Kontroversi seputar boleh tidaknya seorang perempuan menjadi Presiden seakan
tak ada habisnya. Tapi sekarang fokusnya tidak seperti beberapa waktu menjelang pemilu dan beberapa saat sebelum Sidang Umum MPR tahun 1999 lalu yang diwarnai oleh penolakan keras khususnya dari kalangan parpol-parpol Islam tentang kemungkinan wanita menjadi Presiden. Kini parpol-parpol Islam itu telah “merevisi” pendapatnya. Melalui berbagai rekayasa konstruktif, mereka mencoba mengesahkan kepemimpinan perempuan. dalam konteks negara. Kepemimpinan perempuan dalam islam akhir-akhir ini masih sangat kontrofersial, bagaimana tidak ? karena hingga saat ini masih banyak yang menentang perempuan untuk menjadi seorang pemimpin, walaupun pada kenyataannya ada juga yang menyetujui perempuan sebagai pemimpin sebagaimana terjadi di indonesia yang telah dipimpin oleh presiden perempuan. dinamika yang terjadi ini paling tidak dipengaruhi oleh Perubahan lingkungan dan pergeseran budaya. Pada umumnya pemimpin perempuan cenderung diberikan porsi pada organisasi perempuan dan sosial. Namun dengan adanya globalisasi telah merubah paradigma kepemimpinan ke arah pertimbangan core competence yang dapat berdaya saing di pasar global. Oleh sebab itu banyak organisasi berkaliber dunia yang memberikan kesempatan bagi perempuan yang mampu dan memenuhi persyaratan kepemimpinan sesuai situasi dan kondisi sekarang ini. Hambatan bagi kepemimpinan perempuan lebih banyak akibat adanya stereotipe negatif tentang kepemimpinan perempuan serta dari mental (perempuan) yang bersangkutan. Stereotipe-stereotipe tersebut muncul sebagai akibat dari pemikiran individu dan kolektif yang berasal dari latar belakang sosial budaya dan karakteristik pemahaman masyarakat terhadap gender serta tingkat pembangunan suatu negara atau wilayah. Dari hasil temuan, ternyata tidak ditemukan adanya perbedaan antara gaya kepemimpinan perempuan dengan laki-laki, walaupun ada sedikit perbedaan potensi kepemimpinan perempuan dan laki-laki, di mana keunggulan dan kelemahan potensi kepemimpinan perempuan dan laki-laki merupakan hal yang saling mengisi. Begitu juga dengan karakteristik kepemimpinan perempuan dan laki-laki dapat disinergikan menjadi kekuatan yang harmonis bagi organisasi yang bersangkutan. Jika kita melihat dalam konteks kepemimpinan yang ada dalam islam, maka akan kita temukan pendapat-pendapat para ulama yang melarang wanita untuk menjadi pemimpin sebagaimana yang ditafsirkan dari al quran dan juga hadist-hadist Rasulullah SAW. Menarik pula jika kita telusuri pemahaman islam yang sebenarnya tentang wanita, Dengan melakukan kajian komprehensif (istiqra`) terhadap nash-nash syara’ yang berhubungan hak dan kewajiban yang diberikan Islam kepada laki-laki dan perempuan, akan didapatkan kesimpulan berikut. Bahwa Islam telah memberikan hak kepada perempuan seperti yang diberikan Islam kepada laki-laki, demikian pula Islam telah memikulkan kewajiban kepada perempuan seperti yang dipikulkan Islam kepada laki- laki, kecuali hak atau kewajiban yang dikhususkan Islam untuk perempuan, atau yang dikhususkan Islam untuk laki-laki, berdasarkan dalil-dalil syar’i. adapun penghususan dalam hal ini ialah kewajiban seorang perempuan tuk mengurus anak dan lain sebagainya, lain halnya dengan laki-laki yang berkewajiban untuk menfkahi istri dan anak-anaknya, bahkan dalam sebuah hadist, rasulullah menyatakan bahwa setiap manusia adalah pemimpin, seorang ayah adalah pemmimpin untuk kelusrgsnys, seorsng ibu adalah pemimpin bagi anak-anaknya dan seterusnya. dengan kaya lain bahwa konsep kepemimpinan wanita dalam hal ini hanya dalam keluarga untuk anak-anak mereka dan untuk mencetak generasi-generasi yang mapan. Seorang penulis wanita terkenal yang berkebangsaan Inggris, Aniel Roward, menyatatakan bahwa lebih baik untuk seorang wanita itu mengurus rumah tangga mereka dari pada bekerja, hal itu untuk menjaga kehormatannya. Namun banyak juga para pemikir-pemikir barat yang mengeluhkan keadaan wanita yang mereka anggap termarjinalkan dan tak bedanya dengan seorang pembantu sehinga muncul gerakan- gerakan yang kita kenal dengan feminisme yang menuntut persamaan gender. Pada dasarnya islam tidak mengizinkan perempuan menjadi seorang pemimpin jika masih ada laki-laki yang mampu. namun pada kenyataannya di Indonesia yang saya kira yelajh banyak terjadi penyimpanagan yang dilakuakan oleh elit-elit politik demi kekuasaan. saya katakana demikian karena fanomena yang muncul pada pemilu tahun 1999 setelah Gusdur lengser pada tahun 2001 yang kemudian Megawati naik menjadi Presiden,. Dalam fanomena itu dapat kita lihat dimana para eleit-elit islam yang sebelumnya sangat menentang kepemimpinan perempuan dan para ulama-ulama Indonesia yang kemudian menjadi para pendukung megawati, padahal mereka sebelumnya sangat menentang pemimpin seorang perempuan. dalam hal ini sangat nampak adanya rekayasa konstruktif untuk melegitimasi kepemimpinan perempuan yang dilakukan oleh orang-orang tekemuka bangsa ini, misalnya dalam seminar sehari yang diselenggarakan di komisi VII DPR pada tanggal 4/7/2001. Seminar yang menghadirkan Nazaruddin Umar dan KH. Husein Mohamad itu bertujuan memberikan legitimasi syari’ah terhadap keabsahan kepemimpinan wanita dalam konteks negara. Meskipun demikian, seminar itu lebih tepat disebut sebagai rekayasa untuk mencairkan hambatan- hambatan teologis yang kerap kali berujung pada pemerkosaan nash-nash agama dengan kepentingan-kepentingan politik. Sebenarnya jika kita lihat islam yang seharusnya maka pemimpin seorang wanita tidak seharusnya muncul karena telah jelas dari nash-nas yang ada dan juga sebagaimna yang telah dicintihkan oleh Rasulullah SAW, namun yang kita jumpai sekarang ini bukanlah islam yang normative tetapi adalah islam kenyataannya pada saat ini yang bersifat kontempporer atau kekinian yang tidak terlepas dari kultur dan produk sejarah serta pemahaman-pemahaman yang bisa dikatakan “liar “, begitu pula adanya pada kepemimpinan perempuan yang juga di pengaruhi gerakan feminisme di prancis yang menuntut persamaan Gender. Referensi Sabili, Ediai No. 4 TH XII September 2004/25 Rajab 1425 Sabili, Edisi No. 20 TH XI 32 April 2004/3 rabi’ul Awwal 1425 Swaraquran, Edisi No 8 Tahun ke-5/ Muharram 1427 H/ Februari 2006