You are on page 1of 31

AMAL JAMA’I: SEBUAH PENGANTAR

OLEH : aang fahruroji

Beberapa pertanyaan yang sering muncul dalam kajian tentang amal jama’i diantaranya :
1.apakah setiap program harus dilaksanakan oleh seluruh anggota?
2.apa beda antara amal jama’i dengan kerjasama anggota?
3.mungkinkah amal jama’i dilakukan hanya oleh seorang?
4.bagaimana kewajiban pemimpin dan anggota?
5.bagaimana cara mengambil keputusan yang baik dan efektif bagi sebuah organisasi?

syaikh Musthofa Masyhur memberikan ta’rif amal jama’i sebagai berikut :


“gerakan bersama untuk mencapai tujuan organisasi berdasarkan keputusan yang telah
ditetapkan”.

Beberapa tafsir dari ta’rif diatas adalah :


1.amal jamai merupakan gerakan bersama, dimana setiap anggota menjalankan fungsi
strukturalnya dengan orientasi pencapaian tujuan.
2.bahwa amal yang dilakukan oleh seluruh anggota adalah dalam rangka mencapai tujuan
organisasi.
3.bahwa amal yang dilakukan harus berdasar keputusan yang telah ditetapkan sesuai
mekanisme yang berlaku.

Ta’rif diatas juga mensyaratkan bahwa amal jama’i hanya bisa dilakukan oleh
organisasi/jama’ah yang mempunyai:
1.tujuan (ghoyyah) /visi misi yang jelas
2.manhaj/metodologi gerakan yang kokoh
3.unsur kepemimpinan (qiyadah) yang berwibawa
4.keta’atan anggota terhadap pimpinan
5.pola pengorganisasian (tandhim) yang rapi

Qiyadah dalam sebuah jama’ah merupakan unsur vital yang akan membawa jalannya
organisasi. fungsi strategis qiyadah diantaranya: fungsi koordinatif (mengatur), fungsi
imperatif (memaksa), vonis keputusan (terutama dalam situasi darurat). Qiyadah dipilih untuk
dita’ati.

Syuro merupakan salah satu instrumen pengambil keputusan yang paling substansial dalam
sebuah organisasi. jika mekanisme pengambilan keputusan selalu berjalan dengan baik, maka
organisasi tersebut akan mempunyai soliditas dan resistensi yang tinggi terhdap goncangan
yang biasanya mengakhiri riwayat banyak organisasi. asas penentuan sikap dan pengambilan
keputusan adalah asumsi mahlahat yang terdapat dalam perkara itu. Karena sifatnya asumsi,
maka sudah pasti relatif, karenanya sangatlah mudah mengalami perubahan-perubahan.
Sehingga sebuah keputusan syuro selalu mengandung resiko. Sepanjang yang dilakukan
syuro adalah mendefinisikan mashlahat ammah atau mudharat asumtif, maka selalu ada
resiko kesalahan. Atau setidak-tidaknya “tempo kebenarannya” sangat pendek. Fungsi syuro
ini dapat terlaksana bila memenuhi syarat :
1.tersedianya sumber-sumber informasi yang cukup untuk menjamin bahwa keputusan yang
kita ambil dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
2.tingkat kedalaman ilmu pengetahuan yang memadai harus dimiliki setiap peserta syuro.
3.adanya tradisi ilmiah dalam perbedaan pendapat yang menjamin keragaman pendapat yang
terjadi dalam syuro dapat terkelola dengan baik.

Syuro punya fungsi psikologis dan fungsi instrumental. Fungsi psikologis terlaksana dengan
menjamin adanya kemerdekaan dan kebebasan yang penuh bagi peserta syuro untuk
mengekspresikan pikiran-pikirannya secara wajar dan apa adanya. Tapi, tenyu saja setiap
orang punya cara yang berbeda-beda dalam mengekspresikan dirinya. Jika ruang ekspresi
tidak terwadahi dengan baik, maka akan terjadi konflik yang kontraproduktif dalam syuro.

posted by Aang Fahruroji @ Friday, December 23, 2005

0 Comments:

[1339 Reads]
Mengapa Kita Harus Beramal Jamai?
Posted by: anugerah_w on Friday, November 11, 2005 - 09:47

Hudzaifah.org - Amal Jama'i wajib hukumnya bagi kaum muslimin, apatah lagi bagi para
aktivis da�wah. Tidak meninggalkan pos yang diamanahkan, tidak lari dari da�wah
hanya karena ada gesekan dengan satu dua orang, tidak banyak mengeluh dan selalu siap
ditempatkan dimana saja, itulah ciri pejuang yang sejati. Berikut ini kita simak bersama,
alasan mengapa kita harus beramal jama�i, yang disampaikan oleh Ustadz Nabil Fuad
dengan kata-kata lembut dan semangat membara, hingga dapat menyentuh hati
pendengarnya dan masih membekas sampai detik ini.

Pengertian Amal Jama�i

Amal jama�i bukanlah bekerja sendiri-sendiri dalam suatu kelompok. Amal jama�i
adalah suatu pekerjaan oleh orang-orang yang terstruktur, satu komando, satu perintah, dan
ada spesialisasi da�wah.

Alasan Beramal Jama�i :

1. Amal jama�i adalah kebutuhan yang tidak bisa dihindari oleh setiap manusia. Bahkan
untuk makan saja adalah hasil amal jama�i. Imam Ali berkata : �Daki hidup berjamaah
lebih saya cintai daripada jernih sendiri.� Mengapa? Karena banyak orang yang mampu
untuk suci sendiri, tetapi berapa banyak orang yang mampu bertahan dengan dinamika amal
jama�i. Jadi kita harus tahan beramal jama�i. Allah Subhanahu wa Ta�ala berfirman,
�Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu
dari diri yang satu, dan daripada keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan)
nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.�(QS. 4 : 1)

2. Amal jama�i adalah fitrah seluruh alam. Tata surya adalah amal jama�i. �Ada yang
memimpin dan ada yang dipimpin.� Amal Jama�i adalah sebuah sunnatullah. Bahkan
para semutpun melakukan amal jama�i. Allah Subhanahu wa Ta�ala berfirman,
�Hingga apabila mereka sampai ke lembah semut berkatalah seekor semut, �Hai semut-
semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan
tentaranya sedang kamu tidak menyadari.�(QS. 27 : 18)
3. Amal Jama�i adalah kewajiban syar�i. Allah Subhanahu wa Ta�ala berfirman,
�Dan berpeganglah kamu semuanya kepada Tali (Agama) Allah dan janganlah kamu
bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa
jahiliah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu
karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang
neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.� (QS. 3 : 103)

Dalam kaidah tafsir, Allah Subhanahu wa Ta�ala sangat menekankan urgensi amal
jama�i dengan ayat di atas, dengan memberi berkali-kali penekanan, dengan perintah-
Nya, yaitu :
Wa�tashimuu (Wajib berpegang teguh)
Jamii�a (SEMUA! Penegasan Allah)
Walaataqarrafuu (Jangan bercerai berai)
Wadzkuruni�matallah� (Ingatlah nikmat Allah ketika kamu berpecah belah�)
Jadi, �DA�WAH TIDAK BISA SENDIRI!� (Baik sendiri? No Way! �red)

Dan di dalam Surat Al Fatihah, kata yang digunakan adalah �Kami�, yang
mengindikasikan bahwa da�wah harus selalu berjamaah.
Iyyaa kana�budu �Kami�
Iyyaa kanasta�iin �Kami�
Ihdinash� �Kami�

HR. Tirmidzi, bahwa Rasulullah SAW bersabda, �Laa ta�muruuna� Wajib.. benar-
benar wajib mencegah kemungkaran, jika tidak kamu lakukan maka doa orang-orang yang
sholeh tidak diterima diantara kamu.�

Ali bin Abi Thalib berkata, �Sebuah kebenaran meski kebenaran, namun bila tak
terorganisir, maka akan dapat dikalahkan oleh kejahatan yang terorganisir.�

Tujuan Beramal Jama�i

1. Distribusi pembagian tugas, jangan 4 L (Tau zii�ul �amal)


2. Meringankan beban da�wah (jangan potensi masing-masing) (Tahfiiful
a�baaidda�wah)
3. Menumbuhkan potensi (tau thifuthaqqah)

Maka, tidak bisa tidak, amal jama�i sangat urgen dan wajib hukumnya bagi kaum
muslimin. []

Pembicara : Ir. Nabil Fuad Almusawa


Notulen : Anugerah Wulandari
18 Juli 2003
Masjid Al Ikhlas Bogor

Tags: makna hidup


Prev: MENGAPA HARUS BER AMAL JAMA’I:
Next: Alasan Sederhana mengapa harus berJamaah
Membangun Amal Jama’i dalam Dakwah

September 24, 2007 oleh bizesha

Oleh : Eko Budi K

Di Asrama PPSDMS Regional IV Surabaya

Amal Jama’i merupakan salah satu hal terpenting dalam da’wah. Dalam beramal jama’i
terada proses yang sering disebut sebagai Amar ma’ruf Nahi Munkar. Disebutkan dalam surat
Al-Imron : 104, “dan hendaklah diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada kemakrufan, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah
orang-orang yang beruntung.” Kebaikan dalam ayat diatas menurut tafsir Ibnu Katsir adalah
mengikuti Al-Quran dan Sunnah Rasulullah.

Maksud ayat di atas lebih lanjut adalah hendaknya ada dari umat ini segolongan orang yang
berjuang di bidang terebut. Sebagaimana disampaikan dalam hadist Rasulullah,”barangasiapa
diantara kamu melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangan, jika ia tidak mampu,
maka dengan lisannya, dan jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan yang demikian
merupakan selemah-lemah iman.” Ini menandakan hal tersebut adalah kewajiban setiap
individu.

Di sisi lain, orang-orang kafir pun tidak ingin kalah dengan kita. Ini didsrkan karena mereka
juga saling tolong menolong walaupun dlam rangka mengahncurkan Islam. Dalam kalam
Iahinya Surat Al-Anfal ayat ke-73, “Adapun orang-orag kafir, sebagian mereka
merupakan pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu tidak melaksanakan perintah
Allah, niscaya terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” Lebih lanjut
maksud ayat ini adalah jika kita tidak menjauhi kaum musyrikin dan berlindung kepada kaum
mukmin dan melakukan amal jama’i. maka terjadilah fitnah di tengah-tengah manusia yaitu
kekacauan persoalan dan bercampurnya kaum mukminin dengan kaum kafir sehingga
terjadilah kerusakan yang menyebar meluas, dan memanjang diantara manusia.

Dari penjabaran diatas, kiranya perlulah sebuah amal jama’i dan bagaimana seharusnya amal
jama’i itu dilakukan. Kembali Allah memberikan Taujih RabbaniNya dalam ayat ke 4 surat
Ash-Shaff, “sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang di jalanNya dalam barisan
yang teratur, seakan-akan mereka seperti suatu banguna yang tersusun kokoh.” Ini adalah
berita kemenangan terhadap orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang bersaf-saf
berhadapan dengan usuh Allah di kancah peperangan. Orang-orang inilah yang memerangi
kaum kufar demi tegaknya kalimat Allah di atas agama-agama lain.

Ada tiga hal yang melandasi dibutuhkannya amal jama’i ini. Ketiganya adalah perinth Allah,
fitrah manusia, dan kebutuhan organisasi dlam mengaktualisasikan diri dan mencapai tujuan
bersama.

Sementara itu, amal jama’i juga memiliki konsekuensi yang harus di tanggung berbagai pihak
terutama qiyadah dan jundinya. Konsekuensi dari seorng Qiyadah diantaranya adalah
memberikan teladan kerja, mengayomi jundi, memahami permasalahan da’wah para jundi,
mengetahui kapasitas dan kecenderunagn jundi. Sementara konsekuensi atau yang lebih tepat
dikatakan tugas jundi adlah komitmen terhadap pemimpin, komitmen terhadap tugas,
mendahulukan kebutuhan jama’i dibandingkan kepentingan pribadi,selalu mengkonsultasikan
dengan pemimpin terkait masalah terkait tugas yang diemban.

Intinya, dalam beramal jama’i kita harus tetap berkomitmen terhadap tugas yang
diamanahkan kepada kita.

April 30, 2006 9:51 pm

Kewajiban amal jama’i

Keikhlasan hati, kebersihan hati nurani, kesucian jiwa, ketulusan kata-kata, dan
amanah dalam menunaikan tugas, semuanya itu merupakan akhlak mulia. Untuk
menyempunakan akhlak itulah Rasulullah saw diutus agar setiap orang menjadi
batu bata bagi pembangunan masyarakat yang baik.

Sepanjang masa, pada setiap umat, pasti selalu ada orang-orang shalih, para
hamba yang zuhud, atau para da’i yang ikhlas. Bahkan pada bangsa seburuk apa
pun, tidak mungkin kosong dari orang-orang yang apabila disebut nama Allah
begetarlah hatinya, mengenal Allah dan memiliki akhlak terpuji.

Namun, dinamika sejarah dan pertumbuhan peradaban bukanlah ditinjau dari


semata-mata keberadaan pribadi-pribadi yang memiliki akhlak seperti itu,
betapapun tinggi keshalihan, ketakwaan, dan pemahaman mereka terhadap
berbagai persoalan. Yang menjadi ukuran justru adanya harakah jama’iyyah
(gerakan kolektif) dan keshalihan yang bersifat masif sehingga menjadi arus
kuat lagi tangguh yang mempunyai pengaruh terhadap arus-arus lainnya dan
bukannya terpengaruh.

Tidak ada maksud meremehkan arti amal fardi (kerja personal) dengan segala
sifat terpuji yang dimilikinya. Namun, sesuai dengan kebenaran yang kita anut,
adalah termasuk orang yang merugi jika seseorang yang ikhlas tidak berusaha
untuk mengubah dakwahnya menjadi arus massal yang dihasung oleh orang-
orang shalih seperti dirinya, yang berpegang teguh kepada tali Allah sehingga
menjadi bagaikan satu hati, dalam satu jamaah. “Demi masa. Sesungguhnya
manusia ifu berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan
beramal shalih dan saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasihati
dalam kesabaran.”(QS. Al Ashr, 103: 1-3) Nah, yang dikecualikan dari kerugian
adalah jamaah yang saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati
dalam kesabaran, dan bukannya individu, betapapun shalihnya.

Jika ada orang yang mengatakan, “Saya bisa memberlakukan Islam untuk diri
saya. Saya tidak melakukan kezaliman, tidak berzina, tidak mabuk, tidak
melakukan praktik riba, saya mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa
pada bulan Ramadhan, melaksanakan haji, menunaikan segala kewajibanku
yang bersifat personal, dan saya menyeru orang lain kepada hal-hal itu, dan
kemudian saya berlalu.”

Kita katakan, “Itu bagus. Akan tetapi, orang yang melakukan hal itu persis
seperti orang memilih batu-bata dengan sangat pandai, kemudian meningkatkan
kualitasnya dengan dimulai dari diri sendiri, seraya mengajak orang lain untuk
hal itu. Akankah kita menyebut batu-bata yang berserakan itu, betapapun
masing-masingnya memiliki kualitas yang baik untuk sebuah bangunan, sebagai
gedung bertingkat atau gedung pencakar langit, jika tidak pernah ditata dan
satu sama lain saling menguatkan?”

Begitulah kondisi dakwah secara personal. Lalu bagaimana kita bisa


mengaplikasikan sistern politik, sistern ekonomi, sistern sosial, sistern
pendidikan, dan siapa yang menegakkan sanksi? Siapa yang menegakkan
keadilan dan mencegah kezaliman? Siapa yang menegakkan hukum halal dan
haram’? Siapa yang mengatur urusan sarana usaha? Siapa yang memimpin
umat, menyebarkan dakwah, dan menghadapi serangan musuh? Dan
seterusnya.

Jika kaum Muslimin tidak berusaha untuk mewujudkan itu semua dalam
kehidupan nyata mereka dan merasa cukup dengan ibadah-ibadah ritual belaka,
maka mereka akan terjerembab ke dalam perbenturan keyakinan, padahal
mereka mendengar firman Allah:

“Apakah kalian mengimani sebagian kitab dan menolak sebagian lain? Maka
tiada balasan hagi orang yang melakukan hal itu selain kehinaan di dalam
kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka dicampakkan ke dalam siksa
yang amat dahsyat. Dan Allah tidaklah lalai terhadap apa yang kalian kerjakan.”
(Qs. Al Baqarah, 2: 85)

Mereka juga mendengar peringatan Allah dalam AlQuran terhadap Rasulullah


saw:

“Dan hati-hatilah terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari
sebagian apa yang diturunkan oleh Allah kepadamu.” (Qs. Al Maaidah, 5: 49)

Jadi tidaklah cukup adanya individu-individu yang ikhlas dan tulus di sana sini,
yang bekerja untuk Islam dalam keadaan tercecer. Walaupun tentu saja
pekerjaan mereka bermanfaat dan menjadi tabungan kebaikan di sisi Allah.
Sebab, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal orang yang bekerja baik laki-laki
maupun perempuan. Dan setiap orang akan dibalas berdasarkan apa yang dia
lakukan, sesuai dengan niat dan profesionalitasnya. Firman Allah:

“Maka barang siapa melakukan kebaikan meskipun sebesar biji sawi maka ia
akan melihatnya.” (Qs. Al Zalzalah, 99: 7)

“Sesungguhnya Allah tidak menzalimi meskipun banya sebesar biji sawi.” (Qs.
An-Nisaa’, 4: 40)
Akan tetapi, amal fardi, pada realitas umat kontemporer, tidak cukup kuat untuk
mengisi pos-pos kosong dan mewujudkan tujuan yang dicita-citakan. Harus ada
amal jama’i (kerja kolektif). Dan ini merupakan tuntutan agama sekaligus
tuntutan realitas.

Islam Menyeru kepada Jamaah

Islam menyerukan berjamaah dan membenci kesendirian: tangan Al-lah bersama


jamaah; barang siapa yang nyeleneh, maka ia akan nyeleneh pula di dalam
neraka; serigala hanya akan menerkam kambing yang menyendiri; tidak sah
shalat sendirian di belakang atau di depan shaf; orang mukmin dengan mukmin
lainnya bagaikan satu bangunan, satu sama lain saling menguatkan; tolong-
menolong dalam kebaikan dan takwa merupakan salah satu kewajiban dalam
Islam; dan saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran adalah salah satu
syarat untuk selamat dari kerugian di dunia dan akhirat.

Realitas kehidupan menegaskan bahwa kerja yang produktif adalah yang


dilakukan secara jama’i (kolektif). Lihat saja, tangan sebelah tidak dapat
bertepuk tangan. Dan seseorang adalah sedikit dengan dirinya sendiri tapi
menjadi banyak bersama kawan-kawannya, lemah bila sendirian dan kuat
dengan jamaahnya. Kerja-kerja besar tidak akan bisa dilakukan kecuali dengan
tenaga besar. Dan pertarungan sengit tidak dimenangkan kecuali dengan
bergandeng tangan dan saling topang kekuatan, sebagaimana firman Allah swt:

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya


dengan berbaris bagaikan bangunan yang kokoh.” (Qs. As-Shaff, 61: 4)

Ayat itu menegaskan bahwa kekuatan yang memusuhi Islam dan umatnya
tidaklah bekerja secara personal dan bukan pula kelompok-kelompok yang
tercecer. Mereka bekerja dalam sebuah sistern dengan disiplin tinggi. Mereka
mempunyai struktur organisasi, pemimpin lokal dan pemimpin intenasional.
Karenanya, kita wajib memerangi mereka dengan cara seperti mereka
memerangi kita. Kita tidak boleh melawan meriam dengan tongkat, panser
dengan kuda atau keledai. Sebagaimana tidak bolehnya kita menghadapi amal
jama’i musuh dengan amal fardi dan kerja yang sistemik dengan kerja
serabutan. Sebab, kekacauan tidak akan mungkin mengalahkan sistern. Individu
tidak akan mengalahkan jamaah. Dan kerikil tidak akan mengalahkan gunung.

Al Quran mengingatkan kita dengan ayatnya:

“Dan orang-orang kafir sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian lain.
Jika kalian tidak melakukan hal seperti itu (dalam kebersamaan) maka akan
terjadilah mala petaka di muka bumi dan kerusakan yang yang dahsyat.” (Qs. Al
Anfaal, 8: 73)

Makna “illaa taf’aluuhu” dalam ayat di atas adalah, jika sebagian kalian tidak
membantu dan menopang sebagian lain, maka akan terjadi bencana dan
kerusakan yang lebih besar dari sekadar berhimpunnya kekuatan kafir dan
bercerai berainya kekuatan Islam. Kebatilan merajalela dan kebenaran hancur
lebur. Dan itulah bahaya besar dan kejahatan yang tengah mengancam.

Amal Jama’i yang Sistemik

Amal jama’i haruslah sistemik, berpijak di atas qiyadah (kepemimpinan) yang


bertanggung jawab, basis yang kokoh, persepsi yang jelas, yang mengatur
hubungan antara qiyadah dengan prajurit (junud) atas dasar syura
(musyawarah) yang mengikat, dan ketaatan yang penuh kesadaran serta
pemahaman.

Islam tidak mengenal jamaah yang tanpa sistern. Sampai-sampai jamaah kecil
dalam shalat saja diatur oleh sebuah sistern. Misalnya bahwa Allah tidak akan
melihat kepada shaf (barisan) yang bengkok; shaf harus rapat, tidak boleh
membiarkan ada celah di dalam shaf, sebab setiap celah akan diisi oleh syaitan;
bahu seseorang berdekatan dengan bahu saudaranya, kaki dengan kaki; sama
dalam gerakan dan penampilan. Seperti kesamaan dalam akidah dan orientasi.

Imam harus meluruskan shaf dibelakangnya sampai rapat dan bersambung. la


harus menasihati para makmum untuk melunakkan tangan-tangan terhadap
saudaranya. Jadi, jamaah membutuhkan kadar tertentu kelembutan dan
fleksibilitas agar terjadi harmoni dalam barisan.

Setelah itu, wajib taat kepada imam. “Imam itu diangkat tidak lain kecuali untuk
ditaati. Apabila ia bertakbir maka bertakbirlah kalian. Apabila ia rukuk, maka
rukuklah kalian. Apabila ia sujud, maka sujudlah kalian. Dan apabila ia membaca
maka dengarkanlah.”

Tidak sah bila seseorang melenceng dari shaf dan mendahului imam. Misalnya
dengan rukuk sebelum imam rukuk, atau sujud sebelum imam sujud. Kemudian
membuat penyimpangan dalam bangunan yang tertata itu. Siapa yang
melakukan hal itu, maka dikhawatirkan akan Allah ganti kepalanya dengan
kepala keledai. Akan tetapi, jika si imam itu salah, maka kewajiban para
makmum adalah mengingatkan dan mengoreksi kesalahannya. Baik karena
keliru maupun karena lupa. Baik kekeliruan itu terjadi dalam ucapan atau
perbuatan; baik pada bacaan atau pada rukun shalat lainnya. Sampai-sampai
kaum perempuan yang berada pada shaf yang jauh saja pun dianjurkan untuk
bertepuk tangan untuk mengingatkan imam yang keliru itu.

Itulah miniatur sistern jamaah islamiyyah. Dan begitulah seharusnya hubungan


antara pimpinan dengan prajurit. Pemimpin bukanlah orang yang terpelihara dari
kesalahan. Makanya tidak boleh taat secara buta. Begitulah pemahaman kita
tentang Islam. Dan untuk menegakkan pemahaman itu harus ada amal jama’i
yang sistemik.
Perhatian Islam terhadap seseorang secara personal tidak lain adalah dalam
rangka mencetaknya menjadi batu-bata jamaah yang berkualitas tinggi, yang
akan mampu mengemban segala beban dakwah, berjihad untuk membelanya.

Oleh karena itu, seluruh ibadah dalam Islam bersifat kolektif atau paling tidak
menyerukan kepada jamaah. Shalat berjamaah misalnya, lebih utama 27 derajat
dibandingkan dengan shalat sendirian. Shalat Jumat tidak sah kecuali bila
dilaksanakan secara berjamaah. Demikian pula Shalat ‘Idain, bahkan sampai-
sampai qiyamur-ramadhan pun dianjurkan dilaksanakan secara berjamaah.

Zakat dipungut dari orang-orang kaya dan diberikan kepada orang-orang fakir.
Sehingga terjalinlah antara mereka kasih-sayang dan hilanglah kedengkian serta
sikap mementingkan diri sendiri. Dan itu pun mendukung terbentuknya jamaah.
Puasa juga mendorong orang-orang kaya untuk mengasihi orang-orang miskin.
Maka terwujudlah persatuan dan saling mencintai. Haji pun merupakan
kewajiban yang dilaksanakan secara jama’i. Semua orang yang sedang
melaksanakannya sama dalam hal pakaian dan perbuatan. Mereka sama-sama
meninggalkan dunia dan menghadap kepada Allah. Lalu hati mereka menjadi
berpadu, perasaan mereka menyatu, dan ikatan ukhuwah semakin kuat. Maka
menjadi kuatlah ikatan jamaah.

Demikian pula jihad harus dilakukan oleh kaum Muslimin secara bershaf
bagaikan bangunan yang kokoh. Maka Allah meridhai mereka dan mereka juga
ridha kepada Allah. Jadi, seluruh ibadah mendukung terwujudnya jamaah dan
mengokohkan ikatan di antara para anggotanya untuk mewujudkan tujuan-
tujuan luhumya.

Kesempurnaan Ikhlas dengan Jamaah

Amal jama’i adalah pesan Rasulullah kepada kaum Muslimin. Sabdanya:

“Tangan Allah beserta jamaah dan siapa yang menyendiri, menyendiri pula di
dalam neraka.” (At-Tirmidzi)

Sabdanya pula:

“Kalian harus berjamaah. Sebab serigala banya akan memangsa kambing yang
menyendiri.” (HR. Ahmad)

“Siapa yang menginginkan naungan surga maka hendaklah ia berpegang teguh


dengan jamaah.” (At-Tirmidzi)

Tentang jamaah, ‘Abdullah Bin Mas’ud mengatakan,

“Ia adalah tali Allah yang kuat yang Dia perintahkan untuk memegangnya. Dan
apa yang kalian tidak sukai dalam jamaah dan ketaatan adalah lebih baik dari
apa yang kamu sukai dalam perpecahan.”’
‘Ali Bin Abi Thalib mengatakan, “Kekeruhan dalam jamaah lebih haik dari pada
kebeningan dalam kesendirian.”

Jamaah – seperti sudah dijelaskan – yang terdiri dari anggota, pemimpin, dan
manhaj menumbuhkan umat yang memerintahkan yang ma’ruf, mencegah dari
yang munkar, dan beriman kepada Allah. Dan kemenangan jamaah adalah
merupakan janji Allah yang pasti terjadi.

“Dan sesungguhnya tentara Kami, mereka itulah yang akan menang.” (Qs. Ash-
Shaffaat, 37: 173)

“Dan siapa yang menjadikan Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman
sebagai penolong, maka sesungguhnya kelompok (pendukung) Allah itulah yang
akan menang.” (Qs. Al Maaidah, 5: 56)

Islam adalah agama yang harus dilaksanakan oleh individu-individu. Dari situ
kemudian mereka membentuk jamaah yang bergerak bersama pemimpin yang
menjadi pelopor dalam mengemban tugas, dan bertekad untuk bekerja secara
ikhlas tanpa henti siang dan malam. Sebagaimana yang dikatakan Umar Bin
Khaththab kepada Mu’awiyah Bin Khadij yang mengunjunginya guna
menyampaikan berita gembira tentang penaklukan

Iskandariyyah, “Jika aku tidur di siang hari berarti aku menelantarkan rakyat.
Dan jika aku tidur di malam hari berarti aku menelantarkan diriku. Lalu
bagaimana pula jika aku tidur di kedua waktu itu, wahai Mu’awiyah?”‘

Islam adalah agama yang yang dianut oleh segala usia dan kalangan. Orang
dewasa tetap memegang teguh Islam hingga meninggal dunia. Anak kecil terus
teguh hingga ia menjadi tua. Orang non-Arab menjadi fasih dengan Islam. Dan
orang Arab berhijrah dengan dorongan agama itu pula. Mereka yakin tidak ada
kebenaran selain Islam. Dia bukanlah agama yang hanya bisa sebatas
mengatakan kepada orang yang melakukan kesalahan, “Jangan kamu lakukan
kesalahan." Lebih dari itu, Islam mempersiapkan bagi orang yang melakukan
kesalahan sebuah masyarakat dan jalan untuk membantunya memperbaiki diri
dan tolong menolong dalam kebaikan serta ketakwaan. Agar kata-kata mewujud
menjadi perbuatan dan teori berubah menjadi aplikasi. Adakah hal itu bisa
terwujud oleh seseorang – betapapun ia ikhlas dalam ibadah – ataukah harus
dengan jamaah yang kokoh dan kuat?

Nah, bangunan jamaah itu tidak akan sempurna tanpa adanya ta’aruf (saling
mengenal), tafahum (saling memahami), dan takaful (solidaritas) yang
mengaplikasikan tolong-menolong yang diperlukan untuk mencapai tujuan-
tujuan jamaah yang luhur dengan semangat ukhuwah dan tekad baja.

Untuk hikmah yang tinggi itulah Allah menjadikan seluruh umat Islam sebagai
umat dakwah. Manakala Allah swt mengutus Muhammad saw kepada umat ini
dan kepada seluruh manusia, maka umatnya pun diutus untuk seluruh manusia.
Oleh karena itu ketika Rustum bertanya kepada Rib’i Bin ‘Amir, "Untuk apa kamu
datang kemari?” ia segera menjawab, “Sesungguhnya Allah telah mengutus
kami untuk mengeluarkan orang yang mau agar keluar dari penyembahan
terhadap sesama manusia menuju penyembahan kepada Allah semata, dari
kesempitan dunia menuju keluasannya, dari kezaliman agama-agama menuju
keadilan Islam.” Itu disebabkan karena Rasulullah saw mengatakan kepada
kaum Muslimin, “Sampaikanlah apa-apa yang datang dariku walaupun hanya
satu ayat.” Mereka adalah orang-orang yang menyampaikan apa yang dibawa
oleh Rasulullah saw.

Jadi, keikhlasan yang dimiliki oleh seorang Muslim bukanlah untuk dirinya
sendiri. Meskipun tentu saja sebagai individu ia mendapatkan pahala. Keshalihan
dan keikhlasan seorang Muslim yang hanya untuk dirinya saja adalah bagaikan
air yang thahir (suci). Dzatnya suci tapi tidak dapat mensucikan yang lainnya.
Sedangkan Islam menghendaki Muslim itu menjadi thahuur dan bukan sekadar
thahiir. Supaya, selain dirinya suci, juga dapat mensucikan orang lain.

Jadi memang harus ada “batu-bata” yang shalih yang memiliki akhlak Islam.
Sebab tidak akan ada kepaduan, ikatan, kecintaan, tolong-menolong, itsar (sikap
mengutamakan kepentingan orang lain), dan akhlak utama lainnya – yang
menunjukkan keikhlasan, dan tidak akan terwujud harmoni sosial kecuali bila
ada kesatuan akhlak dan kesamaan di antara para anggota dalam hal perilaku,
orientasi, dan pemahaman. Kesemua itu tidak akan terwujud kecuali dalam
bingkai jamaah yang mengarahkan untuk melaksanakannya.

Orang-orang yang memahami Islam sebagai semata-mata ibadah lahiriah, yang


jika mereka melaksanakan atau melihat orang melaksanakanny sudah merasa
puas dan menduga bahwa itu adalah esensi Islam, tidak lebih dari itu,
bagaimana ia akan merasakan wajibnya amal jama’i. Demikian pula dengan
orang-orang yang tidak memandang Islam selain sebagai akhlak mulia, spiritual
yang agung, konsumsi filosofis yang merangsang akal dan ruhani serta
menjauhkan keduanya dari debu-debu materi. Mereka juga tidak akan
mempercayai pentingnya amal jama’i. Adapun orang-orang yang meyakini
bahwa Islam adalah manhaj kehidupan, mereka itulah yang percaya wajibnya
amal jama’i.

Begitulah kita memahami Islam secara sempurna lagi integral sebagai risalah
tarbiyah dan manhaj kehidupan yang jauh dari kebekuan orang-orang yang
beku, dari kelonggaran orang yang menghalalkan segala cara (permisivisme)
dan dari keruwetan para filosof. Tidak ada sikap ekstrem dan tidak sikap abai,
dengan tetap memegang teguh Kitabullah dan Sunah Nabi-Nya serta sirah
salafus-shalih. Dengan hati yang jujur, orang-orang mukmin akan menyerap dari
Al Quran dan Sunah itu Islam sebagai akidah, ibadah, tanah air,
kewarganegaraan, akhlak, materi, toleransi, kekuatan, tsaqafah, dan perundang-
undangan.
“Dan demikianlah (pula) Kami jadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul menjadi
saksi atas perbuatan kamu.” (Qs. Al Baqarah, 2: 143)

Untuk pemahaman itu kita ikhlas. Islam – sebagaiman kita pahami – adalah
agama jamaah, yang mendidik setiap individu untuk menjadi mushlih’ dan bukan
sekadar shalih (shalih).

“Dan sekali-kali Rabbmu tidak akan menghancurkan negeri-negeri secara zalim


padahal penduduknya melakukan perbaikan.” (Qs. Huud, 11: 117)

“Dan Allah mengetahui orang yang merusak dari orang yang melakukan
perbaikan.” (Qs. Al Baqarah, 2: 220)

Orang yang shalih – dalam pemahaman kita terhadap Islam – adalah termasuk
kontributor dalam kemungkaran jika ia diam. Lalu manfaa t apa yang bisa
dirasakan oleh masyarakat dengan keshalihannya bila ia tidak turut membantu
saudaranya untuk mewujudkan masyarakat yang baik. Sesungguhnya orang
yang tidak mengatakan kebenaran adalah syaitan bisu. Allah swt mengingatkan:

“Dan takutlah kalian akan sebuah bencana yang akan menimpa bukan banyak
orang-orang yang zalim di antara kalian. Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya
Allah amat dahsyat sikasaan-Nya.” (Qs. Al Anfaal, 8: 25)

Karenanya, Aisyah bertanya kepada Rasulullah saw, “Akankah kita dibinasakan


padahal di tengah-tengah kita ada orang-orang shalih?” Rasulullah saw
menjawab, “Jika keburukan itu telah menjadi dominan.”

Dalam hadits lain, Rasulullah saw bersabda, “Jika kesalahan tersembunyi, maka
ia tidak akan membahayakan selain pelakunya. Tapi, jika kesalahan telah
merajalela dan tidak diberantas, maka itu akan membahayakan orang banyak.”
(HR. At-Tirmidzi)

Amal jama’i yang sistemik bertumpu pada 3 (tiga) hal:


• Pimpinan yang ikhlas (qiyadah).
• Basis, yakni individu-individu yang satu sama lainnya berpadu secara ikhlas
(jamaah).
• Minhaj dengan pemahaman yang gamblang (dakwah).

Hubungan di antara ketiganya dibangun berlandaskan atas syura (musyawarah)


yang wajib dan mengikat, taat yang disertai pemahaman, ikhlas kepada Allah
dalam menjalankan apa yang dipahami dan dalam ber-harakah. Jika keikhlasan
hilang dari mereka, maka mereka tak ubahnya bagaikan perhimpunan lainnya
yang hanya terbentuk di atas asas kepentingan pribadi dan bukan lagi
merupakan jamaah dengan segala tonggak, karakteristik, tujuan-tujuan, dan
sarana-sarananya. Bukan lagi jamaah yang dapat memerintahkan kepada yang
ma’ruf dan mencegah dari yang munkar serta beriman kepada Allah. Dan ia
bukan lagi merupakan jamaah yang dapat mewujudkan superioritas dalam
hidup, dan membimbing manusia ke jalan yang benar, sebagaimana yang Allah
firmankan:

"Dan demikianlah (pula) Kami jadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul menjadi
saksi atas perbuatan kamu.” (Qs. Al Baqarah, 2: 143)

Anda dapat bayangkan sebuah jamaah yang memiliki ciri-ciri seperti itu dan
mewujudkan apa-apa yang disebutkan di atas itu. Jamaah yang menyadari
besarnya risalah yang dihasungnya dan percaya penuh akan
pertolongan Allah. Tidak diragukan bahwa para anggota jamaah itu akan
dipersatukan hatinya oleh Allah.

“Dan Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana.” (Qs. Al Anfaal, 8: 63)

Dan kemenangan yang Allah janjikan akan mereka raih:


“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal shalih
bahwa Dia akan mengangkat mereka sebagai khalifah di muka bumi
sebagaimana Dia telah mengangkat orang-orang sebelum mereka sebagai
khalifah dan pasti Dia akan kokohkan hagi mereka agama mereka yang Dia
ridhai dan Dia akan menggantikan untuk mereka rasa takut menjadi rasa aman,
mereka beribadah kepada-Ku dengan tidak menyekutukan sesuatu apa pun
dengan-Ku.” (Qs. An-Nuur, 24: 55)

Maka dari itu kaum Muslimin setelah Rasulullah saw wafat bersepakat untuk
mencari siapa yang akan menggantikan beliau guna menjaga agama ini,
melangsungkan dakwah, memelihara keamanan, dan menyampaikan risalah
Islam ke seluruh penjuru dunia.

‘Ali Bin Abi Thalib – semoga Allah meridhainya – mengatakan, “Manusia harus
mempunyai imarah (kepemimpinan) yang shalih maupun durhaka.” Seseorang
bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, kalau pimpinan yang shalih kami mengerti,
tapi bagaimana dengan pimpinan yang durhaka?” Ia menjawab, “Dengan imarah
itu hukum pidana ditegakkan, jalan diamankan, musuh dilawan, dan harta
rampasan perang dibagikan.”

Ibnu Khaldun mengatakan bahwa mengangkat imam telah diketahui


kewajibannya dalam syariat berdasarkan ijma’ sahabat dan tabi’in dan tidak ada
seorang pun yang berpandangan berbeda dari itu. Sedangkan Imam Juwaini
mengatakan bahwa pengangkatan imam berpijak di atas landasan ijma‘ yang
kokoh. Imam As-Sihristani mengatakan bahwa Abu Bakar Shiddiq, setelah
khutbah di Saqifah Bani Sa’idah, mengatakan, “Harus ada orang yang
menegakkan agama ini." Maka orang-orang berteriak dari berbagai sudut, “Anda
benar wahai Abu Bakar." Hal seperti itu disampaikan pula oleh Imam Al Mawardi.
“Imamah ditegakkan untuk menggantikan Nabi dalam memelihara agama dan
mengatur dunia.” Benarlah perkataan seorang ulama, “Agama itu pangkal dan
kekuasaan adalah penjaganya. Apa saja yang tidak punya pangkal maka akan
hancurlah ia. Dan apa-apa yang tidak mempunyai penjaga maka ia akan
lenyap.”

Nah, untuk mewujudkan tujuan yang ingin kita capai itu, maka kita harus
menentukan tujuan yang harus dicapai oleh jamaah, yakni: individu Muslim,
keluarga Muslim, masyarakat islami. Karenanya, jamaah yang menyerukan pada
pemahaman seperti disebutkan di atas itu, dengan langkah-langkah ta’rif
(memberikan pemahaman), takwin (pembentukan), dan tanfidz (aplikasi), dialah
jamaah yang menjalankan kewajiban. Sebab, sesuatu yang membuat kewajiban
menjadi tidak sempurna bila ia tidak ada, maka “si suatu” itu hukumnya wajib.

Tiada Islam tanpa jamaah. Tidak ada jamaah tanpa imarah (kepemimpinan). Dan
tidak ada imarah tanpa ketaatan. Sebab, Islam adalah sistern dan ketaatan. Dalil
yang paling kuat untuk itu adalah adanya seruan yang bersifat jama’i dalam Al
Quran, “Wahai orang-orang yang beriman.” Dan bahkan awal surat Al Baqarah
menegaskan bahwa orang-orang yang akan mendapatkan petunjuk adalah al
muttaqin (dalam bentuk jamak: orang-orang yang bertakwa) bukan al muttaqi
(dalam bentuk tunggal: seorang yang bertakwa). “Itulah kitab (Al Quran),
merupakan petunjuk hagi orang-orang yang bertakwa.” Kemudian Allah swt
menyebutkan sifat-sifat mereka, “Yaitu orang-orang yang beriman kepada yang
gaib, mendirikan shalat, dan menginfakkan sebagian harta yang Kami berikan
kepada mereka.” Semua itu menunjukkan sifat kolektif, seperti yang Anda lihat.
Bahkan Allah swt mengingatkan kita tentang nilai kebersamaan itu dengan
ungkapan yang kita ulang-ulang setiap shalat, “Hanya kepada Engkau kami
beribadah dan banya kepada Engkau kami mohon pertolongan.” Di situ
digambarkan beribadah dan mohon pertolongan dalam kebersamaan.

Itu semua logis belaka, sebab ibadah dengan maknanya yang utuh tidak akan
terwujud melainkan dengan secara bersama-sama beribadah dan memohon
pertolongan. Bahkan,.hidayah itu sendiri tidak akan sempurna tanpa jamaah.
Karenanya kita mengatakan, “Berilah kami petunjuk” dan bukannya “Berilah aku
petunjuk”. Sebab memang hidayah yang sejati dan sempurna yang diberikan Al
Quran hanya akan terwujud dengan jamaah. Itulah sebabnya, kabar gembira
juga berlaku untuk orang-orang mukmin dalam kebersamaannya dan bukan
dalam kesvnd iriannya.

Sebenarnya, ketika kita mengatakan bahwa Islam adalah agama jamaah, maka
pemahaman itu sendiri adalah bagian dari agama. Dan seharusnya pemahaman
itu menjadi salah satu tsawabit jamaah manapun yang menyerukan kepada
Islam.

Pemahaman bahwa Islam adalah agama jamaah itu sendiri merupakan tsawabit
Islam. Persepsi itu menyerukan untuk mempraktikkan tatanan dalam jumlah
sekecil apa pun, sekalipun ia berada dalam perjalanan (safar). Jika ia melakukan
perjalanan sendirian maka temannya adalah syaitan. Dan jika jumlahnya lebih
dari satu, meskipun hanya tiga orang, maka wajib diangkat seorang pemimpin
dari dan untuk mereka. “Jika kalian bertiga maka angkatlah salah seorang di
antara kalian sebagai amir.” (Hadits Hasan riwayat Abu Dawud). Apatah lagi
dengan orang yang ingin menghidupkan umat, dan membuat sebuah peradaban.
Bukankah ini lebih membutuhkan penataan yang akurat dan amir jamaah yang
ditaati?

Tidak diragukan lagi bahwa bila keimanan para anggota kuat, maka akan kuat
pula jamaah itu dan akan mampu mencapai apa yang dicita-citakan. Sebaliknya,
bila keimanan para anggotanya lemah, barisan akan bercerai-berai. Sebab,
lemahnya iman akan mengakibatkan kerancuan konsep, dan munculnya
kecenderungan hati terhadap kepentingan duniawi. Di antara kecenderungan
duniawi yang dapat menghambat perjalanan jamaah adalah harta, anak, istri,
senang bersantai-santai, putus asa, takut, loyo, semangat yang berlebihan, dan
tidak adanya loyalitas.

Nah, sudah jelas bagi kita bahwa amal jama’i adalah wajib bagi kaum Muslimin.
Jika demikian, maka sarana yang dapat mengantarkan pada terlaksananya
kewajiban itu adalah wajib. Karenanya, propaganda yang menyerukan tidak
pentingnya amal jama’i adalah propaganda untuk melemahkan dan memecah
belah kaum Muslimin. Padahal, zaman sekarang ini masanya orang membuat
perkumpulan, atau koalisi untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Maka, apatah
lagi Islam yang memandang jamaah sebagai keimanan dan perpecahan adalah
kekafiran.

Nilai jamaah pada jiwa seseorang tidak akan sempurna kecuali terwujud lima
hal:
• Bangga dengan her-intima (afiliasi) dengan jamaah itu.
• Merasa tenteram dengan keberadaan dirinya di dalam jamaah itu.
• Jamaah itu mewujudkan atau akan mewujudkan segala cita-cita
keislamannya.
• Setiap anggota pada jamaah tersebut berkontribusi kepada jamaahnya dan
jamaah pun membantunya; ia menopang jamaah tersebut dan jamaah pun
mendukungnya.
• Seseorang menjadi berarti dengan jamaah dan bukan dengan yang lainnya,
sedangkan jamaah itu walaupun tidak ditegakkan oleh dia pasti ditegakkan oleh
orang lain. Firman Allah swt:

“Dan jika kalian berpaling maka niscaya Allah akan mengganti kamu dengan
kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu.” (Qs. Muhammad, 47: 38)

“Wahai orang-orang yang beriman, siapa yang murtad di antara kalian dari
agamanya maka niscaya Allah akan mendatangkan satu kaum yang Allah
mencintai mereka dan mereka (pun) mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut
terhadap orang-orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir,
yang berjihad di jalari Allah dan tidak takut celaan orang-orang yang mencela.
Itulah karunia Allah yang diberikan kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah
Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui’.”
(Qs. Al Maaidah, 5: 54)

Itulah perbedaan antara perhimpunan yang tidak ada ikatan dan tidak punya
manhaj dengan jamaah yang diikat oleh nurani, perasaan, kecintaan, aturan,
tujuan, sarana, pemimpin, prajurit yang tujuannya adalah Allah. Dan untuk itulah
digulirkan gerakan perbaikan setiap individu agar menjadi takwa, pembentukan
keluarga agar menjadi keluarga islami, dan pengarahan terhadap masyarakat
agar di dalamnya tersebar nilai-nilai, prinsip-prinsip, akhlak, dan syi’ar-syi’ar
Islam, dalam setiap sudut kehidupan.

Comments

The URI to TrackBack this entry is: http://beranda.blogsome.com/2006/04/30/kewajiban-


amal-jamai/trackback/

[5072 Reads] Berpartisipasi Dalam Kerja-Kerja Amal Jama'i Posted by: hendra on
Thursday, September 25, 2003 - 08:06

Lalu, para Malaikat mendatangi Nabi Adam AS untuk mengetahui sejauh mana ilmunya.
Mereka bertanya:�Siapakah namanya, Adam?� Jawab Adam:�Hawwa!� Malaikat
bertanya:�Mengapa namanya Hawwa?� Jawab Adam:�Karena dia dijadikan dari benda
hidup� (Tafsir Ibnu Katsir).

Itulah interaksi sosial pertama yang terjadi antara dua manusia. Interaksi sosial merupakan
fithrah basyariyah (naluri manusia) yang menjadikan hidup menjadi indah dan lebih
bermakna. Keadaan Nabi Adam AS sebelum kedatangan Hawwa digambarkan dalam Tafsir
Ibnu Katsir �berjalan-jalan sendirian dan kesepian�.

Setelah itu, lahirlah keturunan dari Adam dan Hawwa, baik keturunan laki-laki atau
perempuan, sehingga jumlahnya menjadi milyaran ummat manusia seperti sekarang ini. Allah
Ta�ala berfirman:�Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabbmu yang telah
menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya dan
daripada keduanya Allah memperkembang-biakkan laki-laki dan wanita yang banyak ��
(An Nisaa� [4]: 1).

Firman-Nya yang lain:�Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
�� (Al Hujuraat [49]: 13).

Dengan semakin berkembang biaknya laki-laki dan wanita dalam jumlah yang banyak,
menjadi bersuku-suku dan berbangsa-bangsa; maka mau tidak mau, suka tidak suka, manusia
akan berinteraksi dengan manusia lainnya. Baik dalam lingkungan yang padat, atau dalam
ligkungan yang jarang penduduknya. Keharusan berinteraksi inilah yang menjadikan manusia
sebagai makhluq sosial seperti kakeknya terdahulu, Nabi Adam dengan Ibu Hawwa.

Allah Ta�ala berfirman:�� Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan


(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah)
hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu� (An
Nisaa� [4]: 1).

Dalam firman-Nya yang lain:�� menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku


supaya kamu saling mengenal �� (Al Hujuraat [49]: 13).

Demikianlah, Allah Ta�ala telah menjelaskan kepada kita rahasia penciptaan manusia yang
beragam kulit, bahasa, tradisi dan alamnya. Semuanya tidak dalam rangka manusia saling
bermusuhan dan menumpahkan darah. Tetapi untuk saling mengenal, saling membutuhkan
dan saling mengunjungi. Rasulullah SAW sendiri tidak pernah berupaya merubah nama suku
shahabatnya; seperti suku Auz dengan Kazraj, meskipun kedua suku tersebut pernah terlibat
peperangan yang lama. Rasulullah SAW tidak merubah kedua nama suku itu, yang
dihilangkan bukan namanya, tetapi sikap permusuhan di antara keduanya dan diganti dengan
sikap persaudaraan. Demikian pula antara shahabat Muhajirin dan Anshar serta shahabat
lainnya. Dan dengan begitu, kehidupan menjadi indah dan menggairahkan.

ISLAM TIDAK ANTI SOSIAL

Rasulullah SAW mengajak ummatnya untuk bergaul dengan masyarakatnya dan bershabar
terhadap berbagai macam perilaku mereka. Sabdanya:�Seorang Mu�min yang berinteraksi
dengan masyarakat dan bershabar terhadap segala macam cobaan dari mereka lebih agung
pahalanya daripada seorang Mu�min yang tidak berinteraksi dan tidak bershabar terhadap
cobaan manusia� (HR. Muslim).

Kata �lebih agung pahalanya� merupakan dorongan Rasulullah SAW kepada ummatnya
untuk bergaul atau berinteraksi dengan manusia lainnya. Sedangkan hijrah untuk
meninggalkan manusia ramai kemudian menyendiri dalam kehidupan merupakan perkara
yang tidak diajarkan dalam Islam, karena Rasulullah SAW telah bersabda:�Tidak ada lagi
hijrah setelah penaklukan kota Makkah� (Riyadhush Shalihin). Sebagai gantinya, Islam
mengajarkan ummatnya untuk melakukan hijrah ma�nawi atau isolasi mental. Rasulullah
SAW bersabda:�Muhajir (orang yang hijrah) adalah mereka yang meninggalkan segala
sesuatu yang dilarang oleh Allah Ta�ala� (HR. Muslim).

Dari sabda Rasulullah SAW ini, dapat kita fahami bahwa yang dimaksud hijrah adalah
meninggalkan segala sesuatu yang dilarang Allah Ta�ala, tanpa harus berpindah secara
fisik. Inilah yang dimaksud dengan hijrah ma�nawiyah atau isolasi mental. Secara fisik
bergaul dengan masyarakat ramai, tetapi secara mental meninggalkan kemaksiatan yang
mereka lakukan.

Tentu saja, yang dimaknai bergaul dengan masyarakat bukan berarti bergaul secara akrab
dengan para pelaku maksiat; sampai memberikan solidaritas dan loyalitas kepada mereka.
Karena Rasulullah SAW memberikan peringatan:�Seseorang itu bersama agama temannya.
Maka hendaklah seseorang memperhatikan dengan siapa dia berteman� (HR. Abu Daud dan
Tirmidzi).

Berarti yang dimaknai bergaul adalah berinteraksi dalam perkara-perkara mu�amalah


seperti jual-beli, bertetangga, berteman, berorganisasi atau yang lain; sembari berda�wah
untuk mengarahkan mereka terbiasa dengan akhlaq-akhlaq Islami.
Beberapa orang Muslim yang ingin menyendiri dalam kehidupan dan tidak mau bergaul
dengan masyarakat ramai mempunyai alasan yang kurang tepat. Beberapa sikap dan
pemikiran yang kurang tepat adalah:

1. Belum berda�wah tetapi sudah memvonis

Islam tidak mangajarkan kepada ummatnya untuk menjadi tukang vonis, tetapi Islam
mengajak ummatnya untuk menjadi seorang da�i. Allah Ta�ala berfirman:�Maka berilah
peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu
bukanlah orang yang berkuasa atas mereka� (Al Ghaasyiyah [88]: 21-22).

Seringkali kita memvonis masyarakat dengan vonis yang menyakitkan, seperti: sesat, kafir,
murtad, ahli neraka dan lain-lain. Sementara kita sama sekali belum berd�awah kepada
mereka dengan cara-cara yang diajarkan Rasulullah SAW. Sikap seperti ini meneybabkan
terjadi rentangan jarak yang jauh antara kita dengan masyarakat. Atau, menyebabkan kita
lebih suka menyendiri daripada bergaul untuk berda�wah.

Tentu saja sikap seperti ini tidak tepat, karena berda�wah itu adalah langkah pertama yang
harus dilakukan dalam berhubungan dengan manusia. Dan dengan da�wah pulalah kita
bergaul dengan masyarakat ramai. Sedangkan sikap suka menjatuhkan vonis kepada
msyarakat bukanlah ajaran Islam, karena Rasulullah SAW bersabda:�Saya tidak diutus
untuk menjadi tukang cela, tetapi untuk menjadi pemberi rahmat� (Tafsir Ibnu Katsir).

2. Semua jama�ah dan organisasi Islam sesat dan firqah

Allah Ta�ala berfirman:�Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan


mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada
pada golongan mereka� (Ar Ruum [30]: 32).

Rasulullah SAW bersabda:�Ummatku terpecah menjadi tujuhpuluhtiga firqah, tujuhpuluh


dua masuk nerakadan satu yang masuk surga; itulah jama�ah� (HR. Ahmad).

Dalil-dalil di atas atau yang serupa dengannya, seringkali disikapi keliru oleh beberapa
gelintir Kaum Muslimin. Sikap yang keliru tersebut adalah:

a. Menganggap seluruh jama�ah Kaum Muslimin adalah sesat dan firqah

b. Menganggap hanya jama�ahnya yang memenuhi kriteria di atas, sehingga hanya


jama�ahnya yang berhak masuk surga. Sedangkan jama�ah lain akan masuk neraka.

Kedua sikap ekstrem tersebut tentu saja sikap yang tidak tepat. Karena ayat beserta hadits di
atas, atau yang sejenis dengannya, hanya menunjukkan sifat-sifat golongan yang benar atau
kelompok yang sesat. Dalil-dalil seperti itu sama sekali tidak menunjukkan suatu nama
tertentu. Sehingga setiap kelompok, golongan atau jama�ah yang memenuhi sifat-sifat
kebenaran seperti itu masuk dalam golongan yang selamat; apapun namanya. Demikian pula
sebaliknya, jika ada kelompok, golongan atau jama�ah yang memenuhi sifat-sifat kesesatan,
maka dia akan masuk dalam golongan yang celaka; apapun namanya.

Sehingga, tidak ada organisasi yang benar sendiri tidak pula seluruh organisasi sesat. Kita
lihat dulu sifat-sifat organisasi tersebut secara obyektif. Sudut pandang inilah yang Islami dan
menghindarkan diri kita dari keengganan untuk bergaul dengan mesyarakat ramai yang
mengikuti berbagai macam organisasi.

3. Berinteraksi dengan pelaku maksiat dilarang dalam Islam

Rasulullah SAW pernah bersabda:�Seseorang itu bersama agama temannya. Maka


perhatikanlah dengan siapa seseorang itu berteman� (HR. Abu Daud dan Tirmidzi). Dengan
sabda Rasulullah Saw ini ada beberapa Kaum Muslimin yang beranggapan bahwa
berinteraksi dengan pelaku maksiat itu dilarang.

Tentu saja pemahaman ini tidak seratus persen benar dan juga tidak seratus persen salah.
Yang diingatkan Rasulullah SAW adalah pertemanan bukan interaksi. Yang diamksud
dengan pertemanan adalah tempat seseorang meletakkan rasa solidaritas, menumpahkan
perasaan dan tempat memberikan loyalitas. Pertemana seperti inilah yang harus dijaga tetap
dengan orang-orang yang shalih, bukan dengan para pelaku maksiat.

Sedangkan interaksi itu dapat bermakna sangat luas. Karena da�wah itu sendiri adalah
sebuah bentuk interaksi terus-menerus antara seorang juru da�wah dengan obyek
da�wahnya. Di antara obyek da�wah adalah para pelaku maksiat. Tentu saja, interaksi
da�wah dengan para pelaku maksiat bukan dalam rangka pertemanan, yaitu bukan dalam
rangka memberikan rasa solidaritas, menumpahkan perasaan serta tempet memberikan
loyalitas. Tetapi dalam rangka mengarahkan, meluruskan serta mengurangi intensitas
kemaksiatannya.

Seseorang yang menganggap interaksi dengan pelaku maksiat dilarang menyebabkan dia
mengambil sikap menyendiri dan menyepi serta mengindarkan diri dari bergaul dengan
sesama manusia. Sikap inilah yang tidak tepat.

4. Sekarang ini adalah masa kerusakan

Rasulullah SAW bersabda:�Akan datang suatu masa yang menimpa manusia; tidak ada
Islam kecuali tinggal namanya saja, tidak ada Al Qur�an kecuali tinggal tulisannya saja,
masjid-masjid mewah tetapi kosong dari petunjuk serta ulama�nya adalah orang yang paling
jahat yang berada di bawah langit �� (HR. Al Baihaqi).

Hadits di atas serta hadits-hadits yang sejenis dijadikan sebagai alasan oleh beberapa Kaum
Muslimin untuk menggambarkan kondisi zaman sekarang ini. Sebagian berpendapat sangat
ekstrem , yaitu sekarang adalah zaman paling rusak dan sudah tidak mungkin lagi untuk
diperbaiki kembali. Sehingga mereka memilih mundur dan menyepi dari keramaian manusia;
dengan anggapan supaya selamat dunia akhirat.

Anggapan seperti ini tentu saja tidak dapat dikatakan benar seratus persen. Karena masih
banyak hadits lain yang menunjukkan bahwa akhir zaman ditandai dengan kehadiran Dajjal,
Nabi Isa, Imam Mahdi, Ya�juj dan Ma�juj dan lain-lain. Semuanya itu belum terjadi.
Belum lagi Rasulullah SAW pernah bersabda:�� Kemudian akan datang lagi masa
kekhilafahan yang ditegakkan atas dasar-dasar kenabian ketika Allah berkehendak untuk
mendatangkannya �� (HR. Ahmad). Dan masa kekhilafahan kedua ini juga belum
terwujud. Bagaimana bisa bahwa zaman sekarang ini adalah rusak-rusaknya zaman,
sementara ciri-ciri akhir zaman belum terwujud?
Anggapan yang keliru seperti ini menyebabkan manusia mengambil sikap yang tidak tepat
pula; di antaranya adalah dengan mengasingkan diri dari masyarakat ramai dan hanya asyik
dengan dirinya-sendiri.

SIKAP DIRI

Sebenarnya, ada potensi dasar pada diri seseorang yang menyebabkan masyarakat mudah
menerima kehadirannya. Beberapa karakteristik dasar tersebut antara lain:

� Penduduk asli lebih diterima daripada pendatang


� Orang tua lebih diterima daripada anak muda
� Keturunan tokoh lebih diterima daripada keturunan orang biasa
� Orang kaya lebih diterima daripada orang miskin
� Orang yang suka memberi lebih diterima daripada orang yang pelit
� Orang yang suka menolong lebih diterima daripada orang yang berat untuk menolong
� Orang yang pandai bergaul lebih diterima daripada tidak suka bergaul

Potensi dasar ini harus senantiasa diupayakan supaya da�wah kepada masyarakat
mengalami percepatan yang signifikan. Proses percepatan dapat melalui pernikahan,
pelatihan, pendistribusian dana dan lain-lain.

Selain potensi dasar pada diri seseorang, terdapat pula sikap diri yang harus dimunculkan
dalam diri seseorang ketika bergaul dengan masyarakat. Sikap diri inilah yang menyebabkan
masyarakat lebih mudah menerima kehadiran kita, tidak mempunyai alasan untuk memusuhi
serta menyambut da�wah kita atas ijin Allah Ta�ala.

1. Empati sebagai sikap dasar pergaulan

Sikap dasar pergaulan yang ideal adalah empati. Yang dimaksud dengan empati adalah:

a. Memandang manusia dengan kacamata kasih-sayang

Allah Ta�ala mengutus Rasulullah SAW sebagai rahmah (kasih-sayang) bagi seluruh
penghuni bumi. Firman-Nya:�Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk
(menjadi) rahmat bagi semesta alam� (Al Abiyaa� [21]: 107). Tentua saja kacamata
rahmah (kasih-sayang) bersifat universal, yaitu ditujukan kepada seluruh ummat di dunia.
Baik yang Muslim atau Non Muslim, bahkan untuk manusia atau binatang, tumbuhan dan
benda-benda lain di dunia. Tetapi dalam pembahasan kita kali ini, rahmat itu ditujukan
kepada seluruh ummat manusia.

Inilah yang diajarkan Rasulullah SAW kepada Abdurrahman Bin �Auf ketika dia meminta
kepada Rasulullah SAW untuk membalas celaan orang-orang kafir Quraisy. Rasulullah SAW
bersabda:�Sesungguhnya aku ini diutus bukan untuk menjadi tukang laknat (tukang cela),
tetapi untuk memberikan rahmah (kasih-sayang)� (Tafsir Inu Katsir).

Demikian pula, ketika Rasulullah SAW dilempari batu oleh penduduk Thaif yang membawa
kesedihan sangat mendalam di hati beliau. Maka beliau berdo�a:�Ya Allah, ampunilah
mereka. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengetahui� (HR. Bukhary
dan Muslim).

Begitulah ketika kita berinteraksi dengan masyarakat, kita harus memandang mereka dengan
kacamata kasih-sayang, bukan kebencian dan kemarahan. Rasulullah Saw
mengingatkan:�Jauhkan dirimu dari sangka-sangka, karena sangka-sangka itu sedusta-dusta
berita. Dan jangan meraba-raba dan jangan menyelidiki kesalahan orang �� (HR. Muslim).

Segala bentuk perilaku masyarakat, baik yang menyenangkan atau menjengkelkan hati kita,
kita sikapi dengan tatapan kasih-sayang. Bukan balas-dendam, kemarahan dan kebencian.
Sambil kita berdo�a di hadapan Allah Ta�ala:� Ya Allah, ampunilah mereka. Karena
sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengetahui�

b. Ikut merasakan alunan perasaan orang lain

Rasulullah SAW mengajarkan kepada seorang Muslim untuk menghargai perasaan orang
lain. Perasaan senang, sedih, gembira, kecewa, susah dan lain-lain. Bnetuk penghargaan
perasaan kepada orang lain adalah dengan ikut serta merasakan perasaan orang lain. Jika
orang lain sedih, kita ikut menampakkan ekspresi kesedihan. Jika orang lain bergembira,
maka kita juga semestinya menampakkan ekspresi kegembiraan. Begitu pula dengan
perasaan-perasaan yang lain.

Rasulullah SAW bersabda:�Jangan menunjukkan kegembiraanmu dalam kesusahan


saudaramu, maka Allah akan menyembuhkan (menyelamatkannya) dan membalas ujian
padamu� (HR. At Tirmidzi; Riyadhush Shalihin II, 450).

Tentu saja, sikap ini bukan bertujuan untuk memperparah keadaan. Misalkan seseorang yang
bersedih menjadi sedih berkepanjangan, atau seseorang yang bahagia melampiaskannya
dengan hura-hura berlebihan. Tetapi sikap ini bertujuan untuk melegakan perasaan seseorang,
terutama yang tengah dirundung derita. Karena dalam kesedihannya, masih ada orang lain
yang menanggapi dan memberi perhatian kepadanya. Dalam suasana seperti itulah, nasihat
yang baik akan lebih menghujam di dalam qalbu.

c. Perhatian

Perhatian adalah sebuah bentuk pencurahan pikiran dan perasaan seseorang untuk kebaikan
orang lain. Lawan perhatian adalah cuek dan tidak mau tahu persoalan orang lain. Orang
seperti ini, cuek dan tak mau tahu, biasanya cenderung egois atau hanya asyik dengan dirinya
sendiri. Terserah saja apa yang terjadi pada orang lain, asalkan tidak menimpa diri saya.

Bentuk perhatian ini tentu saja bukan bertujuan untuk mengorak aib orang lain. Tetapi
perhatian adalah lebih bertumpu kepada komitmen seseorang untuk ikut membantu orang lain
bergembira dan berbahagia.

d. Basa-basi

Basa-basi yang dimaksud di sini bukan berarti basa-basi tanpa arti. Tetapi basa-basi yang
dapat melunturkan rasa dengki dan kemarahan seseorang kepada kita. Selain itu, basa-basi ini
memang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Sabdanya:�Janganlah kalian meremehkan
sedikitpun kebaikan, meskipun hanya dengan wajah manis ketika bertemu dengan
saudaramu� (HR. Muslim).
Di antara bentuk basa-basi itu adalah:

i. Salam

Ucapan salam kelihatannya terkesan hanya sebuah basa-basi. Tetapi sebenarnya, setiap
manusia sangat suka menerima salam dari orang lain; karena merasa mendapat perhatian.
Rasulullah SAW bersabda:�Demi Dia yang nyawaku berada di tangan-Nya. Kalian tidak
akan masuk surga, sampai kalian beriman. Dan kalian tidak akan beriman, sampai kalian
saling berkasih-sayang. Maukah kalian saya tunjukkan suatu perbuatan jika kalian lakukan
akan tumbuh rasa kasih-sayang di antara kalian? Sebarkanlah salam di antara kalian� (HR.
Muslim).

ii. Wajah Manis

Wajah ceria dengan senyum yang tulus merupakan bantuan moril kepada orang lain untuk
turut berbahagia menghadapi hari ini. Karena dengan keceriaan wajah dan senyuman kita,
seseorang akan terhipnotis ikut bergembira. Untuk itulah Rasulullah SAW
berpesan:�Janganlah kalian meremehkan sedikitpun perbuatan yang ma�ruf meskipun
hanya dengan berwajah manis ketika bertemu dengan saudaramu� (HR. Muslim).

iii. Jabat-tangan

Jabat-tangan yang ikhlas akan melebur rasa dendam dalam hati dan menggantikannya dengan
rasa sayang serta saling memaafkan. Jabat-tangan juga mampu menumbuhkan rasa akrab
serta mencairkan ketegangan suasana. Rasulullah SAW bersabda:�Tidaklah dua orang
Muslim yang bertemu kemudian berjabat-tangan, kecuali Allah mengampuni dosa di antara
keduanya sampai keduanya berpisah� (HR. Abu Dawud).

iv. Memanggil dengan nama yang disukai

Jika kita kenal nama seseorang, kemudian memanggil dengan namanya, maka keakraban
akan dengan cepat mudah terjalin. Terlebih lagi, bila kita tahu nama kesukaan seseorang atau
nama kebanggaannya, dan kita panggil orang tersebut dengan nama-nama itu; maka perasaan
in group akan cepat tumbuh. Yaitu perasaan tidak terpisahkan antara kita dengan dirinya.

Allah Ta�ala berfirman:�� dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar


yang buruk �� (Al hujuraat [49]: 11).

v. Memberi hadiah

Hadiah dapat memupus rasa permusuhan dan menggantinya dengan cinta. Rasulullah Saw
bersabda:�Saling bertukar hadiahlah sehingga kalian saling berkasih-sayang� (HR.
Muslim).

2. Teladan sebagai contoh praktis kehidupan

Masyarakat sangat tidak menyukai teori dan konsep yang muluk-muluk dan melangit;
terutama sekali masyarakat awam. Tetapi masyarakat lebih membutuhkan contoh nyata
dalam kehidupan sehari-hari yang praktis dan aplikatif. Karena itu, teladan merupakan bahasa
yang tepat untuk berbicara kepada masyarakat. Pepatah Arab mengatakan:�Bahasa teladan
lebih fasih daripada bahasa lisan�.

Misalnya, dalam masalah ibadah; sebelum kita mengajak masyarakat menegakkan shalat,
maka harus dimulai dari diri kita untuk senantiasa menegakkan shalat. Kita mencontohkan
rapi dan bersih dalam penampilan, pakaian dan rumah tinggal serta kendaraan. Kita
mencontohkan senantiasa memulai berbuat baik kepada tetangga dengan menyapa,
silaturahmi, memberi hadiah dan yang sejenisnya.

Allah Ta�ala mengecam manusia yang hanya mau berbicara, tetapi tidak berupaya untuk
menerapkan ucapannya sendiri dalam praktek amal keseharian. Firman-Nya:�Hai orang-
orang yang beriman, mengapa kamu mengatakn apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar
kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan� (Ash
Shaff [61]: 2-3).

Rasulullah Saw berpesan:�Mulailah dari dirimu sendiri!� (HR. An Nasaa�i).

3. Memberi manfaat

Hendaklah kita tidak sekedar mencari keuntungan material dalam berhubungan dengan
masyarakat. Segala sesuatu hanya diukur untung-rugi secara ekonomi.

Bila kita berperilaku seperti itu, maka masyarakat akan sulit meraba keikhlasan hati kita
dalam bekerja atau dalam berhubungan dengan mereka. Sehingga mereka berhati-hati dalam
berhubungan dengan kita, atau bahkan menghindari. Mereka takut menjadi korban materi
dalam berhubungan dengan kita.

Sudah semestinya, apabila kita justru berusaha banyak memberi manfaat kepada masyarakat,
tanpa terbesit dalam diri kita untuk mendapat ganti; kecuali hanya keridhaan Allah semata.
Demikian itulah yang diajarkan Rasulullah SAW dalam hidup bermasyarakat.

Sebelum Muhammad menjadi Nabi, Khadijah RA menceritakan pribadi beliau:�

4. Teguh pendirian

Banyak sekali perilaku masyarakat yang belum sesuai dengan nilai-nilai Islam. Bahkan
seringkali perilaku itu telah mengakar dan membudaya dalam sebuah masyarakat. Misalnya
sesaji ke kuburan, sesaji setelah bersih desa, minuman keras saat ada hajatan dan lain-lain.

Tentu saja, kita dilarang untuk ikut-ikutan acara haram tersebut dengan alasan untuk
bermasyarakat. Bila kita mempunyai kekuasaan di masyarakat, menjadi perangkat desa
misalnya; maka kita dapat mengurangi sedikit demi sedkit tradisi tersebut melalui jalur-jalur
kekuasaan. Bika kita berani mengingatkan secara lisan kepada mereka, maka dapat
menegurnya. Tetapi, apabila kita tidak mampu melakukan keduanya, cukuplah kita memiliki
pendirian yang kuat untuk tidak mengikutinya.

Rasulullah SAW bersabda:�Janganlah kalian menjadi orang yang imma�ah (tidak punya
pendirian) yang hanya berkata:�Saya bersama masyarakat. Bila masyarakat baik, maka saya
juga baik. Demikian pula, jika masyarakat buruk, saya juga buruk�. Akan tetapi teguhkan
pendirianmu, jika masyarakat berbuat baik, maka berbuat baiklah. Dan jika masyarakat
melakukan keburukan, maka tinggalkanlah keburukan mereka� (HR. Muslim).

5. Memaklumi jangan minta dimaklumi

Rasulullah SAW telah menunjuk seluruh Kaum Muslimin sebagai pemimpin dengan
sabdanya:� Setiap dari kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai
pertanggung-jawaban terhadap apa yang dipimpinnya� (HR. Bukhary).

Dengan hadits itu, berarti seluruh Kaum Muslimin adalah pemimpin baik dalam skala yang
luas, yaitu memimpin masyarakatnya; dalam skala sedang, memimpin rumah-tangganya; atau
dalam skala kecil, yaitu memimpin dirinya sendiri.

Mental khusus seorang pemimpin adalah responsible (tanggung-jawab) dan sense of


belonging (rasa memiliki). Dengan dua setting mental inilah seorang Muslim harus bekerja
menghadapi masyarakatnya, karena dari sini tumbuh sikap berusaha memaklumi orang lain
dan tidak malah meminta untuk dimaklumi.

Tingkah-polah masyarakat yang berada di sekiling kita, kita respon dengan sikap maklum.
Sehingga kita mampu menghadapi mereka dengan tenang, tidak emosi serta menghilangkan
dendam kesumat dalam jiwa. Jika mereka mencela kita, menghina kita, mencibir atau yang
sejenisnya; cukuplah kita berdo�a sebagaimana Rasulullah SAW berdo�a untuk penduduk
Tha�if:�Ya Allah ampunilah mereka, karena mereka orang yang tidak mengetahui� (HR.
Bukhary dan <USLIM).

INTERAKSI

1. Heterogenitas adalah anugerah Allah

Heterogentitas merupakan anugerah dari Allah Ta�ala, karena Allah telah berfirman:� Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
mengenal �� �� (Al Hujuraat [49]: 13).

Sehingga heterogenitas bukanlah sebuah perkara yang harus kita sesali, tetapi justru
merupakan hal yang harus kita syukuri. Setiap suku memiliki tradisi dan cara masing-masing;
bahkan setiap orang memiliki perilaku masing-masing meskipun mereka adalah suadara
kembar. Tidak mungkin semua orang itu baik akhlaqnya serta sehat aqalnya, tetapi ada juga
yang rusak moralnya serta kacau aqalnya. Tidak semua orang mudah menerima kebenaran,
tidak semua orang berani berjuang di jalan Allah, tidak semua orang terhindar dari
kriminalitas dan lain-lainnya.

Semua itu merupakan heterogenitas yang ada di muka bumi,yang harus kita sadari
sepenuhnya sebagai anugerah Allah Ta�ala. Sehingga kita tidak mudah sempit dada melihat
perbedaan-perbedaan yang tumbuh di antara manusia, atau juga kita tidak cepat merasa
putus-asa dengan menjalarnya kemaksiatan dalam tubuh masyarakat kita. Semua itu sudah
menjadi hukum alam (sunnatullah) yang memang demikianlah keadaannya.

2. Mengenali obyek da�wah dengan terperinci

Kita harus senantiasa berupaya mengenali obyek da�wah kita dengan teliti. Semakin teliti
kita menegnali obyek da�wahkita, semakin tepat kita memberikan therapi kepada mereka,
serta semakin kecil tingkat kesalahan kita dalam berhadapan dengan mereka.

Setiap masyarakat memiliki potensi beragam serta tingkat sensitifitas yang berbeda.
Permasalahan ini harus kita teliti secara mendalam, sehingga kita dapat menumbuhkan
potensi mereka, seiring dengan upaya kita untuk mereduksi perilaku mereka yang negatif.

3. Berbicara sesuai budaya setempat

Setiap kaum memiliki karakter dan tradisi yang berbeda-beda. Dari sisi bahasa, misalnya,
setiap kaum memiliki kosa-kata yang bervariasi serta dialek yang beragam. Sesama Bahasa
Jawa saja memiliki kosa-kata yang bervariasi serta dialek yang beragam. Antara Bahasa Jawa
Timur, Tengah atau Barat terjadi berbagai macam perbedaan. Bahkan antara Bahasa Jawa di
Jawa Timur sendiri terdapat berbagai ragam perbedaan. Belum lagi antara Bahasa Jawa
dengan bahasa daerah lainnya. Tentu saja terjadi banyak perbedaan. Apalagi antara bahasa
nasional dengan bahasa asing.

Seorang da�i akan sangat mudah diterima masyarakat apabila mengenali bahasa mereka dan
adat komunikasi antar mereka. Penerimaan secara pribadi ini akan berdampak terhadap
penerimaan nilai-nilai yang kita tawarkan kepada mereka, yaitu nilai-nilai Islam. Maka
berbicaralah dengan bahasa masyarakat setempat.

Allah Ta�ala telah berfirman:�Kami tidak mengutus seorang Rasul-pun melainkan dengan
bahasa kaumnya supaya dia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka ��
(Ibrahiim [14]: 4).

4. Berbicara sesuai kadar aqal

Kecerdasan setiap orang tentu saja berbeda, demikian pula dengan kecerdasan rata-rata antara
masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya. Rasulullah SAW memerintahkan supaya
kita berbicara disesuaikan dengan kadar akal masyarakat. Apabila mereka lemah akalnya,
maka berbicaralah dengan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti oleh akal mereka.
Sebaliknya, apabila kita berbicara dengan masyarakat yang lebi cerdas, maka kita dapat
berdiskusi dengan mereka terhadap berbagai hal.

Rasulullah SAW bersabda:�Kami para Nabi diperintahkan supaya berbicara kepada


manusia sesuai dengan kadar akal mereka� (HR. Muslim).

5. Tidak mengumbar janji

Janganlah mudah mengumbar janji kepada masyarakat, karena mereka akan menagih janji
kita untuk direalisasikan. Jika kita kemudian memenuhi janji kita, mereka akan menganggap
sebagai perkara yang biasa; karena memang janji harus ditepati. Sedangkan bila kita tidak
mampu menepati janji, maka masyarakat akan mencemooh kita dan tentu saja kredibilitas
kita di hadapan mereka akan jatuh-berantakan.

Lain lagi apabila kita tidak berjanji. Apabila kita tidak melakukannya, masyarakat akan
maklum, karena memang kita tidak pernah menjanjikannya. Sebaliknya, jika kita memenuhi
sesuatu padahal kita tidak berjanji sebelumnya, masyarakat justru akan salut kepada kita.

Untuk itu, fikirkanlah baik-baik sebelum kita menjanjikan sesuatu kepada masyarakat. Allah
Ta�ala juga telah berfirman ketika mencirikan orang yang beriman:�Dan orang-orang yang
memelihara amanah-amanah (yang dipikulnya) dan janji-janjinya� (Al Mu�minuun [23]:
8)

MUSYAWARAH

Musyawarah merupakan cara penyelesaian masalah di dalam bermasyarakat. Prinsip-prinsip


musyawarah alam Islam telah difirmankan Allah Ta�ala:�Maka disebabkan rahmat Allah-
lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati
kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.
Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya� (Ali Imran [3]:
159).

Dari ayat di atas ada beberapa prinsip musyawarah:

1. Lembut hati

Lembut hati merupakan prinsip pertama di dalam bermusyawarah, terutama untuk pemimpin
musyawarah, atau orang yang mempunyai mental pemimpin. Rasulullah SAW
bersabda:�Setiap kalian adalah pemimpin� (HR. Bukhary), sehingga kita harus memiliki
mental pemimpin pula; yaitu lembut hati dalam berhadapan dengan masyarakat. Terutama
sekali ketika bermusyawarah.

Lembut hati tidak semakna dengan tidak memegang prinsip, tidak tegas, pesimis atau rendah
diri. Tetapi, lembut hati lebih bertumpu kepada menampilkan segala sesuatu dengan halus,
seperti menampilkan ketegasan dengan bahasa yang lembut, mempertahankan prinsip dengan
kehalusan dan sejenisnya.

2. Kelembutan hati merupakan rahmat Allah

Kesadaran ini sangat penting, yaitu kelembutan hati itu semata-mata merupakan rahmat Allah
ta�ala kepada hamba-Nya; bukan karena kepiawaian seseorang dalam menata hatinya.
Perasaan ini penting untuk kita tanamkan dalam diri kita karena:

a. Menghindarkan diri dari rasa sombong dan takabur

b. Menghadirkan kelembutan dengan cara yang disyari�atkan Islam

c. Segala hasilnya dapat kita kembalikan kepada Allah


3. Hindarkan sikap keras dan kasar hati

4. Memaafkan

5. Mendoakan ampun

6. Musyawarah

Ada beberapa prinsip musyawarah:

a. Musyawarah merupakan tempat tertinggi mengambil keputusan

b. Tidak ada musyawarah tandingan yang se-level

c. Habis-habisan dalam musyawarah

7. �Azzam ketika tercapai kesepakatan

8. Tawakkal terhadap keputusan bersama

Demikianlah upaya kita dalam hidup bermasyarakat dan ikut berperan-aktif di dalamnya.
Semoga Allah Ta�ala memberi kekuatan kepada kita untuk merealisasikannya. Amiin �

___

AMAL JAMA’I
Posted on May 28, 2008 by yahyaayyash

1.a. Pengertian Amal Jama’i

Amal Jama’i (gerakan bersama) secara bahasa berarti “sekelompok manusia


yang berhimpun bekerja bersama untuk mencapai tujuan yang sama.”

Al-‘amalul al-jamaa’i berarti bekerja sama berdasarkan kecepakatan dan


bekerja bersama-sama sesuai tugas yang diberikan untuk memantapkan amal.
Jadi, Al-‘amalul al-jamaa’i mendistribusikan amal (pekerjaan) kepada setiap
anggota berdasarkan potensi yang dimilikinya untuk mencapai tujuan.

1.b. Beberapa ciri Amal Jama’i

1. Aktivitas yang dijalankannya harus berdasarkan keputusan jamaah

Dalam konteks gerakan bersama, tindakan yang diambil oleh setiap anggota
sebagai tambahan dari apa yang telah disebutkan harus berada dalam batas-
batas Syar’i.
2. Mempunyai sistem organisasi yang lengkap dan aktivitas dijalankan secara
rapi dan tersusun

Tujuan pengangkatan seorang Ketua dalam suatu organisasi atau jama’ah


bukan semata-mata sebagai lambang, tetapi bertujuan untuk mencapai
tujuan organisasi dan memudahkan jama’ah untuk bergerak dan bertindak
melakukan aktivitas Islami.

Dalam melaksanakan tugas-tugas tersebut tidak semua orang harus


melaksanakannya, dan tidak semua orang harus terlibat dengan semua
kegiatan tersebut. Bahkan sebaiknya masing-masing mengambil porsinya
sendiri-sendiri.

3. Tindakan dan kegiatannya sesuai dengan strategi pendekatan yang telah


digariskan oleh jamaah

4. Seluruh kegiatannya bertujuan untuk mencapai cita-cita yang telah ditetapkan


bersama

1.c. Urgensi amal jama’i

1. Dustur Ilahi :

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar; mereka itulah orang-orang
yang beruntung.” (QS. Ali Imran 3:104)

Dalam ayat ini Allah telah mengisyaratkan tentang wajibnya melaksanakan


dakwah secara amal jama’i.

2. Perjuangan Islam terlalu berat untuk dipikul secara individual karena


perjuangan Islam bertujuan mengikis habis jahiliyah sampai ke akar-akarnya
dan menegakkan Islam sebagai penggantinya.

Tanpa adanya struktur (tandzim) haraki yang setarap dengan struktur yang
dihadapi (jahiliyah) dalam segi kesadaran, penataan dan kekuatan, tugas
perjuangan Islam tak mungkin dapat dihasung meskipun dengan berpayah-
payah dan pengorbanan seluruh kemampuan.

3. Da’wah secara jama’ah adalah da’wah yang paling efektif dan sangat
bermanfaat bagi Gerakan Islam. Sebaliknya da’wah secara sendirian akan
kurang pengaruhnya dalam usaha menanamkan ajaran Islam pada umat
manusia.

4. Beramal jama’i (bergerak secara bersama) akan memperkuat orang-orang


yang lemah dan menambah kekuatan bagi orang-orang yang sudah kuat.
Satu batu bata saja akan tetap lemah betapapun matangnya batu bata
tersebut. Ribuan batu bata yang berserakan tidak akan membentuk
kekuatan, kecuali jika telah menjadi dinding, yaitu antara batu bata yang satu
dengan yang lain telah direkat dan ditata secara rapi.

“Orang Mu’min yang satu dengan orang Mu’min lainnya seperti bangunan yang saling
memperrekat.” (Muttafaq ‘alaih)

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Al Maaidah 5:2)

5. Beramal jama’i sebagai sarana mencapai keridhaan Allah

“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan


yang teratur, seolah-olah mereka adalah bagunan yang tersusun kokoh.” (QS. Ash Shaff 61:4)

6. Dengan amal jama’i balasan yang diberikan berlipat ganda

Allah SWT memberikan ganjaran yang besar kepada ibadah yang dilakukan
secara berjamaah seperti shalat berjamaah dan sebagainya.

7. Iman lebih terpelihara dalam lingkungan amal jama’i

Persatuan dalam amal jama’i merupakan benteng pertahanan dari ancaman


kehancuran. Seorang diri bisa saja lenyap, jatuh atau disergap oleh syethan-
syethan manusia dan jin. Tetapi jika ia berada di dalam Jama’ah maka akan
terlindungi.

Seperti seekor kambing yang berada di tengah kawanannya. Tidak ada


serigala yang berani memangsanya karena perlindungan kawanan itu sendiri.
Serigala akan berani memangsanya manakala kambing itu keluar dari
kawanannya atau berjalan sendirian.

“Kalian harus berjama’ah karena tangan Allah bersama Jama’ah. Barang siapa melesat
sendirian maka ia akan melesat sendirian di neraka.” (Hadits)

“Sesungguhnya syethan adalah serigala manusia dan serigala itu hanya memakan kambing
yang lepas (dari kawanan).” (Hadits)

“Kalian harus ber-Jama’ah, karena syethan itu bersama orang yang sendirian dan dia akan
lebih jauh terhadap dua orang.” (Hadits)

8. Kebathilan yang terorganisir dapat mengalahkan kebaikan yang tidak


terorganisir

1.d. Jamaah Minal Muslimin (Jamaah dari kaum Muslimin)

Jamaah yang ada sekarang adalah jamaah minal muslimin bukan jamaah
muslimin. Artinya, ada jamaah lain yang bergerak dan berdakwah untuk
mencapai jamaah muslimin. Jamaah muslimin adalah khilafah Islamiyah yang
tunggal, tidak boleh ada jamaah setelah berdirinya, karena Nabi Saw. bersabda
untuk membunuh satu dari dua pimpinan jamaah muslimin (khalifah Islamiyah)

1.e. Bahaya Perpecahan Umat. Persatuan : Suatu Kewajiban Islam

Tidak menjadi masalah jika di dalam tubuh Kebangkitan Islam itu terdapat
berbagai amal jama’i, kelompok atau Jama’ah, yang masing-masing memiliki
manhaj tersendiri dalam berkhidmat dan berjuang menegakkan Islam di muka
bumi, sesuatu dengan penentuan sasaran, skala prioritas, sasaran dan
tahapannya.

Tidaklah menjadi masalah, apabila hal itu merupakan ta’addudu tanawwu’


(perbedaan yang bersifat variatif) bukan ta’addudu ta’arudh (perbedaan yang
bersifat kontradiktif). Asalkan semua pihak ada hubungan kerja dan koordinasi.
Sehingga saling menyempurnakan dan menguatkan. Dalam menghadapi
masalah-masalah asasi dan keprihatinan bersama harus mencerminkan satu
barisan, laksana bangunan yang kokoh.

Tetapi yang menjadi masalah adalah jika satu gerakan Islam meluncur-kan
makar terhadap gerakan Islam lainnya. Sehingga musuh itu datang dari dalam
tubuh Kebangkitan Islam itu sendiri.

Tidaklah berbahaya jika terjadi perbedaan pendapat khususnya dalam soal-


soal furu’ (cabang) dan sebagian ushul (pokok) yang tidak prinsipil. Tetapi yang
berbahaya adalah perpecahan dan permusuhan yang telah diperingatkan Allah
dan Rasul-Nya kepada kita.

Islam membenci perpecahan !

“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah
datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat
siksa yang berat” (QS. Ali Imran: 105)

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi
beberapa golongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya
urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan Memberitahukan
kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” (QS. Al An’aam 6:159)

“Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya”. (QS. Asy-Syura
42:13)

“Barang siapa memisahkan diri dari Jama’ah sejengkal kemudian dia mati maka matinya
adalah (mati) jahiliah”. (Muttafaq ‘alaih)

“Jauhkanlah diri kalian dari tindakan merusak hubungan persaudaraan karena tindakan itu
adalah pencukur (agama)” (HR. Tirmidzi)

Islam sangat membenci perpecahan dan perselisihan, sampai Rasulullah saw.


memerintahkan kepada orang yang sedang membaca al-Qur’an agar
menghentikan bacaannya apabila bacaannya itu akan mengakibatkan
perpecahan.

“Bacalah al-Qur’an selama bacaan itu dapat menyatukan hati kalian, tetapi jika kalian
berselisih maka hentikanlah bacaan itu” (Muttafaq ‘alaih)

Artinya bubarlah dan pergilah supaya perselisihan itu tidak berlarut-larut lalu
menimbulkan keburu

You might also like