You are on page 1of 17

Gaidah Rifara

Helen Giovani

Nuraini Pahlawati
Putri Thalita

Sumber Sejarah

Dalam sumber buku kronik kerajaan Liang dan kerajaan Sui di Tiongkok pernah
disebutkan sekitar tahun 506 sampai 581 Masehi terdapat kerajaan Poli yang wilayah
kekuasaannya meliputi Aceh Besar sedangkan dalam Nāgarakṛtāgama di sebut sebagai
Kerajaan Lamuri yang dalam sumber sejarah Arab disebut dengan Lamkrek, Lam Urik,
Rami, Ramni sedangkan dan dalam sumber sejarah Tiongkok lainnya disebut pula dengan
nama Lan Li, Lan-wuli atau Lan Wo Li dengan pelabuhan laut bernama Ilamuridesam
sebagaimana juga pernah disingahi dan ditulis oleh Marco Polo (1292) asal Venesia dalam
buku perjalanan pulang dari Tiongkok menuju ke Persia (Iran) saat itu masih berada
dibawah pengaruh kedaulatan kerajaan Sriwijaya dibawah wangsa (dinasti) Syailendra
dengan raja pertamanya Balaputera Dewa, yang berpusat di Palembang, Sumatera Selatan
yang kuat dan daerah kekuasaannya meluas, meliputi Tulang Bawang, Pulau Bangka,
Jambi, Genting Kra dan pulau Jawa yang kemudian membangun Borobudur.

Berdasarkan kitab Bustanul’ssalatin yang berisi tentang silsilah sultan-sultan Aceh, yang
dikarang oleh Nuruddin ar Raniri tahun 1637 M dan juga berdasarkan berita-berita orang
Eropa diketahui bahwa Kerajaan Aceh telah berhasil membebaskan diri dari kekuasaan
Kerajaan Pedir.

Kesultanan Aceh Darussalam berdiri menjelang keruntuhan dari Samudera Pasai yang
pada tahun 1360 ditaklukkan oleh Majapahit hingga kemundurannya di abad ke-14.
Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera dengan ibu kota Kutaraja (Banda Aceh)
dengan sultan pertamanya adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada pada
Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada tanggal 8 September 1507. Dalam sejarahnya yang
panjang itu (1496 - 1903), Aceh telah mengukir masa lampaunya dengan begitu megah dan
menakjubkan, terutama karena kemampuannya dalam mengembangkan pola dan sistem
pendidikan militer, komitmennya dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, sistem
pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu
pengetahuan, hingga kemampuannya dalam menjalin hubungan diplomatik dengan negara
lain.

Kerajaan Aceh berkembang sebagai kerajaan Islam dan mengalami kejayaan pada masa
pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Secara geografis letak kerajaan Aceh sangat strategis
yaitu di Pulau Sumatera bagian utara dan dekat dengan jalur pelayaran perdagangan
internasional pada masa itu, yaitu di sekitar Selat Malaka.

Awal mula

Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496. Di awal-
awal masa pemerintahannya wilayah Kesultanan Aceh berkembang hingga mencakup
Daya, Pedir, Pasai, Deli dan Aru. Pada tahun 1528, Ali Mughayat Syah digantikan oleh
putera sulungnya yang bernama Salahuddin, yang kemudian berkuasa hingga tahun 1537.
Kemudian Salahuddin digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar yang
berkuasa hingga tahun 1568.

Berikut ini Silsilah para sultan yang pernah berkuasa di kerajaan Aceh Darussalam:

1. Sultan Ali Mughayat Syah (1496-1528 M)


2. Sultan Salahuddin (1528-1537).
3. Sultan Ala‘ al-Din al-Kahhar (1537-1568).
4. Sultan Husein Ali Riayat Syah (1568-1575)
5. Sultan Muda (1575)
6. Sultan Sri Alam (1575-1576).
7. Sultan Zain al-Abidin (1576-1577).
8. Sultan Ala‘ al-Din Mansur Syah (1577-1589)
9. Sultan Buyong (1589-1596)
10. Sultan Ala‘ al-Din Riayat Syah Sayyid al-Mukammil (1596-1604).
11. Sultan Ali Riayat Syah (1604-1607)
12. Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1607-1636).
13. Iskandar Thani (1636-1641).
14. Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam (1641-1675).
15. Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam (1675-1678)
16. Sri Ratu Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688)
17. Sri Ratu Kamalat Syah Zinat al-Din (1688-1699)
18. Sultan Badr al-Alam Syarif Hashim Jamal al-Din (1699-1702)
19. Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui (1702-1703)
20. Sultan Jamal al-Alam Badr al-Munir (1703-1726)
21. Sultan Jauhar al-Alam Amin al-Din (1726)
22. Sultan Syams al-Alam (1726-1727)
23. Sultan Ala‘ al-Din Ahmad Syah (1727-1735)
24. Sultan Ala‘ al-Din Johan Syah (1735-1760)
25. Sultan Mahmud Syah (1760-1781)
26. Sultan Badr al-Din (1781-1785)
27. Sultan Sulaiman Syah (1785-…)
28. Alauddin Muhammad Daud Syah.
29. Sultan Ala‘ al-Din Jauhar al-Alam (1795-1815) dan (1818-1824)
30. Sultan Syarif Saif al-Alam (1815-1818)
31. Sultan Muhammad Syah (1824-1838)
32. Sultan Sulaiman Syah (1838-1857)
33. Sultan Mansur Syah (1857-1870)
34. Sultan Mahmud Syah (1870-1874)
35. Sultan Muhammad Daud Syah (1874-1903)

Masa kejayaan
Sultan Iskandar Muda

Sultan Iskandar muda dinobatkan sebagai sultan pada awal bulan april
tahun 1607 kepemimpinannya kerajaan aceh raya Darussalam diperintahkan
dengan sangat ketat, ini terbukti karena pada masa kepemimpinan beliau
seluruh para bangsawan kerajaan dikontrol dengan keras dan mereka
diharuskan ikut berjaga malam diistana setiap tiga hari sekali tanpa
memakai persenjataan alias tangan kosong.

Setelah semua terkendali iskandar muda juga mengontrol serta memegang


kendali dalam produksi beras, sehingga pada saat kepemimpinan iskandar
muda Negara kerajaan aceh raya Darussalam merupakan pengekpor beras
keluar wilayah, bukan hanya itu ianya juga memperketat pajak kelautan
bagi kapal kapal asing yang berlabuh/singgah di daratan kekuasaan
beliau, serta mengatur kembali pajak perdagangan (pada saat itu
terdapat banyak sekali pedagang yang berasal dari luar asia yaitu
pedagang dari inggris dan belanda) seta pengaturan terhadap harta kapal
yang karam dikawasan perairan Negara kerajaan aceh raya Darussalam..

Dalam hal kemiliteran iskandar muda membangun angkatan perang yang


sangat kuat, Beaulieu (salah seorang peneliti/sodagar yang berada
dikerajaan aceh raya Darussalam pada masa itu ) membuat catatan bahwa
dalam hal kemiliteran terdapat beberapa kelompok pasukan yang dibagi
menjadi:

1. Pasukan darat (angkatan Darat) memiliki personel 40 ribu bentara(serdadu)

2. Armada Laut (angkatan Laut) diperkirakan memiliki 100-200


kapal. Diantaranya:Kapal Yang berdiameter 30 meter dengan kapasitas
awak kapal 300-600 penumpang dengan dilengkapi 3 meriam
Bukan hanya itu saja sultan iskandar muda juga mempekerjakan
seorang yang berasal dari negeri belanda sebagai penasihat perang
kerajaan aceh raya Darussalam yang menggunakan dan mahir dalam taktik
peperangan ala negeri belanda dan perancis

Dengan perhatian beliau terhadap kemiliteran Negara kerajaan aceh raya


Darussalam banyak kemajuan dan keberhasilan yang diperoleh diantaranya:

Benteng deli dijebol oleh sedadu kerajaan aceh raya Darussalam dana beberapa kerajaan
berhasil ditaklukkan seperti:

a. Kerajaan Johor (1613)


b. Kerajaan Pahang (1618)
c. Kerajaan Kedah (1619)
d. serta Kerajaan Tuah (1620)

Iskandar Muda wafat pada 27 Desember 1636. Setelah meninggalnya Sultan


Iskandar Muda, Aceh mengalami kemerosotan demi kemerosotan yang
menghasilkan bencana politik yang menyedihkan.

Kesultanan Aceh mengalami masa keemasan pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar
Muda (1607 - 1636). Pada masa kepemimpinannya, Aceh telah berhasil memukul mundur
kekuatan Portugis dari selat Malaka. Kejadian ini dilukiskan dalam La Grand Encyclopedie
bahwa pada tahun 1582, bangsa Aceh sudah meluaskan pengaruhnya atas pulau-pulau
Sunda (Sumatera, Jawa dan Kalimantan) serta atas sebagian tanah Semenanjung Melayu.
Selain itu Aceh juga melakukan hubungan diplomatik dengan semua bangsa yang melayari
Lautan Hindia. Pada tahun 1586, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap
Portugis di Melaka dengan armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000
tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka dan
semenanjung Melayu. Walaupun Aceh telah berhasil mengepung Melaka dari segala
penjuru, namun penyerangan ini gagal dikarenakan adanya persekongkolan antara Portugis
dengan kesultanan Pahang.
Dalam lapangan pembinaan kesusasteraan dan ilmu agama, Aceh telah melahirkan
beberapa ulama ternama, yang karangan mereka menjadi rujukan utama dalam bidang
masing-masing, seperti Hamzah Fansuri dalam bukunya Tabyan Fi Ma'rifati al-U Adyan,
Syamsuddin al-Sumatrani dalam bukunya Mi'raj al-Muhakikin al-Iman, Nuruddin Al-
Raniri dalam bukunya Sirat al-Mustaqim, dan Syekh Abdul Rauf Singkili dalam bukunya
Mi'raj al-Tulabb Fi Fashil.

Kemunduran

Kemunduran Kesultanan Aceh bermula sejak kemangkatan Sultan Iskandar Tsani pada
tahun 1641. Kemunduran Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya ialah makin
menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatera dan Selat Malaka, ditandai dengan
jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Tapanuli dan Mandailing, Deli serta Bengkulu
kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan
kekuasaan diantara pewaris tahta kesultanan.

Traktat London yang ditandatangani pada 1824 telah memberi kekuasaan kepada Belanda
untuk menguasai segala kawasan British/Inggris di Sumatra sementara Belanda akan
menyerahkan segala kekuasaan perdagangan mereka di India dan juga berjanji tidak akan
menandingi British/Inggris untuk menguasai Singapura.

Pada akhir November 1871, lahirlah apa yang disebut dengan Traktat Sumatera, dimana
disebutkan dengan jelas "Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan terhadap
perluasan kekuasaan Belanda di bagian manapun di Sumatera. Pembatasan-pembatasan
Traktat London 1824 mengenai Aceh dibatalkan." Sejak itu, usaha-usaha untuk menyerbu
Aceh makin santer disuarakan, baik dari negeri Belanda maupun Batavia. Setelah
melakukan peperangan selama 40 tahun, Kesultanan Aceh akhirnya jatuh dan digabungkan
sebagai bagian dari negara Hindia Timur Belanda. Pada tahun 1942, pemerintahan Hindia
Timur Belanda jatuh di bawah kekuasan Jepang. Pada tahun 1945, Jepang dikalahkan
Sekutu, sehingga tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan di ibukota Hindia Timur Belanda
(Indonesia) segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Aceh
menyatakan bersedia bergabung ke dalam Republik indonesia atas ajakan dan bujukan dari
Soekarno kepada pemimpin Aceh Tengku Muhammad Daud Beureueh saat itu[rujukan?].

Penyebab kemunduran Kerajaan Aceh

· Setelah Sultan Iskandar Muda wafat tahun 1636 tidak ada raja-raja besar yang mampu
mengendalikan daerah Aceh yang demikian luas. Di bawah Sultan Iskandar Thani (1637-
1641 M), kemunduran itu mulai terasa dan terlebih lagi setelah meninggalnya Sultan
Iskandar Thani.
· Timbulnya pertikaian yang terus-menerus di Aceh antara golongan bangsawan (teuku)
dengan golongan ulama (teungku) yang mengakibatkan melemahnya Kerajaan Aceh.
· Daerah-daerah kekuasaannya banyak yang melepaskan diri seperti Johor, Pahang,
Perak, Minangkabau dan Siak.

Kerajaan Aceh sepeninggal Sultan Iskandar Thani mengalami kemunduran yang terus
menerus. Hal ini disebabkan kerana naiknya 4 Sultanah berturut-turut sehingga
membangkitkan amarah kaum Ulama Wujudiyah. Padahal, Seri Ratu Safiatudin Seri Ta'jul
Alam Syah Berdaulat Zilullahil Filalam yang merupakan Sultanah yang pertama adalah
seorang wanita yang amat cakap. Beliau merupakan puteri Sultan Iskandar Muda dan Isteri
Sultan Iskandar Thani. Beliau pula menguasai 6 bahasa, Spanyol, Belanda, Aceh, Melayu,
Arab, dan Parsi. Saat itu di dalam Parlemen Aceh yang beranggotakan 96an orang, 1/4
diantaranya adalah wanita. Perlawanan kaum ulama Wujudiyah berlanjut hingga datang
fatwa dari Mufti Besar Mekkah yang menyatakan keberatannya akan seorang Wanita yang
menjadi Sultanah. Akhirnya berakhirlah masa kejayaan wanita di Aceh.

Pada masa perang dengan Belanda, Kesultanan aceh sempat meminta bantuan kepada
perwakilan Amerika Serikta di Singapura yang disinggahi Panglima Tibang Muhammad
dalam perjalanannya menuju Pelantikan Kaisar Napoleon III di Perancis. Aceh juga
mengirim Habib Abdurrahman untuk meminta bantuan kepada Empayar Turki
Uthmaniyyah. Namun Empayar Turki Uthmaniyyah kala itu sudah mengalami masa
kemunduran. Sedangkan Amerika menolak campur tangan dalam urusan Aceh dan
Belanda.

Setelah satu tahun perang, Sultan Aceh Mahmmud Syah mangkat karena wabah Kolera.
Kerabat Sultan, Sultan Muhhamad Dawud Syah ditabalkan sebagai Sultan di Masjid Indra
Puri. Sultan M. Dawud akhirnya meyerahkan diri kepada belanda pada tahun 1903

Awal Kehancuran Kerajaan Aceh Darussalam

MASA Pemerintahan Sulthan Alaiddin Mahmud Syah, Kerajaan Belanda mengultimatum


Kerajaan Aceh tertanggal 26 maret 1873 dengan diikuti pengiriman tentaranya untuk
menyerang Kerajaan Aceh, sehingga pertempuran dua (2) Negara pun tak bisa dielakkan.
Kerajaan Aceh pun dengan segala upaya mempertahankan kedaulatannya, baik melalui
pertahanan maupun dengan cara diplomasi.

Dengan pertahanan, Prajurit Kerajaan Aceh mampu menewaskan Panglima perang tentara
Belanda yakni : Jenderal Mayor J.H.R Kohler. Di bidang diplomasi Kerajaan Aceh pun
mengirim utusan ke Kerajaan Ottoman Turki Usmani serta mengadakan diplomasi ke
Amerika Serikat melalui konsulnya di Singapura.
Setelah gagal dalam Invansi pertama, Kerajaan Belanda menyiapkan Invansi kedua untuk
membumi-hanguskan Kerajaan Aceh agar takluk di bawah pemerintahan Ratu Belanda.
Rakyat Aceh yang beragama Islam dengan semangat Jihad fi sabilillah tetap
mempertahankan Kedaulatan Negaranya Dalam invansi kedua ini, pasukan Belanda
mampu merebut “Dalam” yakni Istana Darud-donya, akhirnya Sulthan Alaiddin Mahmud
Syah terpaksa menyingkir dari dalam.

Dengan keyakinan tinggi untuk tetap berdaulat, Sulthan Aceh dengan ilmu kenegaraannya
yang sudah diakui dunia memindahkan pusat pemerintahan (Ibu kota) ke Indra Puri hingga
pada tahun 1874 beliau meninggal di Samahani karena wabah kolera yang sengaja
didatangkan oleh tentara Belanda dan dimakamkan di Samahani tepatnya di Desa Tumbo
Baro Kec. Kuta Malaka Kab. Aceh Besar.

Setelah baginda Sulthan Alaiddin Mahmud Syah wafat, Para pembesar Kerajaan Aceh
mengangkat Tuanku Muhammad Daud pengganti beliau, sehingga Tuanku Muhammad
Daud bergelar Sulthan Alaiddin Muhammad daud Syah. Karena Sulthan Alaiddin
Muhammad Daud Syah masih sangat muda, maka ditetapkan Tuanku Hasyim Banta Muda
sebagai pemangku sulthan.

Untuk menampakkan masih adanya Pemerintahan yang sah di Kerajaan Aceh kepada
Dunia Internasional, maka sesuai dengan hukum adat Aceh ditabalkanlah Tuanku
Muhammad Daud menjadi sulthan Aceh di Mesjid Indra Puri pada tahun 1878 dengan
pesta rakyat yang sangat meriah. Panglima perang Belanda di Aceh “Van Swieten”
mendengar adanya penambalan sulthan Aceh sangat marah, karena keinginan
Pemerintahan Belanda untuk menggantikan posisi Sulthan Alaiddin Mahmud Syah yang
telah meninggal gagal total.

Dengan ditabalnya Tuanku Muhammad Daud sebagai sulthan Aceh, maka beliau berhak
menyandang gelar Sulthan Alaiddin Muhammad Daud Syah. Di bawah pemerintahan
beliau pun Van Swieten denga gencar menyerbu pusat pemerintahan (Ibu Kota), sehingga
Ibu Kota pun terpaksa dipindahkan hingga beberapa kali hingga sampai ke Keumala
Dalam.

Di Keumala Dalam, Sulthan Alaiddin Muhammad Daud Syah mengangkat Tgk. Chik
Muhammad Saman di Tiro sebagai Panglima tertinggi fi sabilillah Kerajaan Aceh untuk
mengusir Pasukan Kerajaan Belanda hingga Tgk. Muhammad Saman meninggal karena
diracuni oleh seorang janda yang telah diupah oleh tentara Belanda tahun 1891 sehingga
untuk menggantikannya diangkatlah anaknya Tgk. Muhammad Amin (makamnya ada di
Tiro) dengan gelar Tgk. Chik Muhammad Amin di Tiro sebagai pemimpin pasukan fi
sabilillah dengan persetujuan Sulthan Alaiddin Muhammad Daud Syah.

Dengan taktik dan siasat busuk yang dilakukan oleh tentara Belanda dengan menangkap
anak sulthan Aceh dan istrinya yakni : Tuanku Raja Ibrahim dan 2 istrinya Teungku Putroe
Gambo Gadeng dan Pocut Morong pada tahun 1902. Sehingga denga adanya tekanan dari
pihak Belanda, Sulthan Alaiddin Muhammad Daud Syah terpaksa menyerah setelah
bermusyawarah dengan para pembesar Kerajaan Aceh setelah mengamanahkan stempel
“Tjap sikeureung” kepada Tgk Chik di Tiro yang saat itu disandang oleh Tgk. Chik
Muhammad Amin di Tiro. Ini jelas terbukti bahwa ketika Sulthan menanda-tangani surat
penyerahan tanpa tanpa dibubuhi stempel “Tjap sikeureung” yang merupakan stempel
resmi kerajaan Aceh.

Walaupun Sulthan telah menyerah, namun pihak pembesar Kerajaan lainnya bersama
dengan Tgk. Chik Muhammad Amin di Tiro tetap mengadakan perlawanan terhadap
penjajahan Belanda terhadap Negara Aceh. Sehingga Sulthan Alaiddin Muahammad Daud
Syah diasingkan ke Batavia. Lagi-lagi dengan tekad yang tinggi untuk mengembalikan
kedaulatan Kerajaan Aceh kembali seperti semula, Sulthan Alaiddin Muhammad Daud
Syah mengirim surat kepada kepada Kaisar Jepang ketika masih berada di KUTA RADJA.
Ini terbukti ketika tentara Belanda menggeledah rumah kediaman Sulthan, sehingga beliau
diasingkan lagi ke Ambon.

Lagi-lagi Sulthan membuat onar dengan menggerakkan para para nelayan dan pengrajin
cengkeh di Ambon yang keturunan Bugis (Sulthan Aceh sendiri keturunan Bugis) untuk
mengadakan perlawanan. Karena kekhawatiran dari pihak Belanda, sehingga Sulthan
ALaiddin Muhammad Daud Syah dipindahkan lagi ke Batavia hingga beliau meninggal
tahun 1939 dan dimakamkan TPU (tempat pemakaman umum) Rawamangun-Jakarta
Timur.

Perang Aceh

Tuanku Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat, sultan Aceh yang terakhir.

Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret
1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik, namun tidak berhasil merebut
wilayah yang besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883, namun lagi-lagi gagal, dan
pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh.

Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yang telah
berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan
saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama, bukan kepada
sultan. Saran ini ternyata berhasil. Pada tahun 1898, Joannes Benedictus van Heutsz
dinyatakan sebagai gubernur Aceh, dan bersama letnannya, Hendrikus Colijn, merebut
sebagian besar Aceh.

Sultan Muhammad Daud akhirnya menyerahkan diri kepada Belanda pada tahun 1903
setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda.
Kesultanan Aceh akhirnya jatuh seluruhnya pada tahun 1904. Saat itu, hampir seluruh
Aceh telah direbut Belanda.

Perang Aceh

Tahun 1873 pecah perang Aceh melawan Belanda. Perang Aceh disebabkan karena:

1. Belanda menduduki daerah Siak. Akibat dari perjanjian Siak 1858. Dimana
Sultan Ismail menyerahkan daerah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda,
padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda ada dibawah kekuasaan Aceh.
2. Belanda melanggar Siak, maka berakhirlah perjanjian London (1824). Dimana isi
perjanjian London adalah Belanda dan Inggris membuat ketentuan tentang batas-batas
kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis lintang Sinagpura. Keduanya
mengakui kedaulatan Aceh.
3. Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda
yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan Aceh. Perbuatan Aceh ini disetujui Inggris,
karena memang Belanda bersalah.
4. Dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps menyebabkan perairan Aceh
menjadi sangat penting untuk lalulintas perdagangan.
5. Dibuatnya Perjanjian Sumatera 1871 antara Inggris dan Belanda, yang isinya,
Inggris memberika keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh.
Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Sumatera. Belanda mengizinkan
Inggris bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya di Guinea Barat kepada
Inggris.
6. Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik
dengan Konsul Amerika, Italia, Turki di Singapura. Dan mengirimkan utusan ke Turki
1871.
7. Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia dan Turki di
Singapura, Belanda menjadikan itu sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden
Dewan Hindia Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen dengan 2 kapal perangnya datang ke
Aceh dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tengtang apa yang sudah
dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan
keterangan.
Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan
beberapa ancaman diplomatik. Sebuah ekspedisi dengan 3.000 serdadu yang dipimpin
Mayor Jenderal Johan Harmen Rudolf Köhler dikirimkan pada tahun 1874, namun
dikalahkan tentara Aceh, di bawah pimpinan Panglima Polem dan Sultan Machmud Syah,
yang telah memodernisasikan senjatanya. Köhler sendiri berhasil dibunuh pada tanggal 10
April 1873.

Ekspedisi kedua di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten berhasil merebut istana
sultan. Ketika Sultan Machmud Syah wafat pada tanggal 26 Januari 1874, digantikan oleh
Tuanku Muhammad Dawood yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indragiri. Pada 13
Oktober 1880, pemerintah kolonial menyatakan bahwa perang telah berakhir.
Bagaimanapun, perang dilanjutkan secara gerilya dan perang fi'sabilillah dikobarkan, di
mana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1904.

Pada masa perang dengan Belanda, Kesultanan Aceh sempat meminta bantuan kepada
perwakilan Amerika Serikat di Singapura yang disinggahi Panglima Tibang Muhammad
dalam perjalanannya menuju Pelantikan Kaisar Napoleon III dari Perancis. Aceh juga
mengirim Habib Abdurrahman azh-Zhahir untuk meminta bantuan kepada Kalifah
Usmaniyah. Namun Turki Utsmani kala itu sudah mengalami masa kemunduran.
Sedangkan Amerika Serikat menolak campur tangan dalam urusan Aceh dan Belanda.

Perang kembali berkobar pada tahun 1883. Pasukan Belanda berusaha membebaskan para
pelaut Britania Raya yang sedang ditawan di salah satu wilayah kekuasaan Kesultanan
Aceh, dan menyerang kawasan tersebut. Sultan Aceh menyerahkan para tawanan dan
menerima bayaran yang cukup besar sebagai gantinya. Sementara itu, Menteri Perang
Belanda, August Willem Philip Weitzel, kembali menyatakan perang terbuka melawan
Aceh. Belanda kali ini meminta bantuan para pemimpin setempat, di antaranya Teuku
Umar. Teuku Umar diberikan gelar panglima perang besar dan pada 1 Januari 1894
bahkan menerima dana bantuan Belanda untuk membangun pasukannya. Ternyata dua
tahun kemudian Teuku Umar malah menyerang Belanda dengan pasukan baru tersebut.
Dalam perang gerilya ini Teuku Umar bersama Panglima Polem dan Sultan terus tanpa
pantang mundur. Tetapi pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van
Der Dussen di Meulaboh Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nya' Dien istri Teuku Umar siap
tampil menjadi komandan perang gerilya.

Pada tahun 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut
Aceh. Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yang
telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian
memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama,
bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Dr Snouck Hurgronye yang menyamar
selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan
Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh (De Atjehers). Dalam buku
itu disebutkan rahasia bagaimana untuk menaklukkan Aceh.

Isi nasehat Snouck Hurgronje kepada Gubernur Militer Belanda yang bertugas di Aceh
adalah:

1. Mengesampingkan golongan Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan di


Keumala) beserta pengikutnya.
2. Senantiasa menyerang dan menghantam kaum ulama.
3. Jangan mau berunding dengan para pimpinan gerilya.
4. Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya.
5. Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan
langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan sosial rakyat
Aceh.

Pada tahun 1898, Joannes Benedictus van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh pada
1898-1904, kemudian Dr Snouck Hurgronye diangkat sebagai penasehatnya, dan bersama
letnannya, Hendrikus Colijn (kelak menjadi Perdana Menteri Belanda), merebut sebagian
besar Aceh.

Sultan M. Daud akhirnya meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun 1903 setelah dua
istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh
akhirnya jatuh seluruhnya pada tahun 1904. Istana Kesultanan Aceh kemudian
diluluhlantakkan dan diganti dengan bangunan baru yang sekarang dikenal dengan nama
Pendopo Gubernur. Pada tahun tersebut, hampir seluruh Aceh telah direbut Belanda.

Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, dimana dibentuk pasukan marechaussee
yang dipimpin oleh Hans Christoffel dengan pasukan Colone Macannya yang telah mampu
dan menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk mencari dan
mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh.

Taktik berikutnya yang dilakukan Belanda adalah dengan cara penculikan anggota
keluarga Gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan dan Tengku
Putroe (1902). Van der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan
menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli dan berdamai. Van der Maaten dengan
diam-diam menyergap Tangse kembali, Panglima Polem dapat meloloskan diri, tetapi
sebagai gantinya ditangkap putera Panglima Polem, Cut Po Radeu saudara perempuannya
dan beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima Polem meletakkan senjata dan
menyerah ke Lhokseumawe (1903). Akibat Panglima Polem menyerah, banyak penghulu-
penghulu rakyat yang menyerah mengikuti jejak Panglima Polem.乱筆お許しください。
Taktik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan di
bawah pimpinan Van Daalen yang menggantikan Van Heutz. Seperti pembunuhan di Kuto
Reh (14 Juni 1904) dimana 2922 orang dibunuhnya, yang terdiri dari 1773 laki-laki dan
1149 perempuan.

Taktik terakhir menangkap Cut Nya' Dien istri Teuku Umar yang masih melakukan
perlawanan secara gerilya, dimana akhirnya Cut Nya' Dien dapat ditangkap dan diasingkan
ke Sumedang, Jawa Barat.

Surat tanda penyerahan

Van Heutz telah menciptakan surat pendek penyerahan yang harus ditandatangani oleh
para pemimpin Aceh yang telah tertangkap dan menyerah, yang isinya: Raja (Sultan)
mengakui daerahnya sebagai bagian dari daerah Hindia-Belanda. Raja berjanji tidak akan
mengadakan hubungan dengan kekuasaan di luar negeri. Berjanji akan mematuhi seluruh
perintah-perintah yang ditetapkan Belanda. (RH Saragih, J Sirait, M Simamora, Sejarah
Nasional, 1987)

Bangkitnya nasionalisme

Sementara pada masa kekuasaan Belanda, bangsa Aceh mulai mengadakan kerjasama
dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia dan terlibat dalam berbagai gerakan nasionalis
dan politik. Sarekat Islam, sebuah organisasi dagang Islam yang didirikan di Surakarta
pada tahun 1912, tiba di Aceh pada sekitar tahun 1917. Ini kemudian diikuti organisasi
sosial Muhammadiyah pada tahun 1923. Muhammadiyah membangun sebuah sekolah
Islam di Kutaraja (kini bernama Banda Aceh) pada tahun 1929. Kemudian pada tahun
1939, Partai Indonesia Raya (Parindra) membukan cabangnya di Aceh, menjadi partai
politik pertama di sana. Pada tahun yang sama, para ulama mendirikan PUSA (Persatuan
Ulama Seluruh Aceh), sebuah organisasi anti-Belanda.

Perang Dunia II

Aceh kian hari kian terlibat dalam gerakan nasionalis Indonesia. Saat Volksraad
(parlemen) dibentuk, Teuku Nyak Arif terpilih sebagai wakil pertama dari Aceh. (Nyak
Arif lalu dilantik sebagai gubernur Aceh oleh gubernur Sumatra pertama, Moehammad
Hasan).

Seperti banyak penduduk Indonesia dan Asia Tenggara lainnya, rakyat Aceh menyambut
kedatangan tentara Jepang saat mereka mendarat di Aceh pada 12 Maret 1942, karena
Jepang berjanji membebaskan mereka dari penjajahan. Namun ternyata pemerintahan
Jepang tidak banyak berbeda dari Belanda. Jepang kembali merekrut para uleebalang
untuk mengisi jabatan Gunco dan Sunco (kepala adistrik dan subdistrik). Hal ini
menyebabkan kemarahan para ulama, dan memperdalam perpecahan antara para ulama dan
uleebalang. Pemberontakan terhadap Jepang pecah di beberapa daerah, termasuk di Bayu,
dekat Lhokseumawe, pada tahun 1942, yang dipimpin Teungku Abdul Jalil, dan di Pandrah
dan Jeunieb, pada tahun 1944.

Masa Republik Indonesia

Kedudukan Aceh di dalam Republik Indonesia Serikat

41 tahun kemudian semenjak selesainya perang Aceh, Indonesia diproklamasikan oleh


Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945. Ternyata perjuangan untuk bebas dari
cengkraman Belanda belum selesai, sebelum Hubertus Johannes van Mook menciptakan
negara-negara bonekanya yang tergabung dalam RIS (Republik Indonesia Serikat).

Ternyata Aceh tidak termasuk negara bagian dari federal hasil ciptaan Van Mook yang
meliputi seluruh Indonesia yang terdiri dari:

Negara RI, yang meliputi daerah status quo berdasarkan Perjanjian Renville.
Negara Indonesia Timur.
Negara Pasundan, termasuk Distrik Federal Jakarta
Negara Jawa Timur
Negara Madura
Negara Sumatra Timur, termasuk daerah status quo Asahan Selatan dan Labuhan Batu
Negara Sumatra Selatan
Satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri, seperti Jawa Tengah, Bangka-Belitung, Riau,
Daerah Istimewa Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara
dan Kalimantan Timur.
Daerah-daerah Indonesia selebihnya yang bukan daerah-daerah bagian.

Sebagai gantinya, Aceh termasuk ke dalam Republik Indonesia, di mana Republik


Indonesia adalah salah satu negara bagian dari Republik Indonesia Serikat. Sehingga
dengan demikian, Aceh termasuk juga ke dalam sistem Republik Indonesia Serikat,
meskipun tidak berwujud sebagai negara bagian yang terpisah.

Yang terpilih menjadi Presiden RIS adalah Soekarno dalam sidang Dewan Pemilihan
Presiden RIS pada tanggal 15-16 Desember 1949. Pada tanggal 17 Desember 1949
Presiden Soekarno dilantik menjadi Presiden RIS. Sedang untuk jabatan Perdana Menteri
diangkat Mohammad Hatta. Kabinet dan Perdana Menteri RIS dilantik pada tanggal 20
Desember 1949.
Belanda di bawah Ratu Juliana, Perdana Menteri Dr. Willem Drees, Menteri Seberang
Lautan Mr. Maan Sassen dan ketua Delegasi RIS Mohammad Hatta membubuhkan
tandatangannya pada naskah pengakuan kedaulatan RIS oleh Belanda dalam upacara
pengakuan kedaulatan RIS pada tanggal 27 Desember 1949. Pada tanggal yang sama, di
Yogyakarta dilakukan penyerahan kedaulatan RI kepada RIS. Sedangkan di Jakarta pada
hari yang sama, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Wakil Tinggi Mahkota Antonius
Hermanus Johannes Lovink dalam suatu upacara bersama-sama membubuhkan
tandangannya pada naskah penyerahan kedaulatan. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-
1949, Sekretariat Negara RI, 1986)

Kembali ke Negara Kesatuan

Tanggal 8 Maret 1950 Pemerintah RIS dengan persetujuan Parlemen (DPR) dan Senat RIS
mengeluarkan Undang-Undang Darurat No 11 tahun 1950 tentang Tata Cara Perubahan
Susunan Kenegaraan RIS. Berdasarkan Undang-Undang Darurat itu, beberapa negara
bagian menggabungkan ke RI, sehingga pada tanggal 5 April 1950 yang tinggal hanya tiga
negara bagian yaitu, RI, NST (Negara Sumatera Timur), dan NIT (Negara Indonesia
Timur).

Pada tanggal 14 Agustus 1950 Parlemen dan Senat RIS mengesahkan Rancangan Undang-
Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia hasil panitia bersama.

Pada rapat gabungan Parlemen dan Senat RIS pada tanggal 15 Agustus 1950, Presiden RIS
Soekarno membacakan piagam terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada
hari itu juga Presiden Soekarno kembali ke Yogya untuk menerima kembali jabatan
Presiden RI dari Pemangku Sementara Jabatan Presiden RI Mr. Asaat. (30 Tahun
Indonesia Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986)

Maklumat Negara Islam Indonesia Aceh

3 tahun setelah RIS bubar dan kembali menjadi RI, Daud Beureueh di Aceh
memaklumatkan Negara Islam Indonesia di bawah Imam Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo pada tanggal 20 September 1953.

Daud Beureueh menyerah

Bulan Desember 1962, 7 bulan setelah Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo Imam NII
tertangkap (4 Juni 1962) di atas Gunung Geber di daerah Majalaya oleh kesatuan-kesatuan
Siliwangi dalam rangka Operasi Bratayudha, Daud Beureueh di Aceh menyerah kepada
Penguasa Daulah Pancasila setelah dilakukan "Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh" atas
prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel M.Jasin. (30 Tahun Indonesia
Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986)

Hasan Di Tiro mendeklarasi Negara Aceh Sumatera

14 tahun kemudian setelah Daud Beureueh pada masa Hasan Tiro pada tanggal 4
Desember 1976 mendeklarasikan kemerdekaan Aceh Sumatra.

Akhir konflik

Pada 15 Agustus 2005, GAM dan pemerintah Indonesia akhirnya berhasil mencapai
kesepakatan damai untuk mengakhiri konflik berkepanjangan tersebut.

Pada 26 Desember 2004, sebuah gempa bumi besar menyebabkan tsunami yang melanda
sebagian besar pesisir barat Aceh, termasuk Banda Aceh, dan menyebabkan kematian
ratusan ribu jiwa.

Di samping itu telah muncul aspirasi dari beberapa wilayah NAD, khususnya di bagian
barat, selatan dan pedalaman untuk memisahkan diri dari NAD dan membentuk 2 provinsi
baru yang disebut Aceh Leuser Antara yang terdiri dari Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo
Lues, Aceh Tenggara dan Aceh Singkil, serta Aceh Barat Selatan atau ABAS yang terdiri
dari Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Simeulue, Aceh Barat dan Aceh Jaya. 4
Desember 2005 diadakan Deklarasi bersama di Gelora Bung Karno, Jakarta yang dihadiri
ratusan orang dan 11 bupati yang ingin dimekarkan wilayahnya, dan dilanjutkan dengan
unjukrasa yang menuntut lepasnya 11 kabupaten tadi dari Aceh.

Pada 15 Agustus 2005, GAM dan pemerintah Indonesia akhirnya menandatangani


persetujuan damai sehingga mengakhiri konflik antara kedua pihak yang telah berlangsung
selama hampir 30 tahun.

Hubungan dgn Barat - Inggris


Pada abad ke-16 Ratu Inggris Elizabeth I mengirimkan utusan bernama Sir James
Lancester kepada Kerajaan Aceh dan mengirim surat yg ditujukan: "Kepada Saudara
Hamba Raja Aceh Darussalam." serta seperangkat perhiasan yg tinggi nilainya. Sultan
Aceh kala itu menerima maksud baik "saudarinya" di Inggris dan mengizinkan Inggris utk
berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-
hadiah yg berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yg ditulis di atas
kertas yg halus dgn tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih".
Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat Sultan
Aceh yg masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris tertanggal tahun 1585:
I am the mighty ruler of the Regions below the wind who holds sway over the land of Aceh
and over the land of Sumatra and over all the lands tributary to Aceh which stretch from
the sunrise to the sunset.
(Hambalah sang penguasa perkasa Negeri-negeri di bawah angin yg terhimpun di atas
tanah Aceh dan atas tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah wilayah yg tunduk kepada
Aceh yg terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam).

Hubungan yg mesra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari
Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah utk Sultan
Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dgn nama Meriam Raja
James.

Hubungan dgn Barat - Belanda


Selain Kerajaan Inggris Pangeran Maurits – pendiri dinasti Oranje– juga pernah mengirim
surat dgn maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut
maksud baik mereka dgn mengirimkan rombongan utusan ke Belanda. Rombongan
tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. Rombongan inilah yg dikenal sebagai orang
Indonesia pertama yg singgah di Belanda. Dalam kunjungan Tuanku Abdul Hamid sakit
dan akhir meninggal dunia. Ia dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dgn dihadiri
oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun krn orang Belanda belum pernah
memakamkan orang Islam maka beliau dimakamkan dgn cara agama Nasrani di
pekarangan sebuah gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yg diresmikan
oleh Mendiang Yang Mulia Pangeran Bernhard suami mendiang Ratu Juliana dan
Ayahanda Yang Mulia Ratu Beatrix.

Hubungan dgn Barat - Ottoman


Pada masa Iskandar Muda Kerajaan Aceh mengirim utusan utk menghadap Sultan
Kekaisaran Ottoman yg berkedudukan di Konstantinopel. Karena saat itu Sultan Ottoman
sedang gering maka utusan Kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lama sehingga
mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan utk kelangsungan hidup
mereka. Lalu pada akhir ketika mereka diterima oleh sang Sultan persembahan mereka
hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik
hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yg cakap dalam ilmu
perang utk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula masih ada hingga kini dikenal
dgn nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjut Sultan Ottoman mengirimkan sebuah
bintang jasa kepada Sultan Aceh.

Hubungan dgn Barat - Perancis


Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis
tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yg sangat berharga bagi Sultan
Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhir mereka mempersembahkan
serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam buku Danis Lombard
mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda-benda berharga. Pada
masa itu Kerajaan Aceh merupakan satu-satu kerajaan Melayu yg memiliki Balee
Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut Istana
Kesultanan Aceh luas tak kurang dari dua kilometer. Istana tersebut bernama Istana Dalam
Darud Do (kini Meuligo Aceh kediaman Gubernur). Di dalam meliputi Medan Khayali dan
Medan Khaerani yg mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda
juga memerintahkan utk memindahkan aliran Sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istana
(sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat mengalir tenang di sekitar Meuligoe). Di
sanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.

You might also like