Professional Documents
Culture Documents
AMBLIOPIA
PEMBIMBING:
dr. Irma A. Pasaribu, Sp.M
Disusun Oleh:
Angela Ika Putri Tedjasukmana, S.Ked
2008.04.0.0113
2008.04.0.0116
2008.04.0.0125
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
AMBLIOPIA
Mengetahui,
Pembimbing
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kita panjatkan kepada Tuhan YME karena berkat karuniaNya
kami dapat menyelesaikan referat Ilmu Kesehatan Mata tentang Ambliopia.
Referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dokter muda dan juga
mahasiswa kedokteran yang lain mengenai Ambliopia, sehingga diharapkan dapat
meningkatkan kemampuan serta pengetahuan para dokter muda dan mahasiswa
kedokteran dalam menangani Ambliopia.
Referat ini masih jauh dari sempurna, namun kami berharap dapat membantu
memperluas pengetahuan dokter muda dan mahasiwa kedokteran. Sekiranya ada
usulan-usulan untuk dapat meningkatkan dan memperbaiki referat ini.
Kami mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya atas bimbingan dari
dr. Irma A. Pasaribu, Sp.M sebagai pembimbing kami sehingga referat ini dapat
terselesaikan.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN......................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ..............................................................................................................iii
BAB 1 ANATOMI DAN HISTOLOGI MEDIA REFRAKSI ......................................... 1
1.1 Retina ........................................................................................................ 1
1.2 Aqueous Humour ...................................................................................... 2
1.3 Lensa ........................................................................................................ 3
1.4 Corpus Vitreous ........................................................................................ 3
1.5 Retina ........................................................................................................ 3
1.5.1 Lapisan Retina ................................................................................. 4
1.5.2 Sel Retina ......................................................................................... 7
BAB 2 FISIOLOGI PERKEMBANGAN PENGLIHATAN .......................................... 8
BAB 3 DEFINISI........................................................................................................10
BAB 4 FAKTOR RESIKO..........................................................................................11
BAB 5 EPIDEMIOLOGI ............................................................................................12
BAB 6 ETIOLOGI .....................................................................................................13
BAB 7 PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI .......................................................14
7.1 Patogenesis ...............................................................................................14
7.2 Patofisiologi ................................................................................................14
BAB 8 KLASIFIKASI ................................................................................................16
8.1 Ambliopia Strabismik .................................................................................16
8.2 Ambliopia Anisometropik ............................................................................17
8.3 Ambliopia Isometropia ...............................................................................18
8.4 Ambliopia Deprivasi ...................................................................................18
BAB 9 DIAGNOSIS ..................................................................................................20
BAB 10 MANAJEMEN .............................................................................................23
10.1 Eliminasi Hambatan Penglihatan .............................................................23
10.2 Koreksi Kelainan Refraksi .......................................................................24
10.3 Terapi Oklusi ............................................................................................24
10.4 Penalisasi .................................................................................................26
10.5 Terapi Ortoptik ..........................................................................................26
10.6 Pembedahan.............................................................................................26
iii
iv
BAB 1
ANATOMI DAN HISTOLOGI MEDIA REFRAKSI
1.1 Kornea
Kornea adalah jaringan transparan dan avaskuler bersama konjungtiva.
Kornea merupakan batas depan dari bola mata berhubungan dengan dunia luar.
(12)
e. Endotel
Terdiri dari 1 lapis sel-sel kubus. Sel-sel endotel tidak
mempunyai daya regenerasi seperti halnya sel-sel epitel. Oleh
karena itu kerusakan pada sel-sel endotel sering bersifat permanen
dan lebih berat dibanding epitel.(12)
Elemen-elemen nutrisi masuk ke dalam rongga kornea yang avaskuler
dari limbus yang kaya pembuluh darah. Di samping itu kornea juga mendapat
nutrisi dari aquous humour dalam bilik mata depan dan oksigen dari udara luar.
(12)
penglihatan,
mata
memiliki
sistem
peredaran sendiri. Aqueous humor disekresi ke bilik mata belakang oleh epitel
tak berpigmen dari prosesus cilliaris. Aqueous humour ini masuk ke dalam bilik
mata depan melalui pupil dan mengalir ke sinus vena scleral pada sudut
iridocorneal melalui ruang dari jaringan trabekular. Hal ini bertanggung jawab
untuk menjaga metabolisme avaskular transparan media, vitreous, lensa dan
kornea, dan juga memelihara dan mengatur tekanan intraokular yang relatif
tinggi, dan karenanya konsistensi dari dimensi mata dari bola mata dinilai
melalui keseimbangan antara produksi dan drainase. Kedalaman bilik mata
depan dapat dinilai dengan menggunakan slit-lamp biomicroscopy, dan sudut
filtrasi dapat dilihat langsung oleh gonioscopy. Setiap gangguan drainase ke
dalam sinus meningkatkan tekanan intraokular yang mengarah ke kondisi
glaukoma.(12)
1.3 Lensa
saja. Bagian optik dari retina meluas dari optic disc ke ora serrata. Bagian ini
merupakan bagian yang lembut, translusen, berwarna ungu terang karena
adanya rhodopsin, tapi segera menjadi opaq saat terkena cahaya.(12)
Dekat pusat retina ada wilayah dengan diameter 5-6 mm, yang berisi
lutea makula, daerah berbentuk elips kekuningan. Warna yang timbul adalah
karena adanya derivat dari xanthophyll. Macula lutea berisi cekungan bulat yang
disebut fovea centralis atau foveola, di mana tempat ini merupan resolusi visual
tertinggi). Di sini, semua elemen kecuali pigmen epitel fotoreseptor sel cone
dipindahkan secara lateral. Begitulah ukuran foveola adalah alasan mengapa
sumbu visual harus diarahkan dengan akurasi besar dalam rangka mencapai
visi yang paling diskriminatif.(12)
1.5.1 Lapisan Retina
Retina ini disusun dalam lapisan atau zona di mana komponen khas dari
sel-sel ini terkelompok bersama atau membentuk lanjutan ora serrata. Lapisan
ini memanjang tanpa gangguan di sepanjang retina photoreceptive kecuali pada
titik keluar dari serabut nervus optik pada optic disc, meskipun lapisan tertentu
jauh berkurang di foveola di mana elemen photoreceptive mendominasi. Namanama yang diberikan kepada berbagai lapisan mencerminkan sebagian
komponen yang hadir dalam diri mereka, dan juga posisi mereka di ketebalan
retina. Secara konvensional, struktur-struktur terjauh dari vitreous (yang menuju
koroid) ditetapkan sebagai lapisan luar atau eksternal, dan mereka yang menuju
vitreous adalam lapisan dalam atau internal.(12)
Komposisi lapisan retina adalah sebagai berikut:
a. Pigment Epithelium
Merupakan epitel kuboid rendah yang sederhana yang
membentuk bagian belakang retina, dan membentuk batas dengan
koroid, dimana ia dipisahkan oleh lamina basalis yang tebal.(12)
b. Rod and Cone Cell Processes
Terdiri dari segmen luar fotoreseptif dan bagian luar dari
segmen dalam sel rod dan sel cone.(12)
c. External Limiting Membrane
Lapisan ini muncul sebagai garis yang berbeda dengan
mikroskop cahaya. Terdiri dari zona sambungan antar sel dari zonula
Bipolar cells,
Horizontal cells,
Amacrine cells,
Ganglion cells.(12)
BAB 2
FISIOLOGI PERKEMBANGAN PENGLIHATAN
2.1 Perkembangan Penglihatan Monokular (Menggunakan Satu Mata)
Pada saat lahir, tajam penglihatan berkisar antara gerakan tangan
sampai hitung jari. Hal ini karena pusat penglihatan di otak yang meliputi
nucleus genikulatum lateral dan korteks striata belum matang. Setelah umur 4-6
minggu, fiksasi bintik kuning atau fovea sentral timbul dengan pursuit halus yang
akurat. Pada umur 6 bulan respon terhadap stimulus optokinetik timbul.
Perkembangan penglihatan yang cepat terjadi pada 2-3 bulan pertama yang
dikenal sebagai periode kritis perkembangan penglihatan. Tajam penglihatan
meningkat lebih lambat setelah periode kritis dan pada saat berumur 3 tahun
mencapai 20/30.(14)
2.2 Perkembangan Penglihatan Binokular (Penglihatan dengan Dua Mata
Bersamaan)
Perkembangan
penglihatan
binokular
terjadi
bersamaan
dengan
meningkatnya penglihatan monokular. Kedua saraf dari mata kanan dan kiri
akan bergabung memberikan penglihatan binokular (penglihatan tunggal dua
mata). Di korteks binokular yang mempunyai respons terhadap stimuli kedua
mata, dan sel sel korteks monokular yang bereaksi terhadap rangsangan hanya
satu mata. Kita-kira 70% sel-sel di korteks striata adalah sel-sel binokular. Selsel tersebut berhubungan dengan saraf di otak yang menghasilkan penglihatan
tunggal binokular dan stereopsis (penglihatan tiga dimensi). Fusi penglihatan
binokular berkembang pada usia 1,5 hingga 2 bulan, sementara stereopsis
berkembang kemudian pada usia 3 hingga 6 bulan.(5)
2.3 Penglihatan Binokular Tunggal dan Stereopsis
Penglihatan binokular normal adalah proses penyatuan bayangan di
retina dari dua mata ke dalam persepsi penglihatan tunggal tiga dimensi. Syarat
penglihatan binokular tunggal adalah memiliki sumbu mata yang tepat sehingga
bayangan yang sama dari masing-masing mata jatuh pada titik di retina yang
sefaal, yang akan diteruskan ke sel-sel binokular korteks yang sama.(5)
BAB 3
DEFINISI
Ambliopia berasal dari bahasa Yunani yang berarti penglihatan yang
tumpul (dull vision): amblys: tumpul, ops: mata.(14) Ambliopia adalah penurunan
ketajaman penglihatan dengan koreksi terbaik, baik unilateral atau bilateral
(jarang), pada keadaan mata yang normal, atau abnormalitas struktural yang
melibatkan mata atau visual pathway, dengan penurunan ketajaman penglihatan
yang tidak dapat hanya dikaitkan dengan efek abnormalitas struktural. (1)
Ambliopia adalah penurunan ketajaman penglihatan satu mata (tidak
dapat dikoreksi dengan lensa) tanpa adanya kelainan mata organik. Kondisi ini
juga kadang-kadang disebut Lazy Eye. (13)
Ambliopia adalah penurunan penglihatan pada anak yang terjadi bahkan
ketika tidak ada masalah pada struktur mata. Penurunan penglihatan akibat
salah satu atau kedua mata mengirim gambaran kabur ke otak. Otak kemudian
"belajar" untuk hanya melihat kabur dengan mata tersebut, bahkan ketika
menggunakan kacamata. Jika tidak diobati, dapat menyebabkan kehilangan
penglihatan permanen.(3)
10
BAB 4
FAKTOR RESIKO
Resiko terjadinya ambliopia dikaitkan dengan strabismus, kesalahan
refraktif yang signifikan, dan kondisi yang dapat menyebabkan penurunan
penglihatan akibat halangan secara fisik atau hambatan sumbu visual satu atau
kedua mata selama periode sensitif, yaitu dari lahir sampai 6-8 tahun. Sejumlah
faktor risiko tambahan telah diidentifikasi:(4)
Prematuritas,
Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR),
Retinopati prematuritas (fibroplasia Retrolental),
Cerebral palsy,
Retardasi mental,
Riwayat keluarga dengan anisometropia, isoametropia, strabismus,
amblyopia, atau katarak kongenital.(4)
11
BAB 5
EPIDEMIOLOGI
Ambliopia sering menyebabkan penurunan ketajaman penglihatan
unilateral pada anak-anak dibanding penyebab lain, dengan prevalensi 2-4%
dari populasi Amerika Utara.(1) Prevalensi ambliopia sulit untuk dinilai dan
bervariasi dalam berbagai literatur, mulai 1-3.5% pada anak-anak sehat dan 45.3% pada anak-anak dengan masalah mata. (15) Fakta tersebut sungguh
menyedihkan, karena pada prinsipnya hampir semua ambliopia dapat dicegah
atau reversibel dengan intervensi yang memadai.(4)
Sebagian besar kasus ambliopia yang terjadi adalah ambliopia refraktif
dan strabismik. Ambliopia anisometropik dan atau ambliopia strabismik terjadi
lebih dari 90 persen dari semua ambliopia. Ambliopia isoametropik jarang
ditemukan, hanya 1-2 persen dari semua ambliopia. Prevalensi pasti bentuk
ambliopia deprivasi tidak jelas, tetapi juga dianggap langka. (4)
Insiden amblyopia pada usia prasekolah adalah sekitar 0,4 persen per
tahun. Jika prevalensi setelah periode ini adalah sekitar 2 persen, kejadian
tahunan pada populasi umum dapat secara luas diperkirakan dengan asumsi
bahwa 2-3 persen bayi sehat lahir setiap tahun akan menderita kehilangan
penglihatan dari ambliopia.(4)
12
BAB 6
ETIOLOGI
6.1 Strabismus
Strabismus adalah penyebab terbanyak ambliopia. Untuk menghindari
penglihatan ganda yang diakibatkan mata yang tidak sejajar, otak menghindari
input visual dari mata yang mengalami kelainan, sehingga menyebabkan
terjadinya ambliopia pada mata tersebut. Tipe ambliopia ini disebut Strabismic
Amblyopia.(6)
6.2 Kelainan Refraksi
Kadang-kadang, ambliopia disebabkan oleh kelaian refraksi yang tidak
seimbang pada kedua mata. Misalnya, 1 mata memiliki rabun dekat atau rabun
jauh signifikan yang tidak dikoreksi sedangkan mata yang lain normal, atau
salah satu mata mengalami astigmatisme signifikan. Pada kasus ini otak akan
bergantung pada mata yang lebih sehat dan pada mata yang mengalami
kelainan refraksi akan terjadi penglihatan kabur dan kemudian dapat
berkembang menjadi Ambliopia. Tipe Ambliopia
ini
disebut
Refractive
Amblyopia.(6)
6.3 Oklusi Visual
Adanya penyakit okuler yang menghalangi visual image sampai ke retina.
Contohnya pada katarak kongenital, kekeruhan pada kornea, dan ptosis.
Walaupun diobati dengan pengobatan yang tepat, Ambliopia masih bisa
menetap.(11)
13
BAB 7
PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI
7.1 Patogenesis
Ambliopia terjadi karena adanya faktor ambliogenik selama periode kritis
perkembangan visual (dari lahir-6 bulan = periode sensitif). Faktor ambliogenik
terdiri dari:(9)
a. Visual (form sense) deprivation seperti pada anisometropia,
b. Light deprivation seperti pada congenital katarak
c. Abnormal binocular interaction seperti pada strabismus
Hypermetropia
Myopia
Anisometropia
Astigmatism
7.2 Patofisiologi
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa terdapat suatu periode kritis
penglihatan. Dalam studi eksperimental pada binatang serta studi klinis pada
bayi dan balita, mendukung konsep adanya suatu periode tersebut yang peka
dalam berkembangnya keadaan amblyopia. Periode kritis ini sesuai dengan
perkembangan system penglihatan anak yang peka terhadap masukan
abnormal yang diakibatkan rangsangan deprivasi, strabismus, atau kelainan
refraksi yang signifikan.(1) Periode kritis tersebut adalah:(15)
a.
b.
c.
tetapi juga kelainan di otak akibat rangsangan visual abnormal selama periode
sensitif perkembangan penglihatan. Penelitian pada hewan, bila ada pola
14
distorsi pada retina dan strabismus pada perkembangan penglihatan awal, bisa
mengakibatkan kerusakan struktural dan fungsional nucleus genikulatum lateral
dan korteks striata.(10.14) Ambang sistem penglihatan pada bayi baru lahir adalah
di bawah orang dewasa meskipun system optic mata memiliki kejernihan 20/20.
Sistem penglihatan membutuhkan pengalaman melihat dan khususnya interaksi
kompetisi antara kedua jalur lintasan mata kanan dan kiri di korteks penglihatan
untuk berkembang menjadi penglihatan seperti orang dewasa,yaitu visus
menjadi 20/20. Pada ambliopia defek pada visus sentral, sedangkan medan
penglihatan perifer tetap normal.(1)
Sel-sel Magno dan Parvo
Pada sistem penglihatan terdapat dua populasi sel yaitu sel parvo (sel kecil) dan
sel magno (sel besar). Neuron selular parvo lebih sensitif untuk penglihatan
warna, kontras, frekuensi yang lebih tinggi, diskriminasi dua titik yang bagus,
stereopsis yang bagus dan proyeksi ke daerah lapang padang sentral dan
fovea. Neuron selular magnu, sensitif terhadap arah, gerakan, kecepatan,
kedipan, dan perbedaan binokular dan stereopsis kasar.(5)
15
BAB 8
KLASIFIKASI
8.1 Ambliopia Strabismik
Ambliopia strabismik (paling sering) karena strabismus yang konstan
dan tidak berubah bersifat unilateral. Ambliopia yang paling sering ditemui
ini terjadi pada mata yang berdeviasi konstan. Konstan, nonalternating
tropias
(tropia
yang
tidak
bergantian,
khususnya
esodeviasi)sering
16
17
(dengan
atau
tanpa
koreksi
lensa)
sama
dalam
hal
18
19
BAB 9
DIAGNOSIS
Terdapat kecurigaan ambliopia unilateral apabila diketemukan: (5)
Fiksasi kedua mata berbeda (pada bayi dan anak yang belum bisa
berkomunikasi), atau terdapat perbedaan tajam penglihatan antara
kedua mata sebanyak dua baris optotipe Snellen atau lebih (pada
anak yang sudah dapat berkomunikasi dan membaca),
Fiksasi di bawah kisaran rata-rata pada tiap mata (bayi dan anak
yang belum bisa berkomunikasi),
Gejala
klinis
ambliopia
yang
terpenting
adalah
penurunan
20
density
filter
mempunyai
efek
menurunkan
biasa,
kedua
visus
tersebut
menunjukkan
21
region
nonfoveal
untuk
fiksasi
tidak
dapat
CT,
MRI,
22
BAB 10
MANAJEMEN
Tujuan utama pengobatan ambliopia adalah agar pasien dapat memiliki
kembali visus yang normal dan seimbang antara kedua mata, posisi aksis okular
dan persepsi kedalaman yang sempurna. Respon terhadap terapi ambliopia ini
menurut beberapa peneliti tergantung beberapa hal antara lain: (7)
Kepatuhan pasien.(7)
23
Tahap inisial
Oklusi full-time merupakan standar awal pengobatan. Pada
beberapa kasus oklusi part-time dilakukan jika ambliopia tidak terlalu
parah atau usia anak yang masih sangat muda. Sebagai pedoman,
oklusi full-time mungkin dilakukan dalam jangka waktu sesuai dengan
usia anak dalam tahun tanpa resiko penurunan penglihatan pada
mata normal.(13) Pada usia anak yang lebih muda waktu penutupan
lebih pendek, hal ini untuk mencegah terjadinya ambliopia pada mata
yang baik.(8)
Jadwal sederhana untuk terapi oklusi tergantung usia adalah
sebagai berikut:(9)
o
24
Durasi
oklusi
harus
sampai
ketajaman
penglihatan
Tahap maintenance
Pengobatan
dilanjutkan
setelah
maintenance
fase
terdiri
perbaikan
dari
untuk
oklusi
part-time
mempertahankan
26
BAB 11
KOMPLIKASI, PROGNOSIS, DAN PREVENSI
11.1 Komplikasi
11.2 Prognosis
Pada sebagian besar kasus, jika pengobatan dimulai cukup dini,
perbaikan substansial atau normalisasi ketajaman penglihatan seluruhnya dapat
terjadi. Jarang terjadi tidak adanya perbaikan pada kondisi ideal. (13)
Pada mata yang sudah mendapat perawatan untuk ambliopianya
dianjurkan dikontrol setiap minggu pada anak berusia di bawah 1 tahun dan 2
minggu sekali pada anak berusia dibawah 3 tahun. (8)
11.3 Prevensi
Pada anak berusia dibawah 5 tahun perlu dinilai ketajaman penglihatan
apalagi bila anak tersebut juga memperlihatkan tanda-tanda juling. Kelainan
refraksi sering tidak dapat diketahui oleh orang tua balita sebelumnya. Juling
dapat diperhatikan oleh orang tua yang waspada dan hal ini menguntungkan
karena ambliopia yang mungkin akan terjadi dapat dicegah dini. (8)
27
BAB 12
KESIMPULAN
Media refraksi merupakan salah satu rangkaian penting agar sesorang dapat
melihat dengan normal. Media refraksi tersebut meliputi kornea, aqueous humour,
lensa, corpus vitreous, serta retina. Adanya kerusakan pada salah satu komponen
tersebut dapat menyebabkan penglihatan kita berkurang.
Selain anatomis yang normal, kita juga harus memiliki fisiologis penglihatan
yang normal. Perkembangan dari fisiologis penglihatan kita dimulai sejak lahir. Saat
lahir bayi hanya bisa melihat terang dan gelap, seiring bertambahnya usia,
perkembangan pun terjadi hingga usia 8 tahun dimana perkembangan dari fisiologis
tersebut telah maksimal.
Ambliopia adalah penurunan ketajaman penglihatan dengan koreksi terbaik,
baik unilateral atau bilateral (jarang), pada keadaan mata yang normal, atau
abnormalitas struktural yang melibatkan mata atau visual pathway, dengan
penurunan ketajaman penglihatan yang tidak dapat hanya dikaitkan dengan efek
abnormalitas struktural. Ambliopia sering didapatkan pada anak-anak di bawah usia
10 tahun. Banyak faktor yang dapat menyebabkan Ambliopia, di antaranya adalah
strabismus, kelainan refraksi, riwayat keluarga strabismus atau ambliopia, dan lainlain. Namun penyebab ambliopia dapat dikelompokkan menjadi 4 besar yaitu:
Strabismus, perbedaan refraksi kedua mata yang signifikan atau kelainan refraksi
yang sangat tinggi pada kedua mata, serta adanya halangan masuknya cahaya
pada media refraksi. Adanya kelainan-kelainan tersebut apabila tidak dikoreksi dapat
menyebabkan ambliopia. Untuk mengetahui adanya ambliopia kita dapat melakukan
pemeriksaan visus. Saat memeriksa visus dapat dilakukan crowding phenomenon
test dan filter density test apabila mencurigai adanya ambliopia. Dapat pula
dilakukan test strabismus apabila dicurigai adanya strabismus.
Ambliopia dapat kita koreksi dengan beberapa cara, yaitu koreksi kelainan
refraksi, terapi oklusi yang terdiri dari tahap inisial dan maintenance. Hasil
pengobatan lebih baik apabila pengobatan dilakukan sedini mungkin, namun kita
juga tetap harus berhati-hati karena overtreatment dapat menyebabkan mata yang
sehat menjadi ambliopia. Peningkatan kewaspaan orang tua terhadap tingkah laku
anak dapat mencegah terjadinya ambliopia.
28
BAB 13
PENUTUP
Dengan demikian, kami telah membahas mengenai ambliopia. Sekiranya apa
yang telah dibahas disini dapat berguna bagi mahasiswa-mahasiwa fakultas
kedokteran dan para dokter muda. Kami mohon maaf apabila ada kesalahan selama
pembuatan referat ini, dan apabila ada masukan mengenai kekurangan yang ada
pada referat kami, kami akan sangat berkenan menerimanya.
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Americans Academy of Ophthalmology (AAO). 2004-2005. Basic and Clinical
Science Course, Section 6: Pediatric Ophthalmology and Strabismus, The Eye
MD Association
2. Americans Academy of Ophthalmology (AAO). 2004-2005. Basic and Clinical
Science Course, Section 12: Retina and Vitreous, The Eye MD Association
3. Americans Association of Pediatric Ophthalmology and Strabismus (AAPOS).
2013. Amblyopia. http://www.aapos.org/terms/conditions/21
4. American Optometric Association (AOA). 2004. Optometric Clinical Practice
Guideline: Care of the Patient with Amblyopia.
5. Gunawan, W. 2007. Gangguan Penglihatan pada Anak Karena Ambliopia dan
Penanganannya. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas Kedokteran
Universitas Gajah Mada. Yogyakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Gajah
Mada
6. Heiting,
G.
2013.
Amblyopia
(Lazy
Eye).
http://www.allaboutvision.com/conditions/amblyopia.htm
7. Hittner, HAM dan Fernandez KM. 2000. Successful Amblyopia Therapy Initiated
After Age 7 Years. Archive Ophthalmology. 2000 Nov;118(11):1535-41.
8. Ilyas, S. 1985. Kedaruratan dalam Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
9. Khurana,
AK.
2007.
Strabismus
and
Nystagmus.
In:
Comprehensive
30
11. Pediatric
Opthalmic
Consultant.
2012.
Amblyopia.
http://www.pedseye.com/topics_amblyopia.htm
12. Standring, S. 2008. Grays Anatomy : The Anatomical Basis of Clinical Practice.
Elsevier Churchill Livingstones.
13. Vaughan, DG et al. 2003. Vaughan & Asbury's General Ophthalmology Sixteenth
Edition. Mc Graw-Hill
14. Wright KW et al. 1995. Visual development, amblyopia, and sensory
adaptations. In: Pediatric Ophthalmology and Strabismus. St.Louis : Mosby-Year
Book, Inc.
15. Yen, K.G. 2013. Amblyopia. http://www.emedicine.com/OPH/topic316.htm
31