Professional Documents
Culture Documents
A. Tujuan
Tujuan dilaksanakannya praktikum acara II Evaluasi Kadar Sianida
Bahan Pangan adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui prinsip evaluasi kadar sianida dalam bahan pangan dengan
metode destilasi dan spektrofotometeri.
2. Mengetahui pengaruh berbagai perlakuan terhadap kadar sianida bahan
pangan.
3. Mengetahui kadar sianida bahan pangan dengan berbagai variasi perlakuan.
B. Tinjauan Pustaka
Glikosida sianogenik merupakan gugus glikosida dari -hidroksinitril
yang berupa hasil metabolit sekunder dari suatu tanaman dan merupakan
turunan asam amino L yang terhidroksilasi dan juga asam amino N-hydroxyl
diubah menjadi aldoksim, unsur-unsur tersebut kemudian diubah menjadi nitril
dan dihidroksilasi menjadi -hidroksinitril lalu dihidroksilasi menjadi
glikosida sianogenik. Tanaman menghasilkan glikosida sianogenik bersama
dengan enzim hidrolitik ( glikosidase) ketika salah satu struktur selnya
dirusak oleh predator. Pada ubi kayu, gikosida sianogenik yang umumnya
terkandung adalah linamarin, sedikit lotaustralin (metil linamarin) dan enzim
linamarinase. Dengan dikatalisasi oleh enzim linamarinase, linamarin
terhidrolisis menjadi glukosa dan aseton sianohidrin dan lotaustralin
terhidrolisis menjadi glukosa dan sianohidrin. Lalu dengan alami, aseton
sianohidrin akan terdekomposisi menjadi aseton dan HCN. Biasanya umbiumbian yang manis memiliki kadar sianida yang lebih rendah dibandingkan
dengan umbi-umbian yang rasanya lebih pahit. HCN pada ubi kayu terkandung
sekitar 15 400 mg/kg dan sekitar 15 50 mg/kg pada umbi manis. Pada
produk yang difermentasi, masih menyisakan sekitar satu setengah persen dari
bahan yang dikeringkan. Tingkat sianida yang fatal pada beberapa kasus antara
lain pada saluran pencernaan 0,03; pada darah 0.5; pada hati 0,03; pada ginjal
0,11; pada otak 0,07; dan pada urin 0,2 (mg/100g) dengan kadar fatal minimal
sebesar 30 210 mg HCN pada manusia dewasa. Pertahanan tubuh dari HCN
adalah dengan mengubahannya menjadi tiosianat mediat oleh enzim rhodanase
yang mengandung banyak gugus disulfida aktif. Bila tidak terdetoksifikasi,
sianida akan mengikat Fe3+ atau Fe2+ dan menginaktivasi enzim sitokrom
oksidase sehingga menurukan utilisasi oksigen pada jaringan. Sianida
menyebabkan peningkatan kadar gula darah dan tingkat asam laktat serta
menurunkan rasio ATP / ADP dan mengubah metabolism aerob menjadi
anaerob. Sianida juga mengaktifkan reaksi glikogenilisis serta menurunkan
tingkat glikolisis dan menghambat siklus asam trikarboksilat. Dampak pada
tubuh bila melewati batas penerimaan maksimal, adalah kematian. Selain itu,
pada kadar yang lebih rendah, dapat menyebabkan intoksifikasi akut dengan
gejala, respirasi yang cepat, tekanan darah drop, jantung berdetak dengan
cepat, pusing, sakit kepala, sakit pada lambung, muntah-muntah and diare.
proses yang benar dan optimal seperti pengupasan, perajangan, dan
pemasakan, baik asam sianida maupn gikosida sianogenik dapat dikurangi
banhkan dihilangkan dari bahan pangan. Pada bahan dengan kandungan
sianida yang lebih tinggi dapat dihilangkan dengan proses yang lebih jauh
seperti fermentasi bertingkat sehingga kadarnya semakin berkurang (Food
Standards Australia New Zealand, 2005).
Glikosida sianogen merupakan senyawa alami yang bila terhidrolisis
akan menghasilkan keton atau aldehid, gugus gula, dan sejumlah tinggi ion
sianida yang beracun. Asam sianida terlepas dari glikosida sianogen melalui
pengaruh dari dua enzim yang berpengaruh yaitu -glukosidase yang
mengkatalis peecahan glukosa sehingga menghasilkan sianohidrin dan gula.
Kebanyakan sianohidrin sangat tidak stabil dan secara spontan terdekomposisi
menjadi ketone atau aldehid dan juga asam sianida. Dekomposisi tersebut
dikatalis oleh enzim hidroksinitrilyase. Seluruh komponen tersebut terdapat
padatanaman namun dalam keadaan terpisah. Ketika jaringan tanaman terluka
lebih baik dengan tingkat ketelitian yang tinggi sehingga hasil yang diperoleh
lebih akurat (Kusumawardhani dkk, 2015).
Asam sianida kebiru-biruan atau dikenal dengan sebagai asam prusik,
baru timbul saat jaringan umbi dirusak, misalnya dikupas atau diiris karena
terjadi kontak antara senyawa prekursor (bakal racun), yaitu linamarin dan
lotaustralin dengan enzim linamarase dan oksigen, sehingga terbentuk glukosa
dan sianohidrin. Sianohidrin ini pada suhu kamar dan pada kondisi basa
(pH>6,8) akan terpecah dengan cepat membentuk HCN dan aseton
(CH3COCH3). Bahaya HCN terutama pada sistem pernapasan, di mana oksigen
dalam darah terikat oleh senyawa HCN dan terganggunya sistem pernapasan
(sulit bernapas). Tergantung jumlah yang dikonsumsi, HCN dapat
menyebabkan kematian jika pada dosis 0,5 - 3,5 mg HCN/kg berat badan
(Pagarra, 2010).
HCN (asam sianida) merupakan cairan biru atau gas dengan aroma
seperti almond pahit yang samar-samar dengan nama lain asam prusat.
Merupakan asam lemah dengan nilai pKa 9,22 pada suhu 25C. larut dala air
dan alcohol. Memiliki massa molekul relatif sebesar 27,03 gr/mol, titik didih
25,7C dan massa jenis uapnya pada suhu 31C sebesar 0,937. Metode analisa
sianida pada lingkungan secara kuantitatif dapat dilakukan dengan cara
pengukuran sianida yang diikat oleh larutan sodium ataupun potasium
hidroksida (NaOH atau KOH) dengan metode spektrofotometri, kalorimetri,
atau detector elektroda ion spesifik. Sianida total pada sampel atau minuman
dapat diketahui kadarnya dengan metoe kalorimetri semi otomatis, elektroda
selektif, penyinaran sinar UV, destilasi, spektrofotometri, dan kromatografi
ion. Penggunaan sodium dan potassium hidroksida sebagai bahan pengikat
sianida adalah dikarenakan pada suasana basa, asam sianida akan terhidrolisis
dan akan berikatan dengan garam seperti kalium dan natrium (Simeonova dan
Lawrence, 2004).
Hidrogen sianida merupakan senyawa jernih tak berwarna, berupa
cairan atau gas yang mudah terbakar, dengan titik didih 25,7C dan membeku
pada suhu -13,2C. Gasnya sangat jarang terdapat di alam, lebih ringan dari
pada udara, dan bercampur secara cepat. Larut pada air dan alcohol, dan sedikit
larut pada eter. Dalam air, HCN merupakan asam lemah dengan rasio HCN
banding CN- antara 100 pada pH 7,2; 10 pada pH 8,2 dan 1 pada pH 9,2.
Sehingga peningkatan pH akan meningkatkan pembebasan ion sianida dan
pengasaman akan meningkatkan pembentukan asam sianida. Ionnya sangat
mudah berikatan dengan logam seperti potassium dan soium. Berdasarkan
berbagai sumber, pada singkong pahit, daunnya mengandung 0,347 mg/g
sianida; akarnya mengandung 0,325 0,550 mg/g. Pada singkong manis,
daunnya mengandung 0,377 0,5 mg/g sianida; akarnya mengandung 0,138
mg/g (Eisler, 1991).
Proses hidrolisis yang dilakukan oleh -glukosidase pada glukosida
sianogenik menghasilkan sebagian gula dan hidroksinitril. Hidroksinitril
kemudian terpecah secara enzimatis menjadi sianida dan campuran karbonil.
Kandungan sianida 50 mg/kg (ppm) bahan masih aman untuk dikonsumsi
manusia. Pada umumnya sianida dapat dihilangkan dengan perebusan dan
perendaman sebab sianida mempunyai sifat fisik mudah larut dalam air dan
mempunyai titik didih 29C (Harijono dkk, 2008).
Terdapat sekitar 2600 spesies tanaman yang memproduksi glukosida
sianogenik, setiap kultivarpun kandungannya beragam dipengaruhi oleh lokasi
geografis, kandungan hara, cuaca, dan faktor geografis lainnya. Ketika umbi
singkong ataupun daunnya diambil dari tanamannya, glukosida sianogenik
akan terhidrolisis oleh enzim menjadi -hidroksinitril dan gula atau sakarida.
-hidroksinitril selanjutnya akan membentuk reaksi intermolekular dan
menghasilkan hydrogen sianida atau HCN yang sangat beracun dan anal atau
keton. Dosis lethal secara oral adalah sekitar 0,58 3,5 mg/kg BW pada
manusia dewasa. Kandungan sianida dalam suatu komoditas pertanian
biasanya dikurangi atau dihilangkan dengan cara fermentasi, perebusan,
pengukusan, pengeringan, pembakaran, pemanggangan, dan metode lainnya.
Untuk mengukur asam sianida dalam suatu produk pertanian, dapat digunakan
metode spektrofotometri dengan basis ninhidrin sebagai indikator pada
panjang gelombang 485 nm. Grafik kalibrai dibuat dengan menggnakan larutan
standar ion sianida pada konsentrasi 0,02; 0,04; 0,08; 0,1; dan 0,2 g/mL dan
disiapkan dari penambahan larutan sianida pada konsentrasi 20 g CN-/mL
pada 1 mL 2% Na2CO3 (Ubwa et al., 2015).
Singkong mengandung glikosida sianogenik yang kebanyakan adalah
linamarin (2--D-glukopiranosiloksi-2-metilpropananitril) dan lautostralin (2-D-glukopiranosiloksi-2-metilbutironitril). Kandungan glukosida sianogenik
ini seharusnya tidak beracun, namun ketika terhidrolisis menjadi HCN, akan
beracun bagi manusia dan hewan yang memakannya. Dapat mengakibatkan
penyakit Konzo, kerusakan kelenjar tiroid, dan kerusakan saraf. Secara umum,
kandungan sianida dapatdianalisis menggunakan titrimetrik, elektrokimia,
maupun kalorimetri. Penggunaan metode tersebut bergantung pada seberapa
banyak kandungan yang terkandung didalamnya. Prinsip penganalisisan
dengan metode detilasi adalah dengan menghasilkan asam hidrosianat dengan
enzim linamarase pada glukosida sianogenik. Lalu ion sianida didestilasi dan
dievaluasi dengan menggunakan potensiometri dengan elektroda selektif untuk
ion CN. Penggunaan basa berupa NaOH adalah sebagai pengikat ion sianida
agar tidak dalam bentuk volatil (Diallo et al., 2014).
Salah saatu karakteristik yang dimiliki oleh tanaman singkong adalah
adanya senyawa antigizi yaitu linamarin, yang merupakan suatu glikosida yang
akan terhidrolisis pada kondisi tertentu sehingga menghasilkan asam sianida
yang prosesnya disebut dengan sianogenesis. Sianogenesis ini terjadi secara
alami apabila jaringan singkong rusak dan glikosida sianogenik bertemu
dengan substrata atau enzim. Terdapat beberapa metode dalam menganalisa
kadar sianida pada bahan makanan. Metode-metode itu pada dasarnya
berprinsip dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah pengekstrakan komponen
sianogenik dari bahan pangan, tahap kedua adalah hidrolisis senyawa
sianogenik menjadi sianida bebas, lalu tahap ke tiga adalah penentuan kadar
asam sianida. Pengekstraksian dilakukan dengan pelarutan pada larutan asam
karena enzim linamarinase inaktif pada suhu rendah, lalu pembebasan sianida
dilakukan melalui hidrolisis, baru penentuannya dapat dilakukan dengan titrasi
maupun ditera. Tahap penentuan kadar sianida pada umumnya diperlukan
Linamarase
>7
besi. Namun, diduga didalam umbi dan daunnya juga mengandung senyawa
antigizi, sehingga dilakukan pengidentifikasian kandungan ubi jalar dan
daunnya. Senyawa glikosida sianogenik yang diduga terkandung didalamnya
ditentukan dengan metode alkalin pikrat. Yaitu dengan pelarutan 5 gr sampe
pada 50 ml air destilat. Campuran didiamkan selama semalam baru kemudian
di saring. Kemudian 1 ml diletakkan pada labu reaksi dan ditambahkan dengan
4 ml alkalin pikrat dan dipanaskan pada waterbath selama 15 menit. Kemudian
absorbansinya diukur pada spektrofotometer pada panjang gelombang 490 nm
dan dibandingkan dengan larutan standar (Anbuselvi dan Muthumani, 2014).
Bedasarkan penelitian, pemasakan potongan singkong 50, 25, dan 5
gram menyisakan masing-masing 75, 50, dan 25% sianogen. Sedangkan daun
singkong yang dicacah, direbus selama 15 menit mengurangi kadar sianida
sebesar 85%, dan bila dicincangdan dilembutkan akan berkurang 97%. Daun
singkong tersebut bila direbus tidak akan menyisakan sianida. Bahan makanan
yang mengandung glukosida sianogenik dapat didetoksifikasi oleh tubuh
dengan cara mengubah sianida menjadi tiosianat lalu diekresikan lewat urin.
Tiosianat merupakan hasil detoksifikasi sianida dengan bantuan enzim
glikosidase dan sulfur transferase. Sehingga bagi orang yang kekurangan
protein sulfur, akan berkurang kemampuannya untuk mendetoksifikasi HCN.
Diketahui kandungan HCN pada beberapa komoditi pertanian di Kecamatan
Pundong Kabupaten Bantul, Yogyakarta, antara lain: Daun singkong mentah
1,64 mg/100gr dan rebus 0mg/100gr bahan; daun papaya sebesar 9,18 mg/100g
mentah dan 0 mg/100gr matang; pada ubi mentah sebesar 3,88 mg/100gr dan
1,04 mg/100g pada ubi rebus; serta pada singkong mentah dan rebus berturutturut 7,8 mg/100g dan 0,2 gr/100mg (Murdiana dan Sukati, 2001).
C. Metodologi
1. Alat
a. Alat destilasi
b. Erlenmeyer
c. Gelas ukur
d. Labu kjeldahl
3. Cara Kerja
a. Pembuatan Larutan Standar
Penambahan
Pengambilan 5 ml
5 ml Alkalin Pikrat
Penambahan
Pemanasan 5 menit
Pendinginan dengan air mengalir
Pengukuran absorbansi dengan
panjang gelombang 520 nm
Sampel 4 gr
Pemasukan dalam labu destilasi
Aquades 125 ml &
Kloroform 2,5 ml
Penambahan
Pendestilasian HCN dalam 10 ml KOH 2%
sampe volume 20 ml
Pengambilan 5 ml
Alkalin Pikrat 5 ml
Penambahan
Pemanasan 5 menit
Pengukuran absorbansi dengan panjang
gelombang 520 nm
Penghitungan konsentrasi dari kurva
merupakan senyawa alami yang ila terhidrolisis akan menghasilkan keton atau
aldehid, gugus gula, dan sejumlah tinggi ion sianida yang beracun. Menuru
Diallo et al. (2014), singkong mengandung glikosida sianogenik yang
kebanyakan adalah linamarin (2--D-glukopiranosiloksi-2-metilpropananitril)
dan lautostralin (2--D- glukopiranosiloksi-2-metilbutironitril). Kandungan
glukosida sianogenik ini seharusnya tidak beracun, namun ketika terhidrolisis
menjadi HCN, akan beracun bagi manusia dan hewan yang memakannya.
Berdasarkan Food Standards Australia New Zealand (2005), tanaman
menghasilkan glikosida sianogenik bersama dengan enzim hidrolitik (
glikosidase) ketika salah satu struktur selnya dirusak oleh predator. Dengan
pemecahan subsekuen menjadi gula dan sianohidrin,secara cepat akan
terdekomposisi menjadi asam sianida (HCN) dan aldehid atau keton. Pada ubi
kayu, gikosida sianogenik yang umumnya terkandubng adalah linamarin
dengan sedikit kadar dari lotaustralin (metil linamarin) dan juga enzim
linamarinase. Dengan dikatalisasi oleh enzim linamarinase, linamarin secara
cepat terhidrolisis menjadi glukosa dan aseton sianohidrin dan lotaustralin
terhidrolisis menjadi glukosa dan sianohidrin. Lalu dnegan alami, aseton
sianohidrin akan terdekomposisi menjadi aseton dan HCN, yang ditunjukkan
pada skema berikut:
Gambar 2.3 Reaksi pemecahan glikosida sianogenik menjadi HCN dan aseton
Menurut Ubwa et al. (2015), Ketika umbi singkong ataupun daunnya
diambil dari tanamannya, glukosida sianogenik akan terhidrolisis oleh enzim
menjadi -hidroksinitril dan gula atau sakarida. -hidroksinitril selanjutnya
akan membentuk reaksi intermolekular dan menghasilkan hydrogen sianida
atau HCN yang sangat beracun dan anal atau keton. Menurut Orjiekwe et al.
(2013), kandungan glikosida sianogenik menjadi asam sianida melalui reaksi
enzimatis yaitu: C3H8O2(OH)4 (Linamarin) + H2O
Linamarase
>7
> CH10O6
protein
sulfur
akan
berkurang
kemampuannya
untuk
kurva
standar
ditujukan
sebagai
kalibrasi
alat
Absorbansi ()
0,018
0,102
0,176
0,336
0,429
0,566
0,786
Absorbansi
0.8
y = 1.2446x - 0.0287
R = 0.9747
0.6
0.4
0.2
0
-0.2
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
Kadar Sianida
Sampel
Ubi Putih
Mentah
Ubi Putih
15
Matang
Ubi Ungu
2
16
Mentah
Ubi Ungu
17
Matang
Singkong
18
Mentah
6
Tape Singkong
7
Singkong Rebus
Daun Singkong
8
Matang
1
Daun Singkong
9
Mentah
Daun Pepaya
10
Mentah
Sumber: Laporan Sementara
14
HCN
(mg)
Kadar HCN
(ppm)
0,289
0,2553
255,263
0,0106
10,64
0,264
0,2352
235,176
0,0098
9,8
0,415
0,3565
356,500
0,0149
14,9
0,143
0,1380
137,956
0,0058
5,8
0,099
0,1026
102,603
0,0043
4,3
0,049
0,438
0,0624
0,3750
62,430
374,980
0,0026
0,0016
2,6
15,6
0,257
0,2296
229,552
0,0096
9,6
1,411
48,2
0,148
0,1420
5,92
141,973
0,0059
ppm; 9,8 ppm; 14,9 ppm; 5,8 ppm; 4,3 ppm; 2,6 ppm; 15,6 ppm; 9,6 ppm; 48,2
ppm; dan 5,92 ppm. Sehingga ditunjukkan bahwa kadar asam sianida terbesar
ada pada sampel daun singkong mentah sebesar 48,2 ppm dan terendah pada
tape singkong yaitu sebesar 2,6 ppm.
Secara umum, sampel yang mentah memiliki kandungan asam sianida
yang lebih tinggi dari pada bahan yang telah diolah. Hal ini karena pengolahan
dapat mengurangi bahkan menghilangkan senyawa HCN dalam suatu
komoditas. Dengan pengupasan, pencucian, pengirisan, pelembutan dan
perlakuan panas, glukosida sianogenik pada bahan akan berubah menjadi HCN
lalu sedikit-demi sedikit akan habis, sehingga sampel yang telah diolah berupa
rebusan ataupun fermentasi memiliki kadar sianida yang lebih rendah. Menurut
Nambisan (1994) dalam Murdiana dan Sukati (2001), pemasakan potongan
singkong 50, 25, dan 5 gram menyisakan masing-masing 75, 50, dan 25%
sianogen. Sedangkan daun singkong yang dicacah, direbus selama 15 menit
mengurangi kadar sianida sebesar 85%, dan bila dicincangdan dilembutkan
akan berkurang 97%. Namun pada sampel singkong mentah pada shift 2 dalam
praktikum, memiliki kadar sianida yang lebih rendah dari pada singkong rebus
pada shift ke 2. Selain itu, berdasarkan Food Standards Australia New Zealand
(2005), ubi yang manis memiliki kadar sianida yang lebih rendah dari pada ubi
pahit. Namun pada sampel ditunjukkan bahwa ubi putih maupun ubi ungu
memiliki kadar sianida yang lebih tinggi dibandingkan dengan ubi kayu atau
singkong. Hal ini dimungkinkan karena selama pengujian, glikosida
sianogenik yang terkandung dalam singkong mentah telah berubah menjadi
HCN pada suhu ruang dan telah banyak berkurang karena sifatnya yang mudah
menguap. Selain itu, kemungkinan juga banyak yang larut selama pencucian
dan pelembutan sampel. Sehingga saat diujikan kadarnya sudah banyak yang
menghilang.
Terdapat beberapa varietas ubi kayu dengan kandungan sianida yang
beragam. Biasanya umbi-umbian yang manis memiliki kadar sianida yang
lebih rendah dibandingkan dengan umbi-umbian yang rasanya lebih pahit.
HCN pada ubi kayu terkandung sekitar 15 400 mg/kg (0,06 16 mg/4gr) dan
sekitar 15 50 mg/kg (0.06 2 mg/4gr) pada umbi manis. Pada produk yang
difermentasi, masih menyisakan sekitar satu setengah persen dari bahan yang
dikeringkan (Food Standards Australia New Zealand, 2005). Menurut pada
penelitian Orjiekwe et al. (2013), potensi kandungan sianogenik pada singkong
dan daunnya berkisar antara 2 hingga lebih dari 1000 ppm HCN. Biasanya pada
umbinya terkandung sekitar lebih dari 100 ppm HCN, sehingga perlu dilakukan
proses untuk menguranginya sebelum dikonsumsi oleh manusia. Berdasarkan
penelitian oleh Murdiana dan Sukati (2001), kandungan HCN pada beberapa
komoditi pertanian di Kecamatan Pundong Kabupaten Bantul, Yogyakarta,
antara lain: Daun singkong mentah 1,64 mg/100gr dan rebus 0mg/100gr bahan;
daun papaya sebesar 9,18 mg/100g mentah dan 0 mg/100gr matang; pada ubi
mentah sebesar 3,88 mg/100gr dan 1,04 mg/100g pada ubi rebus; serta pada
singkong mentah dan rebus berturut-turut 7,8 mg/100g dan 0,2 gr/100mg.
Berdasarkan data tersebut, bila diubah menjadi mg/4gr, maka berturut-turut
kadar ubi mentah - rebus, singkong mentah, terfermentasi, rebus, daun
singkong mentah rebus, dan daun papaya mentah adalah sebesar 0,1552 mg;
0,0416 mg; 0,312 mg; 0,00468 mg; 0,008 mg; 0,0656 mg; 0 mg; dan 0,3672
mg. Sedangkan pada hasil praktikum, berturut-turut sebesar 0,2558 mg; 0,2352
mg; 0,3565 mg; 0,138 mg; 0,1026 mg; 0,0624 mg; 0,375 mg; 1,1568 mg;
0,2296 mg; dan 0,142 mg.
Secara umum perbandingan banyak dan sedikitnya kandungan asam
sianida antara komoditi satu dan komoditi lainny sudah sesuai. Perbedaan
kadar secara mendetail disebabkan walaupun merupakan satu spesies dan
kultivar yang sama, kandungan sianida masih dipegaruhi oleh hal hal lainnya.
Menurut Ubwa et al. (2015), terdapat sekitar 2600 spesies tanaman yang
memproduksi glukosida sianogenik, setiap kultivarpun kandungannya
beragam dipengaruhi oleh lokasi geografis, kandungan hara, cuaca, dan faktor
geografis lainnya.
Berdasarkan hasil praktikum, secara umum, bahan yang masak dan
diolah lebih jauh seperti tapai (proses fermentasi) memiliki kandungan sianida
yang lebih sedikit dari pada bahan mentah. Hal disebabkan oleh pengolahan
dapat mengurangi kadar HCN pada bahan. Mengingat HCN merupakan asam
yang mudah larut dalam air, mudah menguap bila dipanaskan, dan mudah
beraksi dengan garam membuatnya mudah rusak dan berkurang dari bahan
pangan dengan pengolahn pendahuluan. Hal ini telah sesuai dengan literature
oleh Suciati (2012), bahwa pelepasan HCN tergantung dari adanya enzim
glikosidase serta adanya air. Senyawa HCN mudah menguap pada proses
perebusan, pengukusan, dan proses memasak lainnya. Hal ini dikuatkan
dengan Food Standards Australia New Zealand (2005), yang menyatakan
bahwa proses yang benar dan optimal seperti pengupasan, perajangan, dan
pemasakan, baik asam sianida maupn gikosida sianogenik dapat dikurangi
banhkan dihilangkan dari bahan pangan. Pada bahan dengan kandungan
sianida yang lebih tinggi dapat dihilangkan dengan proses yang lebih jauh
seperti fermentasi bertingkat sehingga kadarnya semakin berkurang, selain itu,
berdasarkan Harijono dkk (2008), pada umumnya sianida dapat dihilangkan
dengan perebusan dan perendaman sebab sianida mempunyai sifat fisik mudah
larut dalam air dan mempunyai titik didih 29C.
Terdapat beberapa metode dalam menganalisa kadar sianida pada
bahan makanan. Metode-metode itu pada dasarnya berprinsip dalam tiga tahap.
Tahap pertama adalah pengekstrakan komponen sianogenik dari bahan pangan,
tahap kedua adalah hidrolisis senyawa sianogenik menjadi sianida bebas, lalu
tahap ke tiga adalah penentuan kadar asam sianida. Pengekstraksian dilakukan
dengan pelarutan pada larutan asam karena enzim linamarinase inaktif pada
suhu rendah, lalu pembebasan sianida dilakukan melalui hidrolisis, baru
penentuannya dapat dilakukan dengan titrasi maupun ditera. Tahap penentuan
kadar sianida pada umumnya diperlukan indikator untuk mengetahui kadar
sianida. Berdasarkan literature oleh Simeonova dan Lawrence (2004), metode
analisa sianida pada lingkungan secara kuantitatif dapat dilakukan dengan cara
pengukuran sianida yang diikat oleh larutan sodium ataupun potasium
hidroksida (NaOH atau KOH) dengan metode spektrofotometri, kalorimetri,
atau detector elektroda ion spesifik. Sianida total pada sampel atau minuman
dapat diketahui kadarnya dengan metoe kalorimetri semi otomatis, elektroda
dalam
suatu
produk
pertanian,
dapat
digunakan
metode
fermentasi,
perebusan,
pengukusan,
pengeringan,
pembakaran,
E. Kesimpulan
Berdasarkan serangkaian pengujian dan pengolahan data dalam
Praktikum Acara II Evaluasi Kadar Sianida Bahan Pangan yang telah
dilakukan, dapat diambil kesimpulan antara lain:
1. Prinsip evaluasi kadar sianida dalam bahan pangan adalah melalui tiga tahap
yaitu pengekstrakan asam sianida dengan cara penghancuran dan pelarutan
dalam klorofom dan akuades, lalu penangkapan ion sianida melalui destilasi
dimana asam sianida akan terbawa uap air dan diperangkap oleh KOH 2%,
serta peneraan kadar dengan spektrofotometri panjang gelombang 520 nm,
dengan alkali pikrat sebagai zat penstabil kandungan sianida pada larutan.
2. Perebusan sampel pada praktikum, secara umum dinilai dapat mengurangi
kadar sianida yang terkandung, kecuali pada sampel singkong. Karena sifat
asam sianida yang merupakan asam lemah yang mudah larut dalam air dan
menguap pada suhu ruang dan bila dipanaskan. Pada sampel singkong,
sianida singkong rebus masih lebih tinggi dari pada singkong mentah, yang
dapat disebabkan karena singkong mentah banyak kehilangan sianida
sebelum dilakukan pengujian. Fermentasi dapat mengurangi kadar sianida
secara signifikan seperti pada sampel tape.
3. Dari hasil praktikum, didapatkan kadar asam sianida ubi jalar putih mentah
dan matang sebesar 10,64 ppm dan 9,8 ppm; ubi jalar ungu mentah dan
matang sebesar 14,9 ppm dan 5,8 ppm; singkong mentah, tape singkong dan
singkong matang sebesar 4,3 ppm; 2,6 ppm; 15,6 ppm; daun singkong
mentah dan matang sebesar 48,2 ppm dan 9,6 ppm; serta kadar sianida daun
pepaya mentah sebesar 5,92 ppm.
DAFTAR PUSTAKA
Simeonova, Fina Petrova and Lawrence Fishbein. 2004. Hydrogen Cyanide and
Cyanides: Human Health Aspects. Concise International Chemical
Assessment Document 61, World Health Organization: Geneva.
Suciati, Andi. 2012. Pengaruh Lama Perendaman dan Fermentasi Terhadap
Kandungan HCN pada Tempe Kacang Koro (Canavalia ensiformis L).
Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan Jurusan Teknologi Pertanian
Universitas Hasanudin. Makassar.
Ubwa, Simon Terver., Monday Abel Otache, Gillian Ogbene Igbum, and Tseaa
Shambe. 2015. Determination of Cyanide Content in Three Sweet Cassava
Cultivars in Three Local Government Areas of Benue State, Nigeria. Food
and Nutrition Sciences, Vol. 6: 1078-1085.
LAMPIRAN
DOKUMENTASI EVALUASI KADAR SIANIDA BAHAN PANGAN
Gambar 2.5
Pelarutan Sampel Ubi
Ungu Mentah
Gambar 2.6
Pendestilasian Sampel
dengan Destilasi uap
Gambar 2.9
Penambahan Alkali
Pikrat
Gambar 2.10
Pemanasan
LAMPIRAN
PERHITUNGAN KADAR SIANIDA SAMPEL UBI UNGU MENTAH
Diketahui
Massa Sampel
: 4 gr
Fp
:4
Absorbansi
: 0,415
= 0,3565
Kadar ppm HCN Ubi Jalar Ungu Mentah
=
( )
106
1000
(0,3565 4)
106
4 1000
= 356,500
=
100%
356,500 137,956
100%
356,500
= 158,4%
Terjadi penurunan 1,5 kali.