You are on page 1of 2

AMANKAH MENGKONSUMSI TANAMAN TRANSGENIK?

Rekayasa Genetika (RG), merupakan salah satu teknologi baru dalam bidang biologi.
Salah satu produk RG yang dikenal saat ini adalah tanaman transgenik. Tanaman ini dihasilkan
dengan cara mengintroduksi gen tertentu ke dalam tubuh tanaman sehingga diperoleh sifat yang
diinginkan. Jenis-jenis tanaman transgenik yang telah dikenal diantaranya tanaman tahan hama,
toleran herbisida, tahan antibiotik, tanaman dengan kualitas nutrisi lebih baik, serta tanaman
dengan produktivitas lebih tinggi.
Perkembangan teknologi tanaman transgenik mengalami peningkatan cukup pesat.
Pada awal tahun 1988, baru ada sekitar 23 jenis tanaman transgenik yang diproduksi. Namun
pada tahun 1989, terjadi peningkatan menjadi 30 tanaman dan tahun 1990 terdapat 40 tanaman.
Akan tetapi meskipun perkembangannya cukup pesat, terdapat berbagai kekhawatiran
masyarakat terhadap tanaman transgenik. Seperti kita ketahui bahwa, ”tidak ada teknologi tanpa
resiko”, dan memang masih banyak kelemahan yang harus diperbaiki dan dikontrol dalam
pengembangan tanaman transgenik ini. Beberapa kekhawatiran tersebut diantaranya:
1. Kekhawatiran bahwa tanaman transgenik menimbulkan keracunan
Masyarakat mengkhawatirkan bahwa produk transgenik berupa tanaman tahan
serangga yang mengandung gen Bt (Bacillus thuringiensis) yang berfungsi sebagai racun
terhadap serangga, juga akan berakibat racun pada manusia. Dalam artikel ini, kehawatiran ini
disanggah dengan pendapat bahwa gen Bt hanya dapat bekerja aktif dan bersifat racun jika
bertemu dengan reseptor dalam usus serangga dari golongan yang sesuai virulensinya. Sebagai
contoh gen Cry I pada Bt hanya kompatibel terhadap serangga golongan Lepidoptera, sedangkan
gen Cry III kompatibel terhadap serangga golongan Coleoptera. Selain itu, gen-gen tersebut
hanya dapat berfungsi pada usus serangga yang berpH basa. Sedangkan pada usus manusia, tidak
terdapat reseptor gen Bt dan memiliki pH usus yang bersifat asam. Dengan demikian, penulis
artikel ini berpendapat bahwa tanaman yang mengandung Bt Toxin merupakan pestisida alami
yang aman bagi serangga, hewan dan manusia. Dalam hal ini, pendapat penulis belum cukup
kuat karena masih didasarkan atas asumsi, dan tidak menyodorkan referensi ilmiah yang
mendukungnya. Padahal, banyak artikel lain yang juga mengulas hal serupa dan bersifat
kontradiktif terhadap keberadaan tanaman transgenik, justru didukung oleh data-data ilmiah.
Sebagai contoh penelitian Fares dan El Sayed (1998), melakukan percobaan memberi makan
tikus dengan kentang transgenik Bt var. Kurstaki Cry 1. Hasil yang diperoleh ternyata
memperlihatkan gejala villus ephitelial cell hypertrophy, multinucleation, disrupted microvili,
degenerasi mitokondrial, peningkatan jumlah lisosom, autofagic vacuoles, serta pengaktifan
crypt paneth cell.
2. Kekhawatiran terhadap kemungkinan alergi
Sekitar 1-2% orang dewasa dan 4-6% anak-anak mengalami alergi terhadap
makanan. Penyebab alergi (allergen) tersebut diantaranya brazil nut, crustacean, gandum, ikan,
kacang-kacangan, dan padi. Konsumsi produk makanan dari kedelai yang diintroduksi dengan
gen penghasil protein metionin dari tanaman brazil nut, diduga menimbulkan alergi terhadap
manusia. Hal ini diketahui lewat pengujian skin prick test yang menunjukkan bahwa kedelai
transgenik tersebut memberikan hasil positif sebagai allergen. Dalam artikel ini, penulis
berpendapat bahwa alergi tersebut belum tentu disebabkan karena konsumsi tanaman transgenik.
Hal ini dikarenakan semua allergen merupakan protein sedangkan semua protein belum tentu
allergen. Allergenmemiliki sifat stabil dan membutuhkan waktu yang lama untuk terurai dalam
sistem pencernaan, sedangkan protein bersifat tidak stabil dan mudah terurai oleh panas pada
suhu >65 C sehingga jika dipanaskan tidak berfungsi lagi. Dalam hal ini, lagi-lagi pendapat
tersebut masih berupa asumsi. Akan tetapi, memang saat ini belum ada cara yang dapat
diandalkan untuk menguji makanan RG yang bersifat allergen, sehingga kasus ini masih berupa
prediksi yang belum jelas kesimpulannya.
3. Kekhawatiran terhadap kemungkinan menyebabkan bakteri pada tubuh manusia dan tahan
antibiotik.
Kekhawatiran lain muncul pada tanaman yang diintroduksi antibiotik Kanamicyn
R (Kan R), diduga menyebabkan bakteri dalam tubuh menjadi resisten antibiotik. Hal ini
dibantah oleh penulis yang berpendapat bahwa kemungkinan terjadinya resistensi tersebut kecil
karena sedikit probabilitas terjadinya transfer horizontal gen Kan-R dari tanaman ke usus
manusia. Selain itu, penulis berpendapat bahwa gen Kan R tersebut sudah terinkorporasi ke
dalam genom tanaman, sedangkan tanaman tidak memiliki mekanisme transfer gen ke dalam sel
bakteri. Penulis mengungkapkan sebuah hasil penelitian bahwa resistensi antibiotika pada kasus
tersebut, bukan disebabkan oleh konsumsi tanaman transgenik, namun karena adanya residu
antibiotik yang berlebihan pada air susu sapi yang diminum. Sebelumnya, sapi tersebut disuntik
hormon rBST (hormon peningkat produksi air susu sapi). Meskipun begitu, masih terdapat
kejanggalan lagi, yakni tidak dicantumkannya sitasi peneliti yang dimaksud. Dengan demikian,
pendapat ini belum cukup kuat untuk mendukung keberadaan tanaman transgenik.
Terhadap berbagai pendapat ini, maka muncul pertanyaan:
sebenarnya amankah produk transgenik untuk dikonsumsi? Sampai saat ini
belum ada laporan ilmiah di Indonesia yang membuktikan mengenai bahaya produk transgenik,
selain reaksi alergis (produk ini telah ditarik dari pasaran). Sehingga,sampai saat ini, tanaman
transgenik masih layak untuk dikonsumsi. Akan tetapi, memang diakui bahwa publikasi
mengenai resiko makanan produk RG terhadap hewan dan manusia, masih sangat sedikit.
Padahal mungkin sebenarnya dampak negatif konsumsi tanaman transgenik sudah banyak terjadi
di masyarakat hanya saja tidak banyak data yang membuktikannya. Di negara maju seperti
Amerika, urusan mengenai produk RG ditangani oleh FDA (Badan Makanan dan Obat-Obatan
Amerika). Pihak FDA ini membuat pedoman keamanan pangan melalui telaah ulang produk
transgenik, dengan didasarkan uji reaksi sifat alergen-non alergen, analisis nutrisi, sifat potensial
toksisitas-non toksisitas, sifat fenotip dan reaksi molekuler. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa tanaman transgenik yang diproduksi saat ini masih dalam tahap uji coba, sehingga untuk
mengkonsumsinya, dibutuhkan sikap kritis dan ketelitian masyarakat dalam mencari informasi
dan penggunaannya. Masyarakat tidak perlu bersikap anti terhadap teknologi, namun sebaiknya
dapat menerima dengan sikap kehati-hatian untuk menghindari resiko jangka panjang. Semoga
masih ada harapan untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin baik untuk
kesejah
Diterbitkan di: Juli 06, 2007

You might also like