kurang dari 2% maka rasa akan hambar, sedangkan diatas
2,25% akan menghambat aktivitas mikroba dalam ragi (Mudjajanto (2008)
dalam Nuraini (2011). Nuraini juga mengatakan bahwa fungsi penambahan
garam dalam pembuatan produk bakery adalah untuk menambah aroma dan
memperkuat camuran lemak dan gula. Selain itu juga berfungsi mengontrol
pertumbuhan yeast. Wolke (2005) berpendapat bahwa dengan garam, kita
boleh meniadakan unsur bau karena baik natrium klorida maupun kalsium dan
magnesium sulfar yang mungkin terkandung dalam garam laut kurang murni
tidak mempunyai bau.
Tabel 3.2 Hasil Pengamatan Roti Krumpul
Shif Bahan
Gambar
Sebelum
Sesudah
t
Terigu
1

Cakra
kembar 1
kg

Cakra

Paramete

Ket

r
Warna
Rasa
Aroma
Crust
Crumb
Warna

++
+
+
++
+
++

kembar
0,5 kg +
Segitiga

Rasa
Aroma
Crust
Crumb

++
++
-

Biru 0,5
kg
Sumber: Laporan Sementara
Keterangan:
1) Parameter Warna
- : Tidak cokelat atau putih
+
: Agak cokelat
++
: Cokelat
+++ : Sangat cokelat
2) Parameter Rasa
: Tidak suka
+
: Agak suka
++
: Suka
+++ : Sangat suka
3) Parameter Aroma
: Tidak harum
+
: Agak harum
++
: Harum
+++ : Sangat harum
4) Parameter Crust (Tekstur Luar)
: Tidak crust
+
: Agak crust
++
: Crust
+++ : Sangat crust
5) Parameter Crumb (Tekstur Dalam)
: Tidak crumb
+
: Agak crumb
++
: Crumb
+++ : Sangat crumb

Dari Tabel 3.2 dapat dilihat hasil pengamatan terhadap pembuatan roti
krumpul yang menggunakan dua jenis terigu yang berbeda. Pada roti krumpul
yang pertama menggunakan bahan dasar adonan 1 kg tepung Cakra Kembar
sedangkan roti krumpul yang kedua menggunakan 0,5 kg tepung Cakra
Kembar dan 0,5 kg tepung Segitiga Biru sebagai bahan dasarnya. Perbedaan
dari kedua jenis tepung ini adalah kandungan proteinnya. Menurut Lubis et al.,
(2013), Cakra Kembar merupakan tepung terigu protein tinggi. Tepung terigu
keras atau protein tinggi mempunyai kadar protein 1011%, dihasilkan dari
penggilingan 100% gandum hard. Sufi (1999) mengatakan bahwa medium
hard flour di pasaran lebih dikenal dengan sebutan cap Segitiga Biru dengan

kandungan protein 9,5-11%. Terigu jenis Segitiga biru inilah yang digunakan
pada praktikum pembuatan roti krumpul, dengan komposisi 1:1 dengan tepung
Cakra Kembar.
Uji organoleptik selanjutnya dilakukan untuk mengetahui pengaruh jenis
dan komposisi tepung terigu terhadap kualitas organoleptik roti krumpul.
Parameter yang diamati adalah warna, rasa, aroma, crust (tekstur luar) dan
crumb (tekstur dalam). Untuk parameter yang diamati pertama adalah warna,
dengan skala nilai sangat coklat hingga tidak cokelat (putih). Untuk roti
krumpul dengan bahan terigu Cakra Kembar 100% maupun roti krumpul
dengan bahan terigu 50% terigu Cakra Kembar dan 50% terigu Segitiga Biru
menghasilkan warna cokelat. Ramirez (2001) mengatakan bahwa reaksi kimia
yang mempengaruhi warna roti pada dasarnya reaksi maillard dan
karamelisasi. Reaksi maillard menghasilkan perubahan warna (melanoidins)
yang menyebabkan warna roti menjadi kecoklatan. Reaksi karamelisasi yang
didukung adanya gula (Susilo dan Fenny, 2007), karena adanya degradasi gula,
dapat menyebabkan warna karamel (coklat) pada produk bakery. Sehingga
perbedaan kadar protein dalam terigu tidak berpengaruh signifikan terhadap
warna roti yang dihasilkan.
Parameter selanjutnya adalah rasa. Rasa timbul akibat adanya rangsangan
kimiawi yang dapat diterima oleh indera pencicip atau lidah. Rasa adalah
faktor yang mempengaruhi penerimaan produk pangan. Pada formulasi satu
(tepung Cakra Kembar 100%) yaitu tidak lebih disukai daripada formulasi
lainnya (50% Cakra Kembar dan 50% Segitiga Biru). Menurut Sufi (1999)
fakor yang mempengaruhi rasa roti adalah bahan penambah rasa berupa gula,
garam, lemak, minyak, susu dan telur. Ramirez (2001) mengatakan bahwa rasa
dari roti ditimbulkan oleh senyawa aldehida dan keton. Proses fermentasi juga
mempengaruhi rasa pada roti, karena menghasilkan asam sebagai metabolit
sekundernya (Asngad dan Triani, 2010).
Pada hasil praktikum diketahui bahwa formulasi 50% Cakra Kembar dan
50% Segitiga Biru lebih disukai daripada formulasi 100% Cakra Kembar untuk
parameter rasanya. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Ramirez (2011) yang
mengatakan bahwa pada produk bakery dengan kadar protein yang lebih tinggi

lebih disukai karakteristik rasanya akibat reaksi mailard dan karamelisasinya.


Penyimpangan ini disebabkan karena perbedaan isian yang digunakan pada roti
krumpul, dimana isian untuk roti krumpul formulasi 50% Cakra Kembar dan
50% Segitiga Biru lebih disukai dibandingkan isian pada roti krumpul
formulasi 100% Cakra Kembar. Keberadaan gula menjadi syarat utama reaksi
dan karamelisasi yang akan berkontribusi dalam rasa roti. Hidrolisis pati
selama pemanasan mengakibatkan peningkatan maltose secara signifikan,
karena hidrolisis pati menghasilkan dekstrin ((Rubatzky dan Yamaguchi,
(1998) dalam Nugrahawati (2011)) yang kemudian menyumbang rasa manis
pada roti.
Pengujian organoleptik berdasarkan aroma menentukan kelezatan bahan
makanan cita rasa dari bahan pangan sesungguhnya terdiri dari tiga komponen,
yaitu bau, rasa dan rangsangan mulut. Bau yang dihasilkan dari makanan
banyak menentukan kelezatan bahan pangan tersebut. Dalam hal bau lebih
banyak sangkut pautnya dengan alat panca indera penciuman. Aroma yang
harum dan khas dari tepung berasal dari kandungan pati yang terdegradasi.
Menurut Rodrigues et al., (1988) dalam (Rakhmah, 2011)., pembentukan
aroma dan flavor disebabkan oleh kandungan karbohidrat yang tedegradasi
pada tepung terigu.
Tekstur memiliki pengaruh penting terhadap roti misalnya dari tingkat
kelembutan, keempukan, dan kekerasan, dan sebagainya. Biasanya lebih lebih
disukai roti dengan tekstur yang lembut, empuk dan tidak keras. Sebaliknya,
roti dengan tekstur yang teksturnya kasar dan keras tidak akan disukai. Tekstur
merupakan sensasi tekanan yang dapat diamati dengan mulut (pada waktu
digigit, dikunyah, dan ditelan) ataupun perabaan dengan jari (Kartika et al.,
(1988) dalam Nugrahawati (2011)). Dari Tabel 3.2 dapat diketahui hasil
pengamatan tekstur dalam (crumb) dan tekstur luar (crust). Untuk nilai crust
atau tekstur luar roti, hasil praktikum tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan, karena kedua jenis formulasi mempunyai tingkat crust yang sama.
Untuk nilai kelembutan dalam roti (crumb), roti dengan terigu Cakra Kembar
100% mempunyai nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan roti dengan
terigu campuran, yaitu 50% Cakra Kembar dan 50% Segitiga Biru.

Penggunaan bahan baku tepung terigu mempengaruhi tekstur roti yang


dihasilkan. Tekstur roti berkaitan erat dengan komposisi roti tesebut, komposisi
tersebut adalah tepung terigu. Menurut Desrosier (2008) dalam Rakhmah
(2011), tepung terigu merupakan struktur pokok atau bahan pengikat di dalam
semua formula roti. Bahan yang digunakan untuk memproduksi roti memiliki
pengaruh pengikat dan pengeras yang berbeda-beda terhadap adonan roti.
Penggunaan tepung terigu protein tinggi yang berlebih menghasilkan tekstur
roti yang lebih lunak dan lebih beremah, sedangkan penggunaan tepung terigu
campuran menghasilkan tekstur roti yang lebih keras dan tidak mengembang
(Rakhmah, 2011). Kandungan gluten inilah yang menyebabkan produk roti
lebih mengembang.
Roti menurut Standar Nasional Indonesia didefinisikan sebagai produk
yang diperoleh dari adonan tepung terigu yang diragikan dengan ragi roti dan
dipanggang, dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan
makanan yang diizinkan. Roti yang berkualitas memiliki karakteristik eksternal
tertentu, di antaranya memiliki volume yang cukup, warna kulit roti coklat
keemasan, pemanggangan merata, bentuk simetris dan memiliki kulit roti yang
tipis. Sedangkan karakteristik internal, di antaranya warna bagian dalam
(crumb) yang cerah, pori-pori seragam dengan dinding pori yang tipis, tekstur
halus, lembut dan tidak bersifat remah, aroma khas roti yang segar dan
menyenangkan. Parameter mutu yang sangat penting lainnya adalah kualitas
makan. Roti dengan kualitas makan yang baik memiliki rasa yang memuaskan,
tidak meninggalkan aftertaste yang tidak menyenangkan dan ketika dikunyah
terasa enak dan lembut, tidak keras maupun lengket di mulut.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas roti krumpul, meliputi
parameter warna, aroma, rasa, crust dan crumb, secara umum disebabkan
karena variasi dalam penggunaan bahan baku dan proses pembuatannya. Bahan
baku pembuatan roti krumpul yang mempengaruhi kualitas sensorisnya adalah:
jenis dan konsentrasi bahan adonan roti yang terdiri dari bahan pokok berupa
tepung terigu, ragi roti, air dan garam serta bahan penambah rasa yaitu gula,
garam, lemak, minyak, susu, dan telur. Jika bahan baku yang digunakan
mempunyai kualitas yang baik dan proses pembuatannya benar maka roti yang

dihasilkan akan mempunyai kualitas yang baik pula. Jenis dan mutu produk
bakery sangat bervariasi tergantung jenis bahan-bahan dan formulasi yang
digunakan dalam pembuatannya.

E. PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas dapat diambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
a. Jenis tepung yang terbaik yang digunakan untuk membuat roti krumpul
adalah tepung dengan kadar protein yang tinggi.
b. Jenis tepung terigu dapat berpengaruh terhadap karakteristik sensoris
roti krumpul
c. Karakteristik terbaik roti krumpul yang disukai konsumen yakni rasa
yang enak, berwarna cokelat, beraroma harum, agak crust, dan agak
crumb.
2. Saran
Beberapa hal yang disarankan yakni perlu adanya penelitian lebih
lanjut untuk mengetahui kandungan gizi produk setelah adanya perlakuan
perbedaan komposisi tepung yang digunakan. Selain itu pada pembuatan
roti krumpul sebaiknya menggunakan peralatan yang memadai agar hasil
praktikum higienis dan lebih aman.

DAFTAR PUSTAKA
Asngad, Aminah dan Triani. 2010. Kadar Bioetanol Limbah Tapioka Padat
Kering dengan Penambahan Ragi dan H2SO4 pada Lama Fermentasi yang
Berbeda. Jurnal Penelitian Sains dan Teknologi 11(2): 156-166.
Jean, John. 2007. Soft Bread. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Jimenez, A Ramirez, E. Guerra-Hernandez dan B Garcia Villanova. 2000.
Browning Indicators in Bread. J. Agriculture Food Chemistry 48: 4176-4181.
Justicia, Ainy, Evy Liviawati dan Herman Hamdani. 2012. Fortivikasi Tepung
Tulang Nila Merah sebagai Sumber Kalsium terhadap Tingkat Kesukaan Roti
Tawar. Jurnal Perikanan dan Kelautan 3(4): 17:27.
Lodder, Jacomina. 1968. Process for The Manufacture of Bread with the Aid of
Yeast. United States Patent Office: Application Nietherlands.
Lubis, Yanti Meldasari, Novia Mehra Erfiza, Ismaturrahmi dan Fahrizal. 2013.
Pengaruh Konsentrasi Rumput Laut (Eucheuma cottonii) dan Jenis Tepung
pada Pembuatan Mie Basah. Rona Teknik Pertanian 6 (1).
Muzaifa, Murna, Zalniati Fonna Rozali dan Rasdiansyah. 2012. Production of
Yellow Pumpkin Bread with Different Percentage of Wheat Flour Subtitution
and Emulsifier Concentration. Jurnal Penelitian Industri 25(2).
Nugrahawati, Tri. 2011. Kajian Karakteristik Mie Kering dengan Subsitusi
Bekatul. Universitas Sebelas Maret: Teknologi Hasil Pertanian.
Nuraini, Arista. 2011. Aplikasi Millet (Pennisetum Spp) Merah dan Millet Kuning
Sebagai Subsitusi Terigu dalam Pembuatan Roti Tawar: Evaluasi Sifat
Sensoris dan Fisikokimia. Universitas Sebelas Maret: Teknologi Hasil
Pertanian.
Rakhmah, Yaumil. 2012. Studi Pembuatan Bolu Gulung Dari Tepung Ubi Jalar (Ipomoea
Batatas L). Universitas Hasanuddin Makassar: Program Studi Ilmu Dan Teknologi
Pangan.

Ramirez, Antonio-Jimenez, Belen Garca-Villanova and Eduardo GuerraHernandez. 2001. Effect of Toasting Time on The Browning of Sliced Bread.
Journal of Science Food Agriculture 22(5142).
Suciptawati, Ni Luh Putu dan Wella Dhanuantari. 2011. Analisis Mutu Ketebalan
Roti Sisir pada Perusahaan XYZ. Jurnal Matematika 2(1).
Sufi, SY. 1999. Kreasi Roti. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sulistyawati, Triany dan Julius Arya Wiwaha. 2007. Pengaruh Pengadukan
Bahan Adonan Roti terhadap Hasil Jadi. Dinamika Kepariwisataan 3(2):
376-384.
Susilo, DUM dan Fenny Emilda. 2007. Pembuatan Cake Kacang Tunggak
(Vigna Unguiculata) dengan Pencampuran Tepung Gandum. Jurnal Belian
6(1): 1-5.
Witono, Judy Retti, Angela Justina Kumalaputri dan Heidylia Stella Rukmana.
2012. Optimasi Rasio Tepung Terigu, Tepung Pisang dan Tepung Ubi Jalar
serta Konsentrasi Zat Aditif pada Pembuatan Mie. Universitas Katolik
Parahayangan: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat.
Wolke, Robert L. 2005. Kalo Einstein Jadi Koki. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.

LAMPIRAN

Gambar 1.1 Bahan-bahan Roti


Krumpul
Gambar 1.4 Pembulatan
Adonan

Gambar 3.2 Pengulenan Adonan


Gambar 3.4 Adonan akan di
Steam

Gambar 3.3 Pemeraman

Gambar 3.5 Roti Krumpul

You might also like