You are on page 1of 29

ACARA II

EVALUASI KADAR SIANIDA BAHAN PANGAN

A. Tujuan
Tujuan dilaksanakannya praktikum acara II Evaluasi Kadar Sianida
Bahan Pangan adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui prinsip evaluasi kadar sianida dalam bahan pangan dengan
metode destilasi dan spektrofotometeri.
2. Mengetahui pengaruh berbagai perlakuan terhadap kadar sianida bahan
pangan.
3. Mengetahui kadar sianida bahan pangan dengan berbagai variasi perlakuan.
B. Tinjauan Pustaka
Glikosida sianogenik merupakan gugus glikosida dari -hidroksinitril
yang berupa hasil metabolit sekunder dari suatu tanaman dan merupakan
turunan asam amino L yang terhidroksilasi dan juga asam amino N-hydroxyl
diubah menjadi aldoksim, unsur-unsur tersebut kemudian diubah menjadi nitril
dan dihidroksilasi menjadi -hidroksinitril lalu dihidroksilasi menjadi
glikosida sianogenik. Tanaman menghasilkan glikosida sianogenik bersama
dengan enzim hidrolitik ( glikosidase) ketika salah satu struktur selnya
dirusak oleh predator. Pada ubi kayu, gikosida sianogenik yang umumnya
terkandung adalah linamarin, sedikit lotaustralin (metil linamarin) dan enzim
linamarinase. Dengan dikatalisasi oleh enzim linamarinase, linamarin
terhidrolisis menjadi glukosa dan aseton sianohidrin dan lotaustralin
terhidrolisis menjadi glukosa dan sianohidrin. Lalu dengan alami, aseton
sianohidrin akan terdekomposisi menjadi aseton dan HCN. Biasanya umbiumbian yang manis memiliki kadar sianida yang lebih rendah dibandingkan
dengan umbi-umbian yang rasanya lebih pahit. HCN pada ubi kayu terkandung
sekitar 15 400 mg/kg dan sekitar 15 50 mg/kg pada umbi manis. Pada
produk yang difermentasi, masih menyisakan sekitar satu setengah persen dari
bahan yang dikeringkan. Tingkat sianida yang fatal pada beberapa kasus antara

lain pada saluran pencernaan 0,03; pada darah 0.5; pada hati 0,03; pada ginjal
0,11; pada otak 0,07; dan pada urin 0,2 (mg/100g) dengan kadar fatal minimal
sebesar 30 210 mg HCN pada manusia dewasa. Pertahanan tubuh dari HCN
adalah dengan mengubahannya menjadi tiosianat mediat oleh enzim rhodanase
yang mengandung banyak gugus disulfida aktif. Bila tidak terdetoksifikasi,
sianida akan mengikat Fe3+ atau Fe2+ dan menginaktivasi enzim sitokrom
oksidase sehingga menurukan utilisasi oksigen pada jaringan. Sianida
menyebabkan peningkatan kadar gula darah dan tingkat asam laktat serta
menurunkan rasio ATP / ADP dan mengubah metabolism aerob menjadi
anaerob. Sianida juga mengaktifkan reaksi glikogenilisis serta menurunkan
tingkat glikolisis dan menghambat siklus asam trikarboksilat. Dampak pada
tubuh bila melewati batas penerimaan maksimal, adalah kematian. Selain itu,
pada kadar yang lebih rendah, dapat menyebabkan intoksifikasi akut dengan
gejala, respirasi yang cepat, tekanan darah drop, jantung berdetak dengan
cepat, pusing, sakit kepala, sakit pada lambung, muntah-muntah and diare.
proses yang benar dan optimal seperti pengupasan, perajangan, dan
pemasakan, baik asam sianida maupn gikosida sianogenik dapat dikurangi
banhkan dihilangkan dari bahan pangan. Pada bahan dengan kandungan
sianida yang lebih tinggi dapat dihilangkan dengan proses yang lebih jauh
seperti fermentasi bertingkat sehingga kadarnya semakin berkurang (Food
Standards Australia New Zealand, 2005).
Glikosida sianogen merupakan senyawa alami yang bila terhidrolisis
akan menghasilkan keton atau aldehid, gugus gula, dan sejumlah tinggi ion
sianida yang beracun. Asam sianida terlepas dari glikosida sianogen melalui
pengaruh dari dua enzim yang berpengaruh yaitu -glukosidase yang
mengkatalis peecahan glukosa sehingga menghasilkan sianohidrin dan gula.
Kebanyakan sianohidrin sangat tidak stabil dan secara spontan terdekomposisi
menjadi ketone atau aldehid dan juga asam sianida. Dekomposisi tersebut
dikatalis oleh enzim hidroksinitrilyase. Seluruh komponen tersebut terdapat
padatanaman namun dalam keadaan terpisah. Ketika jaringan tanaman terluka

dan rusak, barulah komponen-komponen tadi bertemu dan terjadi reaksi


pembentukan HCN (Shibamoto dan Leonard, 1993).
Glikosianida sianogenik merupakan senyawa yang terdapat dalam
makanan nabati dan berpotensi terurai menjadi asam sianida (HCN) yang
bersifat racun. Asam ini dikeluarkan apabila bahan tersebut dihancurkan,
dikunyah, diiris atau rusak sehingga dapat teroksidasi. Apabila dicerna, HCN
sangat cepat diserap oleh alat pencernaan dan masuk ke dalam darah. Asam
sianida (HCN) terbentuk karena akifitas enzim hidrolase pada glikosida
sianogenik. Kandungan HCN memiliki batas normal konsumsi yaitu < 50 ppm
atau mg/kg. Dosis HCN yang mematikan berkisar antara 0,5 - 3,5 mg/kg berat
badan. Pengaruh lain yang disebabkan oleh keracunan HCN adalah kepala
pusing-pusing, muntah-muntah dan mata berkunang-kunang. Salah satu
metode pengukuran sianida dalam bahan pangan adalah metode kantitatif
dengan cara mendistilasi ekstrak bahan yang mengandung asam sianida.
Destilat yang diperoleh kemudian dititrasi dengan AgNO3 sampai terjadi
kekeruhan. Semakin keruh destilat menunjukkan semakin tinggi kadar HCN
pada bahan. Sifat Umum dari asam sianida antara lain: merupakan jenis racun
yang sangat kuat sehingga bila dimakan dapat menyebabkan keracunan, mudah
menguap bila dipanaskan, mudah larut dalam air, alkohol, aseton, dan
chloroform, mempunyai titik leleh / cair 54-55c, massa atom relatifnya adalah
27 SMA, mudah bereaksi dengan natrium klorida (NaCl), sedikit larut dalam
pelarut eter dan benzene, mengandung karbon (c) 75 %, hidrogen (h) 8,65 %,
dan oksigen (o) 14,4 % (Suciati, 2012).
Senyawa sianida adalah senyawa kimia yang bersifat toksik dan
merupakan jenis racun yang paling cepat aktif dalam tubuh sehingga dapat
menyebabkan kematian dalam waktu beberapa menit (akut). Berdasarkan
peraturan Standar Nasional Indonesia (SNI) sianida yang masih dapat
dikonsumsi, untuk makanan dan minuman siap saji sebesar 1 ppm, sedangkan
batas aman untuk produk olahan kacang-kacangan dan umbi-umbian sebesar
50 ppm. Metode yang banyak digunakan untuk penentuan sianida adalah
spektrofotometri, titrimetri dan kromatografi. Metode spektrofotometri dinilai

lebih baik dengan tingkat ketelitian yang tinggi sehingga hasil yang diperoleh
lebih akurat (Kusumawardhani dkk, 2015).
Asam sianida kebiru-biruan atau dikenal dengan sebagai asam prusik,
baru timbul saat jaringan umbi dirusak, misalnya dikupas atau diiris karena
terjadi kontak antara senyawa prekursor (bakal racun), yaitu linamarin dan
lotaustralin dengan enzim linamarase dan oksigen, sehingga terbentuk glukosa
dan sianohidrin. Sianohidrin ini pada suhu kamar dan pada kondisi basa
(pH>6,8) akan terpecah dengan cepat membentuk HCN dan aseton
(CH3COCH3). Bahaya HCN terutama pada sistem pernapasan, di mana oksigen
dalam darah terikat oleh senyawa HCN dan terganggunya sistem pernapasan
(sulit bernapas). Tergantung jumlah yang dikonsumsi, HCN dapat
menyebabkan kematian jika pada dosis 0,5 - 3,5 mg HCN/kg berat badan
(Pagarra, 2010).
HCN (asam sianida) merupakan cairan biru atau gas dengan aroma
seperti almond pahit yang samar-samar dengan nama lain asam prusat.
Merupakan asam lemah dengan nilai pKa 9,22 pada suhu 25C. larut dala air
dan alcohol. Memiliki massa molekul relatif sebesar 27,03 gr/mol, titik didih
25,7C dan massa jenis uapnya pada suhu 31C sebesar 0,937. Metode analisa
sianida pada lingkungan secara kuantitatif dapat dilakukan dengan cara
pengukuran sianida yang diikat oleh larutan sodium ataupun potasium
hidroksida (NaOH atau KOH) dengan metode spektrofotometri, kalorimetri,
atau detector elektroda ion spesifik. Sianida total pada sampel atau minuman
dapat diketahui kadarnya dengan metoe kalorimetri semi otomatis, elektroda
selektif, penyinaran sinar UV, destilasi, spektrofotometri, dan kromatografi
ion. Penggunaan sodium dan potassium hidroksida sebagai bahan pengikat
sianida adalah dikarenakan pada suasana basa, asam sianida akan terhidrolisis
dan akan berikatan dengan garam seperti kalium dan natrium (Simeonova dan
Lawrence, 2004).
Hidrogen sianida merupakan senyawa jernih tak berwarna, berupa
cairan atau gas yang mudah terbakar, dengan titik didih 25,7C dan membeku
pada suhu -13,2C. Gasnya sangat jarang terdapat di alam, lebih ringan dari

pada udara, dan bercampur secara cepat. Larut pada air dan alcohol, dan sedikit
larut pada eter. Dalam air, HCN merupakan asam lemah dengan rasio HCN
banding CN- antara 100 pada pH 7,2; 10 pada pH 8,2 dan 1 pada pH 9,2.
Sehingga peningkatan pH akan meningkatkan pembebasan ion sianida dan
pengasaman akan meningkatkan pembentukan asam sianida. Ionnya sangat
mudah berikatan dengan logam seperti potassium dan soium. Berdasarkan
berbagai sumber, pada singkong pahit, daunnya mengandung 0,347 mg/g
sianida; akarnya mengandung 0,325 0,550 mg/g. Pada singkong manis,
daunnya mengandung 0,377 0,5 mg/g sianida; akarnya mengandung 0,138
mg/g (Eisler, 1991).
Proses hidrolisis yang dilakukan oleh -glukosidase pada glukosida
sianogenik menghasilkan sebagian gula dan hidroksinitril. Hidroksinitril
kemudian terpecah secara enzimatis menjadi sianida dan campuran karbonil.
Kandungan sianida 50 mg/kg (ppm) bahan masih aman untuk dikonsumsi
manusia. Pada umumnya sianida dapat dihilangkan dengan perebusan dan
perendaman sebab sianida mempunyai sifat fisik mudah larut dalam air dan
mempunyai titik didih 29C (Harijono dkk, 2008).
Terdapat sekitar 2600 spesies tanaman yang memproduksi glukosida
sianogenik, setiap kultivarpun kandungannya beragam dipengaruhi oleh lokasi
geografis, kandungan hara, cuaca, dan faktor geografis lainnya. Ketika umbi
singkong ataupun daunnya diambil dari tanamannya, glukosida sianogenik
akan terhidrolisis oleh enzim menjadi -hidroksinitril dan gula atau sakarida.
-hidroksinitril selanjutnya akan membentuk reaksi intermolekular dan
menghasilkan hydrogen sianida atau HCN yang sangat beracun dan anal atau
keton. Dosis lethal secara oral adalah sekitar 0,58 3,5 mg/kg BW pada
manusia dewasa. Kandungan sianida dalam suatu komoditas pertanian
biasanya dikurangi atau dihilangkan dengan cara fermentasi, perebusan,
pengukusan, pengeringan, pembakaran, pemanggangan, dan metode lainnya.
Untuk mengukur asam sianida dalam suatu produk pertanian, dapat digunakan
metode spektrofotometri dengan basis ninhidrin sebagai indikator pada
panjang gelombang 485 nm. Grafik kalibrai dibuat dengan menggnakan larutan

standar ion sianida pada konsentrasi 0,02; 0,04; 0,08; 0,1; dan 0,2 g/mL dan
disiapkan dari penambahan larutan sianida pada konsentrasi 20 g CN-/mL
pada 1 mL 2% Na2CO3 (Ubwa et al., 2015).
Singkong mengandung glikosida sianogenik yang kebanyakan adalah
linamarin (2--D-glukopiranosiloksi-2-metilpropananitril) dan lautostralin (2-D-glukopiranosiloksi-2-metilbutironitril). Kandungan glukosida sianogenik
ini seharusnya tidak beracun, namun ketika terhidrolisis menjadi HCN, akan
beracun bagi manusia dan hewan yang memakannya. Dapat mengakibatkan
penyakit Konzo, kerusakan kelenjar tiroid, dan kerusakan saraf. Secara umum,
kandungan sianida dapatdianalisis menggunakan titrimetrik, elektrokimia,
maupun kalorimetri. Penggunaan metode tersebut bergantung pada seberapa
banyak kandungan yang terkandung didalamnya. Prinsip penganalisisan
dengan metode detilasi adalah dengan menghasilkan asam hidrosianat dengan
enzim linamarase pada glukosida sianogenik. Lalu ion sianida didestilasi dan
dievaluasi dengan menggunakan potensiometri dengan elektroda selektif untuk
ion CN. Penggunaan basa berupa NaOH adalah sebagai pengikat ion sianida
agar tidak dalam bentuk volatil (Diallo et al., 2014).
Salah saatu karakteristik yang dimiliki oleh tanaman singkong adalah
adanya senyawa antigizi yaitu linamarin, yang merupakan suatu glikosida yang
akan terhidrolisis pada kondisi tertentu sehingga menghasilkan asam sianida
yang prosesnya disebut dengan sianogenesis. Sianogenesis ini terjadi secara
alami apabila jaringan singkong rusak dan glikosida sianogenik bertemu
dengan substrata atau enzim. Terdapat beberapa metode dalam menganalisa
kadar sianida pada bahan makanan. Metode-metode itu pada dasarnya
berprinsip dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah pengekstrakan komponen
sianogenik dari bahan pangan, tahap kedua adalah hidrolisis senyawa
sianogenik menjadi sianida bebas, lalu tahap ke tiga adalah penentuan kadar
asam sianida. Pengekstraksian dilakukan dengan pelarutan pada larutan asam
karena enzim linamarinase inaktif pada suhu rendah, lalu pembebasan sianida
dilakukan melalui hidrolisis, baru penentuannya dapat dilakukan dengan titrasi
maupun ditera. Tahap penentuan kadar sianida pada umumnya diperlukan

indikator untuk mengetahui kadar sianida. Pembuatan kurva standard dalam


metode spektrofotometri umumnya menggunakan KCN. Sebelum peneraan,
sampel dengan indikator warna dipanaskan terlebih dahulu lalu ditambah
dengan asam beruppa asam sulfat untuk menghentikan reaksi dan
meningkatkan kestabilan pembacaan. Absorbansi yang didapatkan digunakan
untuk mensubtitusi pada persamaan regresi yang didapatkan pada kurva
standar untuk diketahui kadar sianidanya (Brito et al., 2008).
Potensi kandungan sianogenik pada singkong dan daunnya berkisar
antara 2 hingga lebih dari 1000 ppm HCN. Biasanya pada umbinya terkandung
sekitar lebih dari 100 ppm HCN, sehingga perlu dilakukan proses untuk
menguranginya sebelum dikonsumsi oleh manusia. Pengurangan kadar sianida
cara tradisionala antara lain adalah pengupasan, pemarutan, merendaman,
pencucian, dan fermentasi bertingkat selama 72 jam pada umbi tanaman
singkong hingga mencapa kadar HCN yang dapat diterima. Terdapat beberapa
kelainan kesehatan yang diakibatkan keracunan sianida antara lain
pembusukan kelenjar gondok, kretinisme, dan penyakit kardiovaskular. Selain
itu, keracunan sianida yang akut dapat berpotensi ntuk menguranngi kinerja
jantung, otak, dan jaringan optic. Bahkan di Nigeria terdapat beberapa kasus
mati mendadak setelah mengonsumsi singkong dengan kadar mematikan racun
sianida karena proses yang minim. Perubahan kandungan glikosida sianogenik
menjadi asam sianida melalui reaksi enzimatis yaitu : C3H8O2(OH)4
(Linamarin) + H2O

Linamarase
>7

> CH10O6 (Glukosa) + C3H7OCN (Aseton

Sianohidrin). C3H7OCN (Aseton Sianohidrin) HCN + C3H6O (Aseton).


Penggunaan asam pikrat pada analisa kadar sianida metode alkalin pikrat,
adalah sebagai pengikat. Plot kurva standar digunakan sebagai pengevaluasi
kadar sianida pada sampel (Orjiekwe et al., 2013)
Ubi jalar (Ipomea batatas) merupakan salah satu komoditi pertanian
yang menjadi sumber energy dan fitokimia pada gizi manusia dan pakan
ternak. Akarnya kaya akan sumber karbohidrat, serat pangan, vitamin A (dalam
bentuk -karoten), vitamin B6, vitamin C, mangan, tembaga, potasium, dan zat

besi. Namun, diduga didalam umbi dan daunnya juga mengandung senyawa
antigizi, sehingga dilakukan pengidentifikasian kandungan ubi jalar dan
daunnya. Senyawa glikosida sianogenik yang diduga terkandung didalamnya
ditentukan dengan metode alkalin pikrat. Yaitu dengan pelarutan 5 gr sampe
pada 50 ml air destilat. Campuran didiamkan selama semalam baru kemudian
di saring. Kemudian 1 ml diletakkan pada labu reaksi dan ditambahkan dengan
4 ml alkalin pikrat dan dipanaskan pada waterbath selama 15 menit. Kemudian
absorbansinya diukur pada spektrofotometer pada panjang gelombang 490 nm
dan dibandingkan dengan larutan standar (Anbuselvi dan Muthumani, 2014).
Bedasarkan penelitian, pemasakan potongan singkong 50, 25, dan 5
gram menyisakan masing-masing 75, 50, dan 25% sianogen. Sedangkan daun
singkong yang dicacah, direbus selama 15 menit mengurangi kadar sianida
sebesar 85%, dan bila dicincangdan dilembutkan akan berkurang 97%. Daun
singkong tersebut bila direbus tidak akan menyisakan sianida. Bahan makanan
yang mengandung glukosida sianogenik dapat didetoksifikasi oleh tubuh
dengan cara mengubah sianida menjadi tiosianat lalu diekresikan lewat urin.
Tiosianat merupakan hasil detoksifikasi sianida dengan bantuan enzim
glikosidase dan sulfur transferase. Sehingga bagi orang yang kekurangan
protein sulfur, akan berkurang kemampuannya untuk mendetoksifikasi HCN.
Diketahui kandungan HCN pada beberapa komoditi pertanian di Kecamatan
Pundong Kabupaten Bantul, Yogyakarta, antara lain: Daun singkong mentah
1,64 mg/100gr dan rebus 0mg/100gr bahan; daun papaya sebesar 9,18 mg/100g
mentah dan 0 mg/100gr matang; pada ubi mentah sebesar 3,88 mg/100gr dan
1,04 mg/100g pada ubi rebus; serta pada singkong mentah dan rebus berturutturut 7,8 mg/100g dan 0,2 gr/100mg (Murdiana dan Sukati, 2001).
C. Metodologi
1. Alat
a. Alat destilasi
b. Erlenmeyer
c. Gelas ukur
d. Labu kjeldahl

e. Penjepit dan Karet Gelang


f. Pipet volume
g. Propipet
h. Spektrofotmeter
i. Tabung Reaksi
j. Waterbath
2. Bahan
a. 4 gr Ubi Jalar Putih mentah
b. 4 gr Ubi Jalar Putih rebus
c. 4 gr Ubi Jalar Ungu mentah
d. 4 gr Ubi Jalar Ungu rebus
e. 4 gr Daun Singkong mentah
f. 4 gr Daun Singkong rebus
g. 4 gr Daun Pepaya
h. 4 gr Singkong mentah
i. 4 gr Singkong rebus
j. 4 gr Tape singkong
k. 200 ml aquades
l. 2,5 ml kloroform
m. 10 ml KOH 2%
n. 50 ml alkalin pikrat
o. 3,5 mg KCN

3. Cara Kerja
a. Pembuatan Larutan Standar

3,5 mg KCN/10ml aquades


Pengambilan
0;0,1;0,2;0,3;0,4;0,5;0,6 ml
Aquades 5 ml

Penambahan
Pengambilan 5 ml

5 ml Alkalin Pikrat

Penambahan
Pemanasan 5 menit
Pendinginan dengan air mengalir
Pengukuran absorbansi dengan
panjang gelombang 520 nm

Gambar 2.1 diagram alir pembuatan kurva standar

b. Penentuan Kadar Sianida Bahan

Sampel 4 gr
Pemasukan dalam labu destilasi
Aquades 125 ml &
Kloroform 2,5 ml

Penambahan
Pendestilasian HCN dalam 10 ml KOH 2%
sampe volume 20 ml
Pengambilan 5 ml

Alkalin Pikrat 5 ml

Penambahan
Pemanasan 5 menit
Pengukuran absorbansi dengan panjang
gelombang 520 nm
Penghitungan konsentrasi dari kurva

Gambar 2.2 diagram alir analisis kadar sianida sampel


D. Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan Suciati (2012), glikosianida sianogenik merupakan
senyawa yang terdapat dalam makanan nabati dan berpotensi terurai menjadi
asam sianida (HCN) yang bersifat racun. Menurut Food Standards Australia
New Zealand (2005), glikosida sianogenik merupakan gugus glikosida dari hidroksinitril yang berupa hasil metabolit sekunder dari sutau tanaman. Mereka
merupakan unsur tanaman turunan dari asam amino yang terbentuk oleh asam
amino L yang terhidroksilasi kemudian asam amino N-hydroxyl diubah
menjadi aldoksim, unsur-unsur tersebut kemudian diubah menjadi nitril dan
dihidroksilasi menjadi -hidroksinitril lalu dihidroksilasi menjadi glikosida
sianogenik. Menurut Shibamoto dan Leonard (1993), Glikosida sianogen

merupakan senyawa alami yang ila terhidrolisis akan menghasilkan keton atau
aldehid, gugus gula, dan sejumlah tinggi ion sianida yang beracun. Menuru
Diallo et al. (2014), singkong mengandung glikosida sianogenik yang
kebanyakan adalah linamarin (2--D-glukopiranosiloksi-2-metilpropananitril)
dan lautostralin (2--D- glukopiranosiloksi-2-metilbutironitril). Kandungan
glukosida sianogenik ini seharusnya tidak beracun, namun ketika terhidrolisis
menjadi HCN, akan beracun bagi manusia dan hewan yang memakannya.
Berdasarkan Food Standards Australia New Zealand (2005), tanaman
menghasilkan glikosida sianogenik bersama dengan enzim hidrolitik (
glikosidase) ketika salah satu struktur selnya dirusak oleh predator. Dengan
pemecahan subsekuen menjadi gula dan sianohidrin,secara cepat akan
terdekomposisi menjadi asam sianida (HCN) dan aldehid atau keton. Pada ubi
kayu, gikosida sianogenik yang umumnya terkandubng adalah linamarin
dengan sedikit kadar dari lotaustralin (metil linamarin) dan juga enzim
linamarinase. Dengan dikatalisasi oleh enzim linamarinase, linamarin secara
cepat terhidrolisis menjadi glukosa dan aseton sianohidrin dan lotaustralin
terhidrolisis menjadi glukosa dan sianohidrin. Lalu dnegan alami, aseton
sianohidrin akan terdekomposisi menjadi aseton dan HCN, yang ditunjukkan
pada skema berikut:

Gambar 2.3 Reaksi pemecahan glikosida sianogenik menjadi HCN dan aseton
Menurut Ubwa et al. (2015), Ketika umbi singkong ataupun daunnya
diambil dari tanamannya, glukosida sianogenik akan terhidrolisis oleh enzim
menjadi -hidroksinitril dan gula atau sakarida. -hidroksinitril selanjutnya
akan membentuk reaksi intermolekular dan menghasilkan hydrogen sianida
atau HCN yang sangat beracun dan anal atau keton. Menurut Orjiekwe et al.
(2013), kandungan glikosida sianogenik menjadi asam sianida melalui reaksi
enzimatis yaitu: C3H8O2(OH)4 (Linamarin) + H2O

Linamarase
>7

> CH10O6

(Glukosa) + C3H7OCN (Aseton Sianohidrin). C3H7OCN (Aseton Sianohidrin)


HCN + C3H6O (Aseton).
Berdasarkan suciati (2012), Sifat Umum dari asam sianida antara lain:
Merupakan jenis racun yang sangat kuat sehingga bila dimakan dapat
menyebabkan keracunan, Mudah menguap bila dipanaskan, Mudah larut dalam
air, alkohol, aseton, dan chloroform, Mempunyai titik leleh / cair 54-55C.
Massa atom relatifnya adalah 27 sma. Mudah bereaksi dengan Natrium Klorida
(NaCl), Sedikit larut dalam pelarut eter dan benzene, Mengandung karbon (C)
75 %, Hidrogen (H) 8,65 %, dan Oksigen (O) 14,4 %. Berdasarkan Harijono
dkk (2008), sianida mempunyai sifat fisik mudah larut dalam air dan
mempunyai titik didih 29C. Menurut Pagarra (2010), sianohidrin ini pada suhu
kamar dan pada kondisi basa (pH>6,8) akan terpecah dengan cepat membentuk
HCN dan aseton (CH3COCH3). Menurut Simeonova dan Lawrence (2004),
HCN (asam sianida) merupakan cairan biru atau gas dengan aroma seperti
almond pahit yang samar-samar dengan nama lain asam prusat. Merupakan
asam lemah dengan nilai pKa 9,22 pada suhu 25C. larut dala air dan alcohol.
Memiliki massa molekul relatif sebesar 27,03 gr/mol, titik didih 25,7C dan
massa jenis uapnya pada suhu 31C sebesar 0,937. Menurut Eisler (1991),
hidrogen sianida merupakan senyawa jernih tak berwarna, berupa cairan atau
gas yang mudah terbakar, dengan titik didih 25,7C dan membeku pada suhu 13,2C. gasnya sanat jarang terdapat di alam, lebih ringan dari pada udara, dan
bercampur secara cepat. Larut pada air dan alcohol, dan sedikit larut pada eter.
Dalam air, HCN merupakan asam lemah dengan rasio HCN banding CN- antara
100 pada pH 7,2; 10 pada pH 8,2 dan 1 pada pH 9,2. Sehingga peningkatan pH
akan meningkatkan pembebasan ion sianida dan pengasaman akan
meningkatkan pembentukan asam sianida. Ionnya sangat mudah berikatan
dengan logam seperti potassium dan soium.
Menurut hasil research oleh Food Standards Australia New Zealand
(2005), tingkat sianida yang fatal pada beberapa kasus antara lain pada saluran
pencernaan 0,03; pada darah 0.5; pada hati 0,03; pada ginjal 0,11; pada otak
0,07; dan pada urin 0,2 (mg/100g) dengan kadar fatal minimal sebesar 30 210

mg HCN pada manusia dewasa . Berdasar Suciati (2012), kandungan HCN


memiliki batas normal konsumsi yaitu < 50 ppm atau mg/kg. Dosis HCN yang
mematikan berkisar antara 0,5 - 3,5 mg/kg berat badan. Berdasarkan peraturan
Standar Nasional Indonesia (SNI) dalam Kusumawardhani dkk (2015) dan
Pagarra (2010), kadar sianida yang masih dapat dikonsumsi, untuk makanan
dan minuman siap saji sebesar 1 ppm, sedangkan batas aman untuk produk
olahan kacang-kacangan dan umbi-umbian sebesar 50 ppm. Menurut Ubwa et
al. (2015), dosis lethal secara oral adalah sekitar 0,58 3,5 mg/kg BW pada
manusia dewasa.
Ketika HCN tertelan atau masuk kedalam tubuh manusia, dia akan
secara cepat terserap dan terdistribusi dalam tubuh manusia melalui darah.
Beberapa orang mungkin dalam tubuhnya dapat mendetoksifikasi asam sianida
dengan mengubahnya menjadi tiosianat dan mengekskresikannya lewat urin,
namun beberapa yang lainnya tidak dapat dan HCN tersebut dapat
membahayakan kesehatan individu tersebut. Berdasarkan Murdiana dan Sukati
(2001), bahan makanan yang mengandung glukosida sianogenik dapat
didetoksifikasi oleh tubuh dengan cara mengubah sianida menjadi tiosianat lalu
diekresikan lewat urin. Tiosianat merupakan hasil detoksifikasi sianida dengan
bantuan enzim glikosidase dan sulfur transferase. Sehingga orang yang
kekurangan

protein

sulfur

akan

berkurang

kemampuannya

untuk

mendetoksifikasi HCN. Berdasarkan hasil penelitian oleh Standar Pangan


Australia New Zealand (2010), pertahanan tubuh dari HCN adalah dengan
mengubahannya menjadi tiosianat mediat oleh enzim rhodanase yang
mengandung banyak gugus disulfida aktif. Bila tidak terdetoksifikasi, sianida
akan mengikat Fe3+ atau Fe2+ dan menginaktivasi enzim sitokrom oksidase
sehingga menurukan utilisasi oksigen pada jaringan. Sianida menyebabkan
peningkatan kadar gula darah dan tingkat asam laktat serta menurunkan rasio
ATP / ADP dan mengubah metabolism aerob menjadi anaerob. Sianida juga
mengaktifkan reaksi glikogenilisis serta menurunkan tingkat glikolisis dan
menghambat siklus asam trikarboksilat. Dampak pada tubuh bila melewati
batas penerimaan maksimal, adalah kematian. Selain itu, pada kadar yang lebih

rendah, dapat menyebabkan intoksifikasi akut dengan gejala, respirasi yang


cepat, tekanan darah drop, jantung berdetak dengan cepat, pusing, sakit kepala,
sakit pada lambung, muntah-muntah and diare (Food Standards Australia New
Zealand, 2005). Menurut Pagarra (2010), bahaya HCN pada kesehatan
terutama pada sistem pernapasan, di mana oksigen dalam darah terikat oleh
senyawa HCN dan terganggunya sistem pernapasan (sulit bernapas).
Tergantung jumlah yang dikonsumsi, HCN dapat menyebabkan kematian jika
pada dosis 0,5 - 3,5 mg HCN/kg berat badan. Menurut Diallo et al. (2014),
dampak masuknya asam sianida dalam pencernaan yaitu dapat mengakibatkan
penyakit Konzo, kerusakan kelenjar tiroid, dan kerusakan saraf. Berdasarkan
pernyataan oleh Orjiekwe et al. (2013), terdapat beberapa kelainan kesehatan
yang diakibatkan keracunan sianida antara lain pembusukan kelenjar gondok,
kretinisme, dan penyakit kardiovaskular. Selain itu, keracunan sianida yang
akut dapat berpotensi ntuk menguranngi kinerja jantung, otak, dan jaringan
optic. Bahkan di Nigeria terdapat beberapa kasus mati mendadak setelah
mengonsumsi singkong dengan kadar mematikan racun sianida karena proses
yang minim.
Dalam pengerjaan uji kadar sianida pada beberapa komoditas
pertanian ini, dilakukan melalui dua tahap. Tahap pertama adalah tahap
pembuatan larutan standar. Pembuatan larutan standar dilakukan dengan cara
melarutkan 3,5 mg KCN pada 10 mL aquades. Lalu dibuat 7 larutan dengan
masing-masing larutan berisi 0; 0,1; 0,2; 0,3; 0,4; 0,5; dan 0,6 mL larutan KCN
lalu ditambah aquades hingga 5 mL. Pada masing-masing larutan tadi,
ditambahkan dengan 5 mL alkalin pikrat lalu dipanaskan dengan waterbath
selama 5 menit. Larutan larutan tersebut lalu didinginkan dengan air mengalir
dan diabsorbansi dengan panjang gelombang 520 nm. Hasil absorbansi yang
dihasilkan lalu dijadikan kurva standar. Pada tahap kedua adalah pengukuran
kadar sianida pada bahan komoditi pertanian. Setiap sampel ditimbang 4 gr lalu
dimasukkan kedalam labu destilasi. Kemudian sampel tersebut ditambahkan
dengan 125 mL aquades dan 2,5 mL kloroform lalu dilakukan destilasi.
Destilasi dihentikan bila HCN yang terdestilasi yang tertampung pada

Erlenmeyer dengan 10 mL KOH 2% telah mencapai 20 mL. Destilat yang


dihasilkan lalu diambil 5 mL lalu ditambahkan dengan 5 mL alkalin pikrat,
dipanaskan selama 5 menit, didinginkan dengan air mengalir, lalu ditera
absorbansinya dengan panjang gelombang 520 nm. Baru kemudian dihitung
kadarnya dengan kurva standar yang telah dibuat pada tahap awal. Perhitungan

konsentrasi berdasarkan rumus, Kadar HCN = 1000 106 .


Evaluasi kadar sianida pada praktikm ini adalah menggunakan metode
destilasi dan spektrofotometri. Prinsip kerjanya adalah sampel yang telah
direndam dengan 100 ml aquades kemudian didestilasi. Sianida yang larut
dalam air akan ikut menguap dan terdestilasi, lalu akan diikat oleh logam pada
larutan basa (KOH 2%). Setelah itu dilakukan pengubahan ke dalam bentuk
asam sianida dengan menambahkan asam yaitu alkalin pikrat dan dilakukan
peneraan menggunakan spektrofotometer. Berdasarkan Brito et al. (2008),
dalam analisis kadar sianida, pada dasarnya berprinsip dalam tiga tahap. Tahap
pertama adalah pengekstrakan komponen sianogenik dari bahan pangan, tahap
kedua adalah hidrolisis senyawa sianogenik menjadi sianida bebas, lalu tahap
ke tiga adalah penentuan kadar asam sianida. Pengekstraksian dilakukan
dengan pelarutan pada larutan asam karena enzim linamarinase inaktif pada
suhu rendah, lalu pembebasan sianida dilakukan melalui hidrolisis, baru
penentuannya dapat dilakukan dengan titrasi maupun ditera. Tahap penentuan
kadar sianida pada umumnya diperlukan indikator untuk mengetahui kadar
sianida.
Dalam praktikum, penambahan kloroform adalah sebagai pelarut
bersama dengan akuades yang akan melarutkan asam sianida dan membawa
ion sianida bersama uap air selama destilasi. penggunaan KCN adalah sebagai
patokan dalam menentukan kadar sianida pada pembuatan kurva standar.
Penambahan alkali pikrat adalah sebagai penstabil larutan dan pembentukan
HCN sebelum peneraan dengan spektrofotometer. Penggunaan basa KOH 2%
adalah sebagai pengikat molekul HCN yang terbawa uap air selama destilasi
dan mengikatnya. Menurut Orjiekwe et al. (2013), penggunaan asam pikrat
pada analisa kadar sianida metode alkalin pikrat, adalah sebagai pengikat. Plot

kurva standar digunakan sebagai pengevaluasi kadar sianida pada sampel.


Berdasarkan Brito et al. (2008), pembuatan kurva standard dalam metode
spektrofotometri umumnya menggunakan KCN. Sebelum peneraan, sampel
dengan indikator warna dipanaskan terlebih dahulu lalu ditambah dengan asam
beruppa asam sulfat untuk menghentikan reaksi dan meningkatkan kestabilan
pembacaan. Selain itu, pemilihan KOH 2% sebagai bahan pengikat asam
sianida yang terbawa oleh uap air adalah karena dalam suasana basa, asam
sianida akan terikat pada garam K+ sehingga tidak menguap diudara. Hal ini
didukung dengan pernyataan oleh Simeonova dan Lawrence (2004), yaitu
penggunaan sodium dan potassium hidroksida sebagai bahan pengikat sianida
adalah dikarenakan pada suasana basa, asam sianida akan terhidrolisis dan akan
berikatan dengan garam seperti kalium dan natrium. Menurut Diallo et al.
(2014), penggunaan basa berupa NaOH adalah sebagai pengikat ion sianida
agar tidak dalam bentuk volatile.
Pembuatan

kurva

standar

ditujukan

sebagai

kalibrasi

alat

spektrofotometer dan sebagai pedoman pengukuran kadar sianida dalam


sampel. Dengan membaningkan antara absorbansi larutan standard an
konsentrasi sianida larutan standar, akan didapatkan persamaan regresi yang
menunjukkan hubungan linear antara mg sianida dengan absorbansi larutan.
Sehingga mg sianida bahan dapat diketahui dengan membandingkan dengan
persamaan regresi yang didapatkan dari kurva larutan standar. Menurut
Orjiekwe et al. (2013), plot kurva standar digunakan sebagai pengevaluasi
kadar sianida pada sampel. Berdsarkan Brito et al. (2008), absorbansi yang
didapatkan setelah peneraan sampel, digunakan untuk mensubtitusi pada
persamaan regresi yang didapatkan pada kurva standar untuk diketahui kadar
sianidanya. Pembuatan kurva standar yaitu dengan cara melarutkan 3,5 mg
KCN pada 10 mL akuades. Kemudaian dari larutan tersebut diambil 7 larutan
yang masing masing berisikan 0; 0,1; 0,2; 0,3; 0,4; 0,5; dan 0,6 mL labu reaksi
dan ditambah dengan akuades hingga mencapai 5 mL. Lalu pada masingmasing larutan ditambahkan dengan alkalin pikrat sebanyak 5 mL. Masingmasing larutan tersebut dipanaskan pada waterbath selama 5 menit. Sebelum

dilakukan pengukuran absorbansi dengan spektrofotometer dengan panjang


gelombang 520 nm, dilakukan pendinginan dengan air mengalir. Data yang
didapatkan lalu diregresikan sehingga mendapatkan persamaan larutan standar
sebagai kalibrasi perhitungan kadar sianida bahan.
Tabel 2.1 Data Absorbansi Larutan KCN Standar 3,5 mg/10 ml Aquades.
Volume Larutan KCN Standar (mL)
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6

Volume Aquades (mL)


5
4,9
4,8
4,7
4,6
4,5
4,4

Absorbansi ()
0,018
0,102
0,176
0,336
0,429
0,566
0,786

Sumber: Laporan Sementara


Tabel 2.1, menunjukkan hasil pengukuran absorbansi larutan standar
KCN. Berdasarkan data tersebut, diketahui bahwa semakin tinggi kandungan
atau konsentrasi KCN dalam larutan maka absorbansinya juga semakin
meningkat. Dari data tersebut dibuat grafik untuk memperjelas hubungan
antara konsentrasi KCN terhadap besar absorbansinya. Dari kurva standar
tersebut akan didapatkan persamaan regresi untuk dijadikan standar
perhitungan kadar sianida dalam komoditas pertanian yang diuji.

Kurva Standar KCN

Absorbansi

0.8

y = 1.2446x - 0.0287
R = 0.9747

0.6
0.4
0.2
0
-0.2

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

Kadar Sianida

Gambar 2.4 Grafik Pengukuran Kurva Standar Kadar KCN


Pada Gambar 2.4, ditunjukkan grafik pengukuran kadar sianida
dengan menggunakan kurva standar KCN. Berdasarkan Gambar 2.4,
diketahui bahwa semakin tinggi absorbansi dari larutan standar, maka semakin
besar kandungan sianidanya. Berdasarkan perhitungan kurva larutan standar,

didapatkan persamaan regresi yaitu, y = 1,2446x 0,0287 dengan nilai R


sebesar 0,9747.
Tabel 2.2 Kadar Sianida dalam Bahan Pangan
Shift Kel.

Sampel

Ubi Putih
Mentah
Ubi Putih
15
Matang
Ubi Ungu
2
16
Mentah
Ubi Ungu
17
Matang
Singkong
18
Mentah
6
Tape Singkong
7
Singkong Rebus
Daun Singkong
8
Matang
1
Daun Singkong
9
Mentah
Daun Pepaya
10
Mentah
Sumber: Laporan Sementara
14

Absorba Kadar Kadar CN


nsi () CN (mg) (ppm)

HCN
(mg)

Kadar HCN
(ppm)

0,289

0,2553

255,263

0,0106

10,64

0,264

0,2352

235,176

0,0098

9,8

0,415

0,3565

356,500

0,0149

14,9

0,143

0,1380

137,956

0,0058

5,8

0,099

0,1026

102,603

0,0043

4,3

0,049
0,438

0,0624
0,3750

62,430
374,980

0,0026
0,0016

2,6
15,6

0,257

0,2296

229,552

0,0096

9,6

1,411

1,1568 1156,757 0,0048

48,2

0,148

0,1420

5,92

141,973

0,0059

Tabel 2.2 menunjukkan hasil uji pengukuran absorbansi dan kadar


sianida dalam 4 gram beberapa komoditas pertanian. Dalam tabel tersebut
ditunjukkan pula perbandingan kadar sianida pada komoditas yang masih
mentah dan yang telah diolah. Ditunjukkan bahwa absorbansi umbi jalar putih
mentah-rebus; umbi jalar ungu mentah-rebus, singkong mentah-terfermentasirebus, daun singkong mentah-rebus, dan daun pepaya berturut-turut adalah,
0,289 ; 0,264 ; 0,415 ; 0,143 ; 0,099 ; 0,049 ; 0,438 ; 1,411 ;
0,257 ; dan 0,148 . Dari data tersebut dapat diperoleh kadar sianida ubi jalar
putih mentah sebesar 0,2558 mg dan yang direbus sebesar 0,2352 mg. Pada ubi
jalar ungu matang kadar sianidanya sebesar 0,3565 dan yang direbus sebesar
0,138 mg. Pada komoditas singkong mentah, singkong terfermentasi dan
singkong rebus sebesar 0,1026 mg; 0,0624 dan mg; 0,375 mg. Pada daun
singkong mentah sebesar 1,1568 mg dan daun singkong rebus sebesar 0,2296
mg. Serta pada daung papaya kadar sianidanya sebesar 0,142 mg. Pada hasil
tersebut juga didapat kadar akhir asam sianida berturut-turut sebesar 10,64

ppm; 9,8 ppm; 14,9 ppm; 5,8 ppm; 4,3 ppm; 2,6 ppm; 15,6 ppm; 9,6 ppm; 48,2
ppm; dan 5,92 ppm. Sehingga ditunjukkan bahwa kadar asam sianida terbesar
ada pada sampel daun singkong mentah sebesar 48,2 ppm dan terendah pada
tape singkong yaitu sebesar 2,6 ppm.
Secara umum, sampel yang mentah memiliki kandungan asam sianida
yang lebih tinggi dari pada bahan yang telah diolah. Hal ini karena pengolahan
dapat mengurangi bahkan menghilangkan senyawa HCN dalam suatu
komoditas. Dengan pengupasan, pencucian, pengirisan, pelembutan dan
perlakuan panas, glukosida sianogenik pada bahan akan berubah menjadi HCN
lalu sedikit-demi sedikit akan habis, sehingga sampel yang telah diolah berupa
rebusan ataupun fermentasi memiliki kadar sianida yang lebih rendah. Menurut
Nambisan (1994) dalam Murdiana dan Sukati (2001), pemasakan potongan
singkong 50, 25, dan 5 gram menyisakan masing-masing 75, 50, dan 25%
sianogen. Sedangkan daun singkong yang dicacah, direbus selama 15 menit
mengurangi kadar sianida sebesar 85%, dan bila dicincangdan dilembutkan
akan berkurang 97%. Namun pada sampel singkong mentah pada shift 2 dalam
praktikum, memiliki kadar sianida yang lebih rendah dari pada singkong rebus
pada shift ke 2. Selain itu, berdasarkan Food Standards Australia New Zealand
(2005), ubi yang manis memiliki kadar sianida yang lebih rendah dari pada ubi
pahit. Namun pada sampel ditunjukkan bahwa ubi putih maupun ubi ungu
memiliki kadar sianida yang lebih tinggi dibandingkan dengan ubi kayu atau
singkong. Hal ini dimungkinkan karena selama pengujian, glikosida
sianogenik yang terkandung dalam singkong mentah telah berubah menjadi
HCN pada suhu ruang dan telah banyak berkurang karena sifatnya yang mudah
menguap. Selain itu, kemungkinan juga banyak yang larut selama pencucian
dan pelembutan sampel. Sehingga saat diujikan kadarnya sudah banyak yang
menghilang.
Terdapat beberapa varietas ubi kayu dengan kandungan sianida yang
beragam. Biasanya umbi-umbian yang manis memiliki kadar sianida yang
lebih rendah dibandingkan dengan umbi-umbian yang rasanya lebih pahit.
HCN pada ubi kayu terkandung sekitar 15 400 mg/kg (0,06 16 mg/4gr) dan

sekitar 15 50 mg/kg (0.06 2 mg/4gr) pada umbi manis. Pada produk yang
difermentasi, masih menyisakan sekitar satu setengah persen dari bahan yang
dikeringkan (Food Standards Australia New Zealand, 2005). Menurut pada
penelitian Orjiekwe et al. (2013), potensi kandungan sianogenik pada singkong
dan daunnya berkisar antara 2 hingga lebih dari 1000 ppm HCN. Biasanya pada
umbinya terkandung sekitar lebih dari 100 ppm HCN, sehingga perlu dilakukan
proses untuk menguranginya sebelum dikonsumsi oleh manusia. Berdasarkan
penelitian oleh Murdiana dan Sukati (2001), kandungan HCN pada beberapa
komoditi pertanian di Kecamatan Pundong Kabupaten Bantul, Yogyakarta,
antara lain: Daun singkong mentah 1,64 mg/100gr dan rebus 0mg/100gr bahan;
daun papaya sebesar 9,18 mg/100g mentah dan 0 mg/100gr matang; pada ubi
mentah sebesar 3,88 mg/100gr dan 1,04 mg/100g pada ubi rebus; serta pada
singkong mentah dan rebus berturut-turut 7,8 mg/100g dan 0,2 gr/100mg.
Berdasarkan data tersebut, bila diubah menjadi mg/4gr, maka berturut-turut
kadar ubi mentah - rebus, singkong mentah, terfermentasi, rebus, daun
singkong mentah rebus, dan daun papaya mentah adalah sebesar 0,1552 mg;
0,0416 mg; 0,312 mg; 0,00468 mg; 0,008 mg; 0,0656 mg; 0 mg; dan 0,3672
mg. Sedangkan pada hasil praktikum, berturut-turut sebesar 0,2558 mg; 0,2352
mg; 0,3565 mg; 0,138 mg; 0,1026 mg; 0,0624 mg; 0,375 mg; 1,1568 mg;
0,2296 mg; dan 0,142 mg.
Secara umum perbandingan banyak dan sedikitnya kandungan asam
sianida antara komoditi satu dan komoditi lainny sudah sesuai. Perbedaan
kadar secara mendetail disebabkan walaupun merupakan satu spesies dan
kultivar yang sama, kandungan sianida masih dipegaruhi oleh hal hal lainnya.
Menurut Ubwa et al. (2015), terdapat sekitar 2600 spesies tanaman yang
memproduksi glukosida sianogenik, setiap kultivarpun kandungannya
beragam dipengaruhi oleh lokasi geografis, kandungan hara, cuaca, dan faktor
geografis lainnya.
Berdasarkan hasil praktikum, secara umum, bahan yang masak dan
diolah lebih jauh seperti tapai (proses fermentasi) memiliki kandungan sianida
yang lebih sedikit dari pada bahan mentah. Hal disebabkan oleh pengolahan

dapat mengurangi kadar HCN pada bahan. Mengingat HCN merupakan asam
yang mudah larut dalam air, mudah menguap bila dipanaskan, dan mudah
beraksi dengan garam membuatnya mudah rusak dan berkurang dari bahan
pangan dengan pengolahn pendahuluan. Hal ini telah sesuai dengan literature
oleh Suciati (2012), bahwa pelepasan HCN tergantung dari adanya enzim
glikosidase serta adanya air. Senyawa HCN mudah menguap pada proses
perebusan, pengukusan, dan proses memasak lainnya. Hal ini dikuatkan
dengan Food Standards Australia New Zealand (2005), yang menyatakan
bahwa proses yang benar dan optimal seperti pengupasan, perajangan, dan
pemasakan, baik asam sianida maupn gikosida sianogenik dapat dikurangi
banhkan dihilangkan dari bahan pangan. Pada bahan dengan kandungan
sianida yang lebih tinggi dapat dihilangkan dengan proses yang lebih jauh
seperti fermentasi bertingkat sehingga kadarnya semakin berkurang, selain itu,
berdasarkan Harijono dkk (2008), pada umumnya sianida dapat dihilangkan
dengan perebusan dan perendaman sebab sianida mempunyai sifat fisik mudah
larut dalam air dan mempunyai titik didih 29C.
Terdapat beberapa metode dalam menganalisa kadar sianida pada
bahan makanan. Metode-metode itu pada dasarnya berprinsip dalam tiga tahap.
Tahap pertama adalah pengekstrakan komponen sianogenik dari bahan pangan,
tahap kedua adalah hidrolisis senyawa sianogenik menjadi sianida bebas, lalu
tahap ke tiga adalah penentuan kadar asam sianida. Pengekstraksian dilakukan
dengan pelarutan pada larutan asam karena enzim linamarinase inaktif pada
suhu rendah, lalu pembebasan sianida dilakukan melalui hidrolisis, baru
penentuannya dapat dilakukan dengan titrasi maupun ditera. Tahap penentuan
kadar sianida pada umumnya diperlukan indikator untuk mengetahui kadar
sianida. Berdasarkan literature oleh Simeonova dan Lawrence (2004), metode
analisa sianida pada lingkungan secara kuantitatif dapat dilakukan dengan cara
pengukuran sianida yang diikat oleh larutan sodium ataupun potasium
hidroksida (NaOH atau KOH) dengan metode spektrofotometri, kalorimetri,
atau detector elektroda ion spesifik. Sianida total pada sampel atau minuman
dapat diketahui kadarnya dengan metoe kalorimetri semi otomatis, elektroda

selektif, penyinaran sinar UV, destilasi, spektrofotometri, dan kromatografi


ion. Menurut Diallo et al. (2014), Secara umum, kandungan sianida dapat
dianalisis menggunakan titrimetrik, elektrokimia, maupun kalorimetri.
Penggunaan metode tersebut bergantung pada seberapa banyak kandungan
yang terkandung didalamnya. Prinsip penganalisisan dengan metode detilasi
adalah dengan menghasilkan asam hidrosianat dengan enzim linamarase pada
glukosida sianogenik. Lalu ion sianida didestilasi dan dievaluasi dengan
menggunakan potensiometri dengan elektroda selektif untuk ion CN. Dalam
penelitian oleh Suciati (2012), metode kantitatif pengukuran sianida dalam
bahan pangan dengan cara mendistilasi ekstrak bahan yang mengandung asam
sianida. Proses destilasi adalah suatu proses pemisahan sejumlah campuran
cairan melalui penguapan sebagai campuran berdasarkan perbedaan titik didih
untuk memperoleh komponen yang lebih murni. Destilat yang diperoleh
kemudian dititrasi dengan AgNO3 sampai terjadi kekeruhan. Menurut
Bradburry (1995) dalam Brito et al. (2008), digunakan pyridine dan pyrazolone
atau barbiturate. Pembuatan kurva standard dalam metode spektrofotometri
umumnya menggunakan KCN. Sebelum peneraan, sampel dengan indikator
warna dipanaskan terlebih dahulu lalu ditambah dengan asam beruppa asam
sulfat untuk menghentikan reaksi dan meningkatkan kestabilan pembacaan.
Absorbansi yang didapatkan digunakan untuk mensubtitusi pada persamaan
regresi yang didapatkan pada kurva standar untuk diketahui kadar sianidanya.
Berdasarkan pernyataan oleh Kusumawardhani dkk (2015), metode yang
banyak digunakan untuk penentuan sianida adalah spektrofotometri, titrimetri
dan kromatografi. Metode spektrofotometri dinilai lebih baik dengan tingkat
ketelitian yang tinggi sehingga hasil yang diperoleh lebih akurat. Dalam
penelitian oleh Anbuselvi dan Muthumani, 2014), senyawa glikosida
sianogenik yang diduga terkandung didalamnya ditentukan dengan metode
alkalin pikrat. Yaitu dengan pelarutan 5 gr sampe pada 50 ml air destilat.
Campuran didiamkan selama semalam baru kemudian di saring. Kemudian 1
ml diletakkan pada labu reaksi dan ditambahkan dengan 4 ml alkalin pikrat dan
dipanaskan pada waterbath selama 15 menit. Kemudian absorbansinya diukur

pada spektrofotometer pada panjang gelombang 490 nm dan dibandingkan


dengan larutan standar. Menurut Ubwa et al. (2015), untuk mengukur asam
sianida

dalam

suatu

produk

pertanian,

dapat

digunakan

metode

spektrofotometri dengan basis ninhidrin sebagai indikator pada panjang


gelombang 485 nm. Grafik kalibrai dibuat dengan menggnakan larutan standar
ion sianida pada konsentrasi 0,02; 0,04; 0,08; 0,1; dan 0,2 g/mL dan disiapkan
dari penambahan larutan sianida pada konsentrasi 20 g CN-/mL pada 1 mL
2% Na2CO3.
Pengurangan dan penghilangan glukosida sianogenik maupun sianida
dapat dilakukan dengan cara pengupasan, perajangan, pencucian, pengolahan
panas dan pengereingan. Hal ini didasarkan pada literatur oleh Harijono dkk
(2008), yang menyatakan bahwa sianida dapat dihilangkan dengan perebusan
dan perendaman sebab sianida mudah larut dalam air dan mempunyai titik
didih 29C. Berdasarkan pernyataan oleh Orjiekwe et al. (2013), pengurangan
kadar sianida cara tradisional antara lain adalah pengupasan, pemarutan,
merendaman, pencucian, dan fermentasi bertingkat selama 72 jam pada umbi
tanaman singkong hingga mencapa kadar HCN yang dapat diterima.
Berdasarkan Food Standards Australia New Zealand (2005), pengupasan,
perajangan, dan pemasakan, baik asam sianida maupn gikosida sianogenik
dapat dikurangi banhkan dihilangkan dari bahan pangan. Pada ubi dengan
kadar sianida rendah, dapat dikurangi sianidanya dengan pengupasan dan
pemasakan sempurna (panggang, bakar, atau direbus). Sedangkan pada umbi
kayu dengan kandungan sianida yang lebih tinggi, memerlukan proses yang
lebih jauh seperti fermentasi bertingkat. Menurut Suciati (2012), umumnya
aktivitas senyawa glukosida sianogenik dapat dihilangkan atau dikurangi
melalui proses pemanasan. Menurut Ubwa et al. (2015), kandungan sianida
dalam suatu komoditas pertanian biasanya dikurangi atau dihilangkan dengan
cara

fermentasi,

perebusan,

pengukusan,

pemanggangan, dan metode lainnya.

pengeringan,

pembakaran,

E. Kesimpulan
Berdasarkan serangkaian pengujian dan pengolahan data dalam
Praktikum Acara II Evaluasi Kadar Sianida Bahan Pangan yang telah
dilakukan, dapat diambil kesimpulan antara lain:
1. Prinsip evaluasi kadar sianida dalam bahan pangan adalah melalui tiga tahap
yaitu pengekstrakan asam sianida dengan cara penghancuran dan pelarutan
dalam klorofom dan akuades, lalu penangkapan ion sianida melalui destilasi
dimana asam sianida akan terbawa uap air dan diperangkap oleh KOH 2%,
serta peneraan kadar dengan spektrofotometri panjang gelombang 520 nm,
dengan alkali pikrat sebagai zat penstabil kandungan sianida pada larutan.
2. Perebusan sampel pada praktikum, secara umum dinilai dapat mengurangi
kadar sianida yang terkandung, kecuali pada sampel singkong. Karena sifat
asam sianida yang merupakan asam lemah yang mudah larut dalam air dan
menguap pada suhu ruang dan bila dipanaskan. Pada sampel singkong,
sianida singkong rebus masih lebih tinggi dari pada singkong mentah, yang
dapat disebabkan karena singkong mentah banyak kehilangan sianida
sebelum dilakukan pengujian. Fermentasi dapat mengurangi kadar sianida
secara signifikan seperti pada sampel tape.
3. Dari hasil praktikum, didapatkan kadar asam sianida ubi jalar putih mentah
dan matang sebesar 10,64 ppm dan 9,8 ppm; ubi jalar ungu mentah dan
matang sebesar 14,9 ppm dan 5,8 ppm; singkong mentah, tape singkong dan
singkong matang sebesar 4,3 ppm; 2,6 ppm; 15,6 ppm; daun singkong
mentah dan matang sebesar 48,2 ppm dan 9,6 ppm; serta kadar sianida daun
pepaya mentah sebesar 5,92 ppm.

DAFTAR PUSTAKA

Anbuselvi, S. and S. Muthumani. 2014. Phytochemical and antinutritional


constituents of sweet potato. Journal of Chemical and Pharmaceutical
Research, Vol. 6 (2): 380-383.
Brito, V.H.S., R.T. Ramalho, A.P.M. Rabacow, S.E. Moreno, and M.P. Cereda.
2008. Colorimetric Method for Free and Potential Cyanide Analysis of
Cassava Tissue. Artigo, 77: 1 11.
Diallo, Younoussa, Momar Talla Gueye, Cheikh Ndiaye, Mama Sakho, Amadou
Kane, Jean Paul Barthelemy, and Georges Lognay. 2014. A New Method
for the Determination of Cyanide Ions and Their Quantification in Some
Senegalese Cassava Varieties. American Journal of Analytical Chemistry,
Vol. 5: 181-187.
Eisler, Ronald. 1991. Cyanide Hazards to Fish, Wildlife, and Invertebrates: A
Synoptic Review. Contaminant Hazard Reviews, Vol. 1 (23): 1 58.
Food Standards Australia New Zealand. 2005. A Human Health Risk Assessment:
Cyanogenic Glycosides in Cassava and Bamboo Shoots. FSANZ
Technical Report Series No. 28. FSANZ Australia: Canberra.
Harijono, Tassa Agustriana Sari, dan Erryana Martati. 2008. Detoksifikasi Umbi
Gadung (Dioscorea Hispida Dennst.) dengan Pemanasan Terbatas dalam
Pengolahan
Tepung
Gadung.
Jurnal
Teknologi
Pertanian,
Vol. 9 (2): 75-82
Kusumawardhani, Nury, Hermin Sulistyarti, dan Atikah. 2015. Penentuan Panjang
Gelombang Maksimum dan pH Optimum dalam Pembuatan Tes Kit
Sianida Berdasarkan Pembentukan Hidrindantin. Kimia.Student Journal,
Vol. 1 (1): 711 717.
Murdiana, Ance dan Sukati Saidin. 2001. Kadar Sianlda dalam Sayuran Dan
Umbi-Umbian di Daerah Gangguan Aklbat Kurang Yodium (GAKY).
PGM, Vol. 24: 33 37.
Orjiekwe CL, Solola A., Iyen E., and Imade S. 2013. Full Length Research Paper:
Determination of Cyanogenic Glucosides in Cassava Products Sold In
Okada, Edo State, Nigeria. African Journal of Food Science,
Vol. 7 (12): 48 472.
Pagarra, Halifah. 2010. Pengaruh Lama Fermentasi dengan Ragi Tape Terhadap
Kadar Glukosa pada Umbi Gadung (Disocorea hispida DENNST).
Bionature, Vol. 11 (1): 7 13
Shibamoto, Takayuki and Leonard F. Bjeldanes. 1993. Introduction to Food
Toxicology. Academic Press, Inc: United States.

Simeonova, Fina Petrova and Lawrence Fishbein. 2004. Hydrogen Cyanide and
Cyanides: Human Health Aspects. Concise International Chemical
Assessment Document 61, World Health Organization: Geneva.
Suciati, Andi. 2012. Pengaruh Lama Perendaman dan Fermentasi Terhadap
Kandungan HCN pada Tempe Kacang Koro (Canavalia ensiformis L).
Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan Jurusan Teknologi Pertanian
Universitas Hasanudin. Makassar.
Ubwa, Simon Terver., Monday Abel Otache, Gillian Ogbene Igbum, and Tseaa
Shambe. 2015. Determination of Cyanide Content in Three Sweet Cassava
Cultivars in Three Local Government Areas of Benue State, Nigeria. Food
and Nutrition Sciences, Vol. 6: 1078-1085.

LAMPIRAN
DOKUMENTASI EVALUASI KADAR SIANIDA BAHAN PANGAN

Gambar 2.5
Pelarutan Sampel Ubi
Ungu Mentah

Gambar 2.6
Pendestilasian Sampel
dengan Destilasi uap

Gambar 2.7 Larutan


KOH 2% Sebagai
Pengikat Ion CN-

Gambar 2.8 Larutan


CN- Hasil Destilasi

Gambar 2.9
Penambahan Alkali
Pikrat

Gambar 2.10
Pemanasan

LAMPIRAN
PERHITUNGAN KADAR SIANIDA SAMPEL UBI UNGU MENTAH

Diketahui

Massa Sampel

: 4 gr

Fp

:4

Absorbansi

: 0,415

Persamaan regresi kurva larutan standar: y = 1,2446x - 0,0287


(dengan y merupakan absorbansi dan x merupakan mg CN-)
Kadar mg CN- Ubi Jalar Ungu Mentah
= 1,2446 0,0287
( 0,0287)
1,2446
(0,415 0,0287)
=
1,2446
=

= 0,3565
Kadar ppm HCN Ubi Jalar Ungu Mentah
=

( )
106
1000

(0,3565 4)
106
4 1000
= 356,500
=

Bila diketahui ppm ubi ungu matang = 137,956 ppm; maka:


Penurunan HCN:
=


100%

356,500 137,956
100%
356,500

= 158,4%
Terjadi penurunan 1,5 kali.

You might also like