You are on page 1of 6

Amal shaleh terdiri dua kata yaitu amal dan shaleh.

Rangkaian kata ini sering kita


temui dalam berbagai literatur yang berkaitan dengan agama. Pengertian amal itu
sendiri adalah penggunaan segala daya untuk menghasilkan sesuatu. Sekurangnya
ada empat jenis daya pada manusia yaitu yang pertama adalah daya yang
berkaitan dengan jasad atau daya jasadi, yang kedua adalah daya atau
kemampuan berfikir logika sehingga lazim disebut daya fikir lalu yang ketiga daya
ruhiy yang menuntun kita berfikir abstrak sehingga condong kepada ketauhidan
dan rasa kecintaan akan seni serta yang terakhir adalah daya nasfu atau lazim pula
kita sebut hawa nafsu.

Sedangkan kata shaleh bermakna segala sesuatu yang bersifat baik,


menguntungkan dan berguna. Sehingga jika kita sambungkan kata amal dan shaleh
maka ia akan bermakna kurang lebih adalah penggunaan segala daya yaitu daya
jasadi, daya fikir, daya ruhiy serta daya nafsu untuk menghasilkan sesuatu yang
sifatnya baik, menguntungkan dan berguna. Dalam Al Qur’an banyak kita temui
contoh-contoh amal shaleh yaitu sholat, puasa, zakat, haji, berjihad dan masih
banyak yang lainnya.

Amal shaleh yang amat disukai Alloh SWT adalah amal-amal yang telah diwajibkan
kepada manusia untuk dilaksanakan misalnya sholat lima waktu. Alloh senang bila
hambaNya menambah amal-amal shaleh dalam rangka mendekatkan diri
kepadaNya akan tetapi Ia juga tidak senang bila hambaNya melalaikan amal yang
wajib karena amal yang lain walupun itu adalah amal shaleh. Alloh tidak
menghendaki orang yang melaksanakan sholat sunnah semalam penuh akan tetapi
lalai pada sholat yang wajib karena bangun tidur terlalu siang.

Selanjutnya amal shaleh yang disukai Alloh setelah amal-amal yang wajib adalah
amal yang bisa dirasakan manfaatnya bagi hambaNya yang lain. Dengan kata lain
Alloh juga menghendaki hambaNya memiliki keshalehan sosial yang lazim pula
disebut social responsibility. Hal ini bisa kita lihat dalam banyak ayat dalam Al
Qur’an yang menyambungkan perintah sholat dan perintah zakat yang zakat itu
sendiri adalah ibadah yang bersifat sosial. Alloh menjanjikan balasan yang berlipat
ganda bagi hambaNya yang rela menafkahkan harta yang dimilikinya dijalan Alloh.

Dalam satu riwayat Rosululloh SAW pernah bersabda bahwa ibadah ramadhan
(puasa) seseorang tergantung antara langit dan bumi sampai ia membayar zakat
fitrah untuk dirinya. Banyak orang menganggap ibadah pada bulan ramadhan
hanyalah puasa, solat tarawih dan membaca Al Qur’an sedang ia memandang zakat
fitrah hanya sebatas rutinitas pada akhir ramadhan tanpa menyadari akan
maknanya.
Keshalehan sosial juga bisa berupa hal yang sepele dan bersifat universal misalnya
dengan menyingkirkan duri dijalan. Dan masih banyak contoh keshalehan sosial
yang terdapat dalam Al Qur’an maupun hadits Rosululloh SAW.
Benny Hasmawan
Jakarta

Begitulah hewan, di ukur dari fisik bukan akalnya. Jadi, jika ada manusia di
ukur hanya dari bentuk fisiknya, ganteng atau cantik, seksi atau kekar maka
tidak ada bedanya dengan hewan. Jadi sebetulnya, kontes-kontes ratu
kecantikan dan kontes binaraga adalah kontes hewani yang merendahkan
martabat manusia yang telah diciptakan oleh Allah swt dalam keadaan
sempurna. Wajar saja, ketika manusia tidak menggunakan akal dan
inderanya untuk memahami dan mengamalkan aturan Allah swt maka dia
bagaikan hewan, bahkan lebih rendah dari hewan (Al-A’raf 179).

Secara fisik, manusia juga makhluk yang paling sempurna dibandingkan


makhluk lainnya. Diberikan otak yang ditempatkan dalam kepala yang keras
dan terlindung, betapa berbahayanya jika otak ada di bagian pantat yang
lunak dan gampang terbentur karena sering diduduki. Diberikan dua mata di
depan, betapa rumitnya jika satu mata di depan dan satunya lagi di
belakang, ini orang jalan maju atau mundur.

Manusia lebih sempurna dari malaikat yang tidak memiliki nafsu atau naluri
(gharizah) dan lebih sempurna dari hewan yang tidak memiliki akal (aqli).
Manusia diberikan nafsu oleh Allah swt sehingga bisa menikmati kehidupan,
nafsu makan dan minum untuk melanjutkan kehidupannya dan nafsu
seksual untuk melanjutkan keturunannya. Manusia juga diberikan akal untuk
membuat barang yang bisa meningkatkan kualitas hidupnya, mengetahui
baik dan buruk, serta memahami risalah yang disampaikan Allah swt melalui
rasul-rasul-Nya.

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-


baiknya (At-Tin 4).

Allah swt juga menyediakan sarana yang sangat sempurna agar manusia
bisa bertahan hidup yakni bumi dengan segala isinya. Bumi menyediakan
oksigen untuk bernafas, air sebagai sumber kehidupan, makanan berupa
hewan dan tumbuhan, bahan tambang dari perut bumi dan banyak lagi,
tidak cukup kayu sebagai pena dan air laut sebagai tinta untuk menuliskan
semua nikmat itu. Begitulah wujud kasih sayang Allah swt kepada ciptaan-
Nya.

Di tambah lagi, Allah swt juga menurunkan risalah (aturan) agar manusia
merasa nyaman dalam menjalani kehidupannya, Allah swt mengutus
manusia-manusia terbaik diantara kita (para nabi) untuk menjelaskan aturan
itu. Jika tanpa aturan, maka dapat kita bayangkan betapa-kacau balaunya
kehidupan ini. Berzina sesukanya tanpa pernah mau bertanggung jawab,
merampas harta orang lain yang bukan haknya, membunuh manusia lain
untuk mempertahankan daerahnya seperti yang terjadi di dunia hewan dan
lain-lain. Sementara atas semua perbuatan itu, tidak ada ancaman (sanksi)
baik di dunia maupun akhirat, jadi tidak ada beban untuk melakukannya.

Dari ringkasan di atas, Allah swt menciptakan manusia dalam bentuk tubuh
paling sempurna diantara makhluk lainnya, diberikan nafsu untuk
melanjutkan kehidupan dan keturunannya, diberikan akal untuk berfikir dan
diturunkan risalah (aturan) melalui para nabi-Nya.

Tunggu dulu, manusia sebagai makhluk terbaik bisa saja diberikan tempat
yang paling rendah oleh Allah swt, lanjutan surah At-Tin.

Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya,


kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi
mereka pahala yang tiada putus-putusnya (At-Tin 5-6).

Meskipun Allah swt telah menjadikannya sebagai makhluk terbaik, maka bisa
saja manusia menjadi makhluk yang serendah-rendahnya ketika dia tidak
beriman dan beramal saleh. Tidak cukup beriman saja dengan menjadi
seorang muslim/muslimah tetapi juga harus beribadah kepada Allah swt
(amal saleh).

Dalam surah Al-‘Ashr, Allah swt menyampaikan hal yang sama.


Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat-
menasehati supaya mena’ati kebenaran dan nasehat-menasehati supaya
menetapi kesabaran (Al-‘Ashr 1-3).

Begini, jika ada pernyataan seperti ini, “Orang Padang adalah pedagang,
kecuali ada yang jadi guru” Artinya, mayoritas orang Padang pedagang,
kecuali segelintir orang (minoritas) sebagai guru. Begitu juga makna “Illa”
(kecuali) dalam kalimat illallaziina aamanu, artinya mayoritas manusia
merugi dan dikembalikan ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka),
kecuali (minoritas) yang beruntung yakni mereka yang beriman dan beramal
saleh.

Faktanya memang demikian, umat manusia di bumi saat ini sekitar 6 milyar,
umat Islam sekitar 25% yakni 1,5 milyar. Berarti ada 75% (mayoritas) orang
kafir yang tidak beriman dan sudah pasti masuk neraka, kecuali mereka
bertaubat sebelum ajalnya. Belum lagi, dari 1,5 milyar berapa banyak yang
saleh, kemungkinan besar minoritas tidak saleh. Belum lagi, jika di hitung
mulai dari umat nabi Adam as hingga umat nabi Muhammad saw, berapa
banyak yang beriman dan beramal saleh? Jika kita baca kisah-kisah dalam
Al-Quran maka mayoritas membangkang kepada para nabi, antara lain umat
Nabi Nuh as, Ibrahim as, Luth as, , Musa as hingga Isa as.
Walhasil, iman dan amal saleh akan menghasilkan ketaqwaan, inilah yang
menjadikan seorang manusia mulia (Al-Hujurat 13), kemuliaan bukan di ukur
dari bangsawannya, hartanya atau jabatannya. Seorang bangsawan bisa di
cabut gelarnya begitu saja oleh manusia lain yang lebih berkuasa darinya.
Seorang kaya bisa jatuh miskin dalam sesaat ketika terjadi kebakaran,
gempa, banjir atau tsunami. Seorang pejabat bisa hancur karirnya hanya
gara-gara di jebak dengan seorang wanita. Tetapi ketaqwaan seseorang
membuat dirinya mulia dihadapan Allah swt dan manusia, bahagia di dunia
dan akhirat.

Wallahu a’lam

Amal saleh akan mengundang rahmat Allah SWT dan mendatangkan rasa damai dalam jiwa.
Sebaliknya, amal salah (maksiat) akan mendatangkan keresahan dalam hati dan menjauhkan
rahmat dan pertolongan-Nya.

SUNGGUH beruntung dan berbahagia orang-orang yang mampu menjadikan dirinya sebagai
hamba Allah yang saleh ('ibadillah ash-salehin). Betapa tidak, setiap hari mereka disebut dan
didoakan dalam shalat kaum Muslimin, termasuk diri mereka sendiri, dengan doa tahiyat semoga
keselamatan dilimpahkan kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang sholeh (assalamu
'alaina wa'ala 'ibadillahish shalihin).

Bagi kaum mukmin, menjadi hamba Allah yang saleh (beramal saleh) merupakan keniscayaan.
Amal saleh merupakan buah keimanan. Tidak sempurna iman seseorang jika tidak diikuti dengan
amal saleh. Dalam Alquran, kata iman hampir senantiasa digandengkan dengan kata amal saleh,
seperti dalam QS Al-Ashr ayat 2, Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh.
Dalam surat tersebut ditegaskan, orang yang tidak akan merugi hanyalah mereka yang beriman
dan beramal saleh--serta saling berwasiat dalam kebenaran dan kesabaran. Contoh lain dalam
QS. At-Tin ayat 6, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi
mereka pahala yang tiada putus-putusnya.

Secara sederhana, amal saleh adalah perbuatan baik, yakni perbuatan yang diwajibkan,
disunahkan, dan dibolehkan dalam ajaran Islam. Perbuatan itu menimbulkan manfaat dan
kebaikan bagi dirinya dan orang lain. Amal saleh juga adalah perbuatan menjauhkan diri dari
amal yang haram atau dilarang oleh Allah SWT. Amal salehlah satu-satunya modal dan bekal
untuk hidup selamat dan bahagia di dunia dan di akhirat kelak.

Kata saleh (shaleh) berarti kebaikan atau tiadanya/terhentinya kerusakan, kebalikan dari kata
fasid (rusak). Saleh juga diartikan sebagai bermanfaat dan sesuai. Amal saleh adalah perkejaan
yang jika dilakukan, maka suatu kerusakan akan terhenti atau menjadi tiada; atau bisa juga
diartikan sebagai suatu pekerjaan yang dengan melakukannya diperoleh manfaat dan kesesuaian
(Quraish Shihab, 1997:480).

Syekh Muhammad Abduh mendefinisikan amal saleh sebagai segala perbuatan yang bermanfaat
bagi pribadi, keluarga, kelompok, dan manusia secara keseluruhan. Ahli tafsir Az-Zamakhsyari
mengartikan amal saleh sebagai segala perbuatan yang sesuai dengan dalil akal, Alquran, dan
atau sunnah Nabi Muhammad SAW.

SECARA etimologis, amal saleh adalah segala perbuatan yang tidak merusak atau
menghilangkan kerusakan. Amal saleh juga adalah perbuatan yang mendatangkan manfaat bagi
diri dan orang lain. Dari pengertian itu kita bisa memahami, mengapa Rasulullah SAW
menyebutkan dalam hadisnya, Sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi
manusia lainnya. Amal saleh tidak mendatangkan kerusakan, baik secara fisik maupun mental.

Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda: Mendamaikan dua orang yang berselisih secara
adil, membantu seseorang untuk menaiki hewan tunggangannya atau memuat barang-barangnya
ke atas hewan tersebut, ucapan yang baik, menyingkirkan rintangan di jalan, tersenyum pada
sesama, dan berhubungan intim dengan istri/suami adalah amal saleh.

Hadis tersebut kian menjelaskan, amal saleh adalah amal yang mendatangkan manfaat dan
menghindarkan kerusakan. Mendamaikan orang berselisih jelas mematikan potensi kerusakan
yang ditimbulkan akibat permusuhan--peperangan, aksi kekerasan, penghancuran, dan lain-lain.
Perselisihan selalu berpotensi mengundang nafsu merusak lawan.

Menolong orang lain termasuk amal saleh. Manfaatnya bisa dirasakan juga oleh dirinya sendiri.
Nabi SAW bersabda, Allah akan senantiasa menolong seorang hamba, selama si hamba suka
menolong saudaranya. Alquran menyebutkan dua jenis pertolongan yang dibenarkan, yakni
saling tolong dalam kebaikan dan takwa ('alal birri wat taqwa), dan dua jenis pertolongan yang
tidak dibenarkan, yakni saling bantu dalam permusuhan dan perbuatan dosa ('alal itsmi wal
'udwan).

Sebagai catatan, amal saleh tidak semata-mata diartikan perbuatan baik, tetapi merupakan
perbuatan baik yang dilandasi iman, disertai niat yang ikhlas karena Allah (bukan karena riya'
atau ingin mendapat pujian orang lain), pelaksanaannya sesuai dengan syariat, serta dilakukan
dengan penuh kesungguhan.

Amal saleh akan mengundang rahmat dan berkah Allah SWT, juga mendatangkan rasa damai
dalam jiwa dan pertolongan-Nya tanpa terduga. Sebaliknya, amal salah (maksiat) akan
mendatangkan keresahan dalam hati dan menjauhkan rahmat dan pertolongan-Nya.

SETIAP mukmin tentunya senantiasa berusaha melakukan amal saleh sebagai manifestasi
keimanannya. Apalagi makna hakiki iman adalah mengucapkan dengan lisan, membenarkan
dalam hati, dan mengamalkan dengan amal perbuatan (ikrarun bil lisan, tashdiqun bilqolbi, wa
'amalun bil arkan). Setiap mukmin juga harus senantiasa waspada terhadap hal-hal yang merusak
amal saleh, misalnya dengki (hasad) yang digambarkan Rasulullah bisa merusak amal
sebagaimana api melalap kayu bakar.
Lebih rinci, Rasulullah SAW dalam sebuah hadistnya menyebutkan beberapa sifat atau sikap
yang dapat merusak amal saleh (tuhbitul amal). Pertama, sibuk mengurus kesalahan orang lain
(istighalu bi uyubil khalqi). Mencari-cari dan membuka aib atau kesalahan orang lain termasuk
akhlak tercela yang merusak amal saleh yang telah diperbuat.

Kedua, keras hati (qaswatul qulub). Kondisi keras hati akan menimpa seorang mukmin jika
dirinya tidak dapat menghindar sifat-sifat buruk seperti riya, takabur dan hasud. Termasuk keras
hati adalah tidak mau menerima kebenaran dan nasihat baik. Ketiga, cinta dunia (hubbud dunya),
yakni menjadikan harta dan kedudukan atau hal duniawi lainnya seperti pujian dan popularitas--
sebagai tujuan, bukan sarana.

Keempat, tidak punya rasa malu (qillatul haya) sehingga merasa ringan dan tanpa beban saja ia
melanggar aturan Allah (maksiat). Setiap mukmin pasti punya rasa malu, karena malu memang
sebagian dari iman (hadis), utamanya malu kepada Allah SWT. Rasa malu akan mendorong
perbuatan baik. Sebaliknya, ketiadaan rara malu akan mendorong orang berbuat sekehendak hati
tanpa mengindahkan syariat-Nya.

Kelima, panjang angan-angan (thulul amal), yakni sibuk berangan-angan, berkhayal, tanpa usaha
nyata. Keenam, berbuat aniaya (zhalim), yakni perbuatan yang mendatangkan kerusakan bagi
diri sendiri dan orang lain, tidak proporsional, dan melanggar aturan. Berbuat dosa termasuk
aniaya, yakni aniaya terhadap diri sendiri. Semoga kita senantiasa berusaha dan diberi hidayah
oleh Allah untuk menjadi pelaku amal saleh. Amin! Wallahu a'lam.

You might also like