You are on page 1of 3

Awal Kerjaan Arab saudi

Pada tahun 1800 seluruh Jazirah Arab telah dikuasai. Dan keamiran pun berubah menjadi
kerajaan Saudi Arabia. Untuk kesekian kalinya kita dibuat kagum sekaligus benci. Dua
sikap psikologis itu beradu. Kita kagum karena lagi-lagi mayoritas muslim dapat menjaga
persatuan dalam menghadapi imperialis Inggris yang berusaha menguasai berbagai
wilayah-wilayah Arab. Kita juga benci karena lagi-lagi Salafisme (Wahabisme edisi hard
cover) memperagakan ‘teologi horor’ dengan mengusung jargon jihad, membajak kata
‘Ahlussunnah wal Jamaah’. Mazhab ‘kaca mata kuda’ –karena tidak melihat dan
menganggap kelompok lain- ini didirikan Muhammad bin Abdul Wahab dari keluarga
klan Tamim yang menganut mazhab Hanbali. Ia lahir di desa Huraimilah, Najd, yang kini
bagian dari Saudi Arabia, tahun 1111 H [1700 M] masehi, dan meninggal di Dar’iyyah
pada tahun 1206 H [1792 M.]. Ia sangat terpengaruh oleh tulisan-tulisan seorang ulama
besar bermazhab Hanbali bernama Ibnu Taimiyah yang hidup di abad ke 4 M.. Untuk
menimba ilmu, ia juga mengembara dan belajar di Makkah, Madinah, Baghdad dan
Bashrah [Irak], Damaskus {Syria], Iran, Afghanistan dan India. Di Baghdad ia
mengawini seorang wanita kaya. Ia mengajar di Bashrah selama 4 tahun. Ketika pulang
ke kampung halamannya ia menulis buku yang kemudian menjadi rujukan kaum
pengikutnya, “Kitabut’Tauhid“. Para pengikutnya menamakan diri mereka dengan
sebutan kaum Al-Muwahhidun (para pengesa Tuhan). Seakan hanya kelompok itulah
yang pengesa Allah secara murni tanpa terpolusi dengan kesyirikan. Sedang kelompok-
kelompok lain yang tak sepaham mereka anggap sebagai kelompok pelaku syirik, bid’ah
dan khurafat yang sesat.

Kemudian Muhammad bin Abdul Wahab pindah ke Uyaynah. Dalam khotbah-khotbah


Jumat di Uyaynah, ia terang-terangan mengkafirkan semua kaum Muslimin yang
dianggapnya melakukan bid’ah [inovasi], dan mengajak kaum Muslimin agar kembali
menjalankan agama seperti di zaman Nabi. Di kota itu ia mulai menggagas dan
meletakkan teologi ultra-puritannya. Ia mengutuk berbagai tradisi dan akidah kaum
Muslimin, menolak berbagai tafsir Al-Qur’ân yang dianggapnya mengandung bid’ah atau
inovasi. Mula-mula ia menyerang mazhab Syiah (di luar Ahlusunah), lalu kaum Sufi,
kemudian ia mulai melanjutkan penyerangan terhadap kaum Ahlusunah secara
keseluruhan dengan cara yang brutal. Dengan mengecap mereka dengan berbagai julukan
buruk seperti Quburiyuun (pemuja kubur) dikarenakan mereka semua sepakat bahwa
kuburan para nabi, rasul dan para kekasih Ilahi (Waliyullah) harus dihormati sesuai
ajaran pendahulu (Salaf) yang sesuai dengan ajaran Rasul, para Sahabat setia beliau, juga
para Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in.
Tatkala masyarakat mulai merasa seperti duduk di atas bara, Muhammad bin Abdul
Wahab diusir oleh penguasa [amir] setempat pada tahun 1774. Ia lalu pindah ke Al-
Dar’iyyah, sebuah oase ibu kota keamiran Muhammad bin Sa’ud, masih di Najd Tahun
1744. Di situlah Muhammad bin Abdul Wahab mendapat angin segar dalam
menyebarkan ajaran sesatnya. Ia dihidupi, diayomi dan dilindungi langsung oleh sang
Amir Dar’iyah, Muhammad bin Saud. Akhirnya Amir Muhammad bin Saud dan
Muhammad bin ‘Abdul Wahab saling membaiat dan saling memberi dukungan untuk
mendirikan negara teokratik dan mazhab Muhammad bin Abdul Wahab pun dinyatakan
sebagai mazhab resmi wilayah kekuasaan Ibnu Saud. Dan Muhammad bin ‘Abdul Wahab
akhirnya diangkat menjadi qadhi (hakim agama) wilayah kekuasaan Ibnu Saud.
Hubungan keduanya semakin dekat setelah Ibnu Saud berhasil mengawini salah seorang
putri Muhammad bin ‘Abdul Wahab.
Penaklukan dan pembantaian pun dilakukan, terutama terhadap kabilah-kabilah dan
kelompok Ahlusunah yang menolak mazhab mereka (Wahaby), hingga terbentuklah
sebuah emirat lalu diubah menjadi monarki dengan nama keluarga, Saudi Arabia, sejak
tahun 1932 hingga kini.
Pada bulan April tahun 1801, mereka membantai kaum Syi’ah di kota Karbala’ (salah
satu kota suci kaum Syiah di Irak). Seorang penulis Wahabi menuliskan: “Pengikut Ibnu
Saud mengepung dan kemudian menyerbu kota itu. Mereka membunuh hampir semua
orang yang ada di pasar dan di rumah-rumah. Harta rampasan [ghanimah] tak terhitung
Mereka hanya datang pagi dan pergi tengah hari, mengambil semua milik mereka.
Hampir dua ribu orang dibunuh di kota Karbala”.
Muhammad Finati, seorang muallaf Italia yang ikut dalam pasukan Khalifah daulah
Usmaniyyah yang mengalahkan kaum Wahabi menulis : “Sebagian dari kami yang jatuh
hidup-hidup ke tangan musuh yang kejam dan fanatik itu, dipotong-potong kaki dan
tangan mereka secara semena-mena dan dibiarkan dalam keadaan demikian. Sebagian
dari mereka, aku saksikan sendiri dengan mata kepala tatkala kami sedang mundur.
Mereka yang teraniaya ini hanya memohon agar kami berbelas kasih untuk segera
mengakhiri hidup mereka”.
Kabilah-kabilah yang tidak mau mengikuti mazhab mereka dianggap kafir, ‘yang halal
darahnya’. Dengan demikian mereka (Wahaby) tidak dinamakan perampok dan kriminal
lagi, tapi kaum ‘mujahid’ yang secara teologis dibenarkan membunuh kaum ‘kafir’
termasuk wanita dan anak-anak, merampok harta dan memperkosa istri dan putri-putri
mereka yang dianggap sah sebagai ghanimah (rampasan perang). Hanya sedikit yang
dapat melarikan diri.
Setelah lebih dari 100 tahun kemudian, kekejaman itu masih juga dilakukan. Tatkala
memasuki kota Tha’if tahun 1924, mereka menjarahnya selama tiga hari. Para qadhi dan
ulama diseret dari rumah-rumah mereka, kemudian dibantai dan ratusan yang lain
dibunuh
Kerajaan Inggris membantu Wahabisme dengan uang, senjata dan keterampilan, sehingga
kekuasaan Ibnu Saud menyebar ke seluruh jazirah Arab yang pada masa itu berada dalam
kekhalifahan Usmaniyah dengan tujuan melemahkan khilafah itu. Jadi yang
menggembosi kekuasaan daulah dan kekhalifahan Usmani adalah kelompok yang
terkenal dengan sebutan Wahaby yang sekarang ini mengaku sebagai kelompok Salafy.
Orang bisa membacanya dalam buku Hempher, ‘Confession of a British Spy’. Hampher
seorang orientalis yang menjalin persahabatan dengan Ibnu Abdul Wahab. Tahun 1800
seluruh Jazirah Arab telah dikuasai dan keamiran berubah menjadi kerajaan Saudi
Arabia.
Umumnya kaum intelektual dan ulama Ahlusunah – penganut 4 mazhab ‘resmi’ Hanafi,
Syafi’i, Maliki dan Hanbali– menganggap kaum Wahhabi, termasuk pendirinya, sebagai
orang-orang yang berpikir sangat linier, literer sambil menolak metafoar [Majaz], sangat
denotatif dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadis. Mereka menganggap
mazhab selainnya (Wahaby) sebagai sesat dan menyesatkan dengan berpatokan pada
hadis: “Kullu bid’ah dhalaalah wa kullu dhalaalah fî n-naar”. (semua inovasi itu sesat dan
semua yang sesat itu masuk neraka). Kata “bid’ah” yang mereka tuduhkan hanyalah kata
pelembut, untuk ‘kafir’, dan menganggap berziarah ke kubur termasuk kubur Nabi,
tawassul, baca qunut, talqin, tahlil, istighatsah, berzikir berjamaah, membaca maulid
diba’ ataupun burdah yang berupa puji-pujian pada Nabi yang biasa dilakukan kaum
Muslimin adalah sebagai bid’ah, dan pelakunya akan masuk neraka, alias kafir. Dari
sinilah akhirnya kaum Wahaby yang mengaku sebagai pengikut Salafy ini layak diberi
gelar “Kelompok Takfir” (jama’ah takfiriyah), kelompok yang suka mengkafirkan
golongan lain yang tidak sepakat dengan ajarannya.
Oleh karena itu, tempat-tempat bersejarah Islam seperti rumah tempat lahir Nabi, rumah
Ummul Mu’minin Khadijah tempat tinggal Nabi dan banyak tempat-tempat bersejarah
lain yang masuk wilayah kerajaan Arab Saudi kini telah dihancurkan. Kalau tidak
mendapat protes dari segenap kaum Muslimin sedunia niscaya kuburan Nabi pun sudah
diratakan dengan tanah, sebagaimana yang terjadi di makam para sahabat dan syuhada’
Uhud di Baqi’ (Madinah) dan para keluarga Rasul di Ma’la (Makkah).
Di Indonesia, misalnya, kaum Nahdhiyyin (NU) ‘kebingungan’, karena kaum Wahabi
‘membajak’ atribut Ahlussunnah Wal Jamaah, padahal istilah ini yang biasa dipakai oleh
penganut keempat mazhab Sunnah; mazhab Syafi’i, Hanbali, Hanafi dan Maliki. Akhir-
akhir ini mereka ikut-ikutan memakai jubah dan serban seperti yang dikenakan kaum
Nahdhiyin. Walau demikian, sangat mudah untuk melihat tanda-tanda zahir dari
kelompok tersebut. Mereka suka mesyirikkan dan membid’ahkan kelompok muslim
lainnya. Dari sisi penampilan pun mereka mempunyai ciri khas sendiri. Selain suka
mencukur rambut kepala, mereka juga berlomba dalam masalah panjang-panjangan
jenggot dan tinggi-tinggian celana bahkan bisa sampai ke pertengahan betis.
Belakangan ini kita sering mendengar berita tentang eskalasi kekerasan di Saudi Arabia,
termasuk penghancuran pipa minyak yang dilakukan oleh kaum fundamentalis Wahhabi,
yang disebut-sebut sebagai tempat kelahiran Al-Qaeda. Bin Laden sang ketua al-Qaedah
adalah seorang Wahabi tulen kelahiran Arab Saudi. Ia dibesarkan dan dijadikan anak
angkat oleh CIA - USA. Konon anak angkat itu kini telah menjadi anak durhaka terhadap
ibu angkatnya, USA. Bidan yang melahirkan wahabisme adalah kekuatan Imperialis
Inggris, dan kini menjadi ‘kartu as’ pemerintahan biadab USA untuk menciptakan
perpecahan dalam tubuh umat Islam. Nampaknya, skenario keji ini mulai menunjukkan
hasil yang menggembirkan bagi USA dan kekuatan anti Islam lainnya ketika isu-isu
tentang ancaman perang saudara di Irak menjadi headline seluruh media Barat yang
diikuti secara ‘latah’ oleh media-media Indonesia. Jadi antara Inggris (pembonceng
Zionis di Tim-Teng), keluarga Saud, Wahabisme dan USA (sekutu Inggris dan Israel)
adalah mata rantai yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karenanya tidak terlalu
mengherankan jika Wahaby selalu menghamba terhadap kerajaan Saudi. Dan sementara
keluarga Saudi selalu bertekuk lutut di hadapan USA saudara kembar Inggris (penyokong
kekuasaan keluarga Saud) dalam banyak masalah, termasuk memberi dukungan secara
sembunyi-sembunyi terhadap Zionisme Internasional dan turut membenci negara-negara
yang anti Israel. Hal itu karena Israel mendapat dukungan penuh dari USA dan Inggris.

You might also like