You are on page 1of 14

DAMPAK PENATAGUNAAN TANAH

DAN LAHAN (RUANG DARATAN) 1)

Mudji W)

Meskipun secara substansif mempunyai pengertian sama, ternyata aplikasi dan implementasi dari
definisi tanah, lahan, maupun tata ruang ternyata sangat bervariasi dan tergantung dari kepentingan
pemakai / pengguna ke tiga sumberdaya alam tersebut. Untuk itu, makalah ini mencoba
memaparkan pengertian, peranan sifat-sifat dan faktor-faktor yang mempengaruhi masing-masing
sumberdaya alam diatas. Dampak negatif dari penatagunaan tanah, lahan dan tata ruang, maupun
konsepsi penanganan dari permasalahan dan dampak yang muncul disajikan pula dalam makalah.
Guna menjaga kelestarian sumberdaya alam yang berkesinambungan, evaluasi kesesuaian dan
kemampuan lahan seharusnya dilaksanakan sehingga pemanfaatan lahan yang bijaksana dapat
mengindarkan dari ancaman ke-tidak lestari-an sumberdaya alam tersebut.

TANAH
Sebagai lapisan teratas dari litosfer (lingkungan padat) yang tersingkap menjadi
daratan, tanah termasuk salah satu unsur sumberdaya alam yang merupakan sub-sistem
(komponen) dari lahan. Tanah, dalam hal ini, dapat didefinisikan sebagai kumpulan
komponen-komponen alam (hasil bentukan bahan organik dan mineral) di permukaan
bumi yang dibeberapa tempat mempunyai sejumlah perubahan-perubahan bentuk
(transformasi) baik secara alami maupun berciri antropogen (diubah atau direkayasa oleh
manusia) yang menopang mahluk hidup dan mampu untuk tumbuh vegetasi secara alami
(USDA,1989; Notohadiprawiro, 1999).
Namun perlu dipahami bahwa definisi tanah relatif sangat banyak dan ini berkaitan
dengan kepentingan manusia terhadap tanah yang berbeda-beda. Dari sektor
pertambangan misalnya, bisa saja seorang pakar pertambangan menilai tanah sebagai
suatu limbah yang tidak bermanfaat karena menutupi bahan-bahan tambang yang akan
dieksplorasi. Demikian pula seorang pakar bendungan karena menganggap lapisan tanah
adalah bagian permukaan bumi yang rapuh, lembek dan tidak kokoh, maka lapisan
tersebut akan digali sampai ditemukan kedalaman lapisan batuan yang solid. Berbeda
dengan pakar-pakar pertanian yang justru mempertahankan lapisan tanah gembur (humus)
untuk pertumbuhan tanaman.

1) Makalah disampaikan pada Kursus Dasar AMDAL tipe A di Pusat Penelitian Lingkungan Hidup
(P2LH) Universitas Mataram, tanggal 27 Maret 2000.
Dalam kesehari-harian tanah diartikan sebagai wilayah daratan yan diatasnya
digunakan untuk berbagai jenis usaha, seperti pertanian, peternakan, perikanan atau
mendirikan bangunan konstruksi
Tanah terbentuk oleh suatu proses perombakan batuan penyusun litosfer yang
berjalan secara terus menerus dan bermatra waktu. Pada fase pembentukan tanah,
pengaruh searah dari faktor pembentuk adakalanya berubah menjadi dua arah dengan
munculnya reaksi balik dari tanah ke faktor pembentuk tanah tersebut, dan proses dua arah
ini biasanya berupa daur (Notohadiprawiro, 1999). Faktor pembentuk tanah dan tanah
menjadi komponen atau subsistem dari lahan. Sebab atau kakas (force) yang bersumber
pada beberapa subsistem, seperti; lingkungan gas (atmosfer), lingkungan padat (litosfer),
lingkungan hayati (biosfer) dan sampai tingkatan tertentu juga dalam lingkungan air
(hidrosfer) dianggap pula sebagai faktor pembentuk tanah (Jamulya dan Yunianto, 1991).
Namun, argumentasi tersebut jauh-jauh sebelumnya sudah didebat oleh Jenny (1941) yang
menyatakan bahwa faktor pembentuk tanah adalah penentu keadaan dan riwayat sifat
tanah. Hal ini merupakan bahan diskusi yang menarik sampai saat ini, dan merupakan
topik telaah kepustakaan yang menarik bagi yang berminat mendalami lingkungan tanah
(pedosfer).
Pustaka (Notohadiprawiro, 1999) menyebutkan bahwa atmosfer adalah gambaran
faktor iklim dengan pelaku-pelaku proses perombakan bentuk batuan seperti energi panas
matahari, curah hujan, temperatur, dan angin. Biosfer menggambarkan faktor organisme
dengan pelaku vegetasi maupun organisme yang hidup. Litosfer adalah gambaran bahan
induk dan faktor timbulan (relief) dengan pelaku energi kinetik dan potensial serta
mineral. Faktor manusia dengan piranti teknik dan kelembagaannya dapat juga diikutkan
sebagai faktor pembentuk tanah yang biasanya disebut antroposfer, dan mengingat semua
proses dan reaksi pembentukan tanah serta pemunculan sifat, ciri-ciri tanah tersebut
bernuansa waktu, maka waktu juga menjadi faktor pembentuk tanah pula.
Tanah memiliki tebal dan daerah sebaran yang tergantung pada intensitas,
interaksi, dan variasi masing-masing faktor pembentuknya. Dengan demikian tanah adalah
suatu tubuh alam yang ikut memberikan ciri khusus suatu bentang lahan. Batas-batas dari
tanah adalah sebagai berikut:
 batas atas berupa udara atau air dangkal, dan pada bagian tepinya secara bertingkat
menuju ke air dalam atau ke lahan tandus yang ditempati oleh batuan,

2
 batas bawah berupa batuan sebagai penghasil bahan tanah.

FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK TANAH


Dari berbagai faktor yang mempengaruhi proses pembentukan tanah tersebut diatas
terdapat 5 (lima) faktor yang dianggap paling utama sebagai berikut :
 Iklim,
dengan pelaku utama proses seperti temperatur (suhu) dan curah hujan termasuk
kategori faktor penting dalam proses pembentukan tanah. Fluktuasi suhu yang tinggi
akan mempercepat proses evapo-transpirasi sehingga mengganggu keseimbangan air
tanah, sedangkan kecepatan reaksi kimia dalam tanah menjadi dua kali lipat per-10o
kenaikan suhu. Suhu dan curah hujan yang relatif tinggi mempercepat proses
pelapukan dan penyucian yang berlangsung cepat. Hal ini mengakibatkan tanah-tanah
di Indonesia banyak yang mengalami pelapukan lanjut, unsur hara rendah, dan
bereaksi asam.
 Organisme,
Daur unsur hara, akumulasi bahan organik, pengikatan unsur N dan pembentukan
struktur tanah yang stabil sangat dipengaruhi oleh reaksi-reaksi mikroorganisme
dalam tanah. Vegetasi yang tumbuh juga berfungsi sebagai pencegah terjadinya erosi
tanah, demikian pula kandungan unsur-unsur kimia yang terdapat pada vegetasi
tersebut sangat mempengaruhi sifata-sifat tanah.
 Bahan Induk,
Sifat-sifat tanah sebagian besar memperlihatkan sifat-sifat bahan induknya, meskipun
sejumlah ciri-ciri antropogen yang berasal dari campur tangan manusia terlihat nyata,
misalnya pemupukan, pengolahan tanah, irigasi dan pengatusan. Dalam hal ini,
intensitas daya kerja manusia dianggap jauh lebih lemah dibandingkan yang
ditimbulkan oleh faktor-faktor pembentuk tanah alami.
Batuan (agregat yang tersusun dari satu macam atau lebih mineral) yang merupakan
bahan induk tanah dapat dibedakan atas batuan beku, batuan metamorfik, dan batuan
sedimen. Identifikasi jenis batuan biasanya didasarkan atas komposisi mineral
pembentuk dan teksturnya.
Batuan beku terbentuk karena proses pendinginan lava (magma) dari dalam bumi atau
yang keluar melalui letusan gunung berapi. Berdasarkan lokasi kejadian pendinginan,
batuan beku dapat dikelompokkan menjadi batuan beku plutonik (intrusif) dan batuan

3
beku volkanik (ekstrusif). Dalam batuan beku plutonik proses pendinginan terjadi
dengan lambat sehingga membentuk mineral berbutir kasar. Sedangkan untuk batuan
beku volkanik proses pendinginan berlangsung dengan cepat sehingga kristal yang
terbentuk berukuran kecil (halus), bahkan adakalanya tanpa kristal sama sekali
(Sutikno dan Sunarto, 1991). Tekstur batuan beku dikelompokkan menjadi 3(tiga)
antara lain; faneritik, forfiritih, dan afanitik. Berdasarkan kandungan mineralnya,
batuan beku dapat pula diklasifikasikan menjadi 4(empat) jenis batuan sebagai berikut:
(1) batuan asam dan sebagai bahan induk tanah maka hasil bentukan tanahnya juga
akan bersifat asam, (2) batuan menengah, (3) batuan basa yang menghasilkan jenis
tanah yang bersifat alkalis, (4) batuan ultra basa.
Batuan sedimen terbentuk karena proses pengendapan yang secara garis besar
dibedakan menjadi 2(dua) kelas, yaitu: sedimen klastik terbentuk oleh proses mekanik
dan sedimen nonklastik yang terbentuk oleh proses kimiawi, hanya saja kadang-
kadang sangat sulit membedakan diantara keduanya. Komposisi batuan sedimen
umumnya ditunjukkan oleh kandungan mineralnya meskipun banyak pula yang
merupakan campuran antara kandungan kimiawinya. Misalnya, mineral kuarsa,
lempung, mika halus, dan mineral-mineral berat seperti hematit, zirkon, dan lain-lain
sering diketemukan dalam batuan sedimen klastik. Sedangkan pada batuan sedimen
nonklastik yang biasanya terbentuk oleh proses pengendapan dari larutan, reaksi
kimiawi atau proses biologi, sering ditemui bahan-bahan mineral seperti: kalasit,
dolomit, dan dalam jumlah kecil gypsum.
Batuan metamorfik berasal dari batuan beku atau batuan sedimen yang mengalami
perubahan karena tekanan dan suhu yang sangat tinggi sehingga berubah menjadi
batuan jenis lain. Mineral dalam batuan metamorfik merupakan mineral yang stabil
karena telah mengalami proses rekristalisasi. Tekstur batuan metamorf dapat dibagi
menjadi 3(tiga), yaitu kristaloblastik, xenoblastik, dan granoblastik.
 Topografi,
Topografi suatu daerah dapat mempengaruhi iklim. Di daerah yang datar atau cekung
aliran air relatif akan lebih lambat jika dibandingkan dengan daerah landai atau miring.
Hal ini mengakibatkan pengaruh iklim pada daerah datar atau cekung tersebut
terhadap proses pembentukan tanah menjadi tidak jelas (Jamulya dan Yunianto, 1991).
Untuk daerah yang bergelombang, drainase tanah lebih baik dibandingkan daerah
datar sehingga pengaruh iklim menjadi lebih jelas, pelapukan maupun proses

4
pencucian tanah relatif cepat. Sedangkan di daerah perbukitan dan pegunungan
seringkali erosi berlangsung dengan waktu yang relatif singkat sehingga lebih cepat
dari proses pembentukan tanah. Hal ini mengakibatkan solum tanah yang terbentuk
relatif dangkal, sebaliknya pada lereng-lereng perbukitan / pegunungan sering
diketemukan tanah yang relatif dalam akibat penimbunan bahan-bahan yang
diendapkan oleh aliran air permukaaan dari bagian atas perbukitan/ pegunungan
tersebut.
 Waktu,
Durasi (waktu) bahan induk mengalami proses-proses pelapukan dan pengembangan
tanah sangat berperan dalam penentuan jenis dan sifat tanah yang terbentuk. Tanah
merupakan tubuh alam yang secara bersinambungan berubah melalui proses-proses
tersebut diatas. Sebagai contoh, tanah dengan kandungan unsur hara yang banyak,
karena proses pelapukan dan pencucian yang terus-menerus, menjadi tanah dengan
kandungan unsur hara yang sudah habis dan tinggal kandungan mineral yang sukar
lapuk, seperti kuarsa. Dari durasi waktu pembentukan tanah ini, hasil bentukan bahan
induk tanah tersebut juga secara bertingkat menjadi tanah muda, dewasa, dan tanah
tua. Tanah muda ditandai oleh proses pelapukan, dan proses percampuran bahan
organik dan mineral di permukaan tanah dan pembentukan struktur karena pengaruh
bahan organik. Sifat-sifat tanahnya masih didominasi oleh bahan induk, misalnya;
aluvial, regosol, dan litosol. Tanah dewasa ditandai oleh proses yang lebih lanjut, dan
proses pelapukan dan pencucian unsur hara belum berlangsung sampai dengan
tingkat yang kritis, sehingga ketersediaan unsur-unsur hara masih cukup. Misalnya
jenis-jenis tanah andosol, latosol, dan grumusol. Tanah tua ditandai dengan
peningkatan umur yang semakin lanjut dan proses-proses pelapukan maupun
pencucian sudah berlangsung lama, sehingga kandungan tanah tinggal bahan-bahan
mineral yang sukar lapuk, seperti podsolik dan laterit.

SIFAT-SIFAT DAN KLASIFIKASI TANAH


Sifat – sifat tanah pada umumnya dapat dikelompokkan menjadi 3(tiga) jenis
sebagai berikut : morfologi tanah, sifat fisik, dan sifat kimia.
 Morfologi tanah menggambarkan sifat tanah yang diamati di lapangan. Pemerian
tanah menampakkan ciri-ciri morfologi tanah sekaligus menunjukkan proses-proses
yang telah dialami oleh tanah tersebut. Perbedaan intensitas faktor-faktor pelaku

5
proses pembentukan tanah akan memperlihatkan suatu seri / susunan lapisan hasil
bentukan tanah yang dapat diamati dengan membuat potongan penampang tegak
tanah, yang biasanya disebut pula horison-horison tanah. Batas-batas maupun tebal
horison baik organik maupun mineral akan terdeteksi via potongan melintang tanah
tersebut, sehingga analisis sifat-sifat tanah dapat dilakukan.
 Sifat fisik tanah meliputi beberapa karakteristik tanah sebagai berikut:
Warna, tekstur, struktur, konsistensi, kadar lengas, kandungan udara dalam tanah,
suhu, permeabilitas, porositas, dan drainase tanah.
 Sifat kimia tanah yang sangat penting bagi pertumbuhan tanaman antara lain reaksi
(PH) tanah, kapasitas penukaran kation (KPK), kejenuhan basa, dan unsur-unsur hara.
Tanah sebagai tubuh alam mempunyai komposisi unsur-unsur kimia yang berbeda-
beda baik susunan maupun kadar unsur kimia tersebut dalam tanah antara jenis tanah
yang satu dengan tanah yang lain.

Klasifikasi tanah adalah upaya untuk mengelompokkan tanah berdasarkan sifat-


sifat tertentu yang dimilikinya sehingga memudahkan untuk mengenal, mengingat, dan
memanfaatkan keadaan tanah tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan berikut:
 Dasar-dasar pembentukan jenis tanah,
 Sifat, hakekat, dan kemampuan suatu jenis tanah,
 Hubungan tanah tersebut dengan jenis tanah yang lain, maupun dengan lingkungan,
 Prediksi sifat, kemampuan, dan keadaan di masa mendatang.
Berdasar kelebihan dan kekurangan masing-masing sistem klasifikasi tanah yang
ada, di Indonesia saat ini terdapat 3(tiga) buah sistem, yaitu sistem PPT (Pusat Penelitian
Tanah) - Bogor, sistem FAO/UNESCO, dan sistem Taksonomi Tanah USDA, sehingga
pilihan pemakaian sistem dikembalikan kepada kesesuaian dengan kebutuhan dan
kepentingan pengguna, serta konsistensi penyajian data tanah tersebut.

LAHAN
Sebagaimana telah disebut pada sub-bahasan sebelumnya, fase daur menandai
terbentuknya suatu sistem biofisik yang disebut lahan. Lahan adalah suatu wilayah di
permukaan bumi yang mempunyai sifat-sifat agak tetap atau pengulangan sifat-sifat dari
biosfer secara vertikal diatas maupun dibawah wilayah tersebut, termasuk atmosfer, tanah,

6
geologi, geomorfologi, hidrologi, vegetasi dan binatang yang merupakan hasil aktivitas
manusia dimasa lampau maupun masa sekarang, dan perluasan sifat-sifat tersebut
mempunyai pengaruh terhadap penggunaan lahan oleh manusia disaat sekarang maupun di
masa mendatang (FAO, 1976). Selanjutnya, Heizing (1991) menyatakan bahwa definisi
lahan yang disebutnya bermatra lingkungan dan secara luas diterima oleh masyarakat
adalah sebagai berikut. Lahan terdiri dari semua pengaruh timbal-balik, aspek-aspek
biofisik atau faktor-faktor permukaan bumi, antara lain meliputi:
 Iklim,
 Pembentuk tanah,
 Tanah,
 Aspek hidrologi,
 Vegetasi / benih,
 Fauna, dan
 Perubahan permanen akibat aktivitas / kegiatan manusia,
Lahan sebagai satu kesatuan sumberdaya alam yang tetap dan juga terbatas dapat
mengalami kerusakan dan penurunan produktivitas. Sumberdaya alam yang diperuntukkan
bagi manusia ini, menyediakan air dan nutrisi untuk tanaman tumbuh, bahan material dan
pondasi untuk jalan, areal tanah untuk pemukiman dan industri, pemandangan, habitat
hewan liar, dan lain sebagainya. Penggunaan lahan haruslah dipertimbangkan dalam suatu
evaluasi lahan baik dari aspek kesesuaian lahan maupun dari aspek kemampuan lahan.
Oleh sebab itu, penentuan tipe penggunaan lahan seyogyanya mempertimbangkan aspek-
aspek berikut (Yunianto dan Woro, 1991):
 Penggunaan lahan yang berwawasan lingkungan dan
berkesinambungan,
 Tanaman yang diusahakan maupun teknologi yang digunakan,
 Kesesuaian agroklimatik untuk tanaman yang ditentukan dalam
evaluasi lahan,
 Hasil dari kelembagaan percobaan pertanian maupun saran-saran
dari Pemerintah,
 Orientasi produksi dan pemasaran hasil tanaman,
 Intensitas permodalan dan tenaga kerja,
 Ukuran pemilikan lahan dan tingkat penghasilan.

7
SIFAT-SIFAT LAHAN
Sekaitan dengan sifat-sifat lahan, beberapa faktor-faktor biofisik berikut
merupakan pengetahuan dasar yang harus dipelajari dalam menetapkan dan memilih pola
penggunaan lahan yang baik sehingga sumberdaya alam tersebut sesuai bagi suatu bentuk
penggunaan tertentu atau tidak.
 Karakteristik lahan (tampakan biofisik), tampakan ini merupakan
parameter lahan yang dapat diukur dan tersusun atas sejumlah sifat-sifat tanah,
antara lain ketebalan tanah, warna, tekstur dan struktur tanah, dan fator-faktor
tapak seperti, kemiringan lereng, curah hujan dan lain-lain.
 Kualitas lahan, sifat ini mempengaruhi tingkat kesesuaian lahan
untuk penggunaan tertentu. Misalnya, kualitas lahan yang berkaitan dengan
produktivitas tanaman, dan/atau hewan.
 Limitasi pembatas lahan, merupakan kualitas lahan yang menjadi
faktor pembatas jika pra-syarat untuk memperoleh produksi yang optimal dan
pengelolaan suatu penggunaan lahan tidak dapat terpenuhi. Dua batasan yang
ada meliputi pembatas lahan permanen seperti, iklim dan kemiringan lereng
tanah, serta pembatas lahan sementara seperti, drainase pembatas tanah, dan
pembatas topografi.
 Prasyarat penggunaan lahan, terdapat 4(empat) persyaratan
penggunaan lahan antara lain, prasyarat lingkungan, prasyarat pengelolaan,
prasyarat konservasi lahan, dan yang terakhir adalah prasyarat perbaikan.
 Perbaikan lahan, aktivitas ini dilakukan untuk memperbaiki kualitas
suatu lahan untuk mendapatkan keuntungan dari penggunaan lahan tersebut.

KESESUAIAN DAN KEMAMPUAN LAHAN


Kesesuaian dan kemampuan lahan merupakan kata kunci yang biasanya digunakan
untuk menilai sejauh mana suatu lahan dinyatakan “baik” bagi suatu pengunaan tertentu.
Baik dalam hal ini berarti produktivitas dan penggunaan lahan secara berkesinambungan
tidak akan merusak sumberdaya alam tersebut.
Istilah kemampuan lahan biasanya digunakan jika evaluasi kesesuaian lahan
ditetapkan untuk penggunan lahan yang secara luas, misalnya untuk pertanian, peternakan,
permukiman, atau untuk areal rumput penggembalaan. Kemampuan lahan merupakan sifat
8
dakhil (inherent) lahan yang menyatakan kesanggupannya untuk menghasilkan pada
tingkat produksi tertentu (Jamulya dan Sunarto, 1991). Kemampuan lahan juga dianggap
sebagai klasifikasi lahan sekaitan dengan tingkat resiko kerusakan akibat penggunaan
tertentu lahan tersebut.
Kesesuaian lahan digunakan jika evaluasi sumberdaya lahan yang peruntukannya
lebih jelas, misalnya untuk jenis tanaman, pohon-pohonan tertentu dan untuk konstruksi
bangunan yang khusus / tertentu pula. Biasanya, kesesuaian lahan dapat diindikasikan dari
penggunaan masukan fisik seperti, jumlah benih dan berat pupuk, jenis material bangunan,
dan istilah-istilah ekeonomis seperti, biaya jangka panjang atau menengah, atau biaya
perbaikan tahunan. Kesesuaian lahan sangat cocok untuk pra-studi ataua studi kelayakan
untuk suatu proyek tertentu.

TATA RUANG
Ruang meliputi ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara beserta sumberdaya
manusia dan alam yang berada didalamnya. Untuk itu, ruang berfungsi sebagai wadah
bagi manusia untuk menyelenggarakan segala aktivitasnya dan melakukan kegiatan
hidupnya. Kegiatan hidup, dalam hal ini, merupakan usaha manusia memanfaatkan ruang
baik untuk tempat hunian, kerja, ekploitasi sumberdaya lahan, kegiatan sosial maupun
istirahat. Sudah barang tentu, pemanfaatan ruang tersebut diharapkan dapat berkelanjutan
sesuai dengan nuansa/wasasan lingkungan yang berkesinambungan. Kegiatan
pemanfaatan ruang daratan, pada hakekatnya merupakan perwujudan dari kegiatan
penatagunaan tanah. Bahkan jika dikembangkan lebih luas lagi maka penatagunaan tanah
sebenarnya adalah bagian integral dari penatagunaan lahan.
Sehubungan dengan sub-sistem sumberdaya lahan, ruang dapat dapat dianggap
terdiri dari komponen-komponen sub-sistem lahan yang saling berhubungan dan saling
mempengaruhi. Dalam sub-sistem lahan ini peran manusia selaku pengelola lahan jika
memanfaatkan / menggunakan lahan dengan kurang bijaksana maka akan memperlemah
daya dukung sub-sistem ruang (lahan) tersebut sehingga mengancam kelestarian
kemampuan lahan dalam menyediakan sumberdaya secara berkelanjutan. Rapuhnya satu
atau beberapa subsistem akan mempengaruhi hubungan antar subsistem lahan secara
keseluruhan. Sehingga penataan lahan yang didasarkan pada kelestarian kemampuan daya
dukung lahan maupun sifat-sifat masing-masing subsistem lahan sangat diperlukan.

9
DAMPAK PENATAGUNAAN TANAH & LAHAN (RUANG DARATAN)
Penatagunaan tanah dalam penjelasan pasal 16 UU Penataan Ruang meliputi
penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah. Dalam hal ini, pengertian penguasaan
tanah termasuk pemilikan tanah, sedangkan penggunaan tanah termasuk : peruntukan,
persediaan, penggunaan, dan perbaikan dan pemeliharaan tanah. Sastrowihardjo (1999)
menyatakan bahwa kondisi dan masalah tata ruang di Indonesia menyebabkan perlunya
penataan ulang penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah. Berikut adalah beberapa
masalah (dipilih yang sesuai dengan topik kursus AMDAL-A di Unram) akibat
penggunaan dan pemanfaatan tanah yang kurang baik:
 Distribusi pemilikan tanah yang semakin timpang. Rerata pemilikan tanah pertanian
untuk seluruh Indonesia hanya seluas 0.98 ha/KK petani, di pulau Jawa yang hampir
80% areal tanahnya sudah dibudidayakan dan dimanfaatkan rerata pemilikan kurang
dari 0.58 ha/KK. Penggunaan tanah pertanian ke sektor non-pertanian kurang
terkendali, dan pemilikan tanah yang sempit tersebut mengakibatkan tanah marginal
berlereng terjal dimanfaatkan. Dampak yang timbul adalah tanah menjadi rusak dan
tidak produktif.
 Sebaliknya di luar pulau Jawa petani masih melakukan praktek ladang berpindah-
pindah meskipun pihak Pemerintah telah berupaya membangunan saluran irigasi
teknis. Praktek diatas mempunyai sifat penggunaan tanah yang boros, sehingga
terbentuk padang alang-alang yang luas. Bahkan pada lereng-lereng pegunungan
menyebabkan berkurang vegetasi yang dibutuhkan untuk penyangga dan penahan air,
sehingga bahaya erosi dan banjir menjadi problematika klasik yang harus ditangani.
 Peruntukan tanah untuk berbagai keperluan pembangunan banyak yang tumpang
tindih, seperti alih fungsi tanah pertanian menjadi lokasi hunian, lapangan golf dan
industri mengakibatkan pemanfaatan tanah yang tidak berwawasan lingkungan dan
berkelanjutan. Hal ini mempunyai kontribusi yang besar terhadap terganggunya
kesimbangan air tanah. Dampak yang timbul petani kehilangan tempat berproduksi
sehingga terpaksa alih profesi dan terjadi urbanisasi.

10
 Fungsi kawasan (lahan) antar Dati II yang bersebelahan dan dalam wilayah (lahan)
yang sama belum sinkron.
Sekaitan dengan penatagunaan lahan/ ruang, maka pustaka (Sastrowihardjo, 1999)
telah mengidentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut:
 Rencana tata ruang wilayah (RTRW) pada tingkat yang lebih bawah sudah terlanjur
disusun sebelum RTRW yang lebih tinggi tersedia. Bahkan meskipun RTRW yang
lebih tinggi sudah tersedia ternyata RTRW yang lebih bawah tidak sinkron dan
mempedomani rencana tata ruang yang diatasnya atau segera menyesesuaikan
rencananya.
 Penyusunan RTRW berdasarkan pola kontrak oleh Konsultan, yang waktu
penyusunannya terbatas, padahal peranan koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi dari
instansi terkait kurang sepenuhnya dilibatkan secara terus-menerus sesuai dengan
tugas pokok dan fungsinya.
 Para penyusun RTRW kurang mendalami peraturan perundang-undangan yang
menyangkut sumberdaya alam, sehingga rencana dan kebijaksanaan yang menyangkut
sumberdaya alam terutama yang menyangkut penguasaan, penggunaan dan pemilikan
ruang daratan (lahan) tidak tepat sasaran.
 Rencana tata ruang wilayah yang diusulkan oleh para konsultan sudah dianggap
representatif, walaupun substansinya belum memenuhi persyaratan. Hal ini disebabkan
karena keterbatasan masukan atau karena pengetahuan mengenai tata ruang masih
banyak yang belum dipahami oleh berbagai pihak atau oleh sebab-sebab lain yang
bersifat non teknis.

KONSEPSI PENANGANAN DAMPAK PENATAGUNAAN TANAH &


LAHAN (RUANG DARATAN)

Sekaitan dengan dampak penatagunaan tanah dan lahan yang dalam hal ini
merupakan perwujudan dari ruang daratan, maka beberapa konsepsi penanganan dampak
yang terjadi dapat disajikan sebagai berikut:
 Dalam penggunaan tanah yang terjadi alih fungsi, maka RTRW yang merupakan
acuan dalam mengalokasikan tanah bagi kegiatan pembangunan harus dipedomani
dengan baik dan secara konsisten dipedomani sebagai dasar penentuan kebijakan. Ijin
lokasi baru seyogyanya lebih diperketat dan harus sesuai dengan RTRW yang berlaku

11
dan diputuskan dalam rapat koordinasi fungsional antar instansi. Berkenaan dengan
ijin ini tentunya prosedur perolehan tanah sudah ditetapkan sedemikian rupa melalui
berbagai tahapan pengendalian yang sudah dirancang berwawasan lingkungan yang
berkelanjutan,
 Intensitas penyuluhan yang lebih tinggi bagi para petani yang melakukan praktek
perladangan berpindah-pindah agar mereka sadar untuk memelihara lingkungan
masing-masing demi kesinambungan lingkungan sumberdaya alam yang lestari dan
mampu mendukung / menyediakan sumber-sumber penghidupan bagi anak-cucu
mereka.
 Diupayakan penghijauan kembali lereng-lereng marjinal yang sudah gundul untuk
mengembalikan fungsi vegetasi sebagai penyangga dan penahan air sehingga
kesetimbangan air tanah dapat terjaga,
 Sinkronisasi fungsi ruang daratan (lahan) antar Dati II yang bersebelahan maupun
dalam wilayah yang sama.

Untuk penanganan dampak negatif dari penatagunaan ruang daratan (lahan) yang
kurang baik, beberapa konsepsi berikut diharapkan dapat memberikan kontribusi
penyelesaian dan minimalisasi dampak negatif yang timbul akibat penatagunaan tersebut
diatas.

 Mengingat rencana tata ruang wilayah merupakan pedoman dan acuan dalam
perumusan kebijakan pokok pemanfaatan ruang, sarana koordinasi pengembangan
wilayah, maka kebenaran teknis substansif RTRW harus di teliti secermat mungkin
dan disepakati bersama oleh anggota Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah serta
dicarikan solusinya jika terdapat kesalahan-kesalahan.
 Koordinasi rutin dan pemantapan pedoman pengelolaan penataan ruang, peningkatan
kualitas SDM penyusun yang memadai, peningkatan sarana dan prasarana teknis
yang belum tersedia selama penyusunan RTRW, dengan membuang jauh
egosektoral dan egoregional masing-masing institusi yang terlibat, agar dapat
menghasilkan luaran RTRW yang representatif dan mendukung pelaksanaan
pembangunan serta pengembangan daerah.

12
 Sosialisasi peranan penting dan banyak hal yang harus disempurnakan dalam
penyusunan rencana, pelaksanaan, pengendalian, dan pembinaan RTRW dengan
mempertimbangkan sistem informasi geografi.

PENUTUP
Dari pembahasan-pembahasan isu-isu sebelumnya, maka dapat disajikan beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
• Meskipun secara substansif mempunyai pengertian yang sama namun implementasi
definisi tanah tergantung dari kepentingan manusia terhadap tanah yang relatif
berbeda.
• Sifat-sifat tanah sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat bahan induk pembentuk tanah
tersebut meskipun diketemukan sejumlah transformasi bentuk baik secara alami
maupun berciri antropogen.
• Guna menjaga kelestarian sumberdaya alam yang berkesinambungan, evaluasi lahan
baik dari aspek kesesuaian maupun kemampuan lahan harus dilaksanakan untuk
penentuan penggunaan lahan.
• Pemanfaatan lahan yang kurang bijaksana akan memperlemah kemampuan lahan
dalam menyediakan sumberdaya secara berkelanjutan sehingga mengancam
kelestarian sumberdaya alam tersebut.

13
DAFTAR PUSTAKA

Haryadi, 1998, Komponen Tata Ruang ( Teknik Analisis Data), Kursus AMDAL tipe B,
PPLH UGM, Yogyakarta.

Sastrowihardjo, Maryudi., 1999, Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah, Kongres


Nasional VII HITI, Bandung

Notohadiprawiro, Tejoyuwono, 1999, Memanfaatkan Tanah Selaras dengan Alam,


Kongres Nasional VII HITI, Bandung

Jamulya dan Tukidal Yunianto, 1991, Tanah dan Survey Tanah, Kursus Evaluasi
Sumberdaya Lahan, Fakultas Geografi UGM., Yogyakarta.

USDA, 1989, Soil Survey Manual, Distributed by the Soil Data Base Management Project,
Centre for Soil Research, Bogor.

Jenny, H., 1941, Factors of Soil Formation, McGraw-Hill Book Company, New York.

Jamulya dan Sunarto, 1991, Kemampuan Lahan, Kursus Evaluasi Sumberdaya Lahan,
Fakultas Geografi UGM., Yogyakarta.

Sunarto dan Suratman Woro, 1991, Evaluasi Sumberdaya Lahan untuk Keterlintasan
Jalan, Kursus Evaluasi Sumberdaya Lahan, Fakultas Geografi UGM., Yogyakarta.

Huizing, 1991, Land Resources Evaluation, Kursus Evaluasi Sumberdaya Lahan, Fakultas
Geografi UGM., Yogyakarta.

14

You might also like