You are on page 1of 14

Mutu Pelayanan Kesehatan

Ambivalensi Antara Kewajiban dan Keinginan

(antara penyelenggara dan pemilik)

Setelah membaca berita “RUMAHSAKIT HARUS BERBENAH” dan “RSD ABUNDJANI BANTAH ABAIKAN
FASILITAS” di koran ini saya sebagai manusia kesehatan dengan ini menyampaikan pemikiran yang mungkin
mengundang tanya atau pertanyaan lagi. Dan barangkali ini hanya merupakan materi pencerahan yang semoga
bermanfaat.

Mutu pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh ada tidaknya kritikan dan keluhan dari pasiennya, lembaga sosial
atau swadaya masyarakat dan bahkan pemerintah sekalipun. Mutu akan diwujudkan jika telah ada dan
berakhirnya interaksi antara penerima pelayanan dan pemberi pelayanan. Jika pemerintah yang menyampaikan
kritikan ini dapat berarti bahwa masyarakat mendapatkan legalitas bahwa memang benar mutu pelayanan
kesehatan harus diperbaiki. Mengukur mutu pelayanan dapat dilakukan dengan melihat indikator-indikator mutu
pelayanan rumahsakit yang ada di beberapa kebijakan pemerintah, sudahkan kita mengetahuinya. Analisa
indikator akan mengantarkan kita bagaimana sebenarnya kualitas manajemen input, manajemen proses dan
output dari proses pelayanan kesehatan secara mikro maupun makro.

Dari definisi, rumahsakit adalah: Rumahsakit menurut WHO Expert Committee On Organization Of Medical
Care: “is an integral part of social and medical organization, the function of which is to provide for the
population complete health care, both curative and preventive and whose outpatient service reach out
to the family and its home environment; the hospital is also a centre for the training of health workers
and for biosocial research”, yang dalam bahasa Indonesianya jika diterjemahkan secara bebas dapat berarti:
suatu bagian menyeluruh dari organisasi dan medis, berfungsi memberikan pelayanan kesehatan lengkap
kepada masyarakat baik kuratif maupun rehabilitatif, dimana output layanannya menjangkau pelayanan keluarga
dan lingkungan, rumah sakit juga merupakan pusat pelatihan tenaga kesehatan serta untuk penelitian biososial.

Definisi rumah sakit menurut Keputusan Menteri Republik Indonesia nomor 983.MENKES/SK/1992 mengenai
pedoman rumah sakit umum dinyatakan bahwa: ”Rumah Sakit Umum adalah rumah sakit yang memberikan
pelayanan kesehatan yang bersifat dasar, spesialistik dan pendidikan tenaga kesehatan dan
pelatihan”.Sementara itu menurut Siregar (2003) menyatakan bahwa rumah sakit adalah suatu organisasi yang
kompleks, menggunakan gabungan ilmiah khusus dan rumit, dan difungsikan oleh berbagai kesatuan personel
terlatih dan terdidik dalam menghadapi dan menangani masalah medik modern, yang semuanya terikat
bersama-sama dalam maksud yang sama, untuk pemulihan dan pemeliharaan kesehatan yang baik.

Definisi rumahsakit ini di setiap peraturan daerah pada umumnya sama, hanya saja terdapat perbedaan pada
tugas pokoknya, yang diantaranya adalah:

Berikut merupakan tugas sekaligus fungsi dari rumah sakit, yaitu:

• Melaksanakan pelayanan medis, pelayanan penunjang medis,


• Melaksanakan pelayanan medis tambahan, pelayanan penunjang medis tambahan,
• Melaksanakan pelayanan kedokteran kehakiman,
• Melaksanakan pelayanan medis khusus,
• Melaksanakan pelayanan rujukan kesehatan,
• Melaksanakan pelayanan kedokteran gigi,
• Melaksanakan pelayanan kedokteran sosial,
• Melaksanakan pelayanan penyuluhan kesehatan,
• Melaksanakan pelayanan rawat jalan atau rawat darurat dan rawat tinggal (observasi),
• Melaksanakan pelayanan rawat inap,
• Melaksanakan pelayanan administratif,
• Melaksanakan pendidikan para medis,
• Membantu pendidikan tenaga medis umum,
• Membantu pendidikan tenaga medis spesialis,
• Membantu penelitian dan pengembangan kesehatan,
• Membantu kegiatan penyelidikan epidemiologi,

Tugas dan fungsi ini berhubungan dengan kelas dan type rumah sakit yang di Indonesia terdiri dari rumah sakit
umum dan rumah sakit khusus, kelas “a, b, c, d”. berbentuk badan dan sebagai unit pelaksana teknis daerah.
Perubahan kelas rumah sakit dapat saja terjadii sehubungan dengan turunnya kinerja rumahsakit yang
ditetapkan oleh Menteri Kesehatan Indonesia melalui Keputusan Dirjen Yan Medik.

Dari Sumberdaya Kesehatan yang ada di rumahsakit:

(1) Tenaga kesehatan terdiri dari :

a. tenaga medis;

b. tenaga keperawatan;

c. tenaga kefarmasian;

d. tenaga kesehatan masyarakat;

e. tenaga gizi;

f. tenaga keterapian fisik;

g. tenaga keteknisian medis.

(2) Tenaga medis meliputi dokter dan dokter gigi.

(3) Tenaga keperawatan meliputi perawat dan bidan.

(4) Tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker.

(5) Tenaga kesehatan masyarakat meliputi epidemiolog kesehatan, entomolog kesehatan,


mikrobiolog kesehatan, penyuluh kesehatan, administrator kesehatan dan sanitarian.

(6) Tenaga gizi meliputi nutrisionis dan dietisien.

(7) Tenaga keterapian fisik meliputi fisioterapis, okupasiterapis dan terapis wicara.

(8) Tenaga keteknisian medis meliputi radiografer, radioterapis, teknisi gigi, teknisi elektromedis,
analis kesehatan, refraksionis optisien, otorik prostetik, teknisi transfusi dan perekam medis.

Sebagai unsur manajemen, sumber daya manusia kesehatan yang dimiliki oleh rumahsakit akan mempengaruhi
diferensiasi dan kualitas pelayanan kesehatan, keterbatasan keanekaragaman jenis tenaga kesehatan akan
menghasilkan kinerja rumahsakit dalam pencapaian indikator mutu pelayanan rumahsakit.

Dari Struktur Organisasi Daerah: rumahsakit dapat berdiri dengan legalitas dan ilegal karena ada rumahsakit
dengan ijin penyelenggaraan dan tidak ada ijin, rumahsakit dapat merupakan unit pelaksana teknis dinas dan
atau sebagai institusi yang bertanggungjawab kepada bupati dan atau rumahsakit vertikal yang ada di daerah.
Kondisi ini akan berhubungan dengan kemapanan dukungan kebijakan dan dukungan anggaran yang pada
akhirnya berdampak pada kualitas dan kuantitas pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
Pada kebanyakan daerah di Indonesia, rumahsakit daerah dijadikan sumber pendapatan daerah dan dalam
laporan pertangggungjawaban pemerintah daerah keberhasilan capaian indikator pelayanan kesehatan
rumahsakit jarang dan bahkan tidak pernah dijadikan data atau informasi dalam penyusunan perencanaan dan
penyusunan kebijakan, biasanya hanya dilaporkan sebagai hasil dari akumulasi seluruh indikator, yang
sebenarnya satu indikator gagal dapat menyebabkan perubahan penilaian kinerja. Hal ini dikarenakan adanya
indikator vital dalam proses dan atau dalam output sistem pelayanan kesehatan. Sebagai contoh: peningkatan
penerimaan daerah dari retribusi pelayanan kesehatan akan tidak ada artinya apa-apa jika cakupan angka
rujukan ke rumahsakit vertikal atau ke kabupaten lain lebih tinggi dari angka kunjungan UGD rumahsakit yang
bersangkutan atau angka pasien rawat inap kelas III.

Rumahsakit dengan angka rujukan yang jumlahnya mendekati setengah dari jumlah kunjungan patut
dipertanyakan, jawabannya akan berhubungan dengan ketersediaan sumberdaya manusia kesehatan dan
kualitasnya. Ada apa dengan kompetensi mereka dalam memberikan pelayanan, bagaimana komunikasi dan
manajemennya dilakukan di rumahsakit tersebut.

Dapat ditambahkan lagi dengan adanya permasalahan kelembagaan, dimana ada kotak kelompok tenaga
fungsional dalam bagan struktur organisasi tidak ada isinya dan tidak ada koordinasinya. Jika kelompok ini ada
maka tenaga fungsional tersebut dapak dijadikan media informasi guna penyusunan kebijakan yang ajeg dan
mumpuni secara keilmuan. Keberadaan resident tanpa pengawasan satuan pengawas internal rumahsakit dapat
dipersepsikan berbagai rupa oleh masyarakat dengan latar belakang pengalaman dan pengetahuan yang
berbeda-beda, kanapa tidak, karena merekakan sedang dalam pendalaman ilmu kedokteran, tetapi jika tak ada
rotan maka akarpun jadilah sehingga kualitas yang diharapkan belum tentu dapat dinikmati sebagai akhir dari
pelayanan yang bermutu.

Dari Manajemen Lintas Program dan Lintas Sektor

Rumahsakit sebagai pintu gerbang dan unsur vital dalam penilaian adipura, di banyak daerah rumahsakit
daerah sebagai penghasil pendapatan asli daerah terbesar. Sesuatu yang riskan jika PAD dijadikan ukuran
keberhasilan pelayanan kesehatan karena nominal PAD adalah rupiah yang dibayarkan pasien, rasionalitasnya
jika makin banyak penerimaan berarti makin banyak masyarakat yang menggunakan fasilitas sumberdaya di
rumah sakit, makin banyak masyarakat yang menggunakan berarti masih ada masyarakat yang sakit, masih
adanya masyarakat yang sakit berarti derajat kesehatan masyarakat belum optimal, untuk pembuktiannya
diperlukan analisa lebih lanjut, tentang bagaimana dan seterusnya masyarakat di rumahsakit tersebut. Ada item
rupiah yang bisa dirinci jumlahnya dari pola tarif yang ada. Apa yang mereka bayar dari pelayanan yang mereka
terima dapat mencerminkan tingkatan kesehatan masyarakat tersebut. Epidemiolog dapat menyampaikan
laporan ini jika dibutuhkan. Hanya tinggal lagi epidemiolognya berpihak kepada siapa.

Ada beberapa instansi yang memiliki keterkaitan dengan rumahsakit daerah, dan itu dalam penyusunan
program kegiatan dan anggaran rasanya belum pernah ada yang duduk bersama menyatukan pernyataan dan
kesimpulan. Sesuatu yang aneh memang. Sebagai contoh: Kebijakan berobat gratis, daftar nama keluarga dan
anggotanya bersumber dari BKKBN, bukan dari RT-RW dan Lingkungan, bersumber dari oknum pegawai di
tingkatan tersebut, dan dalam data base saat perjalanannya rumahsakit harus memberikan pelayanan seperti
yang diharapkan mereka, bukan berdasarkan kemampuan yang dapat diberikan oleh rumahsakit, mengapa
karena ada pasien yang berobat dari keluarga miskin yang benar-benar miskin dengan nama yang tak ada
dalam data base yang diberikan oleh pemerintah, bermuncullanlah pahlawan dengan pamrih disini, dan mereka
yang berobat dengan fasilitas kartu miskin saat akan dirawat minta dirawat dengan fasilitas VIP. Dunia
pelayanan kesehatan semakin hitam jadinya.

Dari Akreditasi Rumahsakit, rumahsakit terkareditasi 5 (lima) pelayanan, 8 (delapan) pelayanan dan 13 (tiga
belas) pelayanan. Rumahsakit dengan standar ISO 14000 dan ISO 2000, dan kelompok rumahsakit yang belum
terakreditasi dan atau yang belum terstandar. Departemen kesehatan dengan Komite Akreditasi Rumahsakit
terus berupaya agar semua rumah sakit daerah harus terakreditasi minimal 5 (lima) pelayanan, yaitu:

(1) Pelayanan Gawat Darurat,

(2) Pelayanan Medik,


(3) Pelayanan Administrasi,

(4) Pelayanan Keperawatan dan

(5) Pelayanan Rekam Medik

Tujuan pemerintah dengan akreditasi ini adalah untuk: agar kualitas pelayanan diintegrasikan dan dibudayakan
ke dalam sistem pelayanan di rumah sakit. RSD Kol Abundjani didukung anggaran belum juga mampu
menyelesaikan proyek ini, karena apa, jawabnya dapat bersumber dari kualitas dan kuantitas sumber daya yang
ada di rumahsakit tersebut, Pernyataan jelasnya adalah sumberdaya kesehatan yang ada di rumahsakit
tersebut.

Proses akreditasi telah berlangsung hampir lebih dari 5 (lima) tahun, tetapi nyatanya budaya akreditasi belum
sama sekali mendarah daging di institusi RSD Kol Abundjani ini. Ada apa,…? Pertanyaan yang seharusnya
dijawab dengan lintas sektor dan lintas program, bukan hanya oleh masyarakat rumahsakit, tetapi
bagaimanapun juga sdm rumahsakit daerah harus terlebih dahulu menjawabnya dengan pernyataan yang diikuti
oleh sikap yang terakreditasi.

Dari Dukungan Kebijakan

Nah ini yang lebih perlu mendapat perhatian, begitu banyak peraturan daerah disusun dengan cara studi
banding, dicopi dan dipastekan kemudian diedit agar menjadi sesuai dengan keadaan riel daerah. Masih belum
terlihat jiwa pemiliknya dalam peraturan ini. Pedoman umum mengenai persentase anggaran kesehatan dari
total anggaran daerah masih perlu dipertanyakan lebih lanjut lagi, masih perlu dianalisa dan disikapi dengan
jalinan koordinasi dan pengawasan yang komprehensif. Menurut Rusli, anggaran efektif jika rasio antara
pembiayaan dan penerimaan berkisar 0,1%, sebenarnya tidak berlaku di institusi pelayanan rumahsakit, karena
rumahsakit bukan badan profit, tetapi lembaga non profit.

Kemajuan pertumbuhan dan pengembangan rumahsakit menjadikan rumahsakit sebagai lembaga profit tetapi
tidak meninggalkan unsur sosialnya telah mengubah persepsi sumber daya manusia kesehatan dari non
material menjadi sangat material, karena disini setiap pekerjaan yang dikerjakan dan yang seharusnya
dikerjakan bukan lagi berdasarkan panggilan hati nurani, bukan lagi panggilan profesi, tetapi telah bergeser
menjadi panggilan pemenuhan kebutuhan ekonomi. Jika ini berlanjut dapat dibayangkan bagaimana
pemenuhan hak pokok masyarakat sebagai pasien jika mereka tidak mampu membayar.

Peruntukan anggaran tentu membutuhkan kebijakan paripurna yang proporsional, kalau seperempat anggaran
hanya untuk fisik, kapan sdm kesehatannya mau manggung dalam ilmu pengetahuan dan keterampilan dalam
pemberian pelayanan kesehatan.

Dari mutu pelayanan kesehatan.

Mutu Pelayanan Kesehatan yang mengemuka sebagai panglima program unggulan Depkes dengan nama
Quality Assurance (QA, jaminan mutu) pada tahun 1996, pihak Institusi pelayanan kesehatan/rumahsakit
sebagai (lagi-lagi) pihak pelaksana, dibuat terperangah oleh program tersebut. Sebagai suatu pernyataan akhir
dari sebuat proses pelayanan kesehatan. Sebagai sebuah proses, pelayanan kesehatan dapat berbentuk makro
dan berbentuk mikro. Kedua bentuk ini saling bersimbiose mutalisme dalam sebuah sistem.

Berbagai definisi mutu yang dikaitkan dengan patient safety selanjutnya diajukan, dan salah satu definisi yang
umum digunakan antara lain menyebutkan bahwa mutu pelayanan kesehatan adalah “tingkat di mana
pelayanan kesehatan untuk individu maupun populasi mampu menghasilkan outcome pelayanan sesuai dengan
yang diharapkan dan konsisten dengan pengetahuan profesional terkini” (IOM, 2001). Namun demikian
mengingat definisi tersebut dianggap terlalu luas, berbagai peneliti telah mencoba mengembangkannya untuk
menjamin agar pengukuran mutu pelayanan kesehatan lebih spesifik. Salah satunya adalah yang diajukan oleh
Donabedian (1980), yaitu berpedoman pada struktur, proses, dan outcome. Sementara itu the IOM (1999) dan
National Health Service menggunakan konsep mutu pelayanan kesehatan dalam 6 aspek, yaitu safety,
effectiveness, timeliness, efficiency, equity, dan patient awareness.
Chassin mengusulkan metode lain yang menekankan pada 3 area utama, yaitu under use, over use, dan misuse
of health care services. Under use didefinisikan sebagai kegagalan untuk memberikan pelayanan yang efektif
padahal jika dilakukan dapat menghasilkan outcome yang diharapkan (misalnya tidak memberikan imunisasi
atau gagal untuk melakukan bedah katarak). Disebut overuse apabila pelayanan kesehatan yang dilakukan
ternyata memberi dampak risiko yang lebih besar daripada potensi manfaat yang dapat ditimbulkan (misalnya
memberikan antibiotika untuk kasus-kasus common cold). Sedangkan misuse didefinisikan sebagai komplikasi
yang sebenarnya dapat dihindari jika pelayanan kesehatan dilakukan secara seksama.

Dari beberapa konsep tersebut kemudian dikembangkan sejumlah indikator untuk mengkuantifikasikan mutu
pelayanan kesehatan. Salah satunya adalah indikator mutu pelayanan yang disusun oleh ACHS yang
merupakan instrumen untuk mengidentifikasi area pelayanan kesehatan yang masih memerlukan perbaikan
secara fundamental. Dengan metode kuantifikasi ini selanjutnya dapat dilakukan analisis statistik untuk menilai
area-area pelayanan yang dianggap memiliki defisiensi dalam menghasilkan outcome yang diharapkan.

Upaya yang sama juga dilakukan oleh The Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ) yang
mengembangkan beberapa indikator yaitu Prevention Quality Indicators, Inpatient Quality Indicators, dan Patient
Safety Indicators (PSIs).

Tetapi sebagai institusi bawahan Depkes, lagi-lagi Institusi pelayanan kesehatan/rumahsakit berada di posisi tak
berdaya dan lagi-lagi hanyalah sebagai terminal akhir pembuangan dan berposisi layaknya sandal jepit.
Mungkin Depkes lupa bahwa para dokter yang ada di Institusi pelayanan kesehatan/rumahsakit adalah seorang
sarjana juga seperti halnya para petinggi Depkes. Lupa mungkin karena tampilan dokter institusi pelayanan
kesehatan/rumahsakit yang tak pernah berdasi dan naik kendaraan dinas apa adanya kala tugas, tidak seperti
teman-temannya di Depkes yang sebagian diantaranya berdasi dan naik mobil dinas mulus-mulus dan baru-
baru.

Peningkatan mutu pelayanan kesehatan mengandung arti bahwa sarana pelayanan kesehatan dan tenaga
profesi kesehatan harus mampu menunjukkan akuntabilitas sosial untuk memberikan pelayanan prima kepada
konsumen, yakni pelayanan yang sesuai dengan standar yang diakui sehingga dapat memenuhi atau bahkan
melebihi harapan konsumen.

Untuk itu perlu dikembangkan suatu sistem dan mekanisme yang efektif guna tercapainya pelayanan prima
tersebut.

Hal lain adalah Pelaksanaan Program kendali mutu harus berdasarkan falsafah bersama untuk
mempertahankan dan meningkatkan pelayanan yang diberikan oleh tim pelayanan dari berbagai disiplin ilmu.

Falsafah yang mendasari program kendali mutu antara lain:

• Masing-masing disiplin telah mengidentifikasi dan menyetujui falsafah dasar untuk dikembangkan
menjadi tujuan masing-masing pelayanan.

• Masing -masing disiplin menyepakati untuk mengkaji pelayanan yang diberikan oleh anggotanya.

• Semua staf memberikan perhatian untuk mencapai tujuan institusi yang dalam hal ini memberikan efek
terhadap pelayanan pada klien.

• Praktek perawatan tidak akan mungkin meningkatkan kecuali masalah dapat diidentifikasi dan
dipecahkan.

• Staf mempunyai pengetahuan yang cukup dan memiliki ide-ide yang kreatif untuk memecahkan
masalah-masalah dalam pekerjaannya
• Staf dapat memecahkan masalah jika cukup informasi-informasi yang diperlukan .

Pekerja pada umumnya merasakan kepuasan kerja dan lebih produktif bila mereka dibantu dengan menciptakan
lingkungan kerja yang baik dengan mengurangi hambatan dalam pekerjaannya.

Program kendali mutu perlu dilaksanakan dan dibuat secara teratur dan terus menerus untuk
meningkatkan mutu pelayanan.

Dengan melakukan pendekatan konkuren maupun retrospektif terhadap lingkup struktur, proses dan
hasil maka semua aspek-aspekantara lain: Tenaga keperawatan, asuhan keperawatan dan kepuasan klien
harus dinilai dengan menggunakan standar-standar yang tepat, walaupun demikian baiknya program kendali
mutu ini dilakukan secara terpadu tetapi tetap ada kendala kendala yang perlu diperhatikan.

Dengan melibatkan semua staf keperawatan untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan program pengendalian
mutu ini, maka tujuan akhir dari program pengendalian mutu yaitu meningkatnya mutu pelayanan keperawatan
berdasarkan standar akan dapat dicapai dengan baik.

Dari UU Perlindungan Konsumen rumahsakit adalah: salah satu institusi pemberi pelayanan dibidang
kesehatan, hubungan yang jelas adalah pelayanan jasa kesehatan. Kesehatan adalah hak azazi manusia. Maka
manusia sebagai konsumen rumahsakit berhak sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan
Konsumen, seperti:

1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai
dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan
konsumen secara patut;

6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi/penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang
diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Bila menyimak surat pembaca di media cetak, banyak sekali keluhan dari konsumen yang merasa dirugikan.
Misalnya soal layanan listrik PLN, PDAM, delay pesawat, layanan barang/jasa yang buruk, mutu barang yang
tidak bagus, tindak kriminal di kereta api, pelayanan rumahsakit dan bahkan pelayanan pajak dan lain
sebagainya. Semua itu adalah persoalan yang kerap kali muncul di Indonesia. Maka inilah realitas ketertindasan
konsumen dalam menghadapi pilihan-pilihan barang/jasa harus mereka konsumsi.

Ironisnya, keluhan yang disampaikan kebanyakan hanya lewat surat pembaca di media massa. Cara ini terlalu
sederhana dan tidak menyelesaikan masalah. Cara lain yang lebih kreatif adalah langsung mengadu ke
pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) atau lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat.
Memang pada kenyataannya konsumen kerap berada dalam posisi yang tidak berimbang dibanding dengan
posisi produsen. Maka untuk mengurangi kesewang-wenangan para produsen barang dan jasa, sebagai
konsumen kita perlu mengetahui faktor-faktor yang melemahkan konsumen, antara lain:

1. Masih rendahnya tingkat kesadaran konsumen akan hak-haknya.

2. Belum terkondisikannya "masyarakat konsumen" karena memang sebagian masyarakat


ada yang belum mengetahui tentang apa saja hak-haknya dan ke mana hak-haknya dapoat
disalurkan jika mendapat kesulitan atau kekurangan dari standar barang atau jasa yang
sewajarnya.

3. Masyarakat belum memiliki kemauan untuk menuntut hak-haknya.

4. Proses peradilan yang ruwet dan memakan waktu yang berkepanjangan.

5. Posisi konsumen yang selalu lemah.

Padahal bisa jadi kala sekolah dahulu, yang di Depkes tidak lebih pandai dari yang di institusi pelayanan
kesehatan/rumahsakit. Pun demikian pula setelahnya, lebih-lebih kala berbicara kepekaan keperluan
masyarakat terhadap layanan kesehatan, dijamin dokter di institusi pelayanan kesehatan/rumahsakit lebih peka
dibanding dokter di Depkes walau sepanjang apapun gelarnya. Yang membedakan hanyalah kekuasaan. Itulah
kira-kira gambaran umum, mengapa hingga kini institusi pelayanan kesehatan/rumahsakit ibarat tempat uji coba,
trial and error aneka macam program dari depkes.

Jaminan mutu produk tahun 1996 yang lalupun, konon hasil pemikiran grusa-grusu karena ada “jajan” berupa
pinjaman IMF (maksudnya hutang yang harus dibayar), yang mana depkes tidak mau kalah dengan departemen
lain untuk ikut mencicipi jajan IMF. Dan supaya dapat dana segar nan besar, nama programnya pun dibuat
“greng”, maka bim salabim lahirlah Quality Assurance atau Jaminan Mutu. Parameterpun disiapkan, demikian
pula pelatihan, panduan, monitor dan evaluasinya, baik terhadap item kegiatan ataupun terhadap program
besarnya.

Menyimak produk Depkes tahun 1988, yang mana dalam Pedoman Kerja Institusi pelayanan
kesehatan/rumahsakit sudah sangat jelas dan rinci berisi panduan tatalaksana setiap kegiatan di Institusi
pelayanankesehatan/rumahsakit yang mengacu kepada UPK, termasuk panduan pengobatan, maka program
QA adalah sebuah langkah kebimbangan dan ambivalensi. Artinya mengulang program mapan yang sudah
terintegrasi dengan keseharian para petugas Institusi pelayanan kesehatan/rumahsakit dengan mengganti nama
QA yang justru lebih sempit tapi tidak lebih mendalam. Bedanya hanya di segi dana yang luar biasa besar dan
pelatihan berulang yang justru buang-buang waktu.

Untuk meningkatkan mutu layanan, tidak cukup dengan kajian monopoli petinggi Depkes, lebih dari itu ada
ukuran non teknis yakni keinginan dan harapan warga. Sayangnya yang ini tidak pernah tersentuh, artinya
pengguna jasa pelayanan Institusi pelayanan kesehatan/rumahsakit tak lebih hanyalah obyek semata yang tak
punya hak suara. Siklus demikian mestinya tidak boleh terulang.

Akreditasi rumahsakit dicanangkan sejak tahun xxxx dan sampai tahun 2009 ini capaiannya sangat
menyedihkan, dari ratus rsd dan puluh rsp serta ratus rss, hanya xx% yang sudah terakreditasi, jiwanya masih
nol saya rasa, karena prosesnya sendiri tidak terakreditasi. RSD Kol Abundjani saat ini sedang dalam proses
akreditasi yang pelaksanaannya setengah isi dan setengah kosong.

Pelayanan rumah sakit diera sekarang tidak terlepas dari perkembangan ekonomi masyarakat . Hal ini tercermin
pada perubahan fungsi klasik rumah sakit yang pada awalnya hanya memberi pelayanan yang bersifat kuratif
(penyembuhan) saja terhadap pasien melalui rawat inap dan rawat jalan bergeser ke pelayanan yang lebih
komprehensif meliputi promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
Pengaruh perubahan dinamika lingkungan usaha rumah sakit yang terjadi tidak saja di Indonesia tetapi hampir
diberbagai penjuru dunia. Hal ini menuntut para manajer untuk lebih memperhatikan secara saksama dinamika
lingkungan yang ada yang kemungkinan besar akan merubah system manajemen yang dipergunakan. Sistem
manajemen yang berlaku global mempengaruhi pola berfikir manajer rumah sakit, dengan menekankan pada
aspek efisiensi, efektif dan produktifitas serta memperhatikan pemerataan pelayanan. Gambaran lain adalah
tehnologi kedokteran dan obat-obatan yang berkembang pesat disisi lain rumah sakit adalah lembaga pemberi
jasa pelayanan kesehatan yang tergantung pada perkembangan tehnologi kedokteran.

Tehnologi kedokteran mempengaruhi biaya pelayanan rumah sakit. Menurut Trisnantoro (2005) saat ini sektor
kesehatan berbeda jauh dengan keadaan 50 tahun lalu. Tehnologi yang digunakan saat ini sangat canggih,
sebagi contoh operasi dengan menggunakan peralatan mikro merupakan suatu tindakan yang sama canggihnya
dengan tehnologi program ruang angkasa dan militer yang tentu saja memerlukan SDM yang berkompetensi
untuk mengelolanya.

Salah satu tehnologi tinggi adalah obat yang dihasilkan oleh industri farmasi. Obat merupakan barang yang
sangat dibutuhkan oleh rumah sakit. Kebutuhan akan obat ini sering disertai dengan biaya yang besar.
Besarnya omset untuk obat-obatan mencapai 50-60% dari seluruh anggaran rumah sakit. Rumah sakit dapat
meningkatkan pendapatan dengan memperbesar omset penjualan obat.

Hal inilah menjadikan rumah sakit menjadii lembaga yang bersifat padat modal, padat karya dan padat tehnologi
Ketiga sifat tersebut menuntut pengelolaan keuangan rumah sakit yang lebih professional, berdasarkan
hitungan-hitungan ekonomi. Cost recovery rate (CRR) rumah sakit menjadi hal yang sangat penting, penentuan
tarif lebih rasional, disertai peningkatan kuantitas dan kualitas pelayanan serta mampu berkembang (growth)
dan survive.

Pengertian rumah sakit menurut WHO adalah suatu bagian penyeluruh dari organisasi sosial dan medis
berfungsi memberikan pelayanan Kesehatan yang lengkap kepada masyarakat, baik kuratif maupun rehabilitatif,
dimana pelayanan keluarga menjangkau pelayanan keluarga dan lingkungan, rumah sakit juga merupakan
pusat latihan tenaga kesehatan, serta untuk penelitian biososial.

Dari definisi diatas bahwa rumah sakit disamping memberikan pelayanan kesehatan secara komprehensif
kepada masyarakat juga sebagai pusat pendidikan calon tenaga kesehatan. Dan yang lebih penting lagi adalah
bahwa rumah sakit juga harus menjalankan fungsi sosialnya. Untuk menjalankan fungsi sosialnya ini sebaiknya
anggaran untuk pos sosial tersebut tersedia dalam APBD dan diatur dengan kemudahan-kemudahan
pengelolaannya tetapi tetap dengan pengawasan yang ketat. Kita pelajari

Dalam perkembangannya rumah sakit swasta yang dikelola oleh yayasan keagamaan seperti rumah sakit Islam
sangat kesulitan dalam memenuhi fungsi sosialnya oleh karena kesulitan dalam hal pendanaan. Hal ini
membuat banyak rumah sakit swasta bahkan yang dikelola oleh yayasan keagamaanpun berubah menjadi
lembaga for profit sebagai jawaban terhadap perubahan lingkungan yang terjadi diluar rumah sakit akibat
pengaruh globalisasi.

Walaupun demikian masih banyak rumah sakit keagamaan masih melihat perubahan yang ada tanpa strategi
pengembangan yang jelas (Trisnantoro, 2005). Hal ini dapat membawa suatu resiko yaitu rumah sakit
keagamaan akan menjadi lembaga usaha yang praktis untuk mencari keuntungan atau menghidupi SDM, akibat
hilangnya subsidi dan semakin mahalnya alat dan tenaga kesehatan yang pada akhirnya menuntut pendapatan
yang tinggi.

Subsidi yang mengecil atau bahkan tidak ada sama sekali menyebabkan rumah sakit keagamaan kesulitan
mencari sumber dana bagi orang miskin yang sakit, sementara penggalian dana-dana kemanusiaan sama sekali
tidak dikelola secara sistematis. Penerapan subsidi silang dari kelas atas (VIP) ke kelas bawah (III) tidak
rasional.

Penelitian Abeng dan Trisnantoro (1997) disebuah rumah sakit swasta menunjukkan bahwa tarif kamar VIP
berada dibawah unit cost. Hal yang dikhawatirkan adalah pasien dikelas bawah justru mensubsidi pasien kelas
atas. Kenyataan menunjukkan bahwa konsep sibsidi silang sebenarnya tidak ada ataupun jika ada subsidi silang
akan menggerogoti aset dan kemampuan investasi rumah sakit.
Hal yang penting adalah masalah biaya operasional dan pemeliharaan yang tidak semudah biaya investasi
untuk memperolehnya. Akibatnya banyak rumah sakit swasta keagamaan yang mempunyai fasilitas fisik dan
peralatan yang memadai tetapi kesulitan dalam mencari dana operasional, sehingga menaikan tarif akan
menjadi pilihan, disamping itu belum ada standar sumber pendanaan termasuk pembagian sumber pendapatan
(keuntungan) apakah untuk pemilik atau untuk pengembangan.

Berdasarkan kenyataan diatas maka rumah sakit mulai berubah menjadi lembaga usaha yang membutuhkan
berbagai konsep ekonomi dalam manajemen yang mungkin asing bagi para dokter atau pemilik rumah sakit.
Rumah sakit tidak lagi harus dipandang sebagai suatu lembaga yang harus bersandar pada norma-norma dan
etika profesi dokter, tetapi lebih mengarah pada suatu lembaga yang harus hidup dan bermutu, berkembang dan
mempunyai dasar etika berbagai profesi dan mempunyai etika bisnis. Dengan demikian rumah sakit bukanlah
lembaga yang hanya menggunakan prinsip kedokteran dan kesehatan. Rumah sakit merupakan lembaga
multiprofesional yang menghasilkan berbagai produk pelayanan kesehatan yang bermutu dengan tetap
memperhatikan aspek sosialnya. Impementasinya adalah penerapan ekonomi dalam pelayanan kesehatan
harus dilakukan diantaranya dengan melakukan analisis biaya di rumah sakit.

http://rusliakatili.blogspot.com/2007/10/wajah-perumahsakitan-saat-ini.html

Berikut khusus buat para dokter rumahsakit,....

Memulai secara internal

Sesungguhnya, upaya meningkatkan mutu layanan tidaklah sulit, terpulang pada nurani pelaku kesehatan
sebagai niat hakiki untuk memberikan yang terbaik kepada pengguna jasa pelayanan, baik promotif, preventif,
kuratif maupun rehabilitatif. Rasanya hal ini belum dilakukan secara masif. Kata singkatnya adalah memulai dari
internal jajaran kesehatan di semua tingkatan.

Sebagai contoh, ketika pengadaan alat medis masih melakukan mark-up, semisal harga alat kedokteran
resminya 500 juta tapi dalam SPJ ditulis 800 juta, maka jangan harap ada peningkatan mutu, karena diawali
dengan perilaku yang tidak bermutu bahkan tercela. Bagaimana mungkin mendapatkan buah yang baik ketika
menanam benihnya sudah salah? Kasus anggaran dan Kegiatan Anggaran pelayanan kesehatan wilayah timur
Indonesia yang dibongkar saat ini. Mari kita renungkan.

Maksud saya jangan hanya direnungkan tetapi mutlak harus diperbaiki dari dalam. Hal yang sama berlaku
dalam pelayanan yang bersifat teknis medis. Ketika seorang dokter Institusi pelayanan kesehatan/rumahsakit
tidak pernah lagi membaca dan belajar untuk meng-update ilmunya, (karena tidak ada dalam APBD) maka
jangan harap ada transfer of knowledge kepada team worknya apalagi kepada masyarakat. (Apalagi jika di
intenal rumahsakit sendiri atau struktur di dinas kesehatannya untuk masing-masing bidang atau bagian hanya
sibuk memperebutkan porsi anggaran yang sedikit besar dan meminimalkan kegiatan) Artinya pelayanan dan
ilmu jalan di tempat alias stagnan. Bila hal ini terjadi maka dalam evaluasi program tidak boleh lagi ada kata
“kesadaran masyarakat kurang” dalam bab hambatan dan kendala. Bagaimana mungkin kesadaran masyarakat
terhadap kesehatan membaik bila yang berkompeten di bidang kesehatan sendiri tidak pernah belajar, dan
hanya mengandalkan ilmu semasa di bangku sekolah semata, atau mereka yang jadi pejabatnya hanya bisa
menjawab ”berdasarkan pengalaman ......”, ”atau dulu-dulunya seperti itulah ...........”

Yang herannya peningkatan pendapatan asli daerah dari unit pelayanan kesehatan dijadikan indikator
keberhasilan daerah, tingginya angka kunjungan pasien dan rujukan pasien juga demikian. Logikanya adalah
semakin bertambah orang yang sakit maka semakin tipis manfaat pelayanan kesehatan yang diterima oleh
masyarakat, dan dari sini akan muncul bagaimana pemanfaatan anggaran,.....?

Padahal mempelajari, mengembangkan dan mengamalkan ilmu adalah kewajiban sebagai bentuk tanggung
jawab intelektual dan bentuk ungkapan syukur akan ilmu yang dianugerahkan kepada kita. Karenanya, mutu
pelayanan kesehatan sekali lagi haruslah dimulai dari internal kesehatan, dilandasi totalitas dan niat untuk dapat
memberi manfaat kepada sesama.

Menata Niat
Pertama tak pelak memunculkan pertanyaan: “darimana mulainya?” Menurut pendapat saya, keinginan
memberikan layanan kesehatan bermutu diawali dengan niat, maksudnya menata niat dari sanubari untuk
memberikan layanan dengan totalitas dan ikhlas.

Mengapa sih, hal ini menjadi penting? Di titik inilah salah satu bagian dari sebuah mata rantai bermula.
Mengawali sesuatu memang seringkali sulit, demikian pula layanan kesehatan nan kompleks dan melibatkan
banyak hal, mulai yang teknis hingga non teknis. Kata kuncinya adalah mengalahkan diri sendiri…lho koq gitu …
ilustrasinya begini: di instituasi layanan kesehatan, kompetensi tertinggi teknis medis adalah seorang dokter,
ingat yang dimaksud adalah kompetensi teknis medis bukan manajerial. Di sisi lain layanan yang bermutu dan
komprehensif memerlukan juga banyak hal non medis atau penunjangnya, termasuk manajerial, namun tetaplah
berangkat dari teknis medis. Untuk itu seorang dokter di institusi layanan kesehatan harus yakin bahwa memberi
layanan terbaik di tempat kerja tidak akan mengurangi jumlah kunjungan pasien ketika praktek sore atau malam
harinya, justru yang terjadi sebaliknya, bila memberi layanan terbaik di tempat kerja, niscaya akan dicari orang di
tempat prakteknya, tanpa menyebar kartu nama, tanpa harus menyuruh kontrol ke praktek, penderita akan
datang dengan sendirinya. Nggak percaya, silahkan para sejawat membuktikannya …

Mengapa saya ungkit yang beginian, jujur saja masih ada sejawat yang punya pola pikir keliru, melayani ala
kadarnya di tempat kerja (ogah memperjuangkan perbaikan layanan) dengan harapan para pasien datang ke
tempat praktek. Pola pikir demikian tak ayal juga diikuti kebanyakan paramedis. Budaya demikian harus dirubah
total.

Setelah yakin berniat ikhlas, langkah selanjutnya adalah membuat planning matang dengan mengedepankan
kepentingan khalayak, artinya kebiasaan mark-up atau istilah apapun namanya harus dihilangkan. Mulai
pengadaan, operasional, berbagai belanja barang dan jasa, keperluan rutin, serta segala item program dalam
perencanaan mutlak harus realisized. Contoh paling gamblang, jangan lagi beli barang seharga 2 juta minta
ditulis 3 juta dalam spj, rapat kerja 3 hari dipertanggung jawabkan 6 hari, nasi kotak diganti nasi bungkus,
perjalanan 2 hari dipertanggung jawabkan 4 hari, dll … dll. Pendeknya sejak awal harus melangkah dengan
benar. Bayangkan ketika dari awal sudah membuat kesalahan yang dibuat seakan-akan benar dengan
membolak balik bahasa dan memanfaatkan lemahnya sistem, niscaya perbaikan mutu layanan kesehatan
hanyalah ungkapan kosong tanpa makna. Dampaknya, masyarakat tidak mendapatkan manfaat optimal dari
program kesehatan apapun bentuk dan namanya.

Sebuah pengalaman menarik perlu saya ungkapkan di media ini. Ketika tahun 2001 lalu saya diberi tugas
mempersiapkan pembangunan Rawat Inap di Institusi pelayanan kesehatan/rumahsakit, perintahnya sangat
sederhana namun maknanya luas, Ka Dinkes ketika itu hanya berfatwa pendek: “siapkan dan kelola dengan
optimal”. Namun ketika draft pembangunan gedung hingga SOP dan Perda usai tersusun, hambatan pertama
justru datang dari internal kesehatan. Lontaran argumen macam-macam, yang Kepmenkes lah, yang
Permenkes lah dll, padahal UUD 1945 dan Renstra Nasional Bidang Kesehatan jelas-jelas mengamanatkan
perbaikan mutu layanan dilengkapi dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM). So ngga usah kaget,
penyebabnya mungkin ego sektoral atau jangan-jangan setengah hati meneriakkan Pelayanan Optimal, atau
mungkin juga tidak mengerti seluk beluk layanan medis dan harapan khalayak … Untungnya Ka Dinkes saat itu
tetap support.

Jalan berliku, bermuara pada hearing di DPRD, alhasil gol…

Tanpa bermaksud menggurui, tulisan singkat ini anggap aja sebagai ajakan sharing tip dan trik mengelola
layanan kesehatan ke arah yang berkualitas, dengan harapan memberi manfaat bagi sesama dan mudah-
mudahan mendapatkan ridho-Nya.

Inti segmen tulisan ini adalah perlunya memotivasi diri sendiri sebagai dokter, sebagai paramedis dan sebagai
apasaja secara fungsional dan struktural bahwa yang utama dan pertama dalam layanan kesehatan adalah
memberikan pelayanan sebaik-baiknya, ramah dan sabar, niscaya yang lain datang kemudian, dalam bentuk
dan waktu yang kita sendiri tidak menyadarinya.

Menyusun Protap

Ilustrasi:
Tak jarang kita menyaksikan gambaran layanan medis di instalasi gawat darurat milik pemerintah mulai tataran
primer hingga tersier, dari institusi pelayanan kesehatan/rumahsakit hingga rumah sakit tipe A, sebagai berikut:

Tengah malam, penderita datang dengan status asmatikus, kecelakaan, ibu mau melahirkan, kolik abdomen,
anak kejang, diare dan lain-lain … Apa yang kita lihat? Ada yang bagus, petugas dengan terampil melakukan
tindakan medik secepatnya atas instruksi dokter jaga. Atau tindakan medik segera dilakukan oleh paramedis,
lalu menghubungi dokter dimanapun berada, setelah dilakukan pertolongan pertama, untuk mendapatkan
pemeriksaan dan instruksi lanjutan dari dokter yang berkompeten saat itu.

Sayangnya tidak semua seperti yang bagus di atas, justru yang kita saksikan adalah sebaliknya, yakni drama
“penantian” tanpa ujung yang jelas. Kebanyakan: nunggu, nunggu dan menunggu. Jujur saja, kalau kita berani
nanya kepada penderita atau keluarganya yang mendapatkan perlakuan demikian, atau kita sendiri mengalami
hal yang sama, tentu kecewa. Apa sih yang diharapkan oleh penderita ketika datang di instalasi gawat darurat?

Pertama, tentu layanan yang cepat, ramah dan support. Maksudnya, ketika penderita datang, bila ternyata tidak
perlu opname, mereka segera diperiksa lalu mendapatkan obat dan secepatnya bisa segera pulang, tentu
dengan beberapa advis berkenaan dengan penyakitnya.

Kedua, bila ternyata harus opname, mereka segera diperiksa dan mendapatkan tindakan medis awal semisal
infus, oksigen dan sejenisnya untuk kemudian dilakukan tindakan lanjutan sesuai penyakitnya. Itulah kira-kira
logika sederhana harapan penderita yang rata-rata awam tentang medis.

Apakah harapan penderita sudah nyambung? Jujur aja, kayaknya belum tuh dan entah kapan mau dperbaiki,
maaf deh kalau dianggap pedas, … hitung-hitung otokritik untuk sejawat. Yang udah bagus mungkin bisa
sharing

Sebenarnya tidaklah sulit memperbaikinya, sungguh … Mungkin para sejawat ada yang bertanya: bagaimana
bila ketika itu tidak ada dokter jaga, atau mungkin pas dokter jaganya sedang menangani penderita lain di ruang
perawatan hingga tidak bisa menangani penderita di instalasi gawat darurat pada saat bersamaan? Jawabnya
adalah prosedur tetap (sop) dan pendelegasian wewenang.

Artinya, ada ngga ada dokter di instalasi gawat darurat, paramedis mampu memberikan tindakan medis awal
sebagai pertolongan pertama, berdasarkan prosedur tetap (sop) yang sudah baku dan delegasi dari dokter yang
berkompeten saat itu tentunya. Itupun masih dipermudah dengan komunikasi tilpon atau hp antara paramedis
dengan dokter, sehingga drama “penantian” penderita di instalasi gawat darurat bisa diminimalisir bahkan
dihilangkan.

Memang ada UU No. 23 tahun 1992 Tentang Kesehatan, yang mengatur kewenangan paramedis, namun di sisi
lain toh paramedis juga yang akhirnya masang infus, nyuntik dan sejenisnya atas instruksi dokter. Langkah
layanan cepat di atas sesungguhnya hanyalah penyederhanaan waktu, karenanya tindakan medis sebagai
langkah awal oleh paramedis dan pendelegasian wewenang, menurut saya bukan pelanggaran, atau masih bisa
diperdebatkan.

Sebagai contoh, ketika tengah malam ada penderita dengan status asmatikus datang ke instalasi gawat darurat,
dan saat itu dokter jaga sedang menolong penderita lain di ruangan atau tidak ada di tempat, tentu akan sangat
menolong bila paramedis mampu melakukan tindakan medis secara cepat dengan segera memberikan oksigen,
injeksi subkutan ataupun intravena, pasang infus, nebulizer dan tindakan lain yang diperlukan sesuai prosedur
tetap. Lima sampai limabelas menit sungguh amat menolong daripada nunggu menghubungi dokter jaga.
Setelahnya masih bisa menghubungi dokter jaga via hp.

Persoalannya adalah: sudahkah semua institusi layanan kesehatan mulai institusi


pelayanankesehatan/rumahsakit perawatan hingga rumah sakit di dati II memiliki prosedur tetap tertulis? Dari
beberapa sejawat yang saya temui, sayangnya kebanyakan belum memiliki SOP. Padahal SOP seberapapun
sederhananya, adalah salah satu bentuk perlindungan terhadap profesi maupun penderita.
Bagi yang sudah punya SOP pun masih menyisakan tanya: apakah SOP sudah dipatuhi oleh semua komponen
institusi layanan kesehatan? Apakah dokter rutin mengadakan medical review dan transfer ilmu kepada
paramedis? Apakah dokter rajin meng-up date ilmu nya?

Pertanyaan akhir: apakah layanan bermutu sesuai harapan khalayak bisa diwujudkan? Jawabnya lagi-lagi bisa
dan tidak sulit. Kuncinya hanyalah niat, kesungguhan dan sedikit perjuangan.

Mungkin ini jalan keluar?

Hidup sehat merupakan kebutuhan utama (primer) setiap orang. Oleh karenanya, hak atas pelayanan
kesehatan adalah bagian dari hak asasi manusia (HAM). Dalam hal ini, pemerintah dan praktisi kesehatan
masyarakat bertanggung jawab untuk berupaya merealisasikan adanya kebijakan yang lebih baik, sistem yang
berkualitas, dana yang cukup, fasilitas dan tenaga medis yang memadai guna menjamin terlaksananya program
kesehatan masyarakat.

Pelayanan yang baik dan memuaskan bisa diwujudkan secara bersama antara pengguna jasa pelayanan dan
petugas kesehatan. Artinya, kritik, complain maupun keluhan konsumen semestinya tidak diartikan sebagai
serangan, tetapi diterima sebagai koreksi terhadap cara berpikir dan cara melayani konsumen. Dari keluhan
konsumen, petugas kesehatan dapat mengetahui keinginan konsumen dan kekurangan yang dimilikinya.
Namun, kondisi ini harus disertai pula dengan perbaikan pada aspek kebijakan dan manajemen. Sehubungan
dengan hal ini, ada beberapa kondisi yang tampak dalam pelayanan kesehatan.

1. Fasilitas kesehatan (formal) yang tersedia masih relatif baru, dan belum mengakar atau belum
dirasakan sebagai bagian dari kehidupan masyarakat, tetapi tidak tersedia standar quality of care yang
berbasis konsumen. Sebaliknya, masyarakat memiliki sistem pengobatan atau pengetahuan mengenai
perawatan kesehatan (biomedis), yang relatif berakar dari tradisi dan kebudayaan mereka. Kondisi
budaya ini di satu sisi menjadi kendala dalam pelayanan medis, di sisi lain mampu memenuhi
kebutuhan masyarakat secara murah dan mudah.
2. Kecenderungan perilaku para praktisi medis yang tidak mempertimbangkan proses-proses komunikasi
atau pertukaran informasi, dan interaksi sosial yang saling menguntungkan. Rosalia Sciortino dalam
“Menuju Kesehatan Madani” (1999:78) menyebut adanya “konstruksi rahasia” yang dipertahankan
petugas kesehatan.
3. Pada umumnya konsumen sebagai pengguna jasa kesehatan seperti pasien, klien tidak menyadari
bahwa mereka memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan yang memuaskan. Artinya, seorang pasien
berhak untuk mempertanyakan pelayanan dokter yang dirasakannya tidak jelas, bahkan memberatkan
konsumen itu sendiri.

Memahami Hak dan Kewajiban Konsumen

Dalam berbagai kesempatan diskusi dengan kelompok konsumen, pertanyaan yang sering muncul adalah apa
saja hak-hak konsumen dalam pelayanan kesehatan, bagaimana sebaiknya pelayanan yang berkualitas?

Pertama-tama perlu ditegaskan bahwa istilah konsumen dalam pelayanan kesehatan mencakup pengertian
mereka yang menerima pelayanan jasa maupun obat-obatan dari petugas kesehatan (paramedis, bidan,
dokter), yang secara khusus disebut klien, pasien. Sedangkan yang dimaksud pelayanan yang berkualitas
biasanya mengacu pada pengertian Quality of Care atau standar pelayanan yang berkualitas, yakni pelayanan
yang menghormati hak-hak konsumen. Setiap konsumen memiliki hak yang dilindungi undang-undang. Sebagai
pasien, konsumen berhak:
1. Mendapatkan informasi yang dapat dipahaminya mengenai penyakit yang diderita, cara pengobatan,
prosedur perawatan, efek samping pengobatan, kelebihan maupun kekurangan pengobatan, biaya,
pendapat dari petugas kesehatan lainnya, hal-hal dirahasiakan, catatan medis petugas kesehatan, dan
izin persetujuan pasien bila ingin akan dioperasi.
2. Memperoleh rasa aman dari semua proses pelayanan, dan jaminan keamanan/keselamatannya.
3. Mendapatkan ganti rugi apabila terjadi malpraktek yang dilakukan petugas kesehatan. Contoh aktual
adalah bayi yang dilahirkan cacat (tanpa tangan) di RSUD Bayu Asih Purwakarta (Kompas, 26 Juni
1997). Orang tua bayi itu menuduh pihak RS, dalam hal ini bidan, karena kecerobohan dalam
pelayanannya, telah menyebabkan anak mereka cacat seumur hidup. Kasus ini kemudian dibawa ke
pengadilan dengan tuntutan 1 milyar rupiah, meskipun akhirnya ditempuh jalan damai dengan ganti rugi
25 juta rupiah.
4. Memilih tempat pelayanan yang diinginkannya, membatalkan persetujuan sewaktu-waktu, dan jika
dianggap perlu, ia menolak suatu metode pengobatan atau tindakan medis tertentu.

Sebagai pasien, konsumen memiliki kewajiban, yaitu:

1. Mengetahui sejarah atau riwayat pengobatannya;


2. Menepati janji dengan petugas kesehatan;
3. Bersedia bekerja sama dan mematuhi perawatan yang diberikan;
4. Memberitahu petugas kesehatan jika ia menerima perawatan dari dokter yang lain;
5. Jika menggunakan jasa asuransi, ia berkewajiban mengetahui apa yang dapat atau tidak dapat diatasi
oleh perusahaan asuransi.

Kebanyakan konsumen juga petugas kesehatan tidak mengetahui hak-hak dan kewajiban konsumen. Hanya
sebagian kecil konsumen menyadari hak-haknya, tetapi tidak merasa percaya diri untuk mengemukakannya di
tenpat pemeriksaan. Sebaliknya, petugas kesehatan yang mengerti hak-hak konsumen tidak mau peduli.
Banyak alasan yang seringkali dikemukakan, misalnya keterbatasan petugas dan fasilitas tidak memadai, yang
tidak seimbang dengan banyaknya pasien yang berkunjung setiap hari kerja. Bahkan petugas kesehatan
menyadari bahwa masyarakat tidak mengerti cara hidup sehat, tidak disiplin, dan seterusnya. Padahal
masyarakat tidak pernah belajar di sekolah kesehatan.

Dari persoalan ini sebenarnya tuntutan akan pelayanan kesehatan yang memuaskan (berkualitas) semakin
kompleks. Namun harus diyakini bahwa ukuran kepuasan tidak bisa bertolak dari kepentingan individu saja
karena kepuasan individual tidak ada batasnya. Ukuran standar yang bisa dijadikan pedoman adalah kebutuhan
orang banyak yang selama ini sudah dibakukan, misalnya oleh IPPF (International Planned Parenthood
Federation), organisasi KB dunia, yang merumuskan 10 hak-hak klien KB antara lain: hak atas informasi,
menentukan pilihan, mendapatkan pelayanan kapan dan di mana saja (akses), hak atas keamanan,
kenyamanan, kerahasiaan, hak mengajukan protes (berpendapat), dan kemudian ditambahkan oleh YLKI dan
PKBI; hak ganti rugi. Oleh sebab itu, proses pencapaian pelayanan yang memuaskan tidak bisa tidak
melibatkan orang banyak. Konsumen dan pengelola pelayanan kesehatan bisa bersama-sama merumuskan
standar pelayanan yang berkualitas (quality of care), di tingkat desa sekalipun.

Bertolak dari “Quality of Care”

Konsep quality of care adalah istilah yang digunakan secara luas dalam pelayanan kesehatan, yang dapat
dipandang dari provider (penyedia jasa) dan klien (konsumen). Dari sisi provider, standar quality of care di
Indonesia belum jelas. Konsep ini biasanya dirujuk pada prinsip-prinsip manajemen pengawasan kualitas
terhadap fasilitas pelayanan kesehatan umum, yakni penyediaan pelayanan kesehatan yang terus menerus
memperbaiki diri dengan memperhatikan kebutuhan dan tuntutan pasien, dokter, petugas, dan komunitas
setempat. Dasarnya adalah “problem solving”, yaitu pemantauan masalah dan mencari jalan keluar dengan
memperbaiki akar masalah secara berkelanjutan (The Population Council, 1994).

Dari sisi klien, ukuran standar pelayanan cukup jelas, yakni mengacu pada pemenuhan hak-hak pasien, atau
hak-hak klien kesehatan reproduksi, atau pun hak-hak konsumen sebagaimana yang diatur dalam UUPK No. 8
No. 1999, Pasal 4.
Ukuran pencapaian pelayanan kesehatan selama ini lebih berorientasi pada pencapaian target sarana
pelayanan dan penerima layanannya. Gejala seperti ini terutama terjadi di tingkat pelayanan kesehatan dasar di
pedesaan, dan pinggiran kota. Aspek pemenuhan kualitas kesehatan, tanggung jawab sosial, dan pembelajaran
kesehatan bagi pengguna (konsumen) terabaikan. Konsumen tidak memperoleh manfaat yang optimal dari
pelayanan kesehatan.

Pada tahun 1990, Judith Bruce dari Population Council menempatkan enam elemen dasar yang kemudian
dikenal dengan “Bruce Framework” dan menjadi sumber utama bagi penelitian mengenai kualitas pelayanan KB
dan kesehatan reproduksi dari sisi tenaga kesehatan.

1. Pilihan terhadap Metode Layanan. Setiap metode layanan (KB) tersedia bagi perempuan dan laki-laki
yang ingin merencanakan keluarganya.
2. Informasi untuk Klien. Informasi yang berkualitas dapat berdampak pada bagaimana klien
menggunakan metode kontrasepsi. Informasi yang diberikan harus berisi pula informasi mengenai tiap
metode, cara penggunaan metode, dan efek sampingnya.
3. Keterampilan Teknis. Mempertahankan kondisi aseptic, menjalankan protokol (aturan) dan staf yang
kompeten melakukan teknis klinik.
4. Hubungan Antarpribadi. Bagaimana klien berinteraksi dengan tenaga kesehatan, apakah cukup
simpatik dan cukup waktu untuk bertemu dengan kliennya.
5. Mekanisme untuk Mendorong Keberlanjutan. Klien dapat didorong meneruskan penggunaan
kontrasepsi yang efektif melalui berbagai cara, termasuk kartu untuk mengingatkan dan kunjungan
rumah.
6. Pelayanan yang Terpadu. Klien memerlukan pelayanan yang nyaman dan terpadu. Misalnya,
pelayanan KB terpadu dengan pelayanan kesehatan ibu dan anak, pelayanan pasca persalinan, dan
pelayanan kesehatan reproduksi lainnya.

Jadi, strategi dasar yang penting dilakukan aktifis organisasi konsumen yang melakukan pendampingan
konsumen kesehatan adalah dengan memperkuat pengorganisasian dan pendidikan kritis bagi kelompok-
kelompok konsumen yang rentan seperti petani, perempuan, buruh dan kaum miskin kota. Pendamping atau
organizer bersama kelompok konsumen merumuskan:

1. Masalah dan akar masalah,


2. Bentuk-bentuk kasus yang dialami konsumen,
3. Instansi dan orang-orang yang terlibat dan bertanggung jawab,
4. Inisiatif konsumen sendiri dalam mengatasi masalahnya,
5. Usaha (aksi-aksi) bersama menggugat petugas kesehatan di tempat pelayanan,
6. Usulan, konsep, cara pandang konsumen terhadap pelayanan yang diinginkan atau pelayanan yang
berkualitas (quality of care versi konsumen),
7. Penyebarluasan informasi terus-menerus kepada konsumen yang lain.

Mengingat gerakan konsumen saat ini didukung oleh kebijakan yang relatif jelas dengan adanya Undang-
Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), maka organisasi konsumen dapat mengambil peran dengan
melakukan advokasi kebijakan dan pembelaan hukum. Bukan hal yang mustahil, bila suatu waktu konsumen
dapat mengadili provider pelayanan kesehatan atas dasar pelanggaran terhadap hak-hak konsumen secara
perorangan atau pun berkelompok (class-action).

You might also like