You are on page 1of 26

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS GADJAH MADA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

JURUSAN FISIKA

PRODI GEOFISIKA

AGAMA ISLAM
AMALAN DAN PAHALANYA

Disusun Oleh :
IBNU SALEH HABIBI

08/265535/PA/11883

YOGYAKARTA
JUNI
2009
AMALAN DAN PAHALANYA

8 Waktu yang Dianjurkan Membaca Surat Al Ikhlash

Surat Al Ikhlas banyak sekali memiliki kelebihan, marilah kita lihat waktu mana saja
kita dianjurkan membaca surat ini.
Pertama, waktu pagi dan sore hari. Pada waktu ini, kita dianjurkan membaca surat Al
Ikhlash bersama dengan maw’idzatain (surat Al Falaq dan surat An Naas) masing-
masing sebanyak tiga kali. Keutamaan yang diperoleh adalah: akan dicukupkan dari
segala sesuatu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

,
َ ‫ت َت ْكف‬
‫ِيك مِنْ ُك ِّل َشىْ ٍء‬ َ َ‫ِين ُتصْ ِب ُح َثال‬
ٍ ‫ث مَرَّ ا‬ َ ‫ِين ُت ْمسِ ى َوح‬ ِ ‫» قُ ْل « (قُ ْل ه َُو هَّللا ُ أَ َح ٌد) َو ْال ُم َعوِّ َذ َتي‬
َ ‫ْن ح‬
“Bacalah “Qul huwallahu ahad (surat Al Ikhlas) dan Al Muwa’idzatain (surat Al Falaq
dan An Naas)” ketika sore dan pagi hari sebanyak tiga kali, ini akan mencukupkanmu
dari segala sesuatu.” (HR. Abu Daud no. 5082. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa
Dho’if Sunan Abi Daud mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Kedua, sebelum tidur. Pada waktu ini, kita dianjurkan membaca surat Al Ikhlash, Al
Falaq, An Naas dengan terlebih dahulu mengumpulkan kedua telapak tangan, lalu
keduanya ditiup, lalu dibacakanlah tiga surat ini. Setelah itu, kedua telapak tangan
tadi diusapkan pada anggota tubuh yang mampu dijangkau dimulai dari kepala,
wajah, dan tubuh bagian depan. Cara seperti tadi diulang sebanyak tiga kali.
Dari ‘Aisyah, beliau radhiyallahu ‘anha berkata,

‫ُوذ ِب َربِّ ْال َفلَ ِق ) َو ( قُ ْل‬ ُ ‫ِيه َما ( قُ ْل ه َُو هَّللا ُ أَ َح ٌد ) َو ( قُ ْل أَع‬ ِ ‫ِيه َما َف َق َرأَ ف‬ ِ ‫ثف‬ َ ‫ان إِ َذا أَ َوى إِلَى ف َِراشِ ِه ُك َّل لَ ْيلَ ٍة َج َم َع َك َّف ْي ِه ُث َّم َن َف‬
َ ‫َك‬
‫ث‬ َ َ‫اع مِنْ َج َس ِد ِه َي ْبدَأ ُ ِب ِه َما َعلَى َر ْأسِ ِه َو َوجْ ِه ِه َو َما أَ ْق َب َل مِنْ َج َس ِد ِه َي ْف َع ُل َذل َِك َثال‬ َ ‫اس ) ُث َّم َي ْم َس ُح ِب ِه َما َما اسْ َت َط‬ ُ ‫أَع‬
ِ ‫ُوذ ِب َربِّ ال َّن‬
ٍ ‫مَرَّ ا‬
‫ت‬

“Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ketika berada di tempat tidur di setiap malam,
beliau mengumpulkan kedua telapak tangannya lalu kedua telapak tangan tersebut
ditiup dan dibacakan ’Qul huwallahu ahad’ (surat Al Ikhlash), ’Qul a’udzu birobbil
falaq’ (surat Al Falaq) dan ’Qul a’udzu birobbin naas’ (surat An Naas). Kemudian
beliau mengusapkan kedua telapak tangan tadi pada anggota tubuh yang mampu
dijangkau dimulai dari kepala, wajah, dan tubuh bagian depan. Beliau melakukan
yang demikian sebanyak tiga kali.” (HR. Bukhari no. 5017)

Ketiga, ketika ingin meruqyah (membaca do’a dan wirid ketika sakit).
Bukhari membawakan bab dalam shohihnya ‘Meniupkan bacaan ketika ruqyah’. Lalu
dibawakanlah hadits serupa di atas dan dengan cara seperti dijelaskan dalam point
kedua. Kemudian ‘Aisyah mengatakan,

‫ان َيأْ ُم ُرنِى أَنْ أَ ْف َع َل َذل َِك ِب ِه‬


َ ‫َفلَمَّا ا ْش َت َكى َك‬
“Tatkala Nabi shallallahu sakit, dia memerintahkanku untuk melakukan demikian
(seperti ketika mau tidur).” (HR. Bukhari no. 5748)

Jadi tatkala meruqyah, kita dianjurkan membaca surat Al Ikhlash, Al Falaq, An Naas
dengan cara:

Terlebih dahulu mengumpulkan kedua telapak tangan lalu keduanya ditiup lalu
dibacakanlah tiga surat tersebut. Setelah itu, kedua telapak tangan tadi diusapkan
pada anggota tubuh yang mampu dijangkau dimulai dari kepala, wajah, dan tubuh
bagian depan. Cara seperti ini diulang sebanyak tiga kali.

Keempat, wirid seusai shalat (sesudah salam). Sesuai shalat dianjurkan membaca
surat Al Ikhlash, Al Falaq dan An Naas masing-masing sekali. Namun khusus ketika
selesai shalat maghrib dan shalat shubuh, masing-masing surat tadi dibaca tiga kali.
(HR. Abu Dawud, An Nasai. Lihat pula Shahih At-Tirmidzi. Lihat Hisnul Muslim, Sa’id
bin Ali bin Wahf Al Qohthoni)
Kelima, dibaca ketika mengerjakan shalat sunnah fajar (qobliyah shubuh). Ketika itu,
surat Al Ikhlash dibaca bersama surat Al Kafirun. Surat Al Kafirun dibaca pada raka’at
pertama setelah membaca Al Fatihah, sedangkan surat Al Ikhlash dibaca pada raka’at
kedua.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

} ‫ { قل هو هللا أحد } و { قل يا أيها الكافرون‬: ‫نعمت السورتان يقرأ بهما في ركعتين قبل الفجر‬
“Sebaik-baik surat yang dibaca ketika dua raka’at qobliyah shubuh adalah Qul
huwallahu ahad (surat Al Ikhlash) dan Qul yaa ayyuhal kaafirun (surat Al Kafirun).”
(HR. Ibnu Khuzaimah. Syaikh Al Albani mengatakan dalam Silsilah Ash Shohihah bahwa
hadits ini shohih)

Keenam, dibaca ketika mengerjakan shalat sunnah ba’diyah maghrib. Ketika itu,
surat Al Ikhlash dibaca bersama surat Al Kafirun. Surat Al Kafirun dibaca pada raka’at
pertama setelah membaca Al Fatihah, sedangkan surat Al Ikhlash dibaca pada raka’at
kedua.
Abdullah bin Mas’ud mengatakan,

ُ ُ ْ‫َما أُحْ صِ ى َما َسمِع‬


ِ ‫صالَ ِة ْال َفجْ ِر‬
‫ب‬ ِ ‫ب َوفِى الرَّ ْك َع َتي‬
َ ‫ْن َق ْب َل‬ ِ ‫ َي ْق َرأ فِى الرَّ ْك َع َتي‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ُول هَّللا‬
ِ ‫ْن َبعْ َد ْال َم ْغ ِر‬ ِ ‫ت مِنْ َرس‬
) ‫ُون) َو (قُ ْل ه َُو هَّللا ُ أَ َح ٌد‬
َ ‫(قُ ْل َيا أَ ُّي َها ْال َكافِر‬.
“Aku tidak dapat menghitung karena sangat sering aku mendengar bacaan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat pada shalat dua raka’at ba’diyah maghrib
dan pada shalat dua raka’at qobliyah shubuh yaitu Qul yaa ayyuhal kafirun (surat Al
Kafirun) dan qul huwallahu ahad (surat Al Ikhlash).” (HR. Tirmidzi. Syaikh Al Albani
dalam Misykatul Mashobih mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Ketujuh, dibaca ketika mengerjakan shalat witir tiga raka’at. Ketika itu, surat Al
A’laa dibaca pada raka’at pertama, surat Al Kafirun pada raka’at kedua dan surat Al
Ikhlash pada raka’at ketiga.
Dari ‘Abdul Aziz bin Juraij, beliau berkata,

“Aku menanyakan pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha: Apa surat yang dibaca oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (setelah membaca Al Fatihah) ketika shalat
witir?”
‘Aisyah mengatakan,
) ‫كان يقرأ في األولى ب ( سبح اسم ربك األعلى ) وفي الثانية ب ( قل يا أيها الكافرون ) وفي الثالثة ب ( قل هو هللا أحد‬
‫والمعوذتين‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca pada raka’at pertama: Sabbihisma
robbikal a’la (surat Al A’laa), pada raka’at kedua: Qul yaa ayyuhal kafiruun (surat Al
Kafirun), dan pada raka’at ketiga: Qul huwallahu ahad (surat Al Ikhlash).” (HR. Abu
Daud dan Tirmidzi. Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih mengatakan bahwa
hadits ini shohih)

Kedelapan, dibaca ketika mengerjakan shalat Maghrib (shalat wajib) pada malam
jum’at. Surat Al Kafirun dibaca pada raka’at pertama setelah membaca Al Fatihah,
sedangkan surat Al Ikhlash dibaca pada raka’at kedua.
Dari Jabir bin Samroh, beliau mengatakan,

)‫ ( قل يا أيها الكافرون ) و ( قل هو هللا أحد‬: ‫كان النبي صلى هللا عليه وسلم يقرأ في صالة المغرب ليلة الجمعة‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa ketika shalat maghrib pada malam Jum’at
membaca Qul yaa ayyuhal kafirun’ dan ‘Qul ‘ huwallahu ahad’. ” (Lihat Syarhus
Sunnah. Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih mengatakan bahwa hadits ini
shohih)

Demikianlah pembahasan kita mengenai surat Al Ikhlash. Ini baru sebagian dari
kandungan surat Al Ikhlash yang kami paparkan sebatas yang kami ketahui. Semoga
pembahasan kali ini bermanfaat bagi pembaca sekalian. Semoga bisa menjadi ilmu
yang bermanfaat dan dapat membuahkan amal sholeh. Semoga Allah senantiasa
memudahkan kepada kita dalam mempelajari Al Qur’an dan memahami kandungan
isinya.
Alhmadulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ’ala nabiyyina
Muhammad wa ’ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Do’akanlah Saudaramu di Saat Dia Tidak Mengetahuinya


Inilah mungkin yang banyak dilupakan oleh banyak orang atau mungkin belum
diketahui. Padahal di antara do’a yang mustajab (terijabahi/terkabul) adalah do’a
seorang muslim kepada saudaranya. Berikut kami bawakan beberapa hadits yang
shahih yang dibawakan oleh Bukhari dalam kitabnya Adabul Mufrod. Bukhari
membawakan bab dalam kitabnya tersebut: Bab278- Do’a Seseorang kepada
Saudaranya di Saat Saudaranya Tidak Mengetahuinya. Semoga bermanfaat.

Hadits pertama
Dari Abu Bakar Ash Shidiq radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

“‫”إن دعوة األخ في هللا تستجاب‬


“Sesungguhnya do’a seseorang kepada saudaranya karena Allah adalah do’a yang
mustajab (terkabulkan).“

(Shohih secara sanad)

Hadits kedua
Dari Shofwan bin ‘Abdillah bin Shofwan –istrinya adalah Ad Darda’ binti Abid Darda’-,
beliau mengatakan,

‫ فادع هللا‬:‫ قالت‬.‫ نعم‬: ‫ أتريد الحج العام ؟ قلت‬:‫ قالت‬.‫ ولم أجد أبا الدرداء‬،‫ فوجدت أم الدرداء في البيت‬،‫قدمت عليهم الشام‬
‫لنا بخير؛ فإن النبي صلى هللا عليه وسلم كان يقول‬
“Aku tiba di negeri Syam. Kemudian saya bertemu dengan Ummud Darda’ (ibu mertua
Shofwan, pen) di rumah. Namun, saya tidak bertemu dengan Abud Darda’ (bapak
mertua Shofwan, pen). Ummu Darda’ berkata, “Apakah engkau ingin berhaji tahun
ini?” Aku (Shofwan) berkata, “Iya.”

Ummu Darda’ pun mengatakan, “Kalau begitu do’akanlah kebaikan padaku karena
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,”

: “ ‫ ولك‬،‫ آمين‬:‫ قال‬،‫ كلما دعا ألخيه بخير‬،‫ عند رأسه ملك موكل‬،‫إن دعوة المرء المسلم مستجابة ألخيه بظهر الغيب‬
‫ يأثر عن النبي صلى هللا عليه وسلم‬،‫ فقال مثل ذلك‬،‫ فلقيت أبا الدرداء في السوق‬:‫ قال‬.”‫بمثل‬.
“Sesungguhnya do’a seorang muslim kepada saudaranya di saat saudaranya tidak
mengetahuinya adalah doa’a yang mustajab (terkabulkan). Di sisi orang yang akan
mendo’akan saudaranya ini ada malaikat yang bertugas mengaminkan do’anya.
Tatkala dia mendo’akan saudaranya dengan kebaikan, malaikat tersebut akan
berkata: Amin. Engkau akan mendapatkan semisal dengan saudaramu tadi.”

Shofwan pun mengatakan, “Aku pun bertemu Abu Darda’ di pasar, lalu Abu Darda’
mengatakan sebagaimana istrinya tadi. Abu Darda’ mengatakan bahwa dia menukilnya
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
(Shohih) Lihat Ash Shohihah (1399): [Muslim: 48-Kitab Adz Dzikr wad Du’aa’, hal.
88]

Hadits ketiga
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, beliau berkata bahwa seseorang mengatakan,

ْ ‫اللَّ ُه َّم‬
‫اغفِرْ لِى َولِم َُح َّم ٍد َوحْ دَ َنا‬
“Ya Allah ampunilah aku dan Muhammad saja!”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,

ٍ ‫لَ َق ْد َح َج ْب َت َها َعنْ َن‬


ٍ ‫اس َكث‬
‫ِير‬
“Sungguh engkau telah menyempitkan do’amu tadi dari do’a kepada orang banyak.”

(Shohih) Lihat Al Irwa’ (171): [Bukhari: 78-Kitab Al Adab, 27-Bab kasih sayang
terhadap sesama manusia dan terhadap hewan ternak, dari Abu Hurairah]

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits-hadits di atas

Pertama: Islam sangat mendorong umatnya agar dapat mengikat hubungan antara
saudaranya sesama muslim dalam berbagai keadaan dan di setiap saat.
Kedua: Do’a seorang muslim kepada saudaranya karena Allah di saat saudaranya tidak
mengetahuinya adalah do’a yang sangat utama dan do’a yang akan segera terijabahi
(mustajab). Orang yang mendo’akan saudaranya tersebut akan mendapatkan semisal
yang didapatkan oleh saudaranya.
Ketiga: Ada malaikat yang bertugas mengaminkan do’a seorang muslim kepada
suadaranya di saat saudaranya tidak mengetahuinya.
Keempat: Malaikat tidaklah mengaminkan do’a selain do’a dalam kebaikan.
Kelima: Sebagaimana terdapat dalam hadits ketiga di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengingkari Arab Badui di mana dia membatasi rahmat Allah yang luas
meliputi segala makhluk-Nya, lalu dibatasi hanya pada dirinya dan Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam saja.

Inilah beberapa pelajaran berharga dari hadits di atas. Janganlah lupakan saudaramu
di setiap engkau bermunajat dan memanjatkan do’a kepada Allah, apalagi orang-
orang yang telah memberikan kebaikan padamu terutama dalam masalah agama dan
akhiratmu. Ingatlah ini!
Semoga Allah selalu menambahkan kepada kita ilmu yang bermanfaat.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush shalihaat. Allahummanfa’anaa bi maa


‘allamtanaa wa ‘alimnaa maa yanfa’unaa wa zidna ‘ilmaa. Wa shallallahu ‘ala
nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.

Sedekah Tidaklah Mesti Dengan Harta

Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,


ُ ُ َ َ ‫ َيا َرسُو َل هَّللا ِ َذ َه‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِّ‫ َقالُوا لِل َّن ِبى‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِّ‫ب ال َّن ِبى‬ ِ ‫أَنَّ َناسًا مِنْ أَصْ َحا‬
‫ُور‬ِ ‫ور ِباألج‬ ِ ‫ب أهْ ُل الدُّث‬
‫ون إِنَّ ِب ُك ِّل‬
َ ُ‫ص َّدق‬ َ ‫ َقا َل « أَ َولَي‬.‫ُول أَ ْم َوال ِِه ْم‬
َّ ‫ْس َق ْد َج َع َل هَّللا ُ لَ ُك ْم َما َت‬ ِ ‫ون ِبفُض‬ َ ُ‫ص َّدق‬ َ ‫ُون َك َما َنصُو ُم َو َي َت‬ َ ‫صلِّى َو َيصُوم‬ َ ‫ون َك َما ُن‬ َ ُّ‫صل‬
َ ‫ُي‬
‫صدَ َق ٌة َوفِى‬ َ ‫ص َد َق ٌة َو َن ْه ٌى َعنْ ُم ْن َك ٍر‬ َ ِ‫ص َد َق ٌة َوأَ ْم ٌر ِب ْال َمعْ رُوف‬
َ ‫ص َد َق ٌة َو ُك ِّل َت ْهلِيلَ ٍة‬
َ ‫ص َد َق ٌة َو ُك ِّل َتحْ مِي َد ٍة‬ َ ‫ص َد َق ًة َو ُك ِّل َت ْك ِب‬
َ ‫ير ٍة‬ َ ‫يح ٍة‬َ ‫َتسْ ِب‬
‫ان َعلَ ْي ِه‬ َ ‫ َقالُوا َيا َرسُو َل هَّللا ِ أَ َيأْتِى أَ َح ُد َنا َشه َْو َت ُه َو َي ُكونُ لَ ُه فِي َها أَجْ ٌر َقا َل « أَ َرأَ ْي ُت ْم َل ْو َو‬.» ‫ص َد َق ٌة‬
َ ‫ض َع َها فِى َح َر ٍام أَ َك‬ َ ‫بُضْ ِع أَ َح ِد ُك ْم‬
‫ان لَ ُه أَجْ ٌر‬
َ ‫ض َع َها فِى ْال َحالَ ِل َك‬
َ ‫ك إِ َذا َو‬ َ ِ‫فِي َها ِو ْز ٌر َف َك َذل‬

“Sesungguhnya sebagian dari para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam


berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, orang-orang
kaya lebih banyak mendapat pahala, mereka mengerjakan shalat sebagaimana kami
shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, dan mereka bershodaqoh
dengan kelebihan harta mereka”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Bukankah Allah telah menjadikan bagi kamu sesuatu untuk bershodaqaoh?
Sesungguhnya tiap-tiap tasbih adalah shodaqoh, tiap-tiap tahmid adalah shodaqoh,
tiap-tiap tahlil adalah shodaqoh, menyuruh kepada kebaikan adalah shodaqoh,
mencegah kemungkaran adalah shodaqoh dan persetubuhan salah seorang di antara
kamu (dengan istrinya) adalah shodaqoh “. Mereka bertanya, “ Wahai Rasulullah,
apakah (jika) salah seorang di antara kami memenuhi syahwatnya, ia mendapat
pahala?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tahukah engkau jika
seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa. Demikian pula jika ia
memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia mendapat pahala”. (HR. Muslim no.
2376)

Saatnya Mengambil Pelajaran Dari Telaga Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam

Para Shahabat Bersemangat Dalam Melakukan Kebaikan


Kita dapat melihat dalam hadits ini bahwa para shahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in
sangat bersemangat dalam melakukan kebaikan dan saling berlomba-lomba dalam
melakukan amal kebaikan dan amal sholih. Setiap di antara mereka ingin
mendapatkan sebagaimana yang didapati oleh yang lainnya.
Dalam hadits ini terlihat bahwa shahabat-shahabat yang miskin mendatangi Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengadukan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengenai orang-orang kaya yang sering membawa banyak pahala karena sering
bersedekah dengan kelebihan harta mereka. Namun, pengaduan mereka ini bukanlah
hasad (iri) dan bukanlah menentang takdir Allah. Akan tetapi, maksud mereka adalah
untuk bisa mengetahui amalan yang bisa menyamai perbuatan orang-orang kaya.
Shahabat-shahabat yang miskin ingin agar amalan mereka bisa menyamai orang kaya
yaitu dalam hal sedekah walaupun mereka tidak memiliki harta. Akhirnya, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan mereka solusi bahwa bacaan dzikir, amar
ma’ruf nahi mungkar, dan berhubungan mesra dengan istri bisa menjadi sedekah.
Marilah Gemar untuk Bersedekah
Dalam hadits ini, kita dapat melihat bahwa shahabat-shahabat yang kaya gemar sekali
untuk berinfak dengan kelebihan harta mereka. Untuk lebih memotivasi kita untuk
banyak berinfak, kita dapat melihat pada firman Allah Ta’ala,

‫ُضاعِ فُ لِ َمنْ َي َشا ُء َوهَّللا ُ َواسِ ٌع‬ ْ ‫يل هَّللا ِ َك َم َث ِل َح َّب ٍة أَ ْن َب َت‬
َ ‫ت َسب َْع َس َن ِاب َل فِي ُك ِّل ُس ْن ُبلَ ٍة ِم َئ ُة َح َّب ٍة َوهَّللا ُ ي‬ ِ ‫ون أَ ْم َوالَ ُه ْم فِي َس ِب‬ َ ‫َم َث ُل الَّذ‬
َ ُ‫ِين ُي ْنفِق‬
‫َعلِي ٌم‬
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan
hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh
bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa
yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS.
Al Baqarah [2] : 261)

Inilah permisalan yang Allah gambarkan yang menunjukkan berlipat gandanya pahala
orang yang berinfak di jalan Allah dengan selalu selalu mengharap ridho-Nya. Dan
ingatlah bahwa setiap kebaikan akan dibalas 10 hingga 700 kali lipat.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, “Ayat ini merupakan isyarat bahwa setiap
amal sholih yang dilakukan akan diiming-imingi pahala yang berlimpah bagi
pelakunya. Sebagaimana Allah mengiming-imingi tanaman bagi siapa yang
menanamnya di tanah yang baik (subur).”

Sedekah Tidak Hanya Berupa Harta


Dapat kita lihat dalam hadits ini bahwa suri tauladan kita –Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam- memberikan petunjuk kepada kita bahwa sedekah bukanlah hanya
dengan harta sehingga orang-orang miskin pun bisa melakukannya. Di sini, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa bentuk sedekah yang lainnya adalah
dengan bacaan tasbih yaitu dzikir Subhanallah, bacaan takbir yaitu dzikir Allahu
akbar, bacaan tahmid yaitu dzikir Alhamdulillah, dan bacaan tahlil yaitu dzikir Laa
ilaha illallah. Begitu juga termasuk sedekah adalah mengajak orang lain yang lalai
untuk melakukan ketaatan dan melarang orang lain dari perbuatan yang mungkar.
Perbuatan ini semua termasuk sedekah yang mampu dilakukan oleh orang miskin dan
bisa dilakukan setiap saat. Sedangkan, orang kaya hanya mungkin dapat bersedekah
pada satu waktu dan bukan setiap saat.

Berhubungan Intim dengan Istri Juga Termasuk Sedekah


Dalam hadits ini juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan di antara
bentuk sedekah yang lain adalah jima’ (bersenggama) dengan istri.
Namun, tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memaparkan yang demikian,
para shahabat langsung timbul tanda tanya. Bagaimana bisa seseorang mendatangi
istrinya dengan syahwat termasuk sedekah?
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab keraguan dari para shahabat ini dengan
menggunakan qiyas bil’aqsi (analogi yang berkebalikan). Yaitu beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam mengatakan “Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya
pada yang haram, dia berdosa. Demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada
yang halal, ia mendapat pahala.”

Ada perkataan yang sangat bagus sekali dari An Nawawi tatkala menjelaskan makna
hadits ini. Beliau rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah bahwa syahwat jima’ adalah
syahwat yang paling disukai oleh para Nabi ‘alaihimush sholatu was salam dan orang-
orang sholih. Mereka mengatakan, ’Karena di dalam syahwat tersebut terdapat
maslahat (manfaat) diniyyah (agama) dan duniawiyyah (dunia) di antaranya adalah
bisa menjaga pandangan, menahan diri dari zina, bisa menghasilkan anak dan
memperbanyak umat ini hingga hari kiamat. Syahwat selain jima’ lebih akan
mengeraskan hati sedangkan syahwat jima’ ini lebih akan melembutkan
(mententramkan) hati’.” (Dinukil dari Ad Durotus Salafiyyah, hal 186)

Sedekah Ada yang Wajib dan Sunnah


Macam-macam sedekah yang disebutkan di atas yaitu bacaan dzikir dan sebagainya,
ada yang wajib dan sunnah.
Bacaan takbir, ada yang wajib dan ada yang tidak wajib. Takbiratul ihram dalam
shalat termasuk kewajiban dan bacaan takbir sesudah shalat adalah anjuran (sunnah).
Begitu juga dengan bacaan tahlil, tasbih, dan tahmid.
Amar ma’ruf nahi mungkar yaitu memerintahkan kepada ketaatan dan mencegah dari
kemungkaran, ini juga ada yang wajib yaitu fardhu ‘ain bagi yang memiliki
kemampuan dan ada yang sifatnya fardhu kifayah yaitu apabila sebagian telah
melakukkannya dan mencukupi maka yang lain menjadi gugur kewajibannya, juga ada
yang hukumnya mustahab (dianjurkan).
Begitu juga berhubungan dengan istri termasuk sedekah. Dan sedekah ini terkadang
menjadi wajib dan terkadang cuma sekedar anjuran.
Apabila seseorang takut dirinya akan terjerumus dalam zina jika tidak mendatangi
istrinya maka mendatangi istrinya dalam kondisi ini menjadi wajib. Dan jika tidak
seperti ini, maka hukum mendatangi istri adalah dianjurkan.

Cukupkanlah Diri dengan yang Halal


Dari hadits ini terdapat suatu faedah yang sangat penting yaitu ‘barangsiapa
mencukupkan diri dengan yang halal maka itu akan menjadi qurbah (bentuk ibadah)
dan sedekah’.

Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,


َ ‫َوفِى بُضْ ِع أَ َح ِد ُك ْم‬
‫صدَ َق ٌة‬
“Dan persetubuhan salah seorang di antara kamu (dengan istrinya) adalah shodaqoh.”
(HR. Muslim)

Namun, perlu diperhatikan bahwa suatu perbuatan mubah bisa bernilai pahala jika
disertai dengan niat ikhlas untuk mengharapkan wajah Allah.
Dalil yang menunjukkan hal ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

‫ِك‬ َ ْ‫ك لَنْ ُت ْنف َِق َن َف َق ًة َت ْب َتغِى ِب َها َوجْ َه هَّللا ِ إِالَّ أ ُ ِجر‬
َ ‫ َح َّتى َما َتجْ َع ُل فِى فِى امْ َرأَت‬، ‫ت َعلَ ْي َها‬ َ ‫إِ َّن‬
“Tidaklah nafkah yang engkau cari untuk mengharapkan wajah Allah kecuali engkau
akan diberi balasan karenanya, sampai apa yang engkau masukkan dalam mulut
istrimu.” (HR. Bukhari no. 56)
Juga dapat dilihat pada firman Allah Ta’ala,
‫ف‬َ ‫ضا ِة هَّللا ِ َف َس ْو‬ ِ ‫ف أَ ْو إِصْ اَل ٍح َبي َْن ال َّن‬
َ ْ‫اس َو َمنْ َي ْف َع ْل َذل َِك ا ْبت َِغا َء َمر‬ ٍ ‫ص َد َق ٍة أَ ْو َمعْ رُو‬
َ ‫ِير مِنْ َنجْ َوا ُه ْم إِاَّل َمنْ أَ َم َر ِب‬
ٍ ‫اَل َخي َْر فِي َكث‬
‫ُن ْؤتِي ِه أَجْ رً ا َعظِ يمًا‬
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan
dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau
mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian
karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang
besar.” (QS. An Nisa’ [4] : 114)

An Nawawi dalam Syarh Muslim 6/16 mengatakan,


‫ َو ُي َثاب َعلَ ْي ِه‬، ‫ار َطا َعة‬
َ ‫ص‬ َ ‫أَنَّ ْال ُم َباح إِ َذا َق‬
َ ‫ص َد ِب ِه َوجْ ه هَّللا َت َعالَى‬
“Sesungguhnya perbuatan mubah, jika dimaksudkan dengannya untuk mengharapkan
wajah Allah Ta’ala, maka dia akan berubah menjadi suatu ketaatan dan akan
mendapatkan balasan (ganjaran).”

Namun ada catatan penting yang harus diperhatikan bahwa perkara mubah itu bisa
berpahala kalau disertai dengan niat untuk mengharapkan wajah Allah. Tetapi ingat
bahwa perkara mubah tersebut hanyalah sebagai sarana saja dan tidak menjadi
ibadah itu sendiri.

Semoga Allah selalu memberikan ilmu yang bermanfaat dan memberi petunjuk untuk
melakukan amal sholih. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin dan
semoga Allah membalas amalan ini.

Shalat Sunnah Rawatib Di Waktu Zhuhur

Dari Abdullah bin As Sa’ib, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam biasa menunaikan shalat 4 raka’at (2 raka’at salam, 2 raka’at salam) setelah
waktu zawal (matahari bergeser ke barat), sebelum shalat zhuhur (dilaksanakan).

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ini adalah waktu dibukakannya pintu
langit. Aku suka jika amalan sholehku naik pada saat itu.” (HR. Tirmidzi no. 478. At
Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan. Syaikh Ahmad Syakir menshohihkan
hadits ini)
Hadits ini menunjukkan keutamaan shalat 4 raka’at sebelum zhuhur. Shalat ini biasa
disebut pula dengan shalat zawal dan dia termasuk shalat rawatib qobliyah zhuhur.

Seputar Shalat Sunnah Rawatib Zhuhur

Shalat rawatib zhuhur dapat dikerjakan dengan 3 cara berikut.


1. Shalat 4 raka’at sebelum dan 4 raka’at sesudahnya.
2. Shalat 4 raka’at sebelum dan 2 raka’at sesudahnya.
3. Shalat 2 raka’at sebelum dan 2 raka’at sesudahnya.

Semua cara ini bisa dikerjakan.

Di antara dalil yang menunjukkan rincian di atas adalah :

Pertama

Dari Ummu Habibah, beliau mengatakan bahwa beliau mendengar Rasulullah


shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa menjaga shalat 4 raka’at
sebelum zhuhur dan 4 raka’at sesudahnya, maka Allah mengharamkan neraka
baginya.”(HR. Tirmidzi no. 428 dan Ibnu Majah no. 1160. Syaikh Al Albani
menshohihkan hadits ini dalam Shohih wa Dho’if Sunan Ibnu Majah)

Hadits ini menunjukkan dianjurkannya mengerjakan shalat 4 raka’at sebelum dan


sesudah zhuhur, juga keutamaan bagi yang selalu merutinkannya.

Kedua

Dari Abdullah bin Syaqiq, beliau mengatakan bahwa beliau menanyakan pada ‘Aisyah
tentang shalat sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aisyah lantas
menjawab, “Beliau biasanya mengerjakan shalat 4 raka’at sebelum zhuhur di
rumahku. Lalu beliau keluar untuk shalat zhuhur bersama para sahabat. Kemudian
beliau masuk rumah dan mengerjakan shalat 2 raka’at.”
Hadits ini menunjukkan disyari’atkannya pula shalat 4 raka’at sebelum dan 2 raka’at
sesudah zhuhur.

Namun perlu diperhatikan bahwa mengerjakan shalat 4 raka’at di sini adalah dengan 2
raka’at kemudian salam dan 2 raka’at kemudian salam. Karena keumuman hadits tadi
dikhususkan dengan hadits : Shalat sunnah pada malam dan siang hari adalah
dengan 2 raka’at salam dan 2 raka’at salam.(HR. An Nasa’i dan Ibnu Majah. Syaikh Al
Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Ibnu Majah menshohihkan hadits ini)

Ketiga

Dari Ibnu Umar, beliau mengatakan, “Aku menghafal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam 10 raka’at : 2 raka’at sebelum zhuhur dan 2 raka’at sesudahnya.”

Hadits ini menunjukkan disyari’atkannya pula shalat 2 raka’at sebelum dan 2 raka’at
sesudah zhuhur.

Intinya, setiap muslim bisa memilih ketiga cara ini, bahkan bisa berganti-ganti.

Bagaimana jika luput dari shalat 4 raka’at sebelum zhuhur?


Kalau luput dari shalat 4 raka’at sebelum zhuhur maka boleh mengerjakannya ketika
selesai melaksanakan shalat zhuhur. Dalilnya adalah :

Aisyah mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika luput mengerjakan 4
raka’at sebelum zhuhur, beliau mengerjakannya sesudah melaksanakan shalat zhuhur.

Bagaimana jika luput dari dua raka’at ba’da zhuhur?


Boleh mengqodho shalat ini setelah shalat ashar sebelum matahari menguning, namun
hendaknya hal ini tidak dijadikan kebiasaan.
Dalam shohih Bukhari Muslim diceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah disibukkan dengan masuk islamnya beberapa orang dari kaum ‘Abdul Qoys.
Lalu beliau luput dari shalat 2 raka’at ba’da zhuhur dan mengqodhonya setelah shalat
ashar.
Mudah-mudahan kita dimudahkan oleh Allah melaksanakan amalan ini.

Ingatlah saudaraku bahwa orang yang senantiasa melaksanakan amalan wajib, lalu
menyempurnakannya dengan amalan sunnah, mereka inilah orang-orang yang
termasuk wali Allah yang disebut As Sabiquun Al Muqorrobun. Mereka inilah yang akan
mendapatkan keutamaan sebagaimana disebutkan dalam Hadits Wali. Allah akan
senantiasa memberi petunjuk pada penglihatan, pendengaran, kaki dan tangan
mereka. Jika orang seperti ini meminta pada Allah, niscaya Allah akan memberinya.
Jika dia meminta perlindungan pada Allah, niscaya Allah akan melindunginya.

Semoga puasa kita di hari asyura ini diterima

Sungguh puasa memiliki keutamaan yang sangat besar bagi pelakunya. Tidakkah
engkau mengetahui bahwa puasa adalah rahasia antara hamba dan Rabbnya?!
Dalam riwayat Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,

« ‫م‬َ ‫ص ْو‬َّ ‫ل إِال َّ ال‬


َّ ‫ج‬ َ ‫ف َقا‬
َ ‫ل اللَّ ُه َع َّز َو‬ ٍ ‫ض ْع‬ِ ‫ة‬ ِ َ‫مائ‬ِ ‫س ْب ِع‬َ ‫ش ُر أَ ْمثَالِ َها إِلَى‬
ْ ‫س َن ُة َع‬ َ ‫ف ا ْل‬
َ ‫ح‬ ُ ‫م ُيضَا َع‬
َ ‫ن آ َد‬
ِ ‫ل ا ْب‬
ِ ‫م‬
َ ‫ل َع‬
ُّ ‫ُك‬
‫جلِى‬ ْ َ‫ن أ‬ ْ ‫ش ْه َوتَ ُه َوطَ َعا َم ُه ِم‬ َ ‫ع‬ ُ ‫ه َي َد‬ِ ِ‫ج ِزى ب‬ ْ َ‫» َف ِإنَّ ُه لِى َوأَنَا أ‬

“Setiap amalan kebaikan anak Adam akan dilipatgandakan menjadi 10 hingga 700 kali
dari kebaikan yang semisal. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (yang artinya), “Kecuali
puasa, amalan tersebut untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya karena dia
telah meninggalkan syahwat dan makanannya demi Aku.” (HR. Muslim no. 1151)
Bagi orang yang berpuasa juga akan disediakan pintu surga yang khusus untuk mereka.
Inilah kenikmatan di akhirat yang dikhususkan bagi orang yang berpuasa.

‫َال‬
ُ ‫ ُيق‬، ‫م‬ ْ ‫ه‬
ُ ‫ح ٌد َغ ْي ُر‬َ َ‫ل ِم ْن ُه أ‬ ُ ‫خ‬ ُ ‫ ال َ يَ ْد‬، ‫ة‬ِ ‫م ا ْل ِقيَا َم‬َ ‫مونَ يَ ْو‬ ُ ِ‫صائ‬َّ ‫ل ِم ْن ُه ال‬ ُ ‫خ‬ ُ َّ‫ل لَ ُه ال َّري‬
ُ ‫ يَ ْد‬، ‫ان‬ ُ ‫ة بَابًا ُيقَا‬ َ ‫إِنَّ فِى ا ْل‬
ِ ‫ج َّن‬
‫ح ٌد‬َ َ‫ل ِم ْن ُه أ‬ ْ ‫خ‬ ُ ‫م يَ ْد‬ْ َ‫ َفل‬، ‫ق‬ َ ِ‫خلُوا ُأغْ ل‬ َ ‫ َف ِإذَا َد‬، ‫م‬ ْ ‫ه‬
ُ ‫ح ٌد َغ ْي ُر‬َ َ‫ل ِم ْن ُه أ‬
ُ ‫خ‬ ُ ‫مونَ َفيَ ُق‬
ُ ‫ ال َ يَ ْد‬، َ‫ومون‬ ُ ِ ‫ص ائ‬ َ ‫أَ ْي‬
َّ ‫ن ال‬
”Sesungguhnya di surga ada sebuah pintu yang bernama Ar-Royyaan. Pada hari kiamat
orang-orang yang berpuasa akan masuk surga melalui pintu tersebut dan tidak ada
seorang pun yang masuk melalui pintu tersebut kecuali mereka. Dikatakan kepada
mereka,’Di mana orang-orang yang berpuasa?’ Maka orang-orang yang berpuasa pun
berdiri dan tidak ada seorang pun yang masuk melalui pintu tersebut kecuali mereka.
Jika mereka sudah masuk, pintu tersebut ditutup dan tidak ada lagi seorang pun yang
masuk melalui pintu tersebut”. (HR. Bukhari no. 1896 dan Muslim no. 1152)
Juga dalam ayat yang mulia ini dijelaskan mengenai balasan bagi orang yang
berpuasa. Allah Ta’ala berfirman,
‫ة‬ َ ‫م فِي اأْل َيَّا ِم ا ْل‬
ِ َ‫خالِي‬ ْ َ ‫ما أ‬
Jْ ‫سلَ ْف ُت‬ َ ِ‫هنِي ًئا ب‬
َ ‫اش َر ُبوا‬
ْ ‫ُكلُوا َو‬

”(Kepada mereka dikatakan): “Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal
yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu”.” (QS. Al Haqqah [69]: 24)
Mujahid dan selainnya mengatakan, ”Ayat ini turun pada orang yang berpuasa:
Barangsiapa yang meninggalkan makan, minum, dan syahwatnya karena Allah, maka
Allah akan memberi ganti dengan yang makanan dan minuman yang lebih baik.”
(Latho’if Ma’arif, hal. 36)
Penjelasan-penjelasan tadi adalah motivasi agar kita gemar melakukan puasa.
Karena kita sekarang berada di bulan Muharram, ada suatu amalan yang sangat mulia
ketika itu yaitu puasa hari ’Asyura. Hari ’Asyura -menurut mayoritas ulama- adalah
tanggal 10 Muharram dan bukan tanggal 9 Muharram sebagaimana pendapat Ibnu
Abbas. Yang lebih tepat adalah pendapat mayoritas ulama sesuai dengan yang nampak
jelas pada hadits (baca: zhohir hadits) dan sesuai dengan tuntunan lafazh. Ulama yang
menyatakan hari Asyura adalah tanggal 10 Muharram yaitu Sa’id bin Al Musayyib, Al
Hasan Al Bashri, Malik, Ahmad, Ishaq dan Khola’iq. (Lihat Syarh Muslim, 4/114).
Lalu apa saja keutamaan puasa tersebut? Semoga dengan mengetahui keutamaannya
kita terdorong untuk melaksanakan puasa yang satu ini. Ya Allah, mudahkanlah
urusan ini.
Puasa di Bulan Muharram, Seutama-utamanya Puasa

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mendorong kita untuk banyak melakukan


puasa pada bulan tersebut sebagaimana sabdanya,

ِ ‫صال َ ُة اللَّ ْي‬


‫ل‬ َ ‫ة‬ َ ‫صال َ ِة َب ْع َد ا ْل َف ِري‬
ِ ‫ض‬ َّ ‫ل ال‬ َ ‫ح َّر ُم َوأَ ْف‬
ُ ‫ض‬ ُ ‫ه ا ْل‬
َ ‫م‬ ِ َّ‫ش ْه ُر الل‬
َ َ‫صّيَا ِم َب ْع َد َر َمضَان‬
ِ ‫ل ال‬ َ ‫أَ ْف‬
ُ ‫ض‬

”Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah –
Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat
malam.” (HR. Muslim no. 1163)

Dari hadits di atas, Ibnu Rojab rahimahullah mengatakan, ”Hadits ini dengan tegas
mengatakan bahwa seutama-utamanya puasa sunnah setelah puasa di bulan
Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, Muharram.” Beliau rahimahullah juga
mengatakan bahwa puasa di bulan Muharram adalah seutama-utamanya puasa sunnah
muthlaq. (Latho’if Ma’arif, hal. 36)

Namun yang kita ketahui bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam banyak berpuasa
di bulan Sya’ban bukan bulan Muharram. Bagaimana menjawab hal ini?
An Nawawi menjawab keraguan semacam ini dengan dua jawaban:
Pertama; mungkin saja Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengetahui keutamaan
berpuasa pada bulan Muharram di akhir hayat hidupnya.
Kedua; mungkin juga beliau shallallahu ’alaihi wa sallam mendapat udzur sehingga
tidak bisa melakukan banyak puasa di bulan Muharram. Mungkin beliau banyak
melakukan safar, sakit atau ada keperluan lainnya ketika itu. (Lihat Syarh Shohih
Muslim, 4/185)

Bahkan dikatakan oleh Ibnu Rojab bahwa di antara salaf yang melakukan puasa di
bulan Muharram sebulan penuh adalah Ibnu ’Umar dan Al Hasan Al Bashri. (Lihat
Latho’if Ma’arif, hal. 36)

Puasa ’Asyura’ akan Menghapus Dosa Setahun yang Lalu


Dari hari-hari yang sebulan itu, puasa yang paling ditekankan untuk dilakukan adalah
puasa pada hari ’Asyura’ yaitu pada tanggal 10 Muharram karena berpuasa pada hari
tersebut akan menghapuskan dosa-dosa setahun yang lalu.

Abu Qotadah Al Anshoriy berkata bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam pernah
ditanyakan mengenai (keutamaan) puasa hari ’Asyura. Beliau shallallahu ’alaihi wa
sallam menjawab,
« ‫ضيَ َة‬ َ ‫الس َن َة ا ْل‬
ِ ‫ما‬ َّ َ ‫» ُي‬
‫ك ِ ّف ُر‬
”Puasa ’Asyura’ akan menghapus dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim no. 1162)

Apa Hukum Puasa ’Asyura?

An Nawawi menjelaskan, ”Para ulama bersepakat bahwa hukum berpuasa pada hari
’Asyura adalah sunnah dan bukan wajib. Namun mereka berselisih mengenai hukum
puasa ’Asyura di awal-awal Islam yaitu ketika disyariatkannya puasa Asyura sebelum
puasa Ramadhan. Menurut Imam Abu Hanifah, hukum puasa Asyura di awal-awal Islam
adalah wajib. Sedangkan dalam Syafi’iyah ada dua pendapat yang masyhur. Yang
paling masyhur, yang menyatakan bahwa hukum puasa Asyura semenjak disyariatkan
adalah sunnah dan puasa tersebut sama sekali tidak wajib. Namun dulu, puasa Asyura
sangat-sangat dianjurkan untuk dilaksanakan. Ketika puasa Ramadhan disyariatkan,
hukum puasa Asyura masih dianjurkan namun tidak seperti pertama kalinya. Pendapat
kedua dari Syafi’iyah adalah yang menyatakan hukum puasa Asyura di awal Islam itu
wajib dan pendapat kedua ini sama dengan pendapat Abu Hanifah.” (Syarh Shohih
Muslim, 4/114)

Yang jelas, hukum puasa ’Asyura saat ini adalah sunnah dan bukanlah wajib. Namun,
hendaklah kaum muslimin tidak meninggalkan amalan yang sangat utama ini, apalagi
melihat ganjaran yang begitu melimpah. Juga ada ganjaran lain yang dapat kita lihat
yang ditujukan bagi orang yang gemar melakukan amalan sunnah, sebagaimana
disebutkan dalam hadits qudsi berikut ini.
‫ص َر ُه‬
َ َ‫ َوب‬، ‫ه‬ ِ ِ‫م ُع ب‬َ ‫س‬ْ َ‫م َع ُه الَّ ِذى ي‬
ْ ‫س‬
َ ‫ت‬ ْ َ‫ َفإِذَا أ‬، ‫حبَّ ُه‬
ُ ‫حبَ ْب ُت ُه ُك ْن‬ ِ ‫ح َّتى ُأ‬
َ ‫ل‬ َّ َ‫ب إِل‬
ِ ِ‫ى بِال َّن َواف‬ ُ ‫ل َع ْب ِدى يَ َت َق َّر‬ُ ‫َو َما يَ َزا‬
‫ن‬ ِ ِ‫ َولَئ‬، ‫طيَ َّن ُه‬ِ ‫سأَلَنِى ألُ ْع‬
َ ْ‫ َوإِن‬، ‫شى بِ َها‬ ِ ‫م‬ ْ َ‫جلَ ُه الَّتِى ي‬ ُ ‫ َويَ َد ُه الَّتِى يَ ْبط‬، ‫ه‬
ْ ‫ُش بِ َها َو ِر‬ ِ ِ‫ص ُر ب‬ِ ‫الَّ ِذى ُي ْب‬
ِ ُ‫اس َت َعا َذنِى أل‬
‫عي َذنَّ ُه‬ ْ
“Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah
sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi
petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk
pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada
tangannya yang ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia
gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku
mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya.”
(HR. Bukhari no. 2506).

Orang yang senantiasa melakukan amalan sunnah (mustahab) akan mendapatkan


kecintaan Allah, lalu Allah akan memberi petunjuk pada pendengaran, penglihatan,
tangan dan kakinya. Allah juga akan memberikan orang seperti ini keutamaan dengan
mustajabnya do’a. (Lihat Fathul Qowil Matin)

Lebih Baik Lagi Ditambah Berpuasa pada Tanggal 9 Muharram

Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma berkata ketika Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
melakukan puasa hari ’Asyura dan memerintahkan kaum muslimin untuk
melakukannya, kemudian pada saat itu ada yang berkata,
‫صا َرى‬ ُ ‫م ُه ا ْليَ ُه‬
َ ‫ود َوال َّن‬ ُ ّ‫ظ‬
ِ ‫م ُت َع‬ ِ َّ‫ل الل‬
ٌ ‫ه إِنَّ ُه يَ ْو‬ َ ‫سو‬
ُ ‫يَا َر‬.
”Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashara.”
Lantas beliau shallallahu ’alaihi wa sallam mengatakan,
«‫ع‬
َ ‫س‬ َ ‫م َنا ا ْليَ ْو‬
ِ ‫م ال َّتا‬ ُ – ‫شا َء اللَّ ُه‬
ْ ‫ص‬ َ ْ‫ل – إِن‬ ُ ‫ام ا ْل‬
ُ ِ‫م ْقب‬ ُ ‫» َف ِإذَا َكانَ ا ْل َع‬
”Apabila tiba tahun depan –insya Allah (jika Allah menghendaki)- kita akan berpuasa
pula pada hari kesembilan.”
Ibnu Abbas mengatakan,
ِ َّ‫ل الل‬
‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ه‬ ُ ‫سو‬ َ ِّ‫ح َّتى ُت ُوف‬
ُ ‫ى َر‬ َ ‫ل‬ ُ ‫م َي ْأتِ ا ْل َعا ُم ا ْل‬
ُ ‫م ْق ِب‬ ْ َ‫ َفل‬-.
”Belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sudah keburu
meninggal dunia.” (HR. Muslim no. 1134)
Sebagaimana dijelaskan dalam hadits di atas bahwa di akhir umurnya, Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam bertekad untuk menambah puasa pada hari kesembilan Muharram
untuk menyelisihi Ahlu Kitab. Namun beliau shallallahu ’alaihi wa sallam sudah keburu
meninggal sehingga beliau shallallahu ’alaihi wa sallam belum sempat melakukan
puasa pada hari itu.
Lalu bagaimana hukum melakukan puasa pada hari kesembilan Muharram? Berikut
kami sarikan penjelasan An Nawawi rahimahullah.

Imam Syafi’i dan pengikutnya (Syafi’iyyah), Imam Ahmad, Ishaq dan selainnya
mengatakan bahwa dianjurkan (disunnahkan) berpuasa pada hari kesembilan dan
kesepuluh sekaligus; karena Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berpuasa pada hari
kesepuluh dan berniat (berkeinginan) berpuasa juga pada hari kesembilan.

Apa hikmah Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menambah puasa pada hari
kesembilan? An Nawawi rahimahullah melanjutkan penjelasannya.

Sebagian ulama mengatakan bahwa sebab Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bepuasa
pada hari kesepuluh sekaligus kesembilan adalah agar tidak tasyabbuh (menyerupai)
orang Yahudi yang hanya berpuasa pada hari kesepuluh saja. Dalam hadits Ibnu Abbas
juga terdapat isyarat mengenai hal ini. Ada juga yang mengatakan bahwa hal ini
untuk kehati-hatian, siapa tahu salah dalam penentuan hari ’Asyura’ (tanggal 10
Muharram). Pendapat yang menyatakan bahwa Nabi menambah hari kesembilan agar
tidak menyerupai puasa Yahudi adalah pendapat yang lebih kuat. Wallahu a’lam.
(Lihat Syarh An Nawawi ’ala Muslim, 4/121)

Ibnu Rojab mengatakan, ”Di antara ulama yang menganjurkan berpuasa pada tanggal
9 dan 10 Muharram sekaligus adalah Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad, dan Ishaq.
Sedangkan Imam Abu Hanifah memakruhkan berpuasa pada hari sepuluh saja
(tanpa hari kesembilan).” (Latho’if Ma’arif, hal. 53)

Jadi, lebih baik adalah kita berpuasa dua hari sekaligus yaitu pada tanggal 9 dan 10
Muharram. Inilah tingkatan yang paling utama. Sedangkan berpuasa pada tanggal 10
Muharram saja adalah tingkatan di bawah tingkatan pertama tadi. Inilah yang
dijelaskan Syaikh Ibrahim Ar Ruhailiy hafizhohullah dalam kitab beliau Tajridul
Ittiba’.

Apakah Perlu Ditambah Berpuasa pada Tanggal 11 Muharram?

Sebagian ulama berpendapat tentang dianjurkannya puasa pada hari ke-9, 10, dan 11.
Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu
’anhuma. Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

”Puasalah pada hari ’Asyura’ (10 Muharram, pen) dan selisilah Yahudi. Puasalah pada
hari sebelumnya atau hari sesudahnya.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya, Ibnu Khuzaimah, Ibnu
’Adiy, Al Baihaqiy, Al Bazzar, Ath Thohawiy dan Al Hamidiy, namun sanadnya dho’if
(lemah). Adz Dzahabiy mengatakan bahwa hadits ini tidak bisa dijadikan dalil.
Namun, terdapat hadits yang diriwayatkan Abdur Rozaq, Ath Thohawiy dalam Ma’anil
Atsar, dan juga Al Baihaqi, dari jalan Ibnu Juraij dari ’Atho’ dari Ibnu Abbas. Beliau
radhiyallahu ’anhuma berkata, ”Selisilah Yahudi. Puasalah pada hari kesembilan dan
kesepuluh Muharram.” (Sanad hadits ini adalah shohih, namun diriwayatkan hanya
sampai sahabat). (Dinukil dari catatan kaki pada Zaadul Ma’ad, 2/60, Darul Fikr yang
ditahqiq oleh Syaikh Abdul Qodir Arfan).
Namun, hal ini bukan berarti berpuasa pada hari ke-11 Muharram tidaklah dianjurkan.
Dalam rangka kehati-hatian dalam penentuan awal Muharram, kita dianjurkan pula
berpuasa selama tiga hari yaitu 9, 10 dan 11 Muharram.

Dalam riwayat Al Maimuni, Imam Ahmad mengatakan, ”Jika ada perselisihan dalam
penentuan hilal, saya berpuasa selama tiga hari (9, 10 dan 11 Muharram) dalam
rangka hati-hati.” (Lathoif Ma’arif, hal. 53)

Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk melaksanakan puasa pada bulan Muharram.
Insya Allah pada tahun ini, puasa ’Asyura’ jatuh (menurut perkiraan) pada hari Rabu,
7 Januari 2009. Dan lebih baik lagi jika kita dapat berpuasa pada hari sebelumnya
untuk menyelisihi Yahudi. Atau mungkin jika khawatir karena ada perselisihan dalam
penentuan hilal, kita tambahkan dengan berpuasa pada tanggal 11 Muharram.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihat. Wa shallallahu ’ala nabiyyina


Muhammad wa ’ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Jangan Lupakan Membaca Surat Al Kahfi di Hari Jum’at

Betapa banyak orang lalai dari amalan yang satu ini ketika malam Jum’at atau hari
Jum’at, yaitu membaca surat Al Kahfi. Atau mungkin sebagian orang belum
mengetahui amalan ini. Padahal membaca surat Al Kahfi adalah suatu yang dianjurkan
(mustahab) di hari Jum’at karena pahala yang begitu besar sebagaimana berita yang
dikabarkan oleh orang yang benar dan membawa ajaran yang benar yaitu Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadits-hadits yang membicarakan hal ini kami bawakan
sebagian pada posting yang singkat ini. Semoga bermanfaat.

Hadits pertama:

ِ ‫ت ا ْل َع ِت‬
‫يق‬ ِ ‫ن ا ْلبَ ْي‬
َ ‫ما بَ ْي َن ُه َوبَ ْي‬
َ ‫ُّور فِي‬
ِ ‫ن الن‬ َ َ‫ة أ‬
َ ‫ضا َء لَ ُه ِم‬ ِ ‫م َع‬ ُ ‫ف لَ ْيلَ َة ا ْل‬
ُ ‫ج‬ ِ ‫ك ْه‬ ُ َ‫ن َق َرأ‬
َ ‫سو َر َة ا ْل‬ ْ ‫َم‬
“Barangsiapa yang membaca surat Al Kahfi pada malam Jum’at, dia akan disinari
cahaya antara dia dan Ka’bah.” (HR. Ad Darimi. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shohih sebagaimana dalam Shohihul Jami’ no. 6471)

Hadits kedua:

‫ن‬
ِ ‫م َع َت ْي‬ ُ ‫ن ا ْل‬
ُ ‫ج‬ َ ‫ُّور َما بَ ْي‬
ِ ‫ن الن‬ َ َ‫ة أ‬
َ ‫ضا َء لَ ُه ِم‬ ِ ‫م َع‬ ُ ‫ف فِى يَ ْو ِم ا ْل‬
ُ ‫ج‬ ِ ‫ك ْه‬ ُ َ‫ن َق َرأ‬
َ ‫سو َر َة ا ْل‬ ْ ‫َم‬
“Barangsiapa yang membaca surat Al Kahfi pada hari Jum’at, dia akan disinari
cahaya di antara dua Jum’at.” (HR. An Nasa’i dan Baihaqi. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana dalam Shohihul Jami’ no. 6470)

Inilah salah satu amalan di hari Jum’at dan keutamaan yang sangat besar di
dalamnya. Akankah kita melewatkan begitu saja [?]
Semoga Allah selalu memberikan kita ilmu yang bermanfaat dan dimudahkan untuk
beramal sholeh sesuai tuntunan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shollallahu ‘ala nabiyyiina


Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

DAFTAR PUSTAKA
1. radiomuslim.com
2. kajian.net
3. http://rumaysho.wordpress.com
4. Adhwa’ul Bayan, Muhammad Al Amin Asy Syinqithiy, Maktabah Syamilah
Al Jaami’ liahkamil Qur’an (Tafsir Qurtubhy), Abu Abdillah Muhammad bin
Ahmad Al Anshory Al Qurtubhy, Jami’ Mawsu’ah Al Quranil Karim,
www.omelketab.net
5. At Ta’rif bi Suratil Qur’anil Karim, Jami’ Mawsu’ah Al Quranil Karim,
www.omelketab.net
6. Aysarut Tafasir likalamil ‘Aliyyil Karim, Syaikh Abu Bakr Jabir Al Jazairi,
Maktabah Adhwail Manar
7. Fathul Bari, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah
8. Jami’ Shohihil Adzkar, Abul Hasan Muhammad bin Hasan Asy Syaikh, Dar Al
‘Awashim
9. Shohih Bukhari, Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mugiroh Al Bukhari
Abu Abdillah, Mawqi’ Wizarotil Awqof Al Mishriyyah-Maktabah Syamila
10.Shohih Muslim, Muslim bin Al Hajjaj Abul Hasan Al Qusyairiy An Naisaburi,
Mawqi’ Wizarotil Awqof Al Mishriyyah-Maktabah Syamilah
11.Sunan Abi Daud, Sulaiman bin Al Asy’ats bin Syadad bin ‘Amr Al Azdiy Abu
Daud As Sijistaaniy, Mawqi’ Wizarotil Awqof Al Mishriyyah-Maktabah
Syamilah
12.Shohih Tafsir Ibnu Katsir, Musthofa Al Adawiy, Dar Ibn Rojab dan Dar Al
Fawa’id.
13.Syarh Shohih Muslim, An Nawawi, Mawqi’ul Islam-Maktabah Syamilah
14.Syarh Al Aqidah Al Wasithiyyah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin,
Darul Aqidah
15.Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Abul Fada’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir Al
Qurasyi Ad Dimasyqi, Maktabah Syamilah
16.. Tafsir Juz ‘Amma, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, Darul Kutub
Al ‘Ilmiyyah
17.Taysir Al Karimir Rahman fi Tafsiril Kalamil Mannan, Syaikh Abdur Rahman
bin Nashir As Sa’di, Muassasah Ar Risalah-Maktabah Syamilah
18.Zaadul Maysir, Ibnul Jauziy, Mawqi’ut Tafaasir-Maktabah Syam
19.. Fathul Qowil Matin, Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr
20.Syarh Al Arba’in An Nawawiyyah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin
21.Syarh Al Arba’in An Nawawiyyah, Syaikh Sholih Alu Syaikh
22.Shohih Tafsir Ibnu Katsir, Musthofa Al ‘Adawiy
23.Al Bida’ Al Hawliyah (Silsilah Ar Rosa’il Al Jami’iyyah), Abdullah bin Abdil
’Aziz bin Ahmad At Tuwaijiriy, Darul Fadhilah
24.Fathul Qowil Matin, Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al Abad,
www.islamspirit.com
25.Latho’if Ma’arif, Ibnu Rojab Al Hambali, Asy Syamilah, cetakan pertama,
1421 H
26.Syarh Muslim, An Nawawi, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah
27.Tajridul Ittiba’, Syaikh Ibrahim Ar Ruhaily
28.Zaadul Ma’ad, Ibnul Qoyyim, Tahqiq: Syaikh Abdul Qodir Arfan, Darul Fikr

You might also like