You are on page 1of 30

1

AVIAN INILULN2A







D|susun o|eh
?uulS1l8A 8A1AMA
LkA MA8LlAnA
uWl 8APMAWl1A
ulAn nCvALlSA
AulS1lA vl1ASA8l
emb|mb|ng
dr!ohnl Slnaga Sp
kLANI1LkAAN kLINIk ILMU LNAkI1 DALAM
kSUD kAkAWANG
LkICDL 1 AGUS1US 2011 1S Ck1C8Lk 2011
IAkUL1AS kLDCk1LkAN
UNIVLkSI1AS 1kISAk1I


BAB I
PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang
Flu burung atau Avian InIluenza (AI) merupakan penyakit hewan menular yang
terjadi pada unggas dan siIatnya sangat mematikan dan :oonosis (dapat menular pada
manusia). Flu burung ini bukan hanya berbahaya bagi hewan (unggas dan babi) tetapi juga
bagi manusia. Manusia yang terinIeksi oleh Ilu burung dapat berakhir dengan kematian.
Namun, demikian sebenarnya virus Ilu burung dapat dicegah penularannya pada manusia jika
kita mengetahui karakteristik virus penyebab dan cara pengendaliannya. Kasus Ilu burung
pertama kali ditemukan di Scotlandia pada tahun 1959, sejak saat itu wabah Ilu burung
berjangkit di beberapa Negara Eropa dan AIrika. Belanda, Jerman, Belgia, dan Irlandia serta
AIrika Selatan dan sebagian negaranegara Eropa dan AIrika yang terkena wabah ini.
Wabah Ilu burung juga terjadi di belahan benua lainnya seperti di Amerika Serikat,
Kanada, dan Australia. Wabah Ilu burung telah menjadi pandemik. Di Asia, kasus Ilu burung
merupakan salah satu kasus penyakit hewan yang paling menarik perhatian akhr-akhir ini. Ini
karena siIat virus penyebabnya yang sangat ganas dan berbahaya jika sampai menular ke
manusia. Di Hongkong, kasus Ilu burung merebak pertama kali pada tahun 1997. Pada saat
itu dilaporkan sekitar 18 orang terinIeksi virus avian Ilu burung, 6 orang di antaranya
meninggal dunia.
Pada tahun 2001 pemerintah Hongkong telah memusnahkan ribuan ekor unggas yang
diindikasikan terserang Ilu burung. Flu burung juga menyerang Thailand yang menyebabkan
kerugian besar pada perunggasan Thailand. Pada akhir 2003 Thailand mendepopulasi
(memusnahkan) sekitar satu juta ekor ternak unggasnya. Bukan hanya itu Ilu burung juga
telah menular ke manusia. Hingga Januari 2004, dilaporkan 6 orang warga Thailand positiI
terinIeksi virus H5N1 penyebab Ilu burung. Vietnam, Malaysia, Kamboja, Taiwan, Laos,
Korea, Cina, Jepang, Pakistan, dan Indonesia adalah negara-negara Asia lainnya yang terkena
serangan Ilu burung.






BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Flu burung atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan avian Ilu atau avian inIluenza
(AI) adalah penyakit menular yang disebabkan virus inIluenza A sub tipe H5N1 yang
biasanya menyerang unggas tetapi juga dapat menyerang manusia. Virus ini termasuk Iamili
Orthomyxoviridae dan memiliki diameter 90-120 nanometer. Virus avian inIluenza ini
menyerang alat pernapasan, pencernaan dan sistem saraI unggas
Secara normal, virus tersebut hanya menginIeksi ternak unggas seperti ayam, kalkun,
dan itik. Tetapi walaupun jarang dapat menyerang spesies hewan tertentu selain unggas
misalnya babi, kuda, harimau, macan tutul, dan kucing.
Walaupun hampir semua jenis unggas dapat terinIeksi virus yang terkenal sangat
ganas ini, tetapi diketahui yang jauh lebih rentan adalah jenis unggas yang diternakkan secara
massal seperti ayam, puyuh, dan itik.

2.2 Pravelensi
Sampai bulan Juni 2007 sebanyak 313 orang di seluruh dunia terjangkit virus AI
dengan 191 di antaranya meninggal dunia (CFR61). Kasus penyakit ini meningkat cepat
dari tahun ke tahun. Pada tahun 2003 tercatat terdapat 4 kasus, kemudian berkembang
menjadi 46 kasus (2004), 97 kasus (2005), 116 kasus (2006), dan pada tahun 2007 per
tanggal 15 Juni sudah dilaporkan terjadi 50 kasus dengan angka kematian 66. Negara yang
terjangkit sebagian besar adalah negara-negara di Asia (Thailand, Vietnam, Kamboja, China,
dan Indonesia), tetapi saat ini sudah menyebar ke Irak dan Turki. Kasus AI di Indonesia
bermula dari ditemukannya kasus pada unggas di pekalongan, Jawa Tengah pada bulan
agustus 2003. Sampai tahun 2006, penyakit ini sudah menyerang unggas di 29 provinsi yang
mencakup 291 kabupaten/kota. Daerah yang memiliki populasi unggas yang padat dan diikuti
populasi penduduk yang padatlah yang akan mengalami banyak kasus pada manusia.
Di Indonesia, sejak juli 2005 sampai pertengahan Juni 2007 tercatat terdapat 100
kasus dengan 80 kematian (CFR80). Sebagian besar kasus berasal dari Jawa dan
Sumatera. Propinsi terbanyak yang terjangkit penyakit ini adalah Jawa Barat,DKI Jakarta,
dan Banten. Penyakit ini sudah terjangkit di 11 provinsi dan 37 kabupaten/kota.



2.3 Etiologi
Virus inIluenza adalah virus RNA berselubung (envelope), memiliki genom yang
bersegmen (terdiri dari 8 gena) dan menunjukan keanekaragaman antigenik yang sangat luas.
Penyebab Ilu burung adalah virus dari Iamily 79omyxovi7idae yang terdiri dari 3 tipe, yaitu
A,B,dan C. Virus InIluenza B dan C dapat menyebabkan penyakit pada manusia dengan
gejala ringan dan tidak Iatal. Virus InIluenza A dibedakan menjadi banyak suubtipe
berdasarkan petanda berupa tonjolan protein pada permukaan sel virus yaitu Hemaglutinin
(H) merupakan glikoprotein permukaan yang berikatan dengan residu asam sialat pada
glikoprotein sel epitel saluran naIas. Ikatan ini sangat penting untuk mengawali suatu inIeksi
tanpa ikatan tersebut tidak akan terjadi inIeksi.Setelah replikasi virus, virion keturunanya
juga masih terikat pada sel inang (host). Selanjutnya Neuromidase (N) akan memutuskan
ikatan itu dan membebaskan virion-virion pada sekret saluran naIas yang dimediasi oleh
H(7,8). Baik H maupun N mampu merangsang terbentuknya antibodi pada manusia dan
inang.
Diantara virus InIluenza, sampai saat ini diketahui ada 15 subtipe H dan 9 subtipe N.
Subtipe yang lazim dijumpai manusia adalah dari kelompok H1,H2,H3 serta N1,N2 dan
disebut human InIluenza. Dua di antara subtype tersebut dikenal sangat ganas, yakni H5 dan
H7 Strain virus yang menyebabkan mewabahnya Ilu burung di Asia termasuk di Indonesia
adalah strain H5N1. Cepatnya penyebaran virus Ilu burung ini karena ia memiliki daya
replikasi (berbiak) tinggi sehingga dapat berkembang sangat cepat dalam tubuh. Virus ini
menyerang alat pernapasan, alat pencernaan, dan sistem saraI unggas. Virus H5N1 bersiIat
ganas dan mematikan, tidak hanya menyerang unggas tetapi juga ternak lainnya babi. Bahkan
kucing pun dapat diserangnya. Virus AI pun bersiIat :oonosis (dapat menular ke manusia)
dengan akibat virus H5N1 tahan pada suhu rendah tetapi tidak tahan pada suhu tinggi. Virus
ini dapat bertahan hidup di air hingga empat hari pada sushu 22C dan lebih dari 30 hari pada
suhu 0C. di dalam kotoran dan tubuh unggas yang sakit virus dapat bertahan lebih lama, tapi
mati pada pemanasan 600C selama 30 menit. Semakin tinggi suhu, virus semakin mudah
mati. Masa inkubasi virus ini adalah 1-3 hari.

2.4 Patogenesis
InIeksi virus H5N1 dimulai ketika virus memasuki sel hospes setelah terjadi
penempelan spikes virion dengan reseptor spesiIik yang ada di permukaan sel hospesnya.
Virion akan menyusup ke sitoplasma sel dan akan mengintegrasikan materi genetiknya di
dalam inti sel hospesnya, dan dengan menggunakan mesin genetik dari sel hospesnya, virus


dapat bereplikasi membentuk virion-virion baru, dan virion-virion ini dapat menginIeksi
kembali sel-sel disekitarnya. Dari beberapa hasil pemeriksaan terhadap spesimen klinik yang
diambil dari penderita ternyata avian inIluenza H5N1 dapat bereplikasi di dalam sel
nasoIaring, dan di dalam sel gastrointestinal. Virus H5N1 juga dapat dideteksi di dalam
darah, cairan serebrospinal, dan tinja pasien.
Fase penempelan (a99acmen9) adalah Iase yang paling menentukan apakah virus bisa
masuk atau tidak ke dalam sel hospesnya untuk melanjutkan replikasinya. Virus inIluenza A
melalui spikes hemaglutinin (HA) akan berikatan dengan reseptor yang mengandung sialic
acid (SA) yang ada pada permukaan sel hospesnya. Ada perbedaan penting antara molekul
reseptor yang ada pada manusia dengan reseptor yang ada pada unggas atau binatang. Pada
virus Ilu burung, mereka dapat mengenali dan terikat pada reseptor yang hanya terdapat pada
jenis unggas yang terdiri dari oligosakharida yang mengandung N acethylneuraminic acid u-
2,3-galactose (SA u-2,3- Gal), dimana molekul ini berbeda dengan reseptor yang ada pada
manusia. Reseptor yang ada pada permukaan sel manusia adalah SA u- 2,6-galactose (SA u-
2,6-Gal), sehingga secara teoritis virus Ilu burung tidak bisa menginIeksi manusia karena
perbedaan reseptor spesiIiknya. Namun demikian, dengan perubahan hanya 1 asam amino
saja konIigurasi reseptor tersebut dapat dirubah sehingga reseptor pada manusia dikenali oleh
HPAI-H5N1. Potensi virus H5N1 untuk melakukan mutasi inilah yang dikhawatirkan
sehingga virus dapat membuat varian-varian baru dari HPAI-H5N1 yang dapat menular antar
manusia ke manusia.

2.5 Cara penularan
Penularan Flu burung (H5N1) pada unggas terjadi secara cepat dengan kematian
tinggi. Penyebaran penyakit ini terjadi diantara populasi unggas satu pertenakan, bahkan
dapat menyebar dari satu pertenakan ke peternakan daerah lain. Sedangkan penularan
penyakit ini kepada manusia dapat melalui udara yang tercemar virus tersebut, baik yang
berasal dari tinja, air mata atau sekreta unggas yang terserang Flu Burung. Adapun orang
yang mempunyai resiko besar untuk terserang virus Ilu burung (H5N1) ini adalah pekerja
peternakan unggas, penjual dan penjamah unggas.
Penularan penyakit ini dapat terjadi melalui udara (air borne) dan melalui kontak
langsung dengan unggas sakit atau kontak dengan bahan bahan inIeksius seperti tinja, urin,
dan sekret saluran napas unggas sakit.




A. Penularan antar ternak unggas
Seekor unggas yang terinIeksi virus H5N1 akan menularkannya dalam waktu singkat. Jika
semua unggas peliharaan memiliki daya tahan yang bagus maka inIeksi tidak akan
menyebabkan kematian, dengan kata lain virus tidak aktiI. Sebaliknya, jika kondisi unggas
berada dalam kondisi buruk maka Ilu burung dapat mematikan.
Secara singkat, penyakit Ilu burung dapat ditularkan dari unggas ke unggas lain atau dari
peternakan ke peternakan lainnya dengan cara sebagai berikut:
a. Kontak langsung dari unggas terinIeksi dengan hewan yang peka.
b. Melalui lendir yang berasal dari hidung dan mata.
c. Melalui kotoran (Ieses) unggas yang terserang Ilu burung.
Kotoran unggas yang terserang Ilu burung mengandung virus penyebab Ilu burung.
Bahan organik yang terdapat dalam kotoran merupakan sumber nutrisi bagi virus
sehingga virus dapat bertahan hidup lebih lama di luar tubuh unggas. Kotoran dapat
menempel pada peralatan ernak seperti tempat pakan, minum, rak telur dan juga
pada dinding kandang. Kotoran kering dapat bercampur dengan udara dan terhirup
oleh unggas lain. Kesemuanya ini menyebabkan virus mudah menyebar dengan
sangat cepat.
d. Lewat manusia melalui sepatu dan pakaian yang terkontaminasi dengan virus.
e. Melalui pakan, air, dan peralatan kandang yang terkontaminasi.
I. Melalui udara karena memiliki peran penting dalam penularan dalam satu kandang,
tetapi memiliki peran terbatas dalam penularan antar kandang.
g. Melalui unggas air yang dapat berperan sebagai sumber (reservoir) virus dari dalam
saluran intestinal dan dilepaskan lewat kotoran.

B. Penularan dari ternak ke manusia
Faktor yang memengaruhi penularan Ilu burung dari ternak ke manusia adalah jarak
dan intensitas dalam aktivitas yang berinteraksi dengan kegiatan peternakan. Semakin dekat
jarak peternakan yang terkena wabah virus dengan lingkungan manusia maka peluang untuk
menularnya virus bisa semakin besar. Penularan virus ke manusia lebih mudah terjadi bila
orang tersebut melakukan kontak langsung dengan aktivitas peternakan. Orang yang
mempunyai risiko tinggi terserang Ilu burung adalah pekerja peternakan unggas, penjual,
penjamah unggas, sampai ke dokter hewan yang bertugas memeriksa kesehatan ternak di
peternakan


Karakteristik lain dari virus ini adalah kemampuannya untuk bertukar,bercampur, dan
bergabung dengan virus inIluenza strain lain sehingga menyebabkan munculnya strain baru
yang bisa berbahaya bagi manusia. Mekanisme ini juga menyebabkan kesulitan dalam
membuat vaksin untuk program penanggulangan.
Mekanisme penularan Ilu burung pada manusia melalui beberapa cara :
a) Virus unggas liar unggas domestik manusia.
b) Virus unggas liar unggas domestik babi manusia.
c) Virus unggas liar unggas domestik (dan babi) manusia manusia.

C. Penularan antar manusia
Penularan Ilu burung antar manusia belum dapat dibuktikan, tetapi tetap perlu
diwaspadai. Hal ini dikarenakan virus cepat bermutasi dan beradaptasi dengan manusia
sehingga memungkinkan adanya varian baru dari virus Ilu burung yang dapat menular.

Kelompok resiko tinggi
a. Kontak erat (dlm jarak 1 m), seperti merawat, berbicara atau bersentuhan dengan pasien
suspek, probabel atau kasus konIirmasi
b. Terpajan (memegang, menyembelih, dll) dg ternak ayam, unggas liar, bangkai unggas/ thd
lingkungan yang tercemar oleh kotoran unggas itu dalam wilayah yang terjangkit Ilu burung
dalam bulan terakhir.
c. Mengkonsumsi produk unggas mentah/ yang tidak dimasak dengan sempurna di wilayah
yang terjangkit Ilu burung satu bulan terakhhir.
d. Kontak erat dengan binatang lain (misal: kucing/babi) yang telah terinIeksi H5N1.
e. Memegang/menangani sampel yg dicurigai mengandung H5N1 dalam suatu
laboratorium/tempat lainnya.

2.6 Gejala flu burung
Flu burung pada ternak
Gejala klinis Ilu burung pada unggas mirip dengan gejala newcastle disease, atau di
indonesia disebut penyakit tetelo atau pileren yang disebabkan oleh paramyxovirus.
Gejala Klinis ternak unggas yang terinIeksi Ilu burung sebagai berikut:
O Jengger, pial, dan kulit perut yang tidak ditumbuhi bulu bewarna biru keunguan.
O Pembengkakan di sekitar kepala dan muka.


O Ada cairan yang keluar dari hidung dan mata.
O Perdarahan di bawah kulit (subkutan)
O Perdarahan titik (ptechie) pada daerah dada, kaki, dan telapak kaki.
O Batuk, bersin, ngorok.
O Diare.
O Tingkat kematian tinggi.

Flu burung pada manusia
a. InIluenza tanpa komplikasi
Gejala awal inIluenza pada umumnya berupa demam, nyeri kepala, nyeri otot dan
malaise yang muncul dengan onset mendadak, disertai gejala-gejala penyakit saluran naIas
seperti batuk-batuk atau nyeri tenggorokan. Namun inIluenza juga menunjukan spektrum
gejala yang beragam, mulai dari gejala respirasi tanpa demam yang menyerupai selesma,
hingga gejala dan tanda sistemik yang hanya sedikit sekali mengindikasikan keterlibatan
saluran naIas,
Pemeriksaan Iisik pada umumnya tidak menunjukan kelainan berarti pada inIluenza
tanpa komplikasi. Penderita mengalami demam, hiperemi Iaring, dan pemmbesaran ringan
kelenjar getah bening leher (terutama pada usia muda). Pemeriksaan dada juga tidak
menunjukan kelainan, walaupun pada beberapa penderita didapatkan gangguan ventilasi
ringan dan peningkatan gradien oksigen alveolar-arterial.
Penderita tanpa komplikasi biasanya berangsur-angsur membaik dalam 2-5 hari,
namun kadang-kadang dapat berlanjut hingga lebih dari satu minggu. Beberapa penderita
mengalami kelemahan/kelelahan (postinIluenza asthenia) yang menetap hingga beberapa
minggu.
b. InIluenza dengan komplikasi
Komplikasi yang paling sering dijumpai pneumonia, namun dapat pula terjadi
komplikasi yang mengenai otot dan ssp.
O Pneumonia
Komplikasi ini sering terjadi pada penderita tertentu yang memiliki dasar penyakit
kronis dan dikategorikan beresiko tinggi, meliputi: penderita penyakit paru-paru atau
kardiovaskular, DM, penyakit ginjal, hemoglo-binopati, mendapatkan obat
imunosupresiI, penderita berusia ~50 tahun. Jenis pneumonia dapat dikelompokan
menjadi pneumonia inIluenza virus (primer), pneumonia bakterial (sekunder), atau


campuran ari keduanya. Pneumonia inIluenza virus primer terjadi bila inIeksi virus
langsung menyerang paru-paru dan menyebabkan pneumonia yang parah. Pneumonia
jenis ini harus dicurigai bila secara klinis gejala inIluenza tidak kunjung membaik
atau menjadi semakin parah. Demam tinggi, sesak naIas, dan bahkan sianosis sering
dijumpai. Pneumonia ini adalah komplikasi inIluenza yang paling parah.
Virus inIluenza menyerang epitel trakeobronkial, menyebabkan berkurangnya jumlah
sel dan rusaknya silia. Hal ini menjadi predisposisi terjadinya inIeksi bakterial
sekunder. Bakteri patogen yang sering dijumpai $97ep9ococus pneumonia, disusul
oleh $9apylococua Au7eus, dan H.Influen:a. Gambaran klinis utama pneumonia
bakterial sekunder adalah meningkatnya kembali demam dan gejala-gejala
pernaIasan setelah pada awalnya perbaikan. Didapatkan demam tinggi, batuk, dahak,
purulen, dan gambaran inIiltrat paru pada Ioto thoraks.
O Miositis dan rabdomiolisis
Kedua komplikasi ini terutama sering didapatkan pada anak-anak. Mialgia merupakan
gejala yang menonjol, tetapi miositis jarang ditemui. Patogenesis masih belum
sepenuhnya dipahami, namun beberapa kemungkinan,antara lain: invasi langsung
oleh virus pada sel otot, pelepasan sitokin miotoksik sebagai reaksi terhadap inIeksi
virus atau proses imunologis yang terjadi akibat inIeksi virus yang menyebabkan
kerusakan otot. Gejala utama miositis akut berupa rasa nyeri pada otot yang terkena.
Serum creatinin phosphokinase (CK) sedikit meningkat.
O Sindroma Reye
Merupakan komplikasi inIluenza ekstrapulmonar yang sebernya lebih banyak
dijumpai pada inIeksi virus inIluenza B. Lebih sering mengenai anak usia 2-16 tahun.
Gejala berupa mual,muntah selama 1-2 hari, diikuti gejala dan tanda gangguan ssp
seperti perubahan status mental, kelelahan umum, delirium, koma, kejang. Didapatkan
hepatomegali, peningkatan SGOT/SGPT, LDL, dan peningkatan ringan bilirubin
serum serta amonia. Tatalaksana terpenting yaitu mengatasi edema otak, dan
hipoglikemia.
O Gejala SSP
Kelainan berupa enseIalitis, transverse myelitis, aseptic meningitis, dan sindroma
Guillain-Bare, walaupun keterkaitan etiologis antara inIluenza dengan kelainan ssp
belum sepenuhnya mantap.

10

2.7 Diagnosis Avian Influenza
Selama wabah inIluenza, setiap demam akut disertai gejala pernaIasan hampir dapat
didiagnosis secara klinis sebagai inIluenza. Prediktor multivariant terbaik adalah kombinasi
gejala demam dan batuk-batuk selama 48 jam setelah gejala awal muncul (nilai prediksi
positiI 79). Sebaliknya gejala inIluenza virus sporadic tidak dapat dibedakan dengan gejala
inIeksi oleh virus respirasi lainnya hanya secara klinis belaka. Kuman penyebab terbanyak
yaitu rhinovirus dan coronavirus.
DeIinisi kasus :
a. Penderita dalam penyelidikan
setiap penderita dengan demam (temperature _38C) dan satu atau lebih gejala berikut
ini :
- batuk
- nyeri tenggorokan
- sesak naIas
dimana pengawasan secara klinis dan pemeriksaan labolatorium masih sedang
dikerjakan.
b. Kasus Possible Avian InIluenza (H5N1)
setiap penderita dengan demam (temperature _38C) dan satu atau lebih gejala berikut
ini:
- batuk
- nyeri tenggorokan
- sesak naIas
dan satu atau lebih kondisi berikut :
- bukti laboratorium adanya inIeksi virus inIluenza A yang tidak menyebutkan
secara spesiIik subtype virusnya.
- kontak dengan kasus conIirmed avian inIluenza A/H5 (pada periode inIeksius)
dalam kurun waktu 7 hari sebelum munculnya gejala awal.
- kontak dengan unggas, termasuk ayam, yang mati oleh karena suatu penyakit
dalam kurun waktu 7 hari sebelum munculnya gejala awal.
- bekerja dalam laboratorium yang memproses sampel dari penderita atau hewan
yang dicurigai menderita inIeksi-highly pathogenic avian inIluenza (HPAI) dalam
kurun waktu 7 hari ssebelum muncul gejala awal. Setiap penderita yang
meninggal oleh sebab suatu penyakit saluran naIas yang belum dapat dijelaskan
dan salah satu atau lebih kondisi berikut ini.
11

- tinggal atau mengunjungi daerah yang dicurigai atau dipastikan terjangkit HPAI
dalam kurun waktu 7 hari sebelum muncul gejala awal.
- kontak dengan kasus conIirmed avian inIluenza A/H5 (pada periode inIeksius)
dalam kurun waktu 7 hari sebelum muncul gejala awal.
c. Kasus probable avian inIluenza (H5N1)
Setiap penderita dengan demam (temp: _ 38C) dan satu atau lebih gejala berikut ini :
- batuk
- nyeri tenggorokan
- sesak naIas
Dan bukti laboratorium terbatas adanya inIeksi virus inIluenza A/H5 (antibody
spesiIik terhadap H5 dideteksi pada specimen serum tunggal)
d. Kasus conIirmed avian inIluenza (H5N1)
Setiap penderita (hidup atau sudah meninggal) yang pemeriksaan laboratoriumnya
menunjukan satu atau lebih hasil berikut ini :
- Kultur virus inIluenza A/H5 positiI
Pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) untuk virus inIluenza A/H5 positiI
- Tes immunoIluoresence antibody (IFA) dengan antibody monoclonal anti
inIluenza A/H5 positiI
- Peningkatan 4 kali lipat titer antibody spesiIik terhadap virus inIluenza A/H5
pada pemeriksaan sempel serum ulangan.

2.8 Penanggulangan flu burung
a. Penanggulangan flu burung pada ternak
Virus Ilu burung yang dapat menyerang pada hewan saat ini belum diketahui obat
maupun vaksin yang tepat untuk mengobatinya. Pemberian obat maupun vaksin dilakukan
lebih ke arah pencegahan supaya tidak menular kepada hewan lain maupun manusia di
sekitarnya. Beberapa langkah yang dapat ditempuh dalam penanggulangan Ilu burung antara
lain sebagai berikut:
1. Biosekuriti
Disebut juga keamanan hayati, yaitu perlakuan yang ditujukan untuk menjaga keamanan
hayati demi pemeliharaan kesehatan dan memperkecil ancaman terhadap individu yang
dilindungi.
Usaha ini antara lain:
1

a. Membatasi secara ketat lalu lintas unggas atau ternak, produk unggas, pakan, kotoran,
bulu, dan alas kandang.
b. Membatasi lalu lintas pekerja atau orang dan kendaraan keluar masuk peternakan.
c. Peternak dan orang yang hendak masuk peternakan harus memakai pakaian pelindung
seperti masker, kaca mata plastik, kaos tangan, dan sepatu.
d. Mencegah kontak antara unggas dengan burung liar.
2. Depopulasi
Depopulasi adalah tindakan pemusnahan unggas secara selektiI di peternakan yang
tertular virus Ilu burung. Tindakan ini dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit
lebih luas.
Cara pemusnahan unggas yang terinIeksi virus Ilu burung adalah menyembelih semua
unggas yang sakit dan yang sehat dalam satu kandang (peternakan). Selain itu, dapat juga
dilakukan dengan cara disposal, yaitu membakar dan mengubur unggas mati, sekam dan
pakan yang tercemar, serta bahan dan peralatan yang terkontaminasi.
3. Vaksinasi
Dilakukan pada semua jenis unggas yang sehat di daerah yang telah diketahui ada virus
Ilu burung. Vaksin yang digunakan adalah vaksin inaktiI (killed vaccine) yang resmi dari
pemerintah.

b. Penanggulangan flu burung pada manusia
Flu burung pada manusia belum ada obatnya. Meskipun tidak semua penderita
mengalami kematian, Ilu burung tetap harus diwaspadai karena dikhawatirkan virus ini akan
mengalami mutasi menjadi lebih ganas. Berikut ini beberapa tindakan untuk mewaspadai Ilu
burung:
O Berolahraga secara teratur, sehingga Iisik sehat.
O Makan makanan yang bergizi, agar dapat menyuplai energi untuk pembentukan
kekebalan tubuh yang optimal.
O Mengkonsumsi produk unggas yang benar-benar sudah matang.
O hindari berkunjung ke peternakan.
O Seringlah mencuci tangan dan hindari meletakkan tangan di hidung dan mulut.
O Membiasakan hidup bersih dan menjaga kebersihan lingkungan.
O Cukup istirahat.

1

.. Penanggulangan di rumah sakit
O Penderita dirawat di ruang isolasi selama 7 hari (masa penularan).
O Oksigenasi, dengan mempertahankan saturasi O2 ~ 90
O Hidrasi
O Antibiotika, anti inIlamasi , obat obatan imunomodulator
O Terapi simptomatis untuk gejala Ilu, seperti analgetika / antipiretika, mukolitik,
dekongestan.

2.9 Pen.egahan flu burung
Flu burung belum ada obatnya. Upaya yang dilakukan hanya bersiIat pencegahan dan
pertolongan pertama. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan pencegahan luar dan dalam
tubuh.
1). Pencegahan Luar
Pencegahan luar bertujuan untuk mencegah penularan dari lingkungan agar tidak
masuk ke dalam tubuh. Tindakannya adalah:
O Setiap orang yang berhubungan dengan bahan yang berasal dari unggas harus
menggunakan pelindung.
O Memusnahkan unggas yang terkena Ilu burung.
O Peternakan harus dijauhkan dari perumahan untuk mengurangi resiko penularan.
O Tidak mengkonsumsi produk unggas dari peternakan yang terkena wabah Ilu burung.
O Tetap terapkan pola hidup sehat
Edukasi:
O Tindakan pencegahan standard
Perhatikan dengan seksama kebersihan tangan sebelum dan sesudah kontak dengan
semua penderita atau bahan-bahan yang berpotensi terkontaminasi sekret pernapasan.
O Tindakan pencegahan kontak
Dianjurkan untuk mengenakan sarung tangan dan pakaian / gaun pelindung sebelum
kontak dengan penderita. Gunakan stetoskop tersendiri, manset pengukur tensi
disposable, termometer disposable, dan sebagianya.
O Perlindungan mata
Dianjurkan untuk mengenakan kacamata pelindung (google), dan pelindung wajah
(Iace shield) pada saat mendekati penderita dengan jarak kurang dari 3 kaki (sekitar 1
meter).
1

O Tindakan pencegahan penularan melalui udara
Penderita seharusnya dirawat dalam ruangan khusus untuk mencegah penularan
melalui udara |airbone isolation room (AIR)|, dengan koridor bertekanan udara
negatiI, penggantian udara 6-12 kali setiap jam, saluran pengeluaran udara atau
resirkulasi udara yang disaring dengan Iilter khusus |high eIIiciency particulate air
(HEPA)|. Gunakan masker yang ukurannya benar-benar sesuai (misalnya masker N-
95) setiap akan memasuki ruangan.
2). Pencegahan Dalam
Pencegahan dalam dilakukan dengan mengonsumsi obat dan makanan untuk
meningkatkan daya tahan tubuh.
O Obat
Obat yang direkomendasikan untuk mencegah terinIeksi Ilu burung adalah obat
antiviral misalnya amantadine dan rimantadine dan penghambat neurominidase
misalnya oseltamivir dan zanimivir.
Obat ini digunakan dalam pencegahan dan pengobatan inIluenza di beberapa Negara
dan diperkirakan dapat juga mengatasi penyakit Ilu burung.
O Makanan
Mengkonsumsi makanan yang banayak mengandung serat dan kandungan antioksidan
tinggi seperti buah dan sayuran.
Dengan melaksanakan upaya pencegahan diatas diharapkan kita semua dapat
terhindar dari penyakit Ilu burung ini.

2.10 Pemeriksaan Penunjang Diagnostik
a. Pemeriksaan Laboratorium
Setiap pasien yang datang dengan gejala klinis seperti di atas dianjurkan untuk
sesegera mungkin dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan darah rutin (Hb,
Leukosit, Trombosit, Hitung Jenis Leukosit), spesimen serum, aspirasi nasoIaringeal, apus
hidung dan tenggorok untuk konIirmasi diagnostik.
Diagnosis secara laboratorik dinyatakan berhasil bila didapatkan virus atau antigen
virus pada spesimen hapusan tenggorok, bilasan hidung, dahak, atau bilasan bronkoalveolar
(BAL). Dalam satu penelitian dinyatakan bahwa pemeriksaan dahak dan bilasan hidung lebih
unggul dibandingkan hapusan tenggorok dalam mengisolasi virus inIluenza. Walaupun
kultur/biakan virus merupakan baku emas untuk diagnosis laboratorik, pemeriksaan itu mem-
1

butuhkan waktu 48-72 jam sebelum eIek sitopatik virus terhadap kultur jaringan dapat
diamati.
Diagnosis Ilu burung dibuktikan dengan :
1. Uji #%!# (#eve7se %7ansc7ip9ion !olyme7ase ain #eac9ion) untuk H5.
Pemeriksaan PCR (RT-PCR) dapat mendeteksi RNA virus dalam jumlah yang sedikit
pada spesimen seperti misalnya aspirat nasoIaring, BAL, hapusan tenggorok, atau
bilasan hidung. Pemeriksaan ini pada umumnya lebih sensitiI dibandingkan kultur dan
bersiIat spesiIik baik untuk inIluenza A maupun B, namun mahalnya biayanya
sehingga sebaiknya hanya digunakan pada situasi klinis dimana diagnosis virologi
spesiIik dianggap perlu.
2. Tehnik pemeriksaan imunologis dan biomolekuler |immunofluo7esencence (IF),
en:ym immunoassay (EIA), dan polyme7ase cain 7eac9ion (PCR)
Ketiga tes di atas cukup cepat (bervariasi dari 15 menit hingga 2 hari) walaupun
beberapa jenis tes membutuhkan peralatan canggih dan keterampilan laboratorik
tertentu. Quick'ue Influen:a AB dan Zs9a9lu adalah dua tes yang dijinkan untuk
digunakan secara bebas di setiap tempat pelayanan kesehatan dalam linical
Labo7a9o7y Imp7ovemen9 Amendmen9s, sedangkan satu-satunya tes yang diijinkan
secara bebas untuk membedakan inIluenza A dan B dalam amandemen tersebut
adalah Quick Vue AB (22,27). Tes-tes tersebut (termasuk Di7ec9igen lu A, LU
IA, Quick 'ue Influen:a %es9, Zs9a9lu) telah dibandingkan dengan biakan virus
standard reIerensi, dan memiliki sensitivitas berkisar antara 72-95 dan spesiIisitas
berkisar antara 76-84. ZstatFlu mempunyai sensitivitas yang lebih rendah
dibandingkan tes-tes lainya.
3. Biakan dan identiIikasi virus InIluenza A subtipe H5N1.
4. Uji Serologi
Diagnosis serologi umumnya menggunakan metode inhibisi hemaglu-tinasi. Spesimen
serum diperiksa 2 kali, pada awal inIeksi akut dan 10-14 hari kemudian. Peningkatan
titer antibodi sebesar 4 kali lipat atau lebih dianggap positiI. Metode serologis lainnya
menggunakan tehnik ELISA atau Iiksasi komplemen. Pemeriksaan ini dan juga kultur
virus hanya dapat dilakukan pada laboratorium dengan standard Iasilitas biosafe9y
level 3.
Peningkatan ~4 kali lipat titer antibodi netralisasi untuk H5N1 dari spesimen
konvalesen dibandingkan dengan spesimen akut ( diambil 7 hari setelah awitan
gejala penyakit), dan titer antibodi netralisasi konvalesen harus pula ~1/80.
1

Titer antibodi mikronetralisasi H5N1 ~1/80 pada spesimen serum yang diambil pada
hari ke ~14 setelah awitan (onset penyakit) disertai hasil positiI uji serologi lain,
misalnya titer HI sel darah merah kuda ~1/160 atau western blot spesiIik H5 positiI.
Pemeriksaan lain dilakukan untuk tujuan mengarahkan diagnostik ke arah kemungkinan Ilu
burung dan menentukan berat ringannya derajat penyakit . Pemeriksaan yang dilakukan
adalah :
Pemeriksaan Hematologi :
Hemoglobin, leukosit, trombosit, hitung jenis leukosit, limIosit total. Umumnya ditemukan
leukopeni, limIositopeni dan trombositopeni.
Pemeriksaan Kimia darah :
Albumin, Globulin, SGOT, SGPT, Ureum, Kreatinin, Kreatin Kinase, Analisis Gas Darah.
Umumnya dijumpai penurunan albumin, peningkatan SGOT dan SGPT, peningkatan ureum
dan kreatinin, peningkatan Kreatin Kinase, Analisis Gas Darah dapat normal atau abnormal.
Kelainan laboratorium sesuai dengan perjalanan penyakit dan komplikasi yang ditemukan.
b. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan Ioto toraks PA dan Lateral harus dilakukan pada setiap tersangka Ilu
burung. Gambaran inIiltrat di paru menunjukkan bahwa kasus ini adalah pneumonia.
Pemeriksaan lain yang dianjurkan adalah pemeriksaan CT Scan untuk kasus dengan gejala
klinik Ilu burung tetapi hasil Ioto toraks normal sebagai langkah diagnostik dini.
.. Pemeriksaan Post Mortem
Pada pasien yang meninggal sebelum diagnosis Ilu burung tertegakkan, dianjurkan
untuk mengambil sediaan postmortem dengan jalan biopsi pada mayat (nec7opsi), spesimen
dikirim untuk pemeriksaan patologi anatomi dan PCR.

2.11 Penatalaksanaan
Pada dasarnya penatalaksanaan Ilu burung (AI) sama dengan inIluenza yang
disebabkan oleh virus yang patogen pada manusia.
A. Penatalaksanaan Umum
1. Pelayanan di Fasilitas Kesehatan non Rujukan Flu Burung
Pasien suspek Ilu burung langsung diberikan Oseltamivir 2 x 75 mg (jika anak, sesuai
dengan berat badan) lalu dirujuk ke RS rujukan Ilu burung.
Untuk puskesmas yang terpencil pasien diberi pengobatan oseltamivir sesuai skoring di
bawah ini, sementara pada puskesmas yang tidak terpencil pasien langsung dirujuk ke RS
rujukan. Kriteria pemberian oseltamivir dengan sistem skoring, dimodiIikasi dari hasil
1

pertemuan o7ksop ase Managemen9 & pengembangan laboratorium regional Avian
InIluenza, Bandung 20 23 April 2006`
Skor
Gejala
1 2
Demam 38
0
C ~38
0
C
RR N ~N
Ronkhi Tidak ada Ada
Leukopeni Tidak ada Ada
Kontak Tidak ada Ada
Jumlah
Skor :
6 7 evaluasi ketat, apabila meningkat (~7) diberikan oseltamivir
~ 7 diberi oseltamivir
Batasan Frekuensi Napas :
2bl ~ 60x/menit
2bl - 12 bl ~ 50x/menit
~1 th - 5 th ~ 40x/menit
5 th - 12 th ~ 30x/menit
~13 ~ 20x/menit
Pada Iasilitas yang tidak ada pemeriksaan leukosit maka pasien dianggap sebagai leukopeni
(skor 2)
Pasien\ ditangani sesuai dengan kewaspadaan standar
2. Pelayanan di Rumah Sakit Rujukan
Pasien Suspek H5N1, Probabel, dan KonIirmasi dirawat di Ruang Isolasi.
Petugas triase memakai APD, kemudian segera mengirim pasien ke ruang pemeriksaan.
Petugas yang masuk ke ruang pemeriksaan tetap mengunakan APD dan melakukan
kewaspadaan standar.
Melakukan anamnesis, pemeriksaan Iisik.
Pemeriksaan laboratorium sesuai dengan bab III.B.2.a, dan Ioto toraks. Setelah pemeriksaan
awal, pemeriksaan rutin (hematologi dan kimia) diulang setiap hari sedangkan HI diulang
pada hari kelima dan pada waktu pasien pulang. Pemeriksaan PCR dilakukan pada hari
pertama, kedua, dan ketiga perawatan. Pemeriksaan serologi dilakukan pada hari pertama
dan diulang setiap lima hari.
1

Penatalaksanaan di ruang rawat inap
Klinis
1. Perhatikan :
- Keadaan umum
- Kesadaran
- Tanda vital (tekanan darah, nadi, Irekuensi napas, suhu).
- Bila Iasilitas tersedia, pantau saturasi oksigen dengan alat pulse oxyme97y.
2. Pengobatan suportiI meliputi terapi simptomatik untuk mengatasi demam, nyeri
kepala, dan myalgia, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi dan oksigen. Obat penurun
panas dan analgesik yang dianjurkan adalah parasetamol. Penggunaan salisilat harus
dihindari (terutama anak-anak 18 tahun) karena beresiko menimbulkan sindroma
Reye. AntitusiI boleh diberikan bila batuk dirasakan mengganggu. Penderita
dianjurkan untuk banyak beristirahat selama periode inIeksi akut. Aktivitas penuh
sebaiknya ditunda dulu hingga gejala penyakit benar-benar telah sembuh sepenuhnya.

B. Profilaksis Menggunakan Oseltamivir
Perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya penularan dari manusia ke manusia, namun
penggunaan proIilaksis oseltamivir sebelum terpajan tidak dianjurkan. Rekomendasi saat ini
oseltamivir diberikan pada petugas yang terpajan pada pasien yang terkonIirmasi dengan
jarak 1 m tanpa menggunakan APD. Bagi mereka yang terpajan lebih 7 hari yang lalu,
proIilaksis tidak dianjurkan.
Kelompok risiko tinggi untuk mendapat proIilaksis adalah :
Petugas kesehatan yang kontak erat dengan pasien suspek atau konIirmasi H5N1 misalnya
pada saat intubasi atau melakukan suc9ion trakea, memberikan obat dengan menggunakan
nebulisasi, atau menangani cairan tubuh tanpa APD yang memadai. Termasuk juga
petugas lab yang tidak menggunakan APD dalam menangani sampel yang mengandung
virus H5N1.
Anggota keluarga yang kontak erat dengan pasien konIirmasi terinIeksi H5N1. Dasar
pemikirannya adalah kemungkinan mereka juga terpajan terhadap lingkungan atau unggas
yang `menularkan penyakit
C. Antiviral
1. Pengobatan
Ada dua kelompok obat antiviral untuk inIluenza yaitu M2 inhibitor dan
Neuraminidase Inhibitor. Obat kelompok M2 Inhibitor yaitu Amantadin dan Rimantadin; dan
1

kelompok Neuraminidase Inhibitor antara lain Oseltamivir (kapsul dan suspensi) dan
Zanamivir (inhalasi).
Selain perawatan suportiI, terapi antiviral memegang peranan utama dalam
pemberantasan inIeksi virus avian inIluenza. Karena sedikitnya jumlah penderita terinIeksi
yang telah diteliti, eIektiIitas obat-obat antivirus sebenarnya belum diketahui secara
meyakinkan. Virus H5N1 manusia hasil isolasi tahun 1997 sensitiI terhadap obat antiviral
Amantadine dan Rimantadine. Ribavirin juga telah dicoba digunakan tetapi tidak
memberikan manIaat apapun. Sebagaian besar virus H5N1 manusia hasil isolasi tahun 2004
ternyata resisten terhadap Amantidine dan Rimantidine tetapi sensitiI terhadap obat-obatan
inhibitor neuraminidase seperti Oseltamivir dan Zanamivir. Obat ini harus diberikan secara
dini, karena bila diberikan pada saat inIeksi sudah berjalan lanjut tidak akan bermanIaat.
Walaupun belum pernah dilakukan penelitian , pemberian Oseltamivir untuk pencegahan
juga dianggap bermanIaat karena obat tersebut terbukti dapat mengatasi inIeksi dan mampu
menurunkan pelepasan virus-virus baru.
Mekanisme Kerja dan Terjadinya Resistensi terhadap M2 Inhibitor
M2-proton channel meluangkan inIluks ion H masuk kedalam virion pada awal
siklus replikasinya, dengan denikian memudahkan disosiasi ribonukleoprotein dari virion
kedalam sitoplasma nukleus sel. Pada highly pathogenic avian viruses (H5 and H7), M2-
proton channel melindungi hemaglutinin dari inaktivasi oleh asam dari jejaring trans-Golgi
selama transpor ke permukaan sel. Adanya amantadin, mengakibatkan channel dihalangi
sehingga replikasi terhambat. Serine pada posisi 31 terletak sebagian di proteinprotein
interIace dan sebagian di channel. Pada mutasi penggantian asam amino serine dengan
asparagin yang molekulnya lebih besar, karena tidak dapat berikatan dengan amantadin
terjadilah keadaan yang disebut resistensi. Tergantung pada jenis asam amino tertentu, mutasi
lainnya pada posisi 26, 27, 30, atau 34 dapat menghambat ikatan amantadin atau tetap dapat
menyebabkan ikatan tanpa kehilangan Iungsi ion-channel.
Mekanisme resistensi pada Oseltamivir
Lokasi aktiI neuraminidase berubah bentuk menjadi suatu kantung untuk menangkap
oseltamivir, sedangkan untuk zanamivir perubahan tersebut tidak diperlukan. Setiap mutasi
dapat mencegah terjadinya ikatan dengan oseltamivir dengan cara menghalangi pembentukan
kantung tersebut, walaupun demikian virus yang resisten pada oseltamivir tetap dapat
berikatan dengan zanamivir. Kantung untuk oseltamivir terbentuk oleh rotasi E276 dan
ikatannya dengan R224, dan proses ini dapat dicegah apabila terjadi mutasi pada R292K,
0

N294S, dan H274Y yang mengakibatkan resistensi terhadap oseltamivir. Beberapa mutasi ini
tidak mempengaruhi ikatan dengan zanamivir.
Di Indonesia Oseltamivir merupakan obat pilihan satu-satunya untuk penyakit AI
(H5N1), pemberiannya secara oral. Sediaan dalam bentuk kapsul berisi 75mg atau suspensi
berisi 12mg/ml harus segera diberikan sedini mungkin pada saat penderita masuk rumah
sakit.
Di Indonesia Oseltamivir merupakan obat pilihan satu-satunya untuk penyakit AI
(H5N1), pemberiannya secara oral. Sediaan dalam bentuk kapsul berisi 75mg atau suspensi
berisi 12mg/ml harus segera diberikan sedini mungkin pada saat penderita masuk rumah
sakit.


Dosis Oseltamivir adalah sebagai berikut:
Berdasarkan mg/kgBerat Badan:
- 2 mg/kgBB (maksimal 75 mg) 2 x sehari selama 5 hari Dewasa
- Anak _13 tahun: 75 mg, 2 x sehari selama 5 hari
- Anak (_ 1 tahun): 2 mg/kgBB 2 x sehari selama 5 hari
Berdasarkan Berat Badan (kg):
1. ~ 40 kg : 75 mg 2x/hari
2. ~ 2340 kg : 60 mg 2x/hari
3. ~ 1523 kg : 45 mg 2x/hari
4. _ 15 kg : 30 mg 2x/hari
Dosis oseltamivir yang lebih tinggi dapat dipertimbangkan berdasarkan case-by-case
penderita AI (H5N1), terutama bila terdapat pneumonia atau bukti kemunduran klinis.
Keamanan dosis yang lebih tinggi belum diujikan pada anak. Perlu dipertimbangkan risiko
yang mungkin terjadi dan keuntungan menggunakan dosis lebih tinggi pada penderita AI
(H5N1) anak, karena sampai saat ini belum jelas apakah oseltamivir dapat menyebabkan eIek
samping neuropsikiatri pada remaja.
Pada AI (H5N1) yang demamnya berlanjut dan klinis memburuk mungkin disebabkan
replikasi virus yang persisten, walaupun dapat juga disebabkan oleh timbulnya superinIeksi
dengan kuman dan komplikasi nosokomial lainnya yang harus dievaluasi. Apabila tidak ada
perbaikan klinis dengan pengobatan 5 hari, pemberian oseltamivir dapat dilanjutkan 5 hari
lagi. Antiviral diberikan secepat mungkin (48 jam pertama).
1

Pada percobaan binatang tidak ditemukan eIek teratogenik dan gangguan Iertilitas
pada penggunaan oseltamivir. Saat ini belum tersedia data lengkap mengenai kemungkinan
terjadi malIormasi atau kematian janin pada ibu yang mengkonsumsi oseltamivir. Karena itu
penggunaan oseltamivir pada wanita hamil hanya dapat diberikan bila potensi manIaat lebih
besar dari potensi risiko pada janin.
EIek samping oseltamivir berupa pusing, muntah, mual, diare, konIusi, sakit perut,
batuk, vertigo, insomnia dan rasa lelah. Oseltamivir tidak dianjurkan untuk anak kurang dari
1 tahun.
2. Profilaksis
ProIilaksis 1x75 mg diberikan pada kelompok risiko tinggi terpajan sampai 7-10 hari
dari pajanan terakhir. Penggunaan proIilaksis jangka panjang dapat diberikan maksimal
hingga 6-8 minggu sesuai dengan proIilaksis pada inIluenza musiman.
Terdapat tiga kelompok risiko terpajan virus AI H5N1 yang terkait dengan pemberian
proIilaksis antiviral, dengan dosis Oseltamivir 1 x 75mg :
Kelompok Risiko Tinggi: (termasuk wanita hamil diberikan sebagai proIilaksis selama 7-10
hari setelah pajanan terakhir)
Kontak erat serumah atau anggota keluarga dengan penderita suspek atau konIirm AI
(H5N1), karena pajanan potensial pada lingkungan yang sama, sumber unggas atau
penderita
Kelompok Risiko Moderat: (termasuk wanita hamil diberikan sebagai proIilaksis selama 7-
10 hari setelah pajanan terakhir)
Orang yang terpajan langsung pada hewan mati atau sakit karena inIeksi virus A
H5N1
Orang yang menangani hewan sakit atau melakukan dekontaminasi lingkungan tanpa
menggunakan APP atau penggunaannya tidak benar
Petugas kesehatan yang kontak langsung dengan penderita suspek atau konIirm AI
(H5N1) tanpa atau penggunaan yang kurang benar APP yaitu pada saat intubasi atau
penghisapan sekret, menangani spesimen cairan tubuh
Kelompok Risiko Ringan: (Kelompok ini tidak memerlukan proIilaksis)
Petugas kesehatan yang menggunakan APP
Petugas kesehatan yang tidak kontak erat (~1 meter) dengan spesimen atau penderita
suspek / konIirm AI (H5N1)
Penyembelih hewan yang tidak terinIeksi AI (H5N1)
Orang yang menangani hewan sakit atau mati dengan menggunakan APP secara benar



D. Pengobatan lain
Antibiotik spektrum luas yang mencakup kuman tipikal dan atipikal (lihat lampiran 2
petunjuk penggunaan antibiotik). Antibiotika hanya diberikan untuk komplikasi-
komplikasi tertentu seperti pneumonia bakterial, otitis media, sinusitis. Pilihan
antibiotika sebaiknya ditentukan berdasarkan hapusan / pengecatan Gram atau kultur
dahak dan spesimen lainnya. Bila bakteri penyebab tidak diketahui dari pemeriksaan
spesimen, maka antibiotika empirik yang eIektiI untuk mengatasi kuman patogen
utama ($97ep9ococcus pneumoniae, $9apylococcus au7eus, atau Haemopilus
influen:ae) harus dipilih, misalnya seIalosporin generasi-3 (CeItriaxone, dll.) atau
quinolon spektrum luas (LevoIloxaxin, GatiIloxacin, MoxiIloxacin) dikombinasi
dengan NaIcillin, Oxacillin, atau Vancomycin bila ada kecurigaan kuat adanya inIeksi
$. au7eus.
Umumnya penderita AI (H5N1) masuk rumah sakit dengan pneumonia yang
etiologinya belum jelas. Antibiotik diberikan secara empiris mengacu padaguideline
pneumonia komuniti nasional atau internasional. Diagnostik kerja pneumonia
komuniti biasanya meliputi dahak untuk pewarnaan Gram dan kultur serta kultur
darah.
Jika uji diagnostik sudah konIirm AI (H5N1) dan pemeriksaan laboratorium untuk
pneumonia komuniti tidak dapat menemukan kuman penyebab apapun, terapi
antibiotik empirik harus dihentikan. Penggunaan antibiotik proIilaksis untuk penderita
AI (H5N1) tidak dibenarkan, karena tidak terbukti manIaatnya dan dapat terpilih
antibiotik untuk kuman yang resisten serta menyebabkan eIek samping.
Anti-piretika atau anti-nyeri sering digunakan untuk menurunkan demam, mialgia dan
arthralgia pada AI (H5N1). Aspirin (asam salisilat) atau produknya jangan diberikan
pada penderita InIluensa atau AI (H5N1) di bawah usia 18 tahun oleh karena risiko
terjadinya sindroma Reye.
Terapi suportiI pada penderita sakit berat. Penyakit AI (H5N1) sering menyebabkan
gagal naIas berat dan cepat progresiI, dan penting untuk menyediakan terapi suportiI
untuk AI (H5N1) dengan ALI/ARDS. Banyak penderita juga berkembang
penyakitnya menjadi gagal multi-organ yang membutuhkan dukungan ventilator.
Terapi suportiI meliputi oksigenasi yang eIektiI dan tepat dan suport ventilator,
dengan memperkecil risiko barotrauma dengan membatasi volume tidal dari 12
menjadi 6 mL/kg, nutrisi enteral yang cukup, pencegahan dan terapi inIeksi


nosokomial, pencegahan deep thrombosis dan pendarahan gastrointestinal, dan
kepedulian perawatan. Penanganan terhadap gagal multi organ berupa suport
vasopresor pada syok septik dan gagal ginjal akut seperti pada gagal ginjal akibat
penyebab lainnya.
Metilprednisolon 1-2 mg/kgBB IV diberikan pada pneumonia berat, ARDS atau pada
syok sepsis yang tidak respons terhadap obat-obat vasopresor.
Terapi lain seperti terapi simptomatik, vitamin, dan makanan bergizi.
Rawat di ICU sesuai indikasi.

E. Perawatan Intensif
Kriteria pneumonia berat; jika dijumpai salah satu di bawah ini :
1. Frekuensi napas ~ 30 menit.
2. PaO2/FiO2 300.
3. Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
4. Foto toraks paru melibatkan ~ 2 lobus
5. Tekanan sistolik 90 mmHg
6. Tekanan diastolik 60 mmHg
7. Membutuhkan ventilasi mekanik
8. InIiltrat bertambah ~ 50
9. Membutuhkan vasopresor ~ 4 jam (septik syok)
10.Serum kreatinin _ 2 mg/dl.

Kriteria perawatan di ruang rawat intensif ( ICU )
a. Gagal Napas
Kalau terjadi gangguan ventilasi dan perIusi, jika pada pemeriksaan AGD ( Analisis
Gas Darah ) ditemukan :
- PaCO2 ~ 60 torr
- Ratio Pa O2/Fi O2 :
200 untuk ARDS (Acu9e #espi7a9o7y Dis97ess $ynd7ome)
300 untuk ALI (Acu9e Lung Infu7y)
- Frekuensi napas ~ 30 X menit
b. Syok (dapat hipovolemik, distributiI, kardiogenik ataupun obstruktiI )


Tekanan darah sistolik 90 mmHg (dewasa) atau untuk anak Tekanan Arteri Rata
rata (TAR) 50 mmHg, yang telah dilakukan resusitasi cairan dan membutuhkan
inotropik / vasopresor ~ 4 jam. Sebaiknya dengan menggunakan kateter vena sentral.
c. a + b memerlukan bantuan ventilator mekanik.
d. Jika memakai ventilator mekanik, maka dianjurkan dengan menggunakan respirator
dengan p7essu7e cycle, dengan pengaturan awal :
Mode : !7essu7e on97ol 'en9ila9ion
Volume Tidal : 6 8 cc / kg Berat Badan
PEEP ~ 5 Cm H20
Frekuensi Napas : 12 X /menit
Fi O2 : 1.0 (100 )
P insp (Tekanan Inspirasi) : Mulai dari 10 Cm H20
Mutlak dilakukan pemeriksaan AGD 30 menit setelah se99ing awal. Sasaran yang
ingin dicapai adalah mempertahankan PaO2 di atas 100 torr dan Sat O2 diatas 95 dengan
FiO2 dibawah 60.
e. Dapat juga digunakan NIPPV (on Invasive !osi9ive !7essu7e 'en9ila9ion), pada
pasien dengan kesadaran compos mentis.
I. Dapat disapih dari respirator kalau:
- Keadaan Umum pasien sudah membaik, kesadaran membaik tanpa sedasi.
- Nutrisi adekuat dengan status cairan adekuat.
- Bebas inIeksi.
- Hemodinamik stabil tanpa inotropik atau vasopressor.
- Status asam basa dan elektrolit stabil.
- Tidak ada bronkospasme.
- Oksigenasi baik dengan FiO2 0.5 dengan PEEP 5 CmH2O
- eaning !a7ame9e7 :
Frekuensi Pernapasan/Vt 100.
Frekuensi Pernapasan : 30 X/menit.
Vt : 6 8 CC/kgbb.

F. Kriteria pindah rawat dari ruang isolasi ke ruang perawatan biasa :
- Terbukti bukan kasus Ilu burung.
- Untuk kasus PCR positiI dipindahkan setelah PCR negatiI.
- Setelah tidak demam 7 hari.


- Pertimbangan lain dari dokter.


G. Kriteria kasus yang dipulangkan dari perawatan biasa :
- Tidak panas 7 hari dan hasil laboratorium dan radiologi menunjukkan perbaikan.
- Pada anak _ 12 tahun dengan PCR positiI, 21 hari setelah awitan (onse9) penyakit.
- Jika kedua syarat tak dapat dipenuhi maka dilakukan pertimbangan klinik oleh tim
dokter yang merawat.

H. Perawatan Tindak Lanjut
- Pasien yang sudah pulang ke rumah diwajibkan kontrol di poliklinik Paru / Penyakit
Dalam / Anak RS terdekat.
- Kontrol dilakukan satu minggu setelah pulang yaitu Ioto toraks dan laboratorium dan
uji lain yang ketika pulang masih abnormal.

Standar Penggunaan Alat Perlindungan Diri (APD)
a. Persiapan sarana
- Baju operasi yang bersih, rapi (tidak robek) dan sesuai ukuran badan.
- Sepatu bot karet yang bersih, rapih (tidak robek) dan sesuai ukuran kaki.
- Sepasang sarung tangan DTT (DesinIeksi Tingkat Tinggi) atau steril ukuran
pergelangan dan sepasang sarung bersih ukuran lengan yang sesuai dengan ukuran
tangan.
- Sebuah gaun luar dan apron DTT dan penutup kepala yang bersih.
- Masker N95 dan kaca mata pelindung.
- Lemari berkunci tempat menyimpan pakaian dan barang barang pribadi.
b. Langkah awal saat masuk ke ruang perawatan isolasi, masuk kedalam ruang bersih luar.
Lakukan hal sebagai berikut:
- Lepaskan cincin, jam atau gelang.
- Lepaskan pakaian luar.
- Kenakan baju operasi sebagai lapisan pertama pakaian pelindung.
- Lipat pakaian luar dan simpan dengan perhiasan dan barangbarang pribadi lainnya di
dalam lemari berkunci yang telah disediakan.
c. Mencuci tangan
- Lakukan cuci tangan pada tempat yang telah disediakan.


- Buka kran dan pertahankan aliran air lurus dari mulut kran.
- Bungkukkan badan sedikit untuk menjauhi tubuh dari percikan air.
- Basahi kedua belah tangan seluruhnya sehingga batas siku.
- Ambil sabun dan balik-balikan secukupnya dalam genggaman kedua belah tangan
(hindari aliran air).
- Kembalikan sabun ketempatnya dengan berhati-hati.
- Buat busa secukupnya dari sabun yang melekat ditanganyang basah.
- Gosok dengan keras seluruh permukaan tangan dan jari-jari kedua tangan sekurang-
kurangnya 10-15 detik, ratakan ke seluruh tangan dengan memperhatikan bagian di
bawah kuku dan di antara jari-jari.
- Membilas kedua belah tangan di bawah air mengalir.
- Mengeringkan tangan dengan kertas lap atau kain yang telah disediakan dan gunakan
lap untuk mematikan kran (Awas, bagian tersentuh kran pada kain / kertas lap tidak
boleh tersentuh tangan yang sudah bersih) atau keringkan tangan di bawah pengering
udara (gunakan siku untuk menyalakan atau mematikan tombol).
- Buang kertas lap atau kain terpakai ke tempat yang telah disediakan.
d. Sebelum petugas masuk kedalam ruang perawatan pasien, petugas harus memakai APD
lengkap di ruang bersih dalam (an9e 7oom). Langkah-langkah penggunaan APD :
- Kenakan sepasang sarung tangan sebatas pergelangan tangan.
- Kenakan gaun luar / Jas operasi.
- Kenakan apron plastik (bila memakai jas operasi).
- Kenakan sepasang sarung tangan sebatas lengan.
- Kenakan Masker N 95.
- Kenakan penutup kepala.
- Kenakan kaca mata pelindung.
- Kenakan kedua belah sepatu bot karet.
Peralatan tetap dipakai selama di ruang perawatan. Siapkan peralatan cadangan di ruang
bersih dalam seperti:
Sarung tangan
Apron plastik
Masker
Fasilitas cuci tangan
Fasilitas menggantung jas operasi
e. Masuk langsung ke Ruang rawat kasus suspek / probabel / konIirmasi.


Prosedur keluar Ruang Perawatan isolasi
Perlu disediakan ruang ganti khusus untuk melepaskan Alat Perlindungan Diri (APD).
Pakaian bedah / masker masih tetap dipakai.
Lepaskan pakaian bedah dan masker di ruang ganti pakaian umum, masukkan dalam
kantung binatu berlabel inIeksius.
Mandi dan cuci rambut (keramas).
Sesudah mandi, kenakan pakaian biasa.
Pintu keluar dari Ruang Perawatan isolasi harus terpisah dari pintu masuk

2.13 Prognosis
Berdasar jurnalAvian InIluenza A (H5N1) InIection in Humans, prognosis dari
inIeksi H5N1 tergolong buruk. Berdasarkan data yang di dapat, angka kematian di Thailand
sebesar 89 dan banyak terjadi pada anak-anak yang berumur dibawah 15 tahun. Kematian
rata-rata terjadi anatara 9-10 hari setelah penyakit muncul (rentan 6-30 hari) dan kebanyakan
pasien meninggal karena kegagalan sistem pernaIasan.
Sumber lain juga mengatakan prognosis dari kasus inIeksi H5N1 tergolong buruk,
sebab dari kasus yang telah terjadi pada tahun 2008, angka kematian akibat inIeksi H5N1
adalah sebesar 63,27. Angka kematian yang cukup tinggi untuk sebuah penyakit inIeksi.
Sampai sekarangpun perkiraan case mortality rate menurut WHO untuk kasus ini masih
tinggi, yaitu sebesar 60.


















KESIMPULAN

Flu burung atau avian inIluenza adalah penyakit hewan menular yang disebabkan
virus inIluenza A sub tipe H5N1 yang biasanya menyerang unggas, sangat mematikan dan
:oonosis (dapat menular pada manusia.Penularan Ilu burung (H5N1) dapat terjadi antar
ternak unggas, dari ternak ke manusia dan dapat juga terjadi antar manusia ke manusia.
Adapun penularannya pada manusia dapat terjadi melalui udara (air borne) dan melalui
kontak langsung dengan unggas sakit atau kontak dengan bahan bahan inIeksius seperti tinja,
urin, dan sekret saluran napas unggas sakit.
Gejala awal dari penyakit ini berupa inIluenza tanpa komplikasi, pada umumnya
berupa demam, nyeri kepala, nyeri otot dan malaise yang muncul dengan onset mendadak,
disertai gejala-gejala penyakit saluran naIas seperti batuk-batuk atau nyeri tenggorokan.
Kemudian dapat berlanjut pada inIluenza dengan komplikasi. Komplikasi tersering yang
dapat terjadi berupa pneumonia.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis Ilu burung yaitu,
hematologi, kimia darah, uji #%!# (#eve7se %7ansc7ip9ion !olyme7ase ain #eac9ion)
untuk H5, pemeriksaan imunologis dan biomolekuler, biakan dan identiIikasi virus InIluenza
A subtipe H5N1, dan uji serologi. Pemeriksaan radiologi pada Ioto toraks PA dan lateral
ditemukan gambaran inIiltrat di paru menunjukkan bahwa kasus ini adalah pneumonia. Selain
itu dapat juga dilakukan pemeriksaan CT Scan.
Untuk penatalaksanaan avian inIluenza dapat diberikan antiviral yaitu oseltamivir, dan
direkomendasikan juga untuk terapi proIilaksis pada petugas yang terpajan pada pasien yang
terkonIirmasi dengan jarak 1 m tanpa menggunakan APD. Antibiotika hanya diberikan
untuk komplikasi-komplikasi tertentu seperti pneumonia bakterial, otitis media, sinusitis.
Pengobatan suportiI meliputi terapi simptomatik untuk mengatasi demam, nyeri kepala, dan
myalgia, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi dan oksigen. Anti-piretika dapat digunakan
untuk menurunkan demam, mialgia dan arthralgia. Pasien penderita avian inIluenza dengan
gagal naIas dan syok (dapat hipovolemik, distributiI, kardiogenik ataupun obstruktiI ) harus
dirawat dalam perawatan ruang intensiI (ICU).


Prognosis dari inIeksi H5N1 tergolong buruk. Kematian rata-rata terjadi anatara 9-10
hari setelah penyakit muncul (rentan 6-30 hari) dan kebanyakan pasien meninggal karena
kegagalan sistem pernaIasan. Sampai sekarang pun perkiraan case mortality rate menurut
WHO untuk kasus ini masih tinggi, yaitu sebesar 60

Daftar Pustaka

1. JusuI M, Winariani, Hariadi Slamet. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru 2010. Surabaya;
Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair RSUD Dr. Soetomo 2010: 217-240.
2. Sudoyo W, Setiyohadi, Alwi Idrus dkk. Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam Jilid III Edisi
IV. Jakarta; Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI 2006: 1719-1720.
3. WHO disease outbreak news: 21st July 2005. Avian inIluenza-situation in Indonesia
update 25. http://www.who.int/.csr/don/20050721c/en/index.html (Accessed
September 24th 2011).
4. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Tatalaksana Klinis Flu Burung di Sarana
Pelayanan Kesehatan. Jakarta, 2005.
5. Dolin R. Clinical maniIestations and diagnosis oI inIluenza in adults.
http://www.utdol.com/application/topic.asp?r/application/topic.asp&Iileviralin/10
822&apputdol (Accessed September 24th 2011).
6. Dell KM, Schullman SL. Rhabdomyolysis in children with inIluenza A inIection.
Pediatr Nephrol 1997;11:363.
7. Miller ML. Viral myositis.
http://www.utdol.com/application/topic.asp?Iilemuscle/6839
(Accesed September 23rd 2011).
8. Centers Ior Disease Control and Prevention. Respiratory hygiene /cough etiqqutte in
health care settings.
http://www.cdc.gov/Ilu/proIessionals/inIectionscontrol/resphygiene.htm (Accessed
23rd 2011).
9. Anonim. 2010. Avian InIluenza. http://wikipedia.org (Acessed September 23rd 2011).
10.Adisasmito, Wiku. 2007. $is9em Kesea9an. Jakarta:PT RajaGraIindo Persada.
11.Atmawinata, Edi. 2006. Mengenal Bebe7apa !enyaki9 Menula7 Da7i Hean Kepada
Manusia. Bandung:Yrama Widya.


0

You might also like