You are on page 1of 2

Am

I Wrong if I Born Gay?


Oleh: Meidiawan Cesarian Syah Kemarin, saya membaca sebuah artikel mengenai penelitian tentang homophobic. Homophobic adalah semacam fobia akan kaum gay. Fobia yang terjadi di sini bukan fobia secara pasif (menghindari) namun juga fobia secara aktif yang mengutuki, memusuhi, bahkan menghakimi atas penyimpangan orientasi seksual mereka. Tidak melulu gay, banyak diantara kita yang seakan-akan jijik pada LGBT (Lesbi, Gay, Bisekxual, Transgender). Now, I think its time to clear a little air Hal yang saya perlu tekankan di sini adalah saya bukan gay dan bukan pendukung agar gay dilegalkan (karena agama saya juga melaknat kaum demikian). Saya hanya ingin berbagi perspektif mengenai penyimpangan orientasi seksual ini. Di akhir tulisan ini saya sangat berharap pembaca bisa introspeksi diri untuk tidak menghakimi siapapun dengan orientasi seksual apapun. Karena, memang hal itu sudah tergaris sejak lahir. Seorang gay, atau lesbian tidak mengalami perpindahan orientasi seksual dalam hidup mereka. Masyarakat umum berpikir bahwa orientasi seksual seseorang dapat berubah ketika proses pertumbuhan dan setiap manusia terlahir dengan orientasi seksual yang normal. Sejatinya, itu salah besar. Gay dan Lesbian tidak mengalami perubahan orientasi seksual, mereka memang ditakdirkan lahir sebagai seorang gay atau lesbian. Mengapa demikian? Ketika seseorang jatuh cinta (dengan lawan jenis maupun sesama jenis) sejatinya otak lah yang bertanggung jawab akan hal tersebut. Otak adalah pusat pengatur perasaan, termasuk jatuh cinta. Pada kaum gay dan lesbian, otak mereka secara fisiologis memang berbeda dengan lelaki dan perempuan heteroseksual sejak lahir. Orientasi seksual seseorang dipengaruhi oleh dua faktor yaitu gen dan hormonal. Faktor hormonal sudah diketahui sejak lama sebagai penentu orientasi seksual. Namun, bukan hormon yang disekresikan pada masa pertumbuhan. Anggapan yang menyebutkan bahwa kekurangan hormone tertentu dapat mengakibatkan perubahan orientasi seksual seperti kurangnya testosterone pada saat pertumbuhan mengakibatkan seorang pria menjadi gay adalah salah. Faktor hormonal mempengaruhi orientasi seksual pada masa perkembangan otak janin. Memang benar, apabila dalam masa pertumbuhan manusia terdapat beberapa hormon yang mungkin akan turun kadarnya. Tetapi hal itu tidak dapat mengubah orientasi seksual. Satu hal yang mungkin terjadi adalah perubahan perilaku seksual, bukan orientasi seksual. Tahun lalu, seorang ilmuwan bernama Ivana Savic dari Swedia melaporkan bahwa bentuk fisiologis otak laki-laki hetero seksual dan homoseksual berbeda. Ciri fisiologis yang berbeda yakni ukuran dua belahan otak. Pada lelaki heteroseksual ukuran dua belahan otak tidak sama, sesuatu yang tidak ditemukan pada otak gay. Bahkan, dengan pemindaian MRI fungsional, Savic menunjukkan bhw otak gay secara fungsional lebih menyerupai otak perempuan heteroseksual. Riset dengan mengunakan PET scan menunjukkan konektivitas amigdala (bagian dari otak yang

mempengaruhi emosi) otak gay juga lbh menyerupai otak perempuan heteroseksual ketimbang laki-laki heteroseksual. Perbedaan yang paling mencolok yang ditemukan Savic adalah pola aktivasi yang berbeda pada otak gay dalam merespons feromon yg dihasilkan di dalam keringat laki-laki. Hipotalamus dalam otak gay dirangsang oleh aroma keringat laki- laki lain. Ini adalah penyebab utama gay dapat tertarik dengan sesama jenis. Faktor kedua yang mempengaruhi orientasi seksual seseorang adalah gen. Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Bailey dkk tahun 1993 menunjukkan apabila salah satu dari kembar identik adalah homoseks, maka kemungkinan kembaran yang lain homoseks adalah lebih dari 50%. Pada riset lain yang dilakukan oleh Dean Hamer di Amerika Serikat ditemukan tanda genetika di daerah Xq28 dari kromosom X yang berhubungan erat dengan orientasi homoseksual. Riset tersebut memberikan kesimpulan yang mengejutkan yakni adanya gen bawaan bagi tiap lelaki homoseksual. Hingga sekarang, berbagai riset genetis, sirkuit otak dan dampak hormon pada orientasi seksual masih terus dilakukan. Lalu muncul pertanyaan bagaimana bila seseorang sadar bahwa dirinya homoseks pada masa remaja atau telah dewasa, sementara sebelumnya pernah terlibat hubungan heteroseksual? Sejatinya, seorang homoseks adalah seorang homoseks, Titik. Tidak ada heteroseksual yang memutuskan pilihan menjadi homoseks akibat suatu atau beberapa kejadian. Apabila seseorang memang homoseks, pastilah ia homoseks sejak lahir. Pada umumnya, seseorang akan sadar tentang orientasi seksualnya pada umur 9-10 tahun. Penghakiman akan orientasi seksual yang dinilai salah cenderung mengakibatkan para homoseks menutupi orientasi seksualnya dengan berlagak normal. Sedih memang, karena mereka pikir mereka bisa mengubah orientasi seksualnya sembari beranjak dewasa. Padahal orientasi seksuak tidak akan berubah. Kehidupan sosial masyarakat kita yang menganaktirikan kaum homoseksual ini kadang berakibat fatal bagi mereka. Seorang homoseks bisa saja berlagak normal, menjalin hubungan cinta heteroseksual, menikah, memiliki anak, dan seterusnya. Namun apakah mereka bahagia? Apakah pasangan mereka bahagia? Ini sebuah pertanyaan sosial besar bagi orang yang mengingkari basic instinct-nya. Dengan demikian, orientasi seksual bukanlah masalah pada pilihan ketika dewasa, bukan masalah lingkungan, orientasi seksual adalah murni masalah kesalahan pada struktur otak sejak lahir. And nothing you can do about it. Acceptance, is the one thing you can do. Sayangnya, di lingkungan kita homoseksual masih dianggap tabu. Tidak ada (atau masih sedikit) panti sosial atau sejenisnya yang mengakomodasi kepentingan mereka karena terlanjur dianggap kotor. Sebenarnya mereka normal sama seperti manusia yang heteroseksual. Mereka hanya dianggap berbeda,. Kita sibuk dipisahkan oleh kata normal yang bahkan kita sendiri tidak bisa menerjemahkan definisi dan batas-batasnya secara jelas. Daripada sibuk mengutuki, how about offering some friendship to them? J

You might also like