Professional Documents
Culture Documents
2. Perumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat diperoleh rumusan masalah sebagai
berikut:
a. Apakah jenis tepung yang terbaik yang digunakan untuk pembuatan roti
krumpul?
b. Bagaimana pengaruh jenis tepung terigu terhadap karakteristik sensoris
roti krumpul?
c. Bagaimana karakteristik terbaik roti krumpul yang disukai konsumen?
3. Tujuan
Tujuan dari acara III Pembuatan Roti Krumpul ini adalah:
a. Mampu mengetahui jenis tepung yang terbaik yang digunakan dalam
pembuatan roti krumpul.
b. Mampu mengetahui jenis tepung terigu terhadap karakteristik sensoris
roti krumpul.
c. Mampu mengetahui karakteristik terbaik roti krumpul yang disukai
konsumen.
B. TINJAUAN PUSTAKA
Gandum hampir seluruhnya digunakan dalam industri pangan dalam
bentuk tepung. Kandungan proteinnya antara 816%, selain mengandung
karbohidrat, lemak, mineral (abu) dan serat. Secara fungsional dalam
pengolahan roti ataupun cake, protein gandum terdiri atas protein pembentuk
gluten dan protein bukan pembentuk gluten. Kemampuan daya bentuk struktur
cake ditentukan oleh mutu dan jumlah glutennya. Gluten terbentuk dari gliadin
dan glutenin yang bereaksi dengan air, dipercepat dengan perlakuan mekanis,
membentuk jaringan tiga dimensi yang kontinyu. Gluten mempunyai sifat
lentur atau elastis dan rentang atau ekstensible (Susilo dan Fenny, 2007).
Roti merupakan sumber karbohidrat yang banyak dikonsumsi oleh
masyarakat Indonesia selain nasi. Hal ini disebabkan karena roti merupakan
sumber karbohidrat yang tinggi dan memiliki kandungan gizi yang lebih
unggul jika dibandingkan dengan nasi dan mie. Bahan utama dalam pembuatan
roti adalah tepung terigu. Pada roti mampu meningkatkan kualitas roti seperti
kekalisan adonan, pembentukan adonan, waktu pengadukan yang lebih singkat
dan kelembutan crumb. Penambahan bahan pengemulsi juga dapat
meningkatkan keseragaman pori dan memperbaiki karakteristik roti tawar yang
dihasilkan (Muzaifa, 2012).
Bahan baku pembuat roti dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Bahan pokok yaitu tepung terigu, ragi roti, air dan garam.
2. Bahan penambah rasa yaitu gula, garam, lemak, minyak, susu, dan telur.
3. Bahan tambahan antara lain zat anti basi atau pengawet makanan (Sufi,
1999).
Jenis-jenis tepung terigu:
1. Hard flour: di pasaran lebih dikenal dengan cap cakra. Sangat baik untuk
membuat aneka roti tawar, roti mari, atau adonan pastry.
2. Medium hard flour: di pasaran lebih dikenal dengan sebutan cap segitiga
biru. Cocok untuk pastry, cake , dan mi.
3. Soft flour: di pasaran dikenal dengan cap kunci. Cocok untuk membuat
biskuit, kue kering, dan cake (Sufi, 1999).
Citarasa suatu makanan terdiri atas tiga komponen: rasa, bau, dan tekstur.
Dengan garam, kita boleh meniadakan unsur bau karena baik natrium klorida
maupun kalsium dan magnesium sulfar yang mungkin terkandung dalam
garam laut kurang murni tidak mempunyai bau. Ukuran dan bentuk kristal
tidak ada pengaruhnya ketika garam digunakan dalam memasak. ltu karena
kristal mana pun akhirnya larut dan menghilang seluruhnya dalam cairan
makanan. Dan setelah terlarut, semua perbedaan tekstur menjadi hilang
(Wolke, 2005).
Dalam pembuatan roti untuk mendapatkan volume yang baik digunakan
tepung terigu khusus roti (bread flour atau hard flour) dengan jumlah gluten
kurang lebih 13,5%. Fungsi air dalam pembuatan roti membentuk zat gluten,
memungkinkan yeast melakukan proses fermentasi, melarutkan bahan-bahan
lain serta tepung terigu, mengontrol suhu dan kepadatan adonan. Yeast yang
digunakan biasanya adalah Saccharomyces cerevissiae (Jean, 2007).
Saccharomyces cerevissiae merupakan khamir yang banyak digunakan
dalam industri fermentasi bioetanol sebagai industri modern, khamir terserbut
dalam bioteknologi konvensional telah digunakan untuk memproduksi
beberapa pangan tradisional seperti: bir, anggur, wiski, sake, bahan
pengembang roti, tempe dan sebagainya. Dalam proses pemecahan (cracking)
suatu senyawa (tepung atau pati) dapat ditambahkan bahan tertentu sebagai
katalis untuk mempercepat jalannya reaksi, terutama reaksi yang menggunakan
suhu dan tekanan rendah. Dalam proses pemecahan senyawa (pati atau tepung)
dapat digunakan asam sulfat atau H2SO4 (Asngad dan Triani, 2010).
C. METODOLOGI
1. Tempat dan Waktu Praktikum
Praktikum Teknologi Pengolahan Pangan Acara III Pengaruh Jenis
Tepung Terigu Terhadap Karakteristik Sensoris Roti Krumpul dilaksanakan
pada tanggal 1 Desember 2014 pukul 10.0012.00 WIB di Laboratorium
Rekayasa Proses Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian Fakultas Pertanian
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Alat dan Bahan
a. Alat
1) Agitator
2) Baskom
3) Plastik
4) Oven
5) Steam
6) Pisau
7) Loyang
8) Serbet
b. Bahan
1) Tepung terigu Cakra Kembar I kg
2) Tepung terigu Segitiga Biru 1 kg
3) Gula halus 200 gr
4) Garam 10 gr
5) Susu bubuk 600 gr
6) Mentega 50 gr
7) Margarin 70 gr
8) Susu segar 300 ml
9) Fermipan 2 bungkus
10) Kuning telur 8 butir
11) Keju
12) Selai kacang
13) Messes
3. Cara Kerja
Tepung (sesuai formulasi), gula halus, susu bubuk,
mentega putih, fermipan, margarin dan kuning telur
Susu segar
dingin,
garam, air
dingin
Pengisian
Pengukusan atau steaming selama 30 menit
Pemberian glozing
Pengovenan
Penirisan
Komponen
Jumlah (%)
Protein
75
Lemak
6
Karbohidrat
15
Abu
0,8
Air
3,2
Sumber: Wieser (2003) dalam Witono et al.,(2012)
Menurut Susilo dan Fenny (2007), gluten terbentuk dari gliadin dan
glutenin yang bereaksi dengan air, dipercepat dengan perlakuan mekanis,
membentuk jaringan tiga dimensi yang kontinyu. Gluten mempunyai sifat
lentur (elastic) dan rentang (ekstensible). Kelenturannya ditentukan oleh
glutenin sedangkan kerentangannya oleh gliadin. Gliadin tersusun oleh
glutamin (-C-NH2) dan asam glutamat, prolin dengan sedikit lisin. Glutenin
tersusun sub unit yang bervariasi berat molekulnya. Masing-masing bagian
dihubungkan satu sama lain melalui ikatan disulfida (S-S). Gabungan gliadin
dan glutenin membentuk lapisan film yang kuat dan lentur. Kelenturan gluten
terjadi setelah terjadi hidrasi protein fibril (Utami (1992) dalam Susilo dan
Fenny (2007)).
Komponen pembentuk gluten mengandung 75-80% protein yang
terbentuk dari gliadin dan glutenin (Gambar 3.2). Gliadin memiliki ikatan
intra-molekuler disulfida, sedangkan glutenin memiliki ikatan inter dan intra
molekuler disulfida (Wrigley and Bietz (1998) dalam Witono et al., (2012)).
Dampaknya, gliadin memiliki struktur molekul padat dan bulat, sedangkan
glutenin cenderung linier. Witono et al., (2012) menambahkan bahwa gliadin
dan glutenin bergabung membentuk gluten sangat lengket. Gliadin dan glutenin
merupakan faktor penting yang menentukan reologi adonan. Gliadin yang
terhidrasi memiliki sifat kurang elastis dan kurang. Komposisi yang tepat
antara gliadin dan glutenin menghasilkan viskositas adonan yang sesuai dengan
kualitas produk akhir yang diinginkan.
Gambar 3.2 Komponen pembentuk gluten
butir kuning telur, 70 gram margarin, 50 gram mentega putih, 60 gram susu
bubuk, 2 bungkus fermipan dan 200 gram gula halus. Tepung yang digunakan
untuk formulasi yang pertama adalah 1 kg tepung Cakra Kembar, sedangkan
formulasi lainnya menggunakan campuran antara 0,5 kg tepung Cakra Kembar
dengan 0,5 kg tepung Segitiga Biru. Setelah semua bahan kering tercampur
merata, segera ditambahkan susu segar dingin sebanyak 300 ml dan 10 gram
garam untuk kemudian diaduk perlahan hingga merata. Pengadukan adonan
dilakukan menggunakan agitator, apabila adonan belum kalis, dapat
ditambahkan air dingin. Air dingin yang digunakan untuk menjaga agar suhu
adonan sesuai untuk aktivitas yeast dalam proses pengadukan (Astawan (1999)
dalam Nugrahawati (2011)).
Menurut Sulistiyawati (2007), proses pencampuran merupakan tahapan
dalam pembentukan gluten. Gluten adalah sejenis protein yang tidak larut
dalam air dan memiliki fungsi untuk menahan gas yang terbentuk selama
fermentasi atau peragian. Gluten yang terbentuk dapat menyimpan gas
sebanyak-banyaknya. Protein terigu yang rendah, kapasitas untuk menyimpan
gas terbentuk pada proses peragian yang menyebabkan pengembangan volume
adonan (Sulistyawati, 2007). Tujuannya tentu saja untuk memperoleh volume
adonan. Justicia (2012) mengatakan bahwa roti yang baik memiliki volume roti
yang besar yang menunjukkan bahwa adonan memiliki kemampuan mengikat
gas CO2 yang baik selama fermentasi.
Menurut Sulistiyawati (2007), proses pengadukan dan penambahan air
dingin dimaksudkan untuk mempermudah pembentukan gluten. Dimana air
dingin yang digunakan dalam pembuatan roti berfungsi untuk menjaga agar
suhu adonan sesuai untuk aktivitas yeast dalam proses pengadukan. Astawan
(1999) dalam Nugrahawati (2011) juga mengatakan bahwa air berfungsi
sebagai media gluten dengan karbohidrat, larutan garam dan membentuk sifat
kenyal gluten. Fungsi air dalam pembuatan roti menurut Jean (2008) selain
membentuk zat gluten, air juga memungkinkan yeast atau ragi roti, yaitu
Saccharomyces cereviceae, melakukan proses fermentasi, melarutkan bahanbahan lain beserta tepung terigu, mengontrol suhu dan kepadatan adonan.
Selama peragian atau fermentasi, adonan menjadi lebih besar dan ringan.
Pada adonan langsung, adonan perlu sekali dilipat, ditusuk atau dipukul 1-2
kali selama peragian dan pada akhir peragian. Pemukulan dilakukan agar suhu
adonan rata, gas CO2 hilang, dan udara segar tertarik ke dalam adonan
sehingga rasa asam pada roti dapat hilang (Mudjajanto dan Yulianti (2004)
dalam Nugrahawati (2011)). Jika terlalu banyak pukulan, gas yang keluar dari
adonan terlalu banyak sehingga roti tidak mengembang. Langkah selanjutnya
adalah pembentukan adonan menjadi yang dilakukan diatas meja plastik untuk
mempermudah pembuatan bentuk bulat. Pembulatan adonan bertujuan untuk
memudahkan dalam pembentukan adonan yang diinginkan dan agar didapatkan
pembentukan lapisan film secara seragam berdasarkan porsi yang diinginkan
(Sulistiyawati, 2007).
Setelah itu, adonan kembali diletakkan di dalam baskom dengan ditutup
menggunakan serbet basah dan didiamkan selama 30 menit. Pendiaman selama
30 menit dimaksudkan agar ragi roti atau yeast dapat melakukan fermentasi.
Pengistirahatan atau pendiaman, menurut Sulistiyawati (2007), dilakukan guna
memberikan kesempatan ragi untuk berfermentasi lagi. Untuk mencapai hasil
peragian yang rata, perlu dijaga suhu dengan membiarkan peragian
berlangsung ditempat yang suhunya stabil. Penutupan dengan serbet basah
dimaksudkan untuk memberi suasana lembab namun tetap dalam keadaan yang
aerob, sehingga optimum untuk ragi roti beraktivitas. Peletakan baskom berisi
adonan juga harus pada suhu ruang atau sekitar suhu 27-30oC. Mudjajanto dan
Yulianti (2004) dalam Nugrahawati (2011) mengatakan bahwa agar mikroba
tumbuh baik maka harus diatur oksigen cukup tersedia karena mikroba yang
hidup bersifat aerob dan suhu pengolahan sekitar 30oC.
Setelah pendiaman, adonan kembali dibentuk menjadi bentuk
memanjang lalu dilakukan pemotongan menggunakan pisau dengan ukuran
masing-masing 40-50 gram. Tujuannya adalah untuk mempermudah langkah
berikutnya yaitu pembentukan adonan menjadi bulatan kecil. Adonan
berbentuk bulat selanjutnya didiamkan selama 15 menit untuk memberi
kesempatan ragi roti berfermentasi lagi dalam mengembangkan adonan. Dari
aerasi, yaitu kemampuan menangkap udara pada saat adonan dikocok sehingga
udara menyebar rata pada adonan. Telur dapat mempengaruhi warna, rasa dan
melembutkan tekstur produk bakeri dengan daya emulsi dari lesitin pada
kuning telur (Indrasti, 2004) dalam Rakhmah (2012).
Pada pembuatan roti, untuk tepung jenis lunak (soft) atau berprotein
rendah, penambahan susu lebih banyak dibandingkan tepung jenis keras (hard)
atau berprotein tinggi. Penambahan susu sebaiknya berupa susu padat.
Alasannya, susu padat menambah penyerapan (absorpsi) air dan memperkuat
adonan. Bahan padat bukan lemak (BPBL) pada susu padat tersebut berfungsi
sebagai bahan penyegar protein tepung sehingga volume roti bertambah
(Mudjajanto dan Yulianti (2004) dalam Nugrahawati (2011)). Sulistiyawati
(2007) mengatakan bahwa tanpa dibubuhi sesuatu apapun, rasa susu sedikit
manis, dengan aroma agak harum serta berbau khas susu. Bau khas susu
tersebut akan berkurang bahkan hilang apabila susu dipanaskan atau dibiarkan
pada tempat yang terkena udara. Dalam susu terdapat berbagai macam mineral,
vitamin, pigmen, dan enzim. Lemak dalam susu tersebar merata dalam bentuk
emulsi.
Lemak merupakan salah satu komponen penting dalam pembuatan
produk bakeri. Lemak yang biasanya digunakan dalam pembuatan produk
bakeri adalah butter (mentega) dan margarin. Mentega adalah lemak hewani
hasil separasi antara fraksi lemak dan non lemak dari susu. Margarin adalah
lemak plastis yang dibuat dari proses hidrogenasi parsial minyak nabati
(Budijanto, et al.,(2000) dalam Nuraini (2012). Shortening merupakan lemak
atau minyak sebagai pelembut cake. Selain itu juga meningkatkan gizi, rasa
lezat dan bahan pengempuk serta membantu pengembangan susunan fisik
adonan yang dibakar. Komponen terbanyak didalamnya lemak, air dan garam
(Hadiwiyoto (1983) dalam Susilo dan Fenny (2007)). Shortening adalah lemak
padat yang memiliki sifat plastis dan kestabilan tertentu, umumnya berwarna
putih sehingga sering disebut mentega putih. Bahan ini diperoleh dari
pencampuran dua atau lebih lemak, atau dengan cara hidrogenase. Mentega
putih ini banyak digunakan dalam bahan pangan terutama dalam pembuatan
cake dan kue yang dipanggang. Fungsinya adalah untuk memperbaiki citarasa,
struktur, tekstur, keempukan dan memperbesar volume roti atau kue (Winarno
(1997) dalam Sulistiyawati (2011).
Gula ditambahkan pada jenis roti tertentu untuk melengkapi karbohidrat
yang ada untuk proses fermentasi dan untuk memberikan rasa manis pada roti.
Akan tetapi gula lebih banyak dipakai dalam pembuatan biskuit dan kue,
dimana selain memberikan rasa manis gula juga mempengaruhi tekstur (Buckle
et al.,(1987) dalam Sulistiyawati (2007)). Gula di dalam pembuatan cake
sangat berperan sebagai pemanis, pengempuk dan pewarna kulit cake. Sebagai
pengempuk, gula membantu menahan air dalam remah dan menghambat
pemampatan adonan. Pewarnaan kulit cake, disebabkan karamelisasi saat
pemanggangan (Desrosier (1988) dalam Susilo dan Fenny (2007)).
Garam berfungi sebagai penambah rasa gurih, pembangkit rasa bahanbahan lainya, pengontrol waktu fermentasi dari adonan beragi, penambah
kekuatan gluten, pengatur warna kulit dan pencegah timbulnya bakteri-bakteri
dalam adonan. Jika kurang dari 2% maka rasa akan hambar, sedangkan diatas
2,25% akan menghambat aktivitas mikroba dalam ragi (Mudjajanto (2008)
dalam Nuraini (2011). Nuraini juga mengatakan bahwa fungsi penambahan
garam dalam pembuatan produk bakery adalah untuk menambah aroma dan
memperkuat camuran lemak dan gula. Selain itu juga berfungsi mengontrol
pertumbuhan yeast. Wolke (2005) berpendapat bahwa dengan garam, kita
boleh meniadakan unsur bau karena baik natrium klorida maupun kalsium dan
magnesium sulfar yang mungkin terkandung dalam garam laut kurang murni
tidak mempunyai bau.
Tabel 3.2 Hasil Pengamatan Roti Krumpul
Shif Bahan
Gambar
Sebelum
Sesudah
t
Terigu
1
Cakra
kembar 1
kg
Cakra
Paramete
Ket
r
Warna
Rasa
Aroma
Crust
Crumb
Warna
++
+
+
++
+
++
kembar
0,5 kg +
Segitiga
Rasa
Aroma
Crust
Crumb
++
++
-
Biru 0,5
kg
Sumber: Laporan Sementara
Keterangan:
1) Parameter Warna
- : Tidak cokelat atau putih
+
: Agak cokelat
++
: Cokelat
+++ : Sangat cokelat
2) Parameter Rasa
: Tidak suka
+
: Agak suka
++
: Suka
+++ : Sangat suka
3) Parameter Aroma
: Tidak harum
+
: Agak harum
++
: Harum
+++ : Sangat harum
4) Parameter Crust (Tekstur Luar)
: Tidak crust
+
: Agak crust
++
: Crust
+++ : Sangat crust
5) Parameter Crumb (Tekstur Dalam)
: Tidak crumb
+
: Agak crumb
++
: Crumb
+++ : Sangat crumb
Dari Tabel 3.2 dapat dilihat hasil pengamatan terhadap pembuatan roti
krumpul yang menggunakan dua jenis terigu yang berbeda. Pada roti krumpul
yang pertama menggunakan bahan dasar adonan 1 kg tepung Cakra Kembar
sedangkan roti krumpul yang kedua menggunakan 0,5 kg tepung Cakra
Kembar dan 0,5 kg tepung Segitiga Biru sebagai bahan dasarnya. Perbedaan
dari kedua jenis tepung ini adalah kandungan proteinnya. Menurut Lubis et al.,
(2013), Cakra Kembar merupakan tepung terigu protein tinggi. Tepung terigu
keras atau protein tinggi mempunyai kadar protein 1011%, dihasilkan dari
penggilingan 100% gandum hard. Sufi (1999) mengatakan bahwa medium
hard flour di pasaran lebih dikenal dengan sebutan cap Segitiga Biru dengan
kandungan protein 9,5-11%. Terigu jenis Segitiga biru inilah yang digunakan
pada praktikum pembuatan roti krumpul, dengan komposisi 1:1 dengan tepung
Cakra Kembar.
Uji organoleptik selanjutnya dilakukan untuk mengetahui pengaruh jenis
dan komposisi tepung terigu terhadap kualitas organoleptik roti krumpul.
Parameter yang diamati adalah warna, rasa, aroma, crust (tekstur luar) dan
crumb (tekstur dalam). Untuk parameter yang diamati pertama adalah warna,
dengan skala nilai sangat coklat hingga tidak cokelat (putih). Untuk roti
krumpul dengan bahan terigu Cakra Kembar 100% maupun roti krumpul
dengan bahan terigu 50% terigu Cakra Kembar dan 50% terigu Segitiga Biru
menghasilkan warna cokelat. Ramirez (2001) mengatakan bahwa reaksi kimia
yang mempengaruhi warna roti pada dasarnya reaksi maillard dan
karamelisasi. Reaksi maillard menghasilkan perubahan warna (melanoidins)
yang menyebabkan warna roti menjadi kecoklatan. Reaksi karamelisasi yang
didukung adanya gula (Susilo dan Fenny, 2007), karena adanya degradasi gula,
dapat menyebabkan warna karamel (coklat) pada produk bakery. Sehingga
perbedaan kadar protein dalam terigu tidak berpengaruh signifikan terhadap
warna roti yang dihasilkan.
Parameter selanjutnya adalah rasa. Rasa timbul akibat adanya rangsangan
kimiawi yang dapat diterima oleh indera pencicip atau lidah. Rasa adalah
faktor yang mempengaruhi penerimaan produk pangan. Pada formulasi satu
(tepung Cakra Kembar 100%) yaitu tidak lebih disukai daripada formulasi
lainnya (50% Cakra Kembar dan 50% Segitiga Biru). Menurut Sufi (1999)
fakor yang mempengaruhi rasa roti adalah bahan penambah rasa berupa gula,
garam, lemak, minyak, susu dan telur. Ramirez (2001) mengatakan bahwa rasa
dari roti ditimbulkan oleh senyawa aldehida dan keton. Proses fermentasi juga
mempengaruhi rasa pada roti, karena menghasilkan asam sebagai metabolit
sekundernya (Asngad dan Triani, 2010).
Pada hasil praktikum diketahui bahwa formulasi 50% Cakra Kembar dan
50% Segitiga Biru lebih disukai daripada formulasi 100% Cakra Kembar untuk
parameter rasanya. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Ramirez (2011) yang
mengatakan bahwa pada produk bakery dengan kadar protein yang lebih tinggi
dihasilkan akan mempunyai kualitas yang baik pula. Jenis dan mutu produk
bakery sangat bervariasi tergantung jenis bahan-bahan dan formulasi yang
digunakan dalam pembuatannya.
E. PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas dapat diambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
a. Jenis tepung yang terbaik yang digunakan untuk membuat roti krumpul
adalah tepung dengan kadar protein yang tinggi.
b. Jenis tepung terigu dapat berpengaruh terhadap karakteristik sensoris
roti krumpul
c. Karakteristik terbaik roti krumpul yang disukai konsumen yakni rasa
yang enak, berwarna cokelat, beraroma harum, agak crust, dan agak
crumb.
2. Saran
Beberapa hal yang disarankan yakni perlu adanya penelitian lebih
lanjut untuk mengetahui kandungan gizi produk setelah adanya perlakuan
perbedaan komposisi tepung yang digunakan. Selain itu pada pembuatan
roti krumpul sebaiknya menggunakan peralatan yang memadai agar hasil
praktikum higienis dan lebih aman.
DAFTAR PUSTAKA
Asngad, Aminah dan Triani. 2010. Kadar Bioetanol Limbah Tapioka Padat
Kering dengan Penambahan Ragi dan H2SO4 pada Lama Fermentasi yang
Berbeda. Jurnal Penelitian Sains dan Teknologi 11(2): 156-166.
Jean, John. 2007. Soft Bread. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Jimenez, A Ramirez, E. Guerra-Hernandez dan B Garcia Villanova. 2000.
Browning Indicators in Bread. J. Agriculture Food Chemistry 48: 4176-4181.
Justicia, Ainy, Evy Liviawati dan Herman Hamdani. 2012. Fortivikasi Tepung
Tulang Nila Merah sebagai Sumber Kalsium terhadap Tingkat Kesukaan Roti
Tawar. Jurnal Perikanan dan Kelautan 3(4): 17:27.
Lodder, Jacomina. 1968. Process for The Manufacture of Bread with the Aid of
Yeast. United States Patent Office: Application Nietherlands.
Lubis, Yanti Meldasari, Novia Mehra Erfiza, Ismaturrahmi dan Fahrizal. 2013.
Pengaruh Konsentrasi Rumput Laut (Eucheuma cottonii) dan Jenis Tepung
pada Pembuatan Mie Basah. Rona Teknik Pertanian 6 (1).
Muzaifa, Murna, Zalniati Fonna Rozali dan Rasdiansyah. 2012. Production of
Yellow Pumpkin Bread with Different Percentage of Wheat Flour Subtitution
and Emulsifier Concentration. Jurnal Penelitian Industri 25(2).
Nugrahawati, Tri. 2011. Kajian Karakteristik Mie Kering dengan Subsitusi
Bekatul. Universitas Sebelas Maret: Teknologi Hasil Pertanian.
Nuraini, Arista. 2011. Aplikasi Millet (Pennisetum Spp) Merah dan Millet Kuning
Sebagai Subsitusi Terigu dalam Pembuatan Roti Tawar: Evaluasi Sifat
Sensoris dan Fisikokimia. Universitas Sebelas Maret: Teknologi Hasil
Pertanian.
Rakhmah, Yaumil. 2012. Studi Pembuatan Bolu Gulung Dari Tepung Ubi Jalar (Ipomoea
Batatas L). Universitas Hasanuddin Makassar: Program Studi Ilmu Dan Teknologi
Pangan.
Ramirez, Antonio-Jimenez, Belen Garca-Villanova and Eduardo GuerraHernandez. 2001. Effect of Toasting Time on The Browning of Sliced Bread.
Journal of Science Food Agriculture 22(5142).
Suciptawati, Ni Luh Putu dan Wella Dhanuantari. 2011. Analisis Mutu Ketebalan
Roti Sisir pada Perusahaan XYZ. Jurnal Matematika 2(1).
Sufi, SY. 1999. Kreasi Roti. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sulistyawati, Triany dan Julius Arya Wiwaha. 2007. Pengaruh Pengadukan
Bahan Adonan Roti terhadap Hasil Jadi. Dinamika Kepariwisataan 3(2):
376-384.
Susilo, DUM dan Fenny Emilda. 2007. Pembuatan Cake Kacang Tunggak
(Vigna Unguiculata) dengan Pencampuran Tepung Gandum. Jurnal Belian
6(1): 1-5.
Witono, Judy Retti, Angela Justina Kumalaputri dan Heidylia Stella Rukmana.
2012. Optimasi Rasio Tepung Terigu, Tepung Pisang dan Tepung Ubi Jalar
serta Konsentrasi Zat Aditif pada Pembuatan Mie. Universitas Katolik
Parahayangan: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat.
Wolke, Robert L. 2005. Kalo Einstein Jadi Koki. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
LAMPIRAN